
28. Part 28
Mohon maaf ya kalau konfliknya lumayan menguras... Menguras bak mandi kali ya haha. Tapi percayalah konflik datang sepaket dengan pelajarannya. Sifat yang tidak baik dari tokoh bukan untuk dicontoh ya, tapi dijadikan pelajaran.
Malam ini ada sesuatu yang kosong ketika netra itu berkeliling ke segala sudut. Tak ada suara tawa dan tangis bayi mungil yang meramaikan rumah. Tak ada wajah cantik yang kerap mondar-mandir menggendong Ezar atau sekadar memijit kepalanya dan mengeluh pusing karena seharian lelah bekerja. Tanpa Alea dan Ezar, Sakha merasakan kehampaan. Namun egonya masih membumbung tinggi.
Sakha merenung, mengingat kembali awal pernikahannya dengan Alea yang terasa begitu manis. Momen romantisnya bersama Alea memenuhi pikirannya. Namun kekurangan demi kekurangan juga tampak nyata, perlahan-lahan mengokohkan kembali ego Sakha yang belum sirna.
Ia kembali teringat akan kesibukan Alea yang semakin menjadi juga perhatian-perhatian yang berkurang untuknya. Jika dulu wanitanya ini selalu berusaha memperhatikan segala kebutuhannya, memasak menu favoritnya, menyiapkan segala keperluannya sebelum ia bekerja, setelah pekerjaan sang istri semakin banyak, perhatian-perhatian itu jauh berkurang. Bahkan Alea tak lagi bertanya apa dia sudah makan ketika kaki wanitanya baru saja menapak rumah setelah seharian bekerja atau sekadar bertanya, bagaimana pekerjaan hari ini.
Keduanya larut dalam bentangan jarak yang tak sadar mereka bangun. Komunikasi tak lagi sesehat dulu. Curiga, prasangka, dan judgement menjadi sesuatu yang mendominasi.
Sakha bertanya-tanya, apakah wajar jika rasa lelah sesekali hinggap? Rasanya ia ingin mendinginkan kepala dan memastikan suasana hatinya sudah benar-benar tenang sebelum nanti menyusul Alea ke rumah orang tuanya dan membicarakan semua.
Manik bening itu melirik ponsel yang tergeletak. Ia ingin menghubungi Alea dan mendengar celoteh Ezar. Lagi-lagi ego menahannya.
Bunyi ponsel itu membuatnya kaget sekaligus senang. Ia tahu Alea tak akan sanggup bertahan tanpanya meski hanya semalam.
Membaca nama Kezia, rasa senang itu kembali menguap. Ia kecewa karena seseorang yang diharapkan menghubungi justru tak tampak ada tanda-tanda untuk berdamai. Justru Kezia yang mengirimnya pesan.
Sakha, Erlan akan menyusulku ke sini. Aku malas bertemu dengannya.
Sakha mengirimkan satu balasan.
Kenapa? Bukankah itu bagus? Kalian bisa bicara dari hati ke hati.
Balasan kembali datang.
Kezia : Aku tak yakin dia datang karena ingin bicara dari hati ke hati. Kami hampir tak pernah bisa bicara dari hati ke hati.
Sakha : Yang pasti dia kangen sama kamu, Kei. Makanya dia nyusul.
Kezia : Ya, kangen dengan tubuhku, bukan dengan diriku sepenuhnya.
Sakha : Wajar, kan? Suami istri punya ikatan tak hanya soal batin, tapi juga fisik. You know what I mean.
Kezia : Masalahnya ini sudah berlebihan, di luar sesuatu yang normal.
Sakha : Maksud kamu?
Kezia : Dia... Entahlah...
Sakha : Gimana aku bisa nanggepin kalau kamu nggak terbuka.
Kezia : Fantasi seksnya berlebihan, Sakha. Aku nggak nyaman. Dia selalu melampiaskan kekesalannya dengan seks yang aneh.
Sakha mengernyitkan alis. Apa masalah ranjang ini juga turut andil mengacaukan keharmonisan pernikahan temannya? Dia penasaran, tapi menahan diri. Ia masih bisa berpikir jernih, urusan ranjang itu tak perlu diumbar. Meski dalam benaknya kini berseliweran imajinasi bagaimana Erlan dan Kezia berhubungan dengan fantasi seks yang dikatakan aneh oleh Kezia. Ia kembali teringat akan aktivitas ranjangnya dan Alea yang belakangan ini mendingin karena kesibukan Alea yang tak kenal waktu. Istrinya sering kali mengeluh capek setiap kali hasrat seksualnya muncul.
Sakha tetap membalas pesan itu karena tak enak hati pada Kezia.
Sakha : Apa suamimu punya kelainan seks?
Kezia : Entah, tapi mungkin bisa dibilang iya. Dia pernah menaruh mie goreng di tubuhku dan dia melahapnya sembari menciumiku, apa itu tidak aneh? Dia kadang mengikat tanganku atau kakiku saat berhubungan. Dia terkadang ganas seperti singa kelaparan. Atau dia akan menyuruhku menjerit seperti korban pemerkosaan. Ini aneh, Sakha.
Membaca sederet kalimat Kezia membangkitkan fantasi yang sebenarnya tak Sakha harapkan akan muncul di saat Alea tak ada. Ia merutuki kebodohannya tatkala sosok Kezia dengan tubuh polosnya mengisi imajinasi bersama dengan kumparan mie di atas tubuh seksi itu. Sakha beristighfar. Tak seharusnya ia membayangkan wanita lain tanpa busana menyelinap dalam pikiran.
Kezia : Sakha? Apa kamu masih online?
Sakha : Maaf, aku...
Kezia : Kenapa Sakha?
Sakha : Nggak apa-apa.
Kezia : Apa ada masalah?
Sakha : Alea menginap di rumah orang tuanya. Ezar juga dibawa. Jujur aku kangen, tapi aku juga masih kecewa.
Kezia : Sesekali Alea yang harus mengalah. Dia sudah mengabaikanmu. Jangan bertingkah seolah-olah kamu sedang mengemis cinta dan maaf darinya.
Sakha : Dia orang yang sangat keras, Kei. Rasanya dia tak mungkin mengalah.
Kezia : Apa kamu akan mendatanginya lebih dulu?
Sakha : Entahlah...
Tak terasa percakapan mereka terus berlanjut, bahkan Kezia sempat menelepon Sakha hanya untuk menghibur Sakha dengan sebuah lagu. Suara Kezia terdengar merdu dan indah. Sakha tak menyangka teman lamanya ini piawai bernyanyi.
Sementara itu Alea tak bisa memejamkan mata. Ia mengamati wajah polos Ezar yang tertidur pulas. Ingin rasanya menghubungi Sakha dan memarahi laki-laki itu karena tak jua datang menyusulnya dan berinisiatif menyelesaikan masalah. Ia bertanya-tanya apakah Sakha memang sudah tak lagi peduli padanya? Kehadiran Ezar pun tak jua meluluhkan arogansinya.
Alea membuka kembali diary lama yang masih tersimpan di rumah orang tuanya. Sejak SMA, nama Sakha kerap menghiasi lembar demi lembar. Ia menumpahkan isi hatinya pada diary termasuk saat ia menyadari bahwa ia jatuh cinta pada laki-laki itu.
Menikah dengan laki-laki yang dicintai adalah harapan semua perempuan. Begitu juga dengannya. Di hari pernikahannya ia merasa seperti hidup di negeri dongeng. Ia gambaran putri cantik yang ada di dongeng dan Sakha adalah pangeran berkuda putih yang datang membawa cinta dan harapan akan pernikahan yang indah. Sejenak ia tersenyum kecut, indah?
Alea melihat gambar-gambar baju rancangannya semasa SMA yang masih ia simpan dalam diary. Menjadi seorang designer dan pengusaha butik adalah impiannya sejak lama. Ia belum siap melepas pekerjaannya dan ia berusaha untuk bisa menjalankan pekerjaan dan perannya sebagai istri dan ibu dengan seimbang. Sesungguhnya ia bersedih saat Sakha menuduhnya abai pada keluarga. Ia berusaha untuk bisa membagi waktu dengan baik, tapi persiapan mengikuti fashion week ke Australia memang sangat menyita waktu. Tak hanya menyiapkan baju-baju yang akan dibawa dan beberapa di antaranya belum selesai dijahit, ia juga harus mencari agensi model untuk bekerja sama. Beruntung untuk soal make up, ada salah satu produk kosmetik yang mengajukan diri untuk menjadi sponsor. Kalau tak ingat dengan mimpi-mimpinya tentu ia akan memilih mundur.
Sebenarnya ia hanya ingin sedikit pengertian Sakha. Ia ingin fokus mengikuti fashion week di Australia dan setelah acara itu selesai, ia akan mengambil waktu libur dan menyerahkan sebagian urusan butik pada Zahra. Ia akan membayar semua waktu yang terbuang bersama keluarga.
Alea memandangi wajah sang anak sekali lagi. Semua gurat wajah Sakha seolah tercetak di wajahnya. Alea tersenyum dan mengecup lembut kening bayinya. Anaknya berhak dibesarkan dalam keluarga yang utuh dan harmonis. Ia tak ingin anaknya merasakan dukanya saat mama dan papanya bercerai. Ia tak mau pernikahannya dan Sakha berakhir. Kegagalan pernikahan itu akan membekas di hati sang anak dan melukai perasaannya. Luka yang akan dibawa hingga dewasa.
Alea terpaksa berbagi cerita dengan sang mama karena ia bingung pada siapa ia harus membagi dukanya. Semua orang hanya melihat kehidupan sempurna ada padanya. Ia tak perlu membaginya pada siapa pun akan duka yang tengah menyelimuti. Hanya pada sang mama ia berkeluh kesah. Namun mamanya tak tahu akan kehadiran Kezia yang cukup mengusik dan membuatnya cemburu. Alea tak menceritakan soal ini.
Bulir bening menetes dari pelupuk mata Alea. Ekor matanya melirik ponselnya berulang. Sakha tak jua menghubunginya. Ia bertanya-tanya mungkinkah Sakha sudah lelah?
******
Esoknya Alea mendatangi butik seperti biasa. Ezar tak ikut serta. Ada Diandra yang mengurusnya.
Riana datang berkunjung di saat dirinya tengah merapikan baju-baju rancangan terbarunya. Dugaannya benar sang ibu tiri datang karena tahu permasalahan rumah tangganya dari Diandra.
"Alea, apa bunda boleh bertanya satu hal?"
Alea terdiam merasakan betapa tajam tatapan sang bunda yang tertuju padanya.
"Bertanya apa, Bun?"
"Kamu kerja, berbisnis, itu untuk siapa?"
Alea menyipitkan matanya. Ia tak tahu kenapa bundanya bertanya hal ini.
"Tentu untuk Ezar, untuk keluarga. Alea ingin memberi yang terbaik untuk Ezar."
"Memberi yang terbaik? Apa kamu merasa sudah benar-benar memberi yang terbaik untuk Ezar? Sebenarnya apa yang Ezar butuhkan dari kamu? Ezar belum paham bagaimana kecemerlangan karier kamu menjadi sesuatu yang terbaik untuknya. Terkadang yang diinginkan anak-anak begitu sederhana, Alea."
Alea terpaku. Ia cerna dalam-dalam perkataan Riana.
Riana tersenyum lalu memegang kedua tangan putrinya.
"Bunda bicara seperti ini bukan berarti bunda melarang kamu bekerja. Bukan itu. Jangan salah menafsirkan perkataan Bunda. Bunda bangga sama kamu. Kelak jika Ezar sudah tumbuh besar dan tahu akan pekerjaan bundanya, dia juga akan bangga. Tapi kamu harus ingat. Waktu yang hilang bersama Ezar tak akan tergantikan. Dia juga butuh waktumu, Alea. Begitu juga dengan Sakha. Silakan jika kamu ingin bekerja, tapi kamu harus me-manage waktu dengan baik. Jangan sampai sesuatu yang terbaik, yang ingin kamu berikan pada keluarga justru berbalik menjadi bumerang."
Alea tercenung. Ia akui ia belum bisa membagi waktu dengan baik. Ia masih keteteran mengurus segala sesuatu.
"Jangan paksakan sesuatu jika kamu merasa kesulitan, Alea. Bunda tahu, kamu ingin mengejar mimpimu. Tapi kamu juga harus tahu, peran utamamu adalah seorang ibu dan istri. Keluarga itu nomor satu. Pekerjaan, harta, materi, itu bisa lepas. Tapi ikatan darah tidak. Ezar akan terus tumbuh. Jangan sampai kamu ada di fase di mana kamu menyadari Ezar sudah tumbuh semakin besar dan kamu tak bisa lagi memeluk dan menciumnya sepuasnya karena dia sudah sibuk dengan dunianya. Jangan sampai kamu merasa kehilangan semuanya setelah orang-orang yang kamu sayang perlahan menjauh."
Kata-kata Riana menusuk-nusuk perasaannya. Tentu, ia tak ingin kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Ia tak kehilangan waktu bersama Ezar.
"Lalu untuk hubunganmu dan Sakha, cobalah bicara dengannya dari hati ke hati. Kalian hanya butuh komunikasi yang baik. Komunikasi dan keterbukaan itu sangat penting untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Jangan dibiarkan berlarut, sayang."
"Apa perempuan itu harus selalu mengalah?"
Riana tersenyum mendengar pertanyaan Alea. Tampak benar ada ego yang masih sedemikian besar di sorot matanya.
"Mengalah bukan berarti kalah. Pernikahan itu bukan medan perang, di mana ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Mengalah adalah memberi ruang pada diri sendiri dan pasangan untuk lebih mengontrol emosi dan Menurunkan ego. Mengalah artinya mengalahkan keegoisan diri. Mengalah untuk memperbaiki keadaan."
Alea bisa memahami apa yang disampaikan bundanya. Pernikahan memang kompleks dengan segala permasalahan yang juga kompleks. Ia kembali merenungi apa yang sesungguhnya menjadi visi dan misi dalam pernikahan? Ia tak ingin semua berakhir tanpa makna.
Alea memeluk Riana. Nasihat Riana begitu membekas. Untuk banyak hal ia bersyukur, sang ayah menemukan bidadari yang tepat, yang selalu bijak memandang segala sesuatu.
"Terima kasih, Bun."
"Sama-sama, sayang."
******
Alea memutuskan ke kampus Sakha tanpa memberi tahu laki-laki itu sebelumnya. Ia berencana akan mengajak Sakha bertemu di kantin dan membicarakan semuanya. Ia ingin memperbaiki hubungan yang sempat merenggang itu.
Belum jua tiba di kantin, Alea menghentikan langkahnya kala dari kejauhan ia melihat Sakha makan bersama perempuan dan tertawa begitu akrab. Diakah perempuan yang bernama Kezia?
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro