Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Kebiasaan Baru

Saat sesuatu mampu membuatmu terbiasa, ia sudah mengambil bagian dalam hidupmu.

Aneh. Bagaimana Anka merasa perasaannya membaik setelah memberi mi gulung sosis ke Brav dan memakannya bersama kemarin. Saat itu, mereka tidak membicarakan apa pun. Hanya duduk berdua, makan, dan bercanda membahas apa saja, tapi bukan tentang omongan Anka yang membuat ekspresi Brav berubah.

Sejak awal, Anka merasa Brav tidak berniat membahas itu, melihat bagaimana cowok itu malah membicarakan perjalanan pulang yang terasa sepi baginya. Dari sana, Anka setuju dalam hati untuk tidak mengungkit masalah itu juga. Sebagai orang yang tidak mudah bercerita pada orang lain, dia paham betul situasi itu, dan memilih untuk membiarkan Brav sendiri dengan ceritanya. Bila cowok itu memang sudah mau bercerita, dia pasti akan melakukannya.

Kadang, Bora yang tidak mengerti dengan hal itu bertanya pada Anka, bagaimana bisa dia tidak memaksa orang untuk bercerita. Apa dia tidak penasaran? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Anka bertanya pada dirinya sendiri, dia begitu karena tidak peduli pada orang lain atau memang benar-benar mencoba mengerti. Tapi akhirnya dia yakin.

Bohong kalau Anka bilang tidak penasaran pada cerita orang, apalagi dengan perubahan seketika seperti kemarin. Namun, rasa tidak ingin dipaksa yang dia miliki jauh lebih kuat dari rasa penasarannya. Kalau dia tidak ingin dipaksa bercerita oleh orang lain, maka dia akan mengubur dalam-dalam rasa penasarannya. Dan sejauh ini, dia berhasil menjaga prinsip itu tanpa melanggar satu kali pun.

Anka mengedarkan pandangan, memperhatikan buku-buku yang tersusun rapi di depannya. Seperti kebiasaan, kakinya melangkah otomatis ke perpustakaan saat bel istirahat berbunyi. Kalau diingat-ingat, kebiasaan ini semakin meningkat intensitasnya sejak dia mendapatkan kotak makan yang sampai saat ini masih tidak diketahui siapa pengirimnya.

Omong-omong tentang kotak makan misterius, Anka jadi teringat beberapa tulisan di atasnya. Siapa pun yang memberikan itu, dia benar-benar sangat niat. Bukan hanya menyiapkan makanan, tapi menyusunnya dalam kotak makan dan bahkan menambahkan kata-kata yang tidak bisa dibilang biasa. Walau tidak tahu pasti, tapi Anka yakin, orang itu memikirkannya semuanya sendiri, bukan mencomot quotes dari novel atau mengambil di internet.

Merasa tidak perlu terlalu lama memikirkan itu, Anka kembali berfokus pada buku-buku di hadapannya dan akhirnya mengambil satu novel yang menarik perhatiannya. Pay it Forward, novel yang kemarin Brav baca. Sebagai penegasan, Anka mengambil novel ini bukan karena penasaran dengan selera Brav, apalagi dengan pribadi cowok itu. Dia hanya merasa cocok saat membaca dua novel Emma Grace lainnya, dan merasa harus melengkapi bacaannya dari penulis satu itu.

Baru juga duduk di posisi yang biasa ditempatinya, Anka sudah merasa terusik dengan orang yang duduk di sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan Brav. Cowok itu datang dan duduk tiba-tiba, seperti biasa, dengan senyum kelewat lebar. Anka sampai takut mulut cowok itu akan robek karena tersenyum terlalu lebar.

"Gampang, ya, nyari lo," ujar Brav sambil melongok melewati pembatas di mejanya untuk melihat buku yang Anka baca. Matanya berbinar cerah saat mendapati buku yang kemarin dibacanya di tangan Anka. "Tukeran baca, ya? Oke!"

Tanpa menunggu respons dari Anka, Brav langsung berjalan menuju rak buku yang dia datangi kemarin. Novel dari penulis yang sama pasti akan ditempatkan bersebelahan, begitu perkiraannya, dan tepat. Dia menemukan novel Re-Write di bagian tengah rak itu. Tangannya sudah hampir menggapai novel itu, tapi ingatan akan kalimat yang diucapkan Anka kemarin menghentikan gerakannya. Tangannya mengatung di udara sekian detik. Berulang kali dia menarik napas, tapi akhirnya menggeleng-geleng. Dia masih belum sanggup.

"Cover-nya keliatan bagus, jadi gue pilih ini aja," kata Brav yang baru kembali sambil menggoyang-goyangkan novel lain yang dibawanya.

"Iya, keliatannya bagus," sahut Anka sambil mengangguk-angguk.

Anka tahu, alasan Brav mengambil novel itu bukan benar-benar karena cover yang terlihat bagus. Saat cowok itu mengatakan ingin bertukar bacaan tadi, Anka sudah cemas. Bertukar bacaan berarti Brav akan membaca kalimat yang diucapkan dirinya kemarin. Dan itu membuat Anka khawatir, bagaimana sikap cowok itu selanjutnya. Apa dia akan kembali terlihat kelam dan kosong? Apa dia akan menjadi Brav yang diam, tidak seperti biasa?

Apalagi saat tangan Brav mematung di depan novel itu, ketakutan Anka semakin besar. Makanya, ada kelegaan tersendiri ketika Brav kembali sambil membawa novel lain. Anka tidak akan membahas apa pun. Dia hanya akan menikmati waktu membaca bersama Brav, yang mungkin akan menjadi kebiasaan barunya mulai sekarang.

***

Tidak ada waktu lain yang ditunggu Brav hari ini kecuali ketika bel pulang berbunyi. Anak sekolah mana yang tidak suka mendengar bunyi bel satu itu. Namun, bagi Brav, bel pulang kali ini jadi seratus kali lipat lebih menyenangkan dari biasanya. Karena dia akan segera pulang bersama Anka. Brav begitu bersemangat bukan hanya karena tidak pulang bersama kemarin, tapi karena cewek itu sudah mengisyaratkan kalau dia tidak keberatan dengan keberadaan Brav.

Maka, Brav sudah mulai berberes-beres, bahkan sebelum bel pulang berbunyi. Ketika guru mereka sudah mulai memperlambat nada bicaranya, Brav tahu, waktu pulang sudah akan segera tiba, jadi dia buru-buru memasukkan benda lain yang tidak terpakai lagi ke tas untuk menghemat waktu. Dan begitu bel pulang berbunyi, dia sudah tinggal memasukkan buku terakhir dan langsung berlari ke kelas Anka.

"Hari ini gue nggak akan ninggalin," ujarnya begitu Anka keluar kelas, membuat cewek itu tertawa pelan.

Mereka berjalan santai menuju gerbang sekolah, tidak seperti kemarin, yang masing-masing berlari seperti kesetanan, padahal saling mengejar. Di sampingnya, Anka bisa melihat Brav tidak berhenti tersenyum. Cowok ceria yang selalu berjalan dengan langkah ringan sudah kembali, dan itu membuat rasa senang menyelip di hati Anka tanpa dia sadari.

Tanpa perlu menunggu lama, bus sudah datang. Brav membiarkan Anka naik duluan dan menempati posisi kesukaannya. Cewek itu langsung mengeluarkan earphone, tapi Brav buru-buru mencegat tangannya. Anka menoleh dengan alis terangkat sebelah, tapi ketika melihat ekspresi kecewa Brav yang terlalu kentara dibuat-buatnya, akhirnya dia mengembalikan earphone itu sambil terkekeh dan menggeleng-geleng.

"Coba kita sekelas." Suara Brav terdengar begitu bus melaju. Ekspresinya lagi-lagi dibuat sekecewa mungkin, membuat Anka kembali tertawa geli.

"Gue bakal pusing, sih," sahut Anka cepat.

"Karena gue terlalu ganteng?" balas Brav tak mau kalah.

"Karena lo terlalu berisik." Anka berujar jujur. Dia yakin benar-benar tidak akan sanggup kalau harus sekelas dengan Brav.

"Atau mungkin karena gue terlalu manis?" ucap Brav enteng, seolah tidak pernah mendengar pernyataan Anka barusan.

Tanpa menoleh, Anka menambahkan, "Karena lo ganggu banget."

Brav berdecak sekali, lalu bersedekap. "Karena gue terlalu keren, kali."

"Ya Tuhan ...." Mendengar jawaban lemah seperti itu dari Anka, Brav tertawa. Dan tanpa sadar, tawa itu menular pada Anka, walau cewek itu merasa benar-benar kehabisan akal untuk meladeni Brav yang kelewat percaya diri.

"Seneng bisa liat lo ketawa kayak gini," ujar Brav di sela-sela tawanya.

Omongan Brav barusan membuat tawa Anka seketika berhenti. Jujur, dia juga tidak menyangka bisa tertawa selepas ini bersama Brav. Semua omongannya tadi memang apa yang dia rasakan, bukan sekadar jawaban ketus agar cowok itu menjauh. Namun, ternyata dari keberisikan yang sangat mengganggu itu, Anka menemukan letak kelucuan Brav. Kepercayaan diri cowok itu yang sudah melebihi batas membuat tawanya tidak bisa dipendam lagi.

"Gue juga seneng," Anka menanggapi tanpa banyak berpikir.

Akhir-akhir ini, Anka merasa tidak lagi terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, seperti yang biasa dilakukannya. Tanpa sadar, sikap Brav yang seenaknya membuatnya terpengaruh. Dia jadi bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan saat itu juga.

"Jadi ... apa alasan lo pusing kalau sekelas sama gue?" tanya Brav sambil mengangkat-angkat kedua alisnya.

Nada menantang dan tidak percaya dalam pertanyaan Brav tadi membuat Anka tertawa. "Jawaban gue tadi serius. Lo terlalu berisik dan ganggu."

Wajah Brav langsung mengerut. Tangannya bergerak ke dada sebelah kiri atas dan meremas seragamnya pelan. "Ah ... sakit hati gue."

Melihat itu, tawa Anka pecah. Dia tidak bisa lagi meladeni drama Brav yang sangat berlebihan. "Asli, lo sama Bo Yong mirip banget! Gue nggak kebayang kalau kalian jadi pasangan, gimana rame dan penuh dramanya kehidupan kalian."

"Ya, makanya dia sama Reksa ... dan gue sama lo." Brav memalingkan wajahnya ke Anka sambil menopangkan dagunya di kedua tangan dan menaik-naikkan alisnya.

"Oh, God ...," ujar Anka refleks, tapi tak pelak, dia tertawa juga.

Mungkin Anka tidak pernah tahu bagaimana arti tawanya barusan bagi Brav. Yang jelas, hati Brav benar-benar menghangat. Hanya karena tawa, atau bahkan senyum kecil Anka, Brav merasa sudah bisa bahagia. Dia sudah merasa cukup.

***
Hampir lupa dong aku, ga inget ini sabtu 😕

Btw maaf ya kalau ceritanya lambaatt banget, karena aku ga bisa bikin Anka tiba2 berubah, dia udah kelamaan ga membuka diri soalnya. Semoga ga bosen ya sama cerita ini ☹️

Sampai ketemu rabuu
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro