Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Merasa Istimewa

Hanya karena tidak diucapkan, bukan berarti sesuatu itu tidak dirasakan.

Bu Risma terus menjelaskan pelajaran Fisika dengan cara yang membosankan. Sebenarnya, bagaimanapun beliau menjelaskan, tidak akan memberi hasil yang berbeda. Brav tetap akan merasa bosan karena tidak bisa mengerti pelajaran itu sama sekali. Kalau pelajaran lain, dia masih bisa berusaha keras dan akan mengerti pada akhirnya, tapi kalau Fisika, dia menyerah. Hanya predikat killer dari guru itu yang membuatnya tetap berpura-pura memusatkan perhatian, walau aslinya tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.

Di saat seperti ini, Brav biasanya akan meminta izin ke toilet. Sebenarnya itu hanya alasan. Dia hanya ingin keluar untuk menyegarkan pikiran. Apalagi saat ini kelas Anka sedang dalam jam pelajaran olahraga, jadi dia bisa leluasa melihat cewek itu, tanpa mengintip-ngintip ke arah yang berlawanan dengan toilet dan mengundang amarah Bu Risma.

"Izin ke toilet, kan?" sambar Bu Risma sebelum Brav membuka mulut. Tahu Bu Risma sudah hafal dengan kebiasaannya, Brav hanya bisa nyengir sambil mengangguk pelan lalu berjalan mengendap-ngendap seolah pencuri, supaya tidak semakin menarik perhatian guru itu.

Begitu tiba di luar kelas, Brav melangkah cepat-cepat dan menyender pada pilar di depan tangga, agar tidak mengundang perhatian guru dari kelas mana pun. Matanya menatap lurus ke lapangan dan melihat Pak Usman sedang memberi arahan pada seisi kelas Anka yang sudah berbaris rapi.

Dari sekian banyak isi kelas Anka, pandangan Brav hanya terus berfokus pada cewek itu. Dari atas sini, Anka terlihat kecil, padahal aslinya tidak. Senyum Brav mengembang saat memandang wajah Anka yang terlihat jelas karena cewek itu mengucir rambutnya. Hanya saat berolahraga, Brav punya kesempatan untuk melihat wajah Anka tanpa terhalang rambut panjangnya, dan Brav menyukai saat-saat itu.

Kening Brav berkerut saat melihat Anka menunduk sambil memegang perut bawah sebelah kirinya. Firasatnya membawa Brav untuk mundur perlahan sembari tetap memperhatikan Anka dan akhirnya menuruni tangga. Saat baru menapaki beberapa tangga, Brav bisa mendengar suara peluit yang Pak Usman tiup, tanda kalau semua anak harus mulai berlari untuk pemanasan.

Tanpa sadar, Brav mempercepat langkah, tapi memiliki kelas di lantai tiga tetap menyusahkannya saat ini. Saat hampir tiba di bawah, Brav bisa mendengar suara ribut dari orang-orang di lapangan. Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari dan mencapai lapangan dalam hitungan menit.

Di depannya, orang-orang sudah berkerumun. Mereka semua berbisik-bisik, walau ada beberapa orang di barisan depan yang berusaha bertindak cepat. Brav berusaha menerobos kerumunan itu dengan susah payah dan menemukan Anka menjadi pusat perhatian semua orang di sana. Cewek itu terkapar dengan wajah pucat. Tidak salah firasat Brav, Anka memang sedang tidak sehat.

Brav menyingkirkan tangan beberapa orang yang berusaha menggapai Anka dan langsung mengangkat tubuh cewek itu. Dia menatap Pak Usman sejenak untuk meminta persetujuan. Dan segera setelah mendapat anggukan, dia menggendong Anka menuju UKS, meninggalkan seisi kelas Anka yang masih terlihat panik sesaat tapi bersorak pelan setelahnya.

"Kalau lagi nggak sehat harusnya jangan maksain diri olahraga," gumam Brav saat membaringkan tubuh Anka di kasur UKS.

Selama beberapa saat, Brav masih menatap Anka yang terbaring lemah. Perdebatan di otaknya masih terus berlangsung. Dia masih ingin terus di sini dan menjaga Anka, tapi chat dari Rian, teman sekelasnya, yang barusan masuk dan mengatakan kalau Bu Risma sudah mencarinya membuatnya berpikir ulang.

Tangan Brav terangkat, hendak mengelus kepala Anka, tapi terhenti begitu saja. Ingatan tentang bagaimana Anka selalu menghindari kontak fisik membuatnya mengurungkan niat. Kalaupun suatu hari dia menyentuh Anka, dia ingin melakukannya dengan persetujuan cewek itu. Dengan berat hati, Brav melangkah pergi, menutup pintu UKS dan meninggalkan Anka di dalam.

Brav melangkah sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Bu Risma yang sedang menulis di papan tulis. Namun, telinga guru killer satu itu sepertinya memang benar-benar tajam. Baru juga Brav masuk ke kelas, Bu Risma sudah menatapnya dengan mata tajam yang membuat siapa pun takut.

"Toiletnya di planet mana?" sindir Bu Risma.

Tuh, kan, batin Brav sambil tersenyum kaku dan mengangguk sekali lalu melangkah ke tempat duduknya sambil menunduk. Dia memang berada di kelas, tapi otaknya terus memikirkan Anka yang berada di UKS. Sepertinya dia harus siap menerima omelan tanpa henti dari Bu Risma hari ini, karena tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.

***

Anka tadi pingsan dan gue bawa ke UKS.

Chat dari Brav yang masuk saat pelajaran masih berlangsung tadi membuat Bora tidak bisa tenang. Begitu bel istirahat berbunyi, dia langsung berlari menuju lantai bawah. Kakinya mengerem mendadak saat baru tiba di depan UKS. Kalau terlambat sedikit saja, dia pasti sudah menubruk seseorang yang baru keluar dari ruangan itu.

"Rama?" bisik Bora dengan kening berkerut saat menyadari cowok berambut botak tumbuh itu yang baru keluar dari UKS.

Tanpa menghiraukan bisikan Bora yang terdengar kaget tadi, Rama pergi sambil menunduk. Bora mengikuti langkah Rama dan menyadari betapa kikuknya tingkah cowok itu barusan.

Buat apa cowok itu di sini? Dia nggak ngapa-ngapain Anka, kan? Pikiran-pikiran itu membuat Bora segera berlari masuk ke UKS. Ingatan bagaimana Rama dan gengnya pernah mengejek Anka sampai dia merasa tidak nyaman di sekolah dan jadi harus terus menghindar dari mereka membuat Bora ngeri saat membayangkan apa saja yang bisa dilakukan Rama barusan.

Bora mengembuskan napas lega saat menemukan Anka yang masih tertidur tenang di ranjang UKS. Anka membuka mata perlahan saat Bora baru sampai di depannya.

"Lo kenapa, deh, Ka? Bikin panik gini," cecar Bora, tidak memberi kesempatan bagi Anka, bahkan untuk mengumpulkan kesadaran.

"Biasa," jawab Anka seadanya.

Tanpa penjelasan lebih lanjut, Bora sudah paham kalau jawaban Anka barusan merujuk pada siklus bulanan yang membuat anemia sahabatnya itu bertambah parah. Anka memang tidak selalu pingsan, tapi dia selalu lemas karena masalah itu. Bora sudah menyarankan agar Anka meminum obat penambah darah, tapi terkadang sahabatnya itu masih membandel.

Bora baru mau memberitahu Anka tentang Rama yang terlihat mencurigakan tadi ketika pintu UKS kembali terbuka. Suara orang menubruk beberapa benda sekitar langsung merebut perhatian mereka. Saat menoleh, mereka menemukan Brav yang sudah berdiri di samping kasur dengan napas terengah-engah.

"Gue udah lari secepet mungkin dan masih aja kalah sama lo," ujar Brav, masih sambil berusaha mengatur napas. "Tau gitu, pas udah nyampe sini aja baru gue kasih tau lo."

Bora memicingkan mata, memberi tatapan tidak terima. "Dih, ngeselin banget! Bukan cuma lo, gue juga lari ke sini. Kan gue sahabat terbaik Anka."

"Lah gue calonnya Anka," sahut Brav tidak mau kalah.

"Pede banget lo. Emangnya Anka udah setuju?" cibir Bora.

"Ntar juga setuju. Kan gue belom nanya." Brav terdengar yakin.

Anka mengerjap-ngerjap melihat pertengkaran tidak berfaedah di depannya. Di tengah keadaannya yang lemas, dua orang itu masih saja memperdebatkan masalah yang menurutnya tidak penting. "Kalian mau bertengkar terus di depan orang yang baru sadar?" sindir Anka setelah merasa kekuatannya sudah terkumpul.

Seolah baru sadar, Bora dan Brav menoleh serentak ke arah Anka dan sama-sama menyeringai polos, persis seperti anak kecil yang ketahuan makan permen padahal sudah dilarang. Mau tidak mau, Anka tertawa melihat tingkah dua orang itu. Mungkin memang sudah nasibnya untuk dikelilingi orang-orang seperti Bora dan Brav. Namun, bagi Anka itu adalah keberuntungan. Bisa merasakan keceriaan kedua orang itu dan mengambil sifat-sifat positif yang perlahan menggerus kekakuan Anka.

"Nih," ujar Brav sambil menyodorkan sebotol air mineral yang dibelinya sebelum datang ke sini. Kalau tidak mampir ke kantin dulu, mungkin dia bisa tiba sebelum Bora.

"Ah ...." Bora mendesah kesal karena merasa kalah. Dia tidak berpikir apa-apa dan langsung berlari ke sini, tapi ternyata Brav mengambil tindakan yang membuat cowok itu menang satu langkah di depannya.

Anka menerima minuman botol itu sambil tertawa karena melihat Brav yang menjulurkan lidah untuk meledek Bora. Entah kenapa, dua orang yang sifatnya mirip itu terus bertingkah seolah anak kecil yang sedang berebut mainan. Namun, tidak bisa disangkal, kalau perdebatan mereka berhasil membuat Anka tersenyum karena merasa istimewa.

Mungkin Anka memang jarang mengatakannya, tapi dia selalu bersyukur karena memiliki orang seperti Bora sebagai sahabatnya, dan sekarang ditambah Brav. Hidup Anka jadi semakin berwarna dan cerah.

***

Bora sama Brav ini emang sejenis banget 🤣 kalau kalian punya orang kayak mereka di sekitar bakal gimana? Atau emang ada?

Ada yang baca Drama dan inget Rama? Nulis namanya aja aku emosi hahaha kalau yang ga tau Rama kenapa, mungkin bisa dibaca Drama, biar keselnya samaan 🤣

Sampai ketemu rabuuu
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro