Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Memaafkan

Banyak yang minta Adira, tapi ide lagi di Sakha. Daripada maksain, mending aku ngetik Sakha dulu ya. Ini untuk gantiin semalam yang belum bisa update. Adira meski ringan ceritanya tapi kadang aku butuh banyak referensi baik bertanya langsung pada ahlinya maupun membaca, karena di Adira ada misi ingin menceritakan keindahan Islam, sesuai dengan karakter tokohnya yang mualaf. Jadi saya pribadi juga ikut belajar dalam menulis. Cerita mereka yang manis nggak hanya sekedar manis, tapi juga berisi.

Kalau di Sakha, lebih concern ke gimana menyatukan perbedaan-perbedaan atau menghadapi percekcokan rumah tangga meski berawal dari hal kecil. Dalam pernikahan, cinta saja tidak cukup, dibutuhkan kesabaran dan saling memahami antara suami istri. Dan bukan sekedar, terima risiko karena si A telah memilih B atau sebaliknya. Kalau apa-apa harus terima risiko dijamin makan ati terus dan tak nyaman, karena yang terpenting dua-duanya harus sama-sama belajar dan mengingatkan. Kalau ada yang salah atau kurang pas, dua-duanya harus sama-sama memperbaiki. Apalagi suami punya kewajiban membimbing istri. Istri yang baik juga mesti taat sama suami sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama. Cerita Sakha ini mungkin akan lebih baper dan emosional, di mana dua2nya ini sama-sama cinta tapi ego masing-masing juga besar.

Mohon maaf juga kalau selama Ramadhan, kadang aku nggak selalu update ya. Ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk hal yang lebih prioritas.

Happy reading...

Pagi ini Sakha mengawali hari dengan sholat Subuh di Masjid. Alea menyesuaikan jadwal Sakha. Ia bangun lebih pagi, sholat Subuh lalu membeli nasi kuning dan opor ayam langganannya. Selain itu ia membeli beberapa makanan ringan seperti tahu bakso, pastel, lapis, dadar gulung isi pisang coklat, serta klepon. Ia membuatkan kopi untuk Sakha dan menata nasi kuning dan opor di meja. Tak lupa menata beberapa lembar roti tawar, untuk mengantisipasi barangkali Sakha lebih senang sarapan roti.

"Sayang, sarapan dulu. Aku tadi beli nasi kuning dan opor di ujung gang. Enak, deh. Ada cemilan juga." Alea mengulas senyum terbaiknya.

Sakha menatap makanan itu datar. Sejujurnya ia lebih menyukai melihat Alea masak pagi-pagi. Entah enak atau tidak, ia akan menghargai masakan istrinya dan memakannya.

"Hari ini aku berangkat lebih pagi. Aku ingin ikut fashion week di Bandung. Ini jadi kesempatan bagus untuk mempromosikan rancanganku. Ternyata persiapannya cukup melelahkan. Aku sedang target menyelesaikan beberapa baju termasuk design untuk anak muda, kerja sama dengan distro Revan."

Penuturan panjang lebar Alea tidak begitu diperhatikan Sakha. Ia kurang setuju jika Alea sibuk berkarir dan bekerja sama dengan Revan. Dia tak peduli sekalipun seisi dunia mengatainya posesif, nyatanya Revan pernah mengukir sejarah sebagai pria yang pernah mengajak Alea ta'aruf. Itu artinya Revan pernah memiliki perasaan pada Alea. Ia bahkan berpikir jika pria itu masih menyimpan rasa untuk Alea.

"Jadi kamu berangkat pagi untuk bertemu Revan?" ucapan Sakha bernada sinis. Alea bisa merasakannya.

"Kami bertemu untuk membicarakan pekerjaan. Dan setiap kali ketemu Revan, aku pasti ngajak Gita."

Sakha mengembuskan napas kesal. Diseruputnya secangkir kopi itu. Wajahnya dingin, sedingin hatinya. Atmosfer terasa tak nyaman. Alea menyadari, Sakha selalu ketus setiap membahas kerja samanya dengan Revan.

"Kenapa kamu dingin banget? Kamu cemburu? Ya Allah, Sakha. Aku dan Revan selama ini berkomunikasi hanya untuk membicarakan pekerjaan. Kami nggak pernah komunikasi membicarakan hal yang kurang penting."

"Aku tahu kamu kerja sama bareng dia," sela Sakha segera.

"Lalu?" Alea menajamkan penglihatannya.

Sakha menghela napas, mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu kembali memfokuskan matanya pada sosok di hadapannya.

"I think he still has feelings for you," balas Sakha ringan, tanpa menatap Alea.

Alea mengernyitkan alis.

"Don't ever try to be psychic who can read what is in someone else's heart!" tegas Alea seraya meletakkan sendoknya. Rasanya ia tak lagi berselera untuk makan.

"Jangan berlagak polos, Lea. Dia pernah mengajakmu ta'aruf. Itu artinya dia pernah punya rasa sama kamu."

"Tuduhanmu itu tidak benar, Sakha. Revan menghormatiku sebagai seseorang yang sudah bersuami. Setiap kali membicarakan bisnis, aku selalu mengajak Gita. Kami nggak pernah berbincang berdua."

"Kenapa kamu meninggikan suaramu?" Sakha tak bisa menerima karena ucapan Alea terdengar seperti bentakan.

"Aku hanya ingin menegaskan semuanya, Sakha. Cemburumu sudah terlalu berlebihan." Alea menurunkan volume suaranya, tapi nada tegas masih terdengar jelas.

"Terus kamu mau bilang aku salah karena cemburu? Cemburuku bukan tanpa alasan, Lea. Dia pernah menyukaimu dan sekarang masih sering ketemu kamu. Wajar jika aku cemburu." Sakha tak kalah tegas. Ia tak bisa berpura-pura bersikap baik dan menganggap semua baik-baik saja. Dia cemburu dan tidak menyukai Revan, titik. Dia hanya ingin Alea tahu apa yang ia rasakan. Semakin ia menyembunyikan, hal itu akan semakin menyiksanya.

"Kamu masih sering ketemu Adira di kampus dan apa aku harus cemburu? Aku tidak cemburu buta seperti kamu. Aku tahu itu adalah konsekuensi pekerjaan. Aku percaya sama kamu. Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku?" Alea beranjak dan bersedekap. Sungguh, ia tak menyangka Sakha seorang yang sangat posesif dan ini membuatnya tak nyaman.

Sakha ikut beranjak. Ditelisiknya wajah sang istri dengan tatapan yang tak bersahabat.

"Kenapa harus dibandingkan dengan pekerjaanku dan Adira? Tidak bisa dibandingkan karena memang nggak sebanding. Aku ketemu Adira di kelas dan bukan untuk berbicara personal dengannya. Ada mahasiswa lain juga. Kepentinganku adalah mengajar di kelas, bukan untuk membicarakan sesuatu yang pribadi dengan Adira. Sedang kamu ketemu Revan dalam konteks yang lebih pribadi. Kamu duduk dekat dengannya, bicara lebih dekat. Satu lagi perbedaan. Adira tidak memiliki perasaan apapun padaku, sedang Revan pernah punya rasa sama kamu dan mungkin sampai sekarang juga masih menyimpan rasa."

Alea tersenyum sinis, menaikkan sebelah sudut bibirnya. Ia berjalan mondar-mandir sejenak lalu kembali menatap suaminya tajam. Pria yang sebenarnya sangat tampan di matanya, kini terlihat mengesalkan dengan segala argumen dan kecemburuan yang tidak berdasar.

"Adira memang tidak menyimpan rasa, tapi kamu pernah menyukainya dan mengajaknya berta'aruf. Sebenarnya aku yang lebih berhak untuk cemburu. Bagaimana kalau perasaan kamu goyah? Namun aku berusaha untuk percaya sama kamu dengan tidak berpikir macam-macam. Kenapa kamu tidak mencoba untuk mempercayaiku juga?"

"I'm just trying to be honest, Alea. I can't lie that I'm jealous. Aku tidak melarangmu bekerja sama dengan pengusaha fashion, asal tidak dengan Revan." Sakha menandaskan kata-katanya, tepat di kata 'Revan', gaungnya terasa lebih nyata dan tegas.

"Jadi kamu melarangku untuk kerja bareng Revan? How it can be so easy for you to say like that? Fashion week tinggal dua minggu lagi. Persiapan kami sudah 90 persen. Masa iya aku mesti membatalkan kerja sama? Bagaimana bisa bisnisku bisa sukses kalau aku plin plan dan nggak profesional? Sungguh, aku nggak ngerti sama kamu, Kha." Alea menggeleng dan memijit pelipisnya.

"Aku nggak bisa mundur, Kha. Dan kamu harus ingat, sebelum kita menikah, kamu janji nggak akan melarangku mengembangkan bisnisku. Aku tetap akan mengikuti fashion week dan tetap berkerja bersama Revan karena aku memang nggak bisa mundur. Terserah apapun penilaianmu. Yang terpenting aku nggak punya hubungan apa-apa dengan Revan selain partner kerja." Alea berlalu begitu saja dan bergegas menaiki tangga menuju kamar.

Sakha kembali duduk dan merenung semua perdebatannya dengan Alea. Dia memang berjanji untuk tidak melarang Alea berbisnis. Dia akan mendukung apapun yang dijalankan Alea selama itu positif. Hanya saja dia keberatan jika sudah menyangkut nama Revan.

******

Sakha kurang bisa fokus mengajar. Ternyata cukup berat untuk tetap bersikap profesional di saat hubungannya dan Alea sedang tak baik. Ia belum juga bisa menepis kecemburuannya. Sungguh ia tidak menyukai Revan. Apapun alibi Alea, ia tidak bisa menerima. Laki-laki tetaplah laki-laki, terlebih Revan pernah memiliki perasaan khusus pada Alea. Ia rasa wajar jika dirinya khawatir perasaan Revan semakin dalam pada Alea dan rasa ingin memiliki Alea dapat tumbuh secara alami seiring intensitas pertemuan mereka yang semakin sering.

Sakha sadar benar, istrinya berwajah cantik, tubuhnya langsing proporsional, punya bisnis yang sukses, memiliki senyum yang selalu memikat. Sebelum ia memenangkan hatinya, di luar sana ada banyak laki-laki yang pernah mengharapkan cinta Alea. Membatasi aktivitasnya mungkin akan terkesan bahwa dia mengekang Alea. Namun saat ada laki-laki dengan sederet kualitas dekat dengan istrinya meski terkait urusan pekerjaan, itu sama saja ancaman untuk Sakha. Sayangnya Alea tak bisa memahami perasaannya.

Selesai mengajar, Sakha mampir ke rumah orang tuanya. Rasanya ia rindu bicara dari hati ke hati dengan ayah dan mamanya. Moment-nya sangat pas, ketika dia tiba di rumah orang tuanya, semua anggota keluarga tengah berkumpul lengkap. Adik kembarnya, Ardi dan Ardan yang berusia sembilan tahun tengah mengerjakan PR, adik perempuannya, Kiara, yang duduk di bangku SMA sedang mengerjakan tugas sekolah. Ayah dan mamanya tengah mengobrol santai di gazebo di samping rumah.

Meski sudah menikah, nyatanya keluarga dan rumah tempat ia dibesarkan selalu menempati tempat khusus di hatinya. Ada yang mengatakan bahwa keluarga akan selalu menjadi tempat terbaik untuk pulang. Di rumah ini, Sakha merasakan kedamaian luar biasa.

"Mama bikinin es buah dulu, ya. Kayaknya panas-panas begini, seger banget kalau minum es buah." Nara mengulas senyum dan beranjak dari posisinya.

"Baiklah, cantik. Terima kasih, ya." Argan membalas senyum istrinya.

Tak aneh untuk Sakha mendengar ayahnya melontarkan pujian atau gombalan untuk mamanya. Baginya, ayah dan mamanya adalah salah satu contoh pasangan suami istri yang dapat mempertahankan keromantisan dan keharmonisan meski usia tak lagi muda. Sakha menginginkan hubungannya dan Alea juga akan semanis itu.

"Gimana kabar Alea? Dia tidak diajak ke sini?" Argan menatap wajah Sakha yang terlihat lelah.

"Alea sibuk, Yah. Dia mau ikut fashion week di Bandung dua minggu lagi. Jadi persiapannya harus matang dan dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya."

Argan mengangguk. Ia meneliti ekspresi Sakha yang seakan menyembunyikan sesuatu.

"Kalian baik-baik saja, kan?" pertanyaan Argan kali ini tersengar penuh selidik.

Sakha memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.

"Baik, Yah."

Argan tersenyum.

"Pengantin baru itu lagi masa bahagia-bahagianya sekaligus adaptasi. Dunia kita seolah berpusat pada pasangan kita dan dia terlihat selalu sempurna. Perlahan kekurangan-kekurangan pasangan akan tampak dengan sendirinya. Lalu setelah cukup lama berumahtangga, bisa saja yang di luar terlihat jauh lebih sempurna dibanding yang ada di rumah. Semua ini nggak akan terjadi kalau masing-masing menyadari bahwa saat kita memutuskan menikahi seseorang, kita tidak sedang mencari seseorang yang sempurna, tapi kita menikahi seseorang yang mau sama-sama untuk belajar. Seiring berjalannya waktu, kamu akan semakin paham arti mencintai seseorang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna."

Sakha mencerna baik-baik perkataan sang ayah.

"Apa Ayah pernah bertengkar dengan Mama? Apa yang Ayah lakukan untuk membuat suasana kembali kondusif?"

Argan tersenyum tipis. Ia sudah menduga ada riak kecil dalam rumah tangga putranya. Raut wajah Sakha tak bisa berdusta.

"Perempuan itu diibaratkan tulang. Kalau dikerasi akan patah, kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Meluruskannya harus pelan-pelan. Ayah selalu berusaha sabar menghadapi Mama saat kami cekcok. Jangan pernah mengedepankan ego dan emosi. Entah siapa yang salah, prinsip ayah, ayah akan meminta maaf lebih dulu. Meski sebagai laki-laki ada kalanya kita punya ego dan juga ingin dimengerti, tapi dalam keadaan marah atau kecewa, perasaan perempuan lebih bermain dibanding logika. Kadang ia memilih diam, bukan karena ia baik-baik saja, tapi ia sedang menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Pada saat itu sebenarnya dia mengharapkan kepekaan kita."

Sakha tercenung, memikirkan dalam-dalam apa yang ia dengar. Kenapa memahami perempuan itu sering kali begitu sulit untuknya? Lebih sulit dari soal ujian tersulit sekalipun. Tidak ada teori pasti yang menjelaskan bagaimana menghadapi perempuan. Setiap perempuan memiliki keunikan tersendiri dan juga karakter yang berbeda satu sama lain.

"Apa kita harus selalu mengalah, Yah? Ada kalanya kita juga merasa lelah jika harus terus-menerus mengalah." Sakha mengernyitkan dahi.

"Mengalah untuk kebaikan tak apa. Tapi dalam hal ini sebagai kepala keluarga kita juga harus tegas. Tegas tapi tidak menghakimi. Tegas tapi tetap kedepankan kasih sayang dan kelembutan. Hal yang paling baik itu adalah jika dua-duanya sama-sama menyadari bahwa menurunkan ego dan saling menghargai itu jauh lebih baik."

Sakha menghela napas. Salah satu memang harus ada yang mengalah. Ia berterima kasih untuk semua nasihat yang sangat bermanfaat dari ayahnya.

******

Sakha tiba di rumah pukul lima sore. Ia pikir, untuk apa pulang cepat, toh Alea juga pulang malam. Namun pemandangan sore ini membuatnya cukup terkejut. Ada makanan tersaji di atas meja. Ini bukan makanan beli, terlihat dari penampilannya yang sedikit berantakan. Ada sop jamur, tempe goreng, dan ayam goreng. Sambal tomatnya yang merah juga tampak menggugah selera. Diliriknya wastafel dapur yang terlihat agak berantakan. Ada panci, wajan, dan alat masak lain yang belum dicuci. Sisa-sisa potongan sayur sedikit berceceran di beberapa titik. Sakha bisa menebak dengan mudah, Alea pulang lebih awal dan menyempatkan waktu untuk memasak.

Gemericik air terdengar dari kamar mandi. Alea tengah mandi. Sakha penasaran ingin mencicipi masakan sang istri, tapi ia akan menunggu sampai nanti jam makan malam tiba.

Hingga waktu makan malam tiba, keduanya masih saling diam tak bertegur sapa. Suara dentingan sendok dan garpu menjadi pemecah atmosfer kebekuan diantara keduanya.

Jika harus jujur, masakan Alea tidak begitu enak di lidah Sakha, bahkan tempe gorengnya sedikit pahit karena agak gosong. Sambalnya sedikit keasinan dan rasa sop jamurnya hambar. Namun untuk menghargai usaha Alea, ia melahap masakan istrinya tanpa mengeluh.

Alea hanya makan sedikit. Ia juga merasakan rasa masakannya yang menurutnya kacau. Padahal ia mengandalkan resep dari website masakan yang sudah punya nama. Dalam benak ia bertanya, apanya yang salah? Ia sudah mengikuti petunjuk resep dengan tepat, tak ada yang terlewat. Dia memang tidak terbiasa uprek dapur. Sejak kecil, Diandra dan Rayga selalu memanjakannya dan tak memotivasinya untuk bisa memasak. Ia belajar sedikit tentang bumbu dapur justru dari Riana, ibu tirinya. Adik-adiknya dari pernikahan papa kandung dan ibu tirinya semuanya bisa memasak, meski laki-laki.

Sakha melirik jari Alea yang dibalut plester. Apa jarinya terluka? Ingin ia bertanya tapi masih sungkan. Sedari tadi Alea terdiam, enggan bersuara.

Alea masuk ke kamar lebih dulu untuk menyelesaikan gambar rancangan bajunya yang belum selesai. Sakha melirik secarik kertas yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Sakha memungut kertas itu. Isinya resep ayam goreng, sop jamur, dan tempe goreng. Rupanya Alea mencatat semua resep itu.

Ia melangkah menaiki tangga menuju kamar. Rasanya ia tak tahan lagi diam-diaman seperti ini terus tanpa ada penyelesaian. Ia melirik Alea yang tengah menggambar rancangan baju. Sakha memperhatikan jari Alea dengan seutas plester mengitarinya.

"Jari kamu kenapa?"

Pertanyaan Sakha membuatnya terkesiap. Ia tak menyadari kedatangan Sakha.

"Ini tadi keiris pisau waktu mengiris sayur," balas Alea tenang. Ia tak membuat kontak mata dengan suaminya. Tatapan itu terkadang menghunus seperti pedang tertajam.

Sakha memegang jari yang luka itu. Lagi-lagi Alea tersentak.

"Apa sakit?"

Alea tercekat.

"Sekarang udah nggak," jawab Alea masih bernada datar.

Pelukan Sakha yang tiba-tiba mendekapnya membuat wanita itu terhenyak untuk kesekian kali. Pelukan Sakha begitu erat dan tanpa terasa setitik air mata Alea jatuh menetes, menyusuri garis pipinya.

"Terima kasih masakannya. Aku suka." Sakha masih mendekap tubuh itu.

"Maaf, kalau masakanku tidak enak. Aku sudah mengikuti petunjuk resep, tapi hasilnya tak sesuai harapan."

Sakha melepas pelukannya dan menangkup pipi istrinya.

"Apapun yang kamu masak, aku suka." Sakha menatap sang istri dengan binar penuh cinta dan kerinduan. Efek bertengkar dan saling mendiamkan ternyata bisa menerbitkan rasa rindu yang teramat besar.

Sakha mengecup kening istrinya lalu menurun di kedua matanya. Terakhir ia melumat bibir istrinya singkat.

"Maafkan aku...." ucap lirih Sakha.

Alea mengangguk pelan, "Aku juga minta maaf."

Keduanya tersenyum. Sakha mencium bibirnya istrinya sekali lagi, kali ini lebih dalam seolah menyalurkan kerinduannya.

"I love you..." bisik Sakha dekat di telinga Alea.

"I love you too.."

Keduanya kembali berpelukan, cara lain untuk menceritakan kerinduan yang menggebu. Malam ini berakhir romantis dengan kehangatan yang lebih intim dan menguatkan perasaan keduanya. Cinta itu selalu memaafkan dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro