13. Tulisan Tanpa Identitas
Ada kalanya usaha juga bisa mengkhianati hasil, dan kebenaran mengecewakan.
Anka masih merasa kepalanya sedikit pusing, tapi dia tetap memutuskan untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Pelajaran Olahraga sudah menjadi batas akhir toleransinya, karena dia memang merasa tidak akan kuat. Namun, untuk pelajaran lain, dia akan memastikan diri untuk tidak ketinggalan materi. Hal kecil seperti pusing ini tidak akan pernah menghalanginya.
"Lo yakin mau ikut pelajaran abis ini?" tanya Bora sambil memapah Anka ke kelasnya.
"Iya, kalau nggak kuat, jangan dipaksain. Istirahat aja dulu di UKS," tambah Brav. Untuk kali ini, mereka kompak, membuat Anka terkekeh pelan.
Namun, bukan Anka namanya kalau dia kalah dengan bujukan dua orang itu. Selama ini, dia tidak pernah membolos. Bahkan, absen dengan resmi dari sekolah pun tidak pernah. Sakit seperti apa pun tidak akan pernah menghalanginya untuk tetap masuk dan mendapat materi dari guru-guru di sekolah. Kebiasaan ini sudah melekat pada dirinya sejak kecil, dan dia tidak berniat melepaskan prinsip ini.
Maka, di sinilah Anka. Di kelasnya seperti biasa untuk mengikuti pelajaran selanjutnya, Pendidikan Kewarganegaraan. Kalau boleh jujur, dia sangat tidak suka dengan pelajaran semacam ini. Dari tadi hanya terdengar pemaparan dari guru, yang sebenarnya bisa dia baca sendiri di buku. Baginya ini membosankan. Dia lebih suka yang ada praktik, seperti di laboratorium misalnya atau pelajaran Bahasa yang menyuruh membuat cerita dan semacamnya. Namun, rasa hormat membuatnya tetap berusaha memperhatikan guru yang menjelaskan, walau tidak berarti dia bisa berkonsentrasi dan menyerap semua materi, apalagi di saat seperti ini.
"Oke. Sekarang masukkan semua buku kalian," ujar Bu Hera, guru muda yang sedang menjalani masa Praktik Kerja Lapangan di sekolahnya. Terdengar sorakan protes dari seluruh penjuru kelas ketika Bu Hera membagikan lembar jawaban. "Soalnya gampang, kok. Pilihan ganda, cuma dikit lagi. Kalian pasti bisa."
Dengusan frustrasi masih memenuhi kelas selagi anak-anak itu mengoper lembar soal yang dibagikan Bu Hera. Namun, begitu guru mereka tersenyum dan melenggang keluar kelas dengan santai, sorakan pelan mulai terdengar. Seisi kelas mulai grasah-grusuh meminta jawaban sana-sini. Bahkan, tidak jarang dari mereka yang terang-terangan mencari jawaban dari buku.
Anka berusaha berkonsentrasi pada pertanyaan-pertanyaan di depannya, tapi suara berisik dari teman-teman sekelasnya membuat kepalanya mendongak. Saat menoleh ke seluruh penjuru kelas, dia menemukan gerakan serupa di mana-mana. Tidak ada satu anak pun yang berusaha mengerjakan sendiri tanpa meminta bantuan dari teman atau melihat buku, termasuk teman sebangkunya, yang Anka kenal sebagai anak yang jujur.
Anka menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kepalanya yang belum benar-benar membaik jadi semakin pusing sekarang, apalagi melihat tingkah teman-teman dan gurunya yang tidak mengawasi dengan benar. Anka hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik, walau dia tidak yakin akan jawabannya pada beberapa nomor.
Bu Hera kembali ke kelas dan seisi kelas langsung jadi hening. Karena soalnya memang tidak banyak, maka Bu Hera meminta lembar jawabannya dikumpulkan dan kemudian dibagikan lagi secara acak. Jawaban yang benar sudah ditulis di papan tulis, dan mereka disuruh mengoreksi lembar jawaban milik teman yang ada di hadapan mereka. Setelah selesai mengoreksi, Bu Hera memanggil satu per satu nama untuk meminta nilainya.
Sejauh ini, belum ada satu pun anggota kelas Anka yang memiliki nilai di bawah standar kelulusan minimal dan itu membuat senyum Bu Hera mengembang tanpa henti. Di tempat duduknya, Anka berulang kali mengembuskan napas berat. Dia meremas-remas tangannya untuk meredakan detak jantung yang berlebihan, tapi gagal. Dia masih saja merasa terlalu gugup menunggu namanya dipanggil dan mengetahui nilainya.
"Zephori Anka." Akhirnya Bu Hera memanggil nama Anka.
Anka menoleh ke sana-sini, mencari siapa yang mengoreksi lembar jawabannya. Temannya yang duduk di pojok kanan menyebutkan nilai dengan perlahan. "68, Bu."
"Yah ... remed," ujar Bu Hera dengan wajah berkerut penuh iba dan penyesalan. Namun, omongan dan ekspresi guru serta temannya itu tidak membuat Anka membaik. Suasana hatinya malah semakin kacau. "Nanti pas istirahat langsung remed, ya, di perpus. Belajar dulu sekarang."
Setelah mengucapkan itu, Bu Hera menutup bukunya dan mengakhiri kelas hari ini lalu meninggalkan kelas yang langsung kembali ramai. Semua anak sibuk mengitari kelas untuk mengembalikan lembar jawaban kepada pemiliknya, begitu pula Anka. Dia berjalan ke salah satu meja, walau ekspresinya terlihat kosong dan langkahnya begitu lemas.
"Kenapa lo nggak nanya sama gue tadi? Kan jadi remed sendirian." Teman sebangku Anka berkata sambil menatap lembar jawabannya dengan prihatin.
Anka berusaha keras untuk membentuk senyum di wajahnya. Setidaknya, tindakan formalitas seperti itu harus dia lakukan supaya tidak membuat temannya tersinggung. Walau dalam hati dia menggeram. Menjadi satu-satunya murid yang harus menjalani remedial di kelas benar-benar membuat harinya menjadi buruk.
Bayangan teman-teman sekelasnya yang menyontek seenaknya, dan Bu Hera yang dengan enteng meninggalkan kelas dan membuat keadaan itu terjadi dengan mudahnya membuat emosi Anka meluap-luap. Dari tadi, tangannya masih saling meremas. Gumpalan amarahnya masih terpendam di hati tanpa bisa disalurkan.
Namun, semakin dia berpikir dan menyalahkan semua orang, semakin dia tahu, kalau itu adalah kesalahannya sendiri. Dia yang tidak mempersiapkan diri dengan baik kemarin. Dia yang tidak menuruti Bora untuk minum obat penambah darah, sampai harus pingsan sebelum ini dan tidak bisa berkonsentrasi di kelas. Dia yang tidak suka dengan pelajaran dan cara gurunya mengajar, sampai tidak sepenuhnya mendengarkan penjelasan dengan baik.
Semua itu salahnya, tapi dia menyalahkan orang lain. Hal itulah yang membuatnya merasa semakin buruk.
***
Anka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, walau emosinya masih belum bisa dikontrol dengan baik. Kalau sudah terpuruk karena harus remedial, dia harus memastikan kalau ini adalah kali pertama dan terakhir. Tidak boleh ada lagi kesempatan untuk menyesal karena tidak mendapatkan hasil yang baik saat ujian. Maka, Anka melangkah mantap ke perpustakaan. Dia sudah percaya diri sekarang.
Sehabis ditinggal Bu Hera tadi, Anka benar-benar belajar untuk remedial, sesuai apa yang diperintahkan gurunya. Sama sekali tidak mudah, karena berulang kali dia teringat dengan kesalahan yang disesalinya. Belum lagi amarah yang masih menumpuk di hatinya. Tiap teringat dengan semua itu, dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Hanya sesaat. Dia meyakinkan diri kalau ini hanya sesaat dan akan segera berakhir.
Baru masuk ke perpustakaan, Anka sudah bisa menemukan Bu Hera dan satu orang murid lagi, yang pernah menjadi teman sekelas Anka tahun lalu. "Lo bisa remed juga, Ka?"
Ucapan mantan teman sekelasnya barusan membuat Anka menahan napas. Dia sudah mencoba mengatur emosi yang meluap-luap dalam diri, tapi cobaan tidak berhenti datang. Belum lagi temannya itu berujar sambil tertawa kecil, seolah itu memang sebuah lelucon yang lucu dan pantas didengar untuk mencairkan suasana. Kali ini Anka bahkan tidak bisa memberikan senyum formalitas.
Remedial berlangsung lancar. Ini melegakan, sekaligus menyebalkan bagi Anka. Harusnya yang lancar itu ujian, bukan remedial. Tapi Anka kembali menghela napas dalam-dalam dan berhasil memperlihatkan senyum untuk mengantar Bu Hera dan mantan temannya itu keluar dari perpustakaan.
Begitu tempat ini kosong, Anka langsung merangkak ke pojok bagian berkarpet dan menyandarkan pundaknya di tembok. Beberapa jam ini terasa begitu melelahkan baginya. Dia hanya berharap, tidak satu orang pun mengganggunya saat ini, termasuk Brav. Bagaimanapun, di saat seperti ini dia butuh sendiri, karena tidak yakin bisa mengontrol emosi dengan baik.
Anka menyapu sekitarnya dengan pandangan, dan matanya terpaku pada tumpukan buku yang habis dibaca dan belum dikembalikan ke rak. Tangannya bergerak perlahan dan mengambil buku paling atas. Sepertinya buku ini cukup terkenal, pikirnya saat meraih novel Pay it Forward yang belum selesai dibacanya kemarin.
Suasana hati Anka saat ini sedang tidak memungkinkan untuk membaca, tapi entah kenapa, melihat novel itu membuatnya tidak tahan. Maka, dia mulai membuka kembali novel itu, dan tanpa sengaja, selembar kertas meluncur dari dalamnya.
Bagi gue, hantu itu berupa kegelapan dari keluarga.
Tulisan itu yang terpampang jelas pada kertas yang barusan meluncur dari novel yang Anka buka. Kening Anka berkerut saat menemukan kertas itu. Matanya langsung diarahkan ke halaman novel yang terbuka. Dia memindai seluruh bagian novel itu dan akhirnya menemukan paragraf yang mendukung pernyataan di kertas tadi.
Setiap manusia memiliki hantunya masing-masing. Pada sebagian orang, hantu itu bisa berupa ketakutan. Sebagian yang lain, hantu itu berupa kekhawatiran akan masa depan atau mungkin kenangan buruk akan peristiwa masa lalu yang tak pernah bisa mereka enyahkan dari ingatan.
Kegelapan. Satu kata itu membuat Anka teringat akan sesuatu .... Jarinya langsung menjentik begitu ingat dengan ucapannya yang membuat ekspresi Brav berubah seketika. Saat itu dia juga membahas kegelapan. Jadi ... apa ini jawaban Brav untuk menjelaskan perubahan ekspresinya waktu itu?
Tapi apa? Anka menggeleng tidak mengerti dan memilih mengantongi kertas itu. Siapa tahu nanti kertas ini akan berguna.
***
Hampir lupa post lagi padahal udah diedit 😔
Ada yang pernah dikhianatin sama usaha? Udah berusaha keraaasss banget, eh taunya hasilnya tetep ga memuaskan. Aku ini tipe orang yang ga terlalu percaya sama kata2 hasil ga akan mengkhianati usaha, karena tiap orang pasti usaha. Lalu siapa yang bakal dapet hasilnya kalau yang bisa dapetin itu cuma satu orang? Tuhannya bingung nanti hahaha ga lucu jun
Bagi kalian, hantu itu berupa apa?
Sampai ketemu sabtu
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro