Maaf ya lama gak update. Sebulan kemarin tuh sibuk kuliah online, tugasnya seabrek sampai gak sempat nulis. Mudah-mudahan pandemi cepat berlalu dan semester depan gak kul online lagi karena rasanya malah lebih capek.
Minggu cerah menyapa pagi yang tak sesibuk biasanya. Sakha memberi pakan ikan di kolam belakang rumah. Alea baru saja memandikan Ezar. Delia memasak dan membuatkan jus untuk majikannya. Ia memilih jambu dari sekian banyak buah karena tahu sang tuan sangat menyukai jus jambu.
Sakha masuk ke dalam. Terlihat Alea tengah menyuapi Ezar di ruang tengah. Ia melirik dua gelas jus di meja makan.
"Jusnya, Pak. Biar seger diminum pagi-pagi." Delia tersenyum. Hatinya berbunga menatap sang tuan yang bahkan terlihat begitu menawan meski hanya mengenakan kaos oblong dan celana kulot.
"Makasih, Del." Sakha duduk dan meneguk jusnya hingga habis setengahnya.
Tak berhenti dengan menghidangkan segelas jus, Delia juga memotong buah-buahan dan menyajikannya di hadapan Sakha. Laki-laki itu menatap sepiring buah potong tanpa suara lalu mengalihkan tatapannya pada Delia yang mematung dengan senyum terulas.
"Bapak suka makan buah pagi-pagi, kan?" tanya Delia lembut.
Sakha menggangguk pelan, "Iya, makasih banyak," balasnya singkat. Dalam hati bergemuruh pertanyaan, ada gerangan apa Delia begitu baik. Asisten rumah tangganya ini memang kerap membantu Alea menyajikan masakan dan semua keperluannya. Namun pagi ini ia mengerjakan sesuatu yang belum pernah ia kerjakan. Biasanya Alea yang membuat jus dan menyiapkan potongan buah untuknya.
Alea menggendong Ezar lalu berjalan menuju ruang makan. Netranya tertuju pada buah yang terhidang di meja juga segelas jus dalam genggaman Sakha.
"Baru aja aku mau bikinin kamu jus. Ezar baru selesai makan," Alea melirik Delia yang berdiri di sebelah meja.
"Delia yang bikin. Tuh masih ada segelas jus buat kamu." Sakha melayangkan pandangannya pada segelas jus yang masih utuh.
"Saya lihat Ibu sibuk nyuapin Ezar, jadi saya membuatkan jus, sekalian untuk Ibu juga." Delia menunduk sembari mengangkat wajahnya sesekali.
Alea tersenyum tipis, bukan senyum lepas. Entah kenapa sejak tetangganya memperingatkan untuk berhati-hati pada Delia, ia tak bisa bersikap biasa. Terlebih ia perhatikan, pakaian yang Delia kenakan lebih modis dari sebelumnya. Terkadang gadis itu juga menyapu wajahnya dengan make up minimalis.
Alea duduk dan memangku Ezar. Ia menyeruput jus itu. Sakha tersenyum melihat Ezar yang semakin menggemaskan dari hari ke hari. Ia gendong bayi montoknya.
"Ezar tadi maemnya banyak nggak? Makin chubby aja jagoan Papa." Diciumnya pipi Ezar berkali-kali.
"Alhamdulillah makannya abis. Dia doyan banget makan." Alea tersenyum. Ezar pun tertawa kecil. Ia merasa nyaman ada di pangkuan sang ayah.
"Syukurlah. Makannya banyak kayak mamanya, ya." Sakha menimang-nimang jagoan kecilnya. Ezar terus tertawa membuat Sakha semakin gemas.
Ponsel Alea yang diletakkan di meja ruang tengah berdering. Alea berjalan menuju ruang tengah. Sementara Sakha masih sibuk becanda dengan Ezar.
Alea hanya bicara singkat di telepon. Ia kembali ke ruang makan.
"Sayang, hari ini aku harus keluar. Aku mau mencari kain bareng Zahra."
Sakha menatap Alea tajam.
"Apa nggak bisa besok lagi? Minggu itu saat yang tepat buat liburan. Aku pingin kita di rumah aja seharian, family time. Atau kita kemana, ke rumah ayah atau papa Aldebaran, atau ke tempat papa Rayga." Sakha berpikir untuk mengunjungi rumah orang tua atau mertuanya.
"Sakha, makin cepat makin baik. Besok aku ada agenda lain. Nggak apa-apa kan aku tinggal? Aku udah nyiapin makanan untuk Ezar. ASIP-ku juga masih banyak."
Sakha tercenung. Ingin ia melarang tapi takut masalah akan semakin runyam. Istrinya sering kali keras kepala. Jika sudah menginginkan sesuatu, ia tak bisa mundur.
"Aku mau siap-siap dulu, ya." Alea bergegas menaiki tangga tanpa menunggu Sakha memberi tanggapan.
Sakha kecewa, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Alea. Satu hal yang ia hindari adalah keributan. Ia tak mau berselisih dengan Alea.
Setelah Alea pergi, Ezar rewel tiada henti. ASIP yang diberikan Sakha ditolak mentah-mentah. Bayi itu mendadak tak mau minum ASIP. Sakha tahu, Ezar menginginkan ibunya. Meski ia tak bisa membaca apa yang diinginkan Ezar, tapi Sakha bisa menebak bahwa Ezar ingin tidur dalam dekapan sang mama sembari minum ASI langsung dari sumbernya.
Sakha berkali-kali menelepon Alea tapi tak ada balasan. Sakha mulai kesal sementara tangis Ezar semakin keras. Delia membantu menenangkan Ezar. Ia menggendong bayi itu dan menimang-nimang sembari terus berusaha menenangkan. Gadis itu juga mencoba menyuapkan sesendok ASIP pelan-pelan. Ezar pun luluh. Menangis terus-menerus membuatnya lelah. Perlahan ia menghabiskan satu botol ASIP.
Sakha bersyukur, Ezar akhirnya tertidur. Ia baringkan putranya di kamarnya. Sakha kembali ke ruang tengah. Sebenarnya ia begitu bosan berada di rumah. Ia berharap Alea ada di sampingnya dan bercerita banyak hal. Ia masih saja kecewa. Apalagi Alea tak balik menghubunginya.
Lamunannya buyar saat Delia melangkah ke arahnya dan menyajikan donat yang dari tampilannya saja sudah menggoda selera. Segelas teh hangat menjadi pengiring.
"Pak, saya buatkan donat dan teh. Semoga Bapak suka."
Sakha melirik sang asisten yang tersenyum lembut padanya.
"Ini kamu bikin sendiri?" tanya Sakha. Donat buatan Delia tak kalah menggiurkan dari donat yang dijual di luar.
"Iya, Pak, saya membuatnya sendiri," jawab Delia.
Sakha mencomot satu donat dan memakannya. Donat itu begitu lembut dan enak rasanya.
"Wah, enak banget donat buatan kamu. Ayo silakan dimakan juga, jangan berdiri seperti itu."
Dengan sedikit ragu, Delia menurui permintaan Sakha. Ia duduk di sofa lain dan mengambil satu donat.
"Kamu punya bakat bikin kue, ya?"
Delia tersenyum sekali lagi. Rasanya begitu canggung seiring dengan rasa kagum yang semakin berkobar untuk atasannya.
"Sejak SMA dulu, saya biasa bikin donat, Pak. Lumayan hasilnya bisa buat bantu ibu dan adik-adik. Sejak ayah meninggal, saya jadi tulang punggung keluarga."
Sakha terdiam sejenak. Gadis itu sebenarnya bisa mendapatkan pekerjaan lain selain asisten rumah tangga. Namun ia justru memilih menjadi asisten rumah tangga. Hal ini juga yang menjadi keputusan Alea menerimanya. Ia ingin membantu gadis itu dalam mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Kalau kamu mengerjakan dengan ikhlas, Allah pasti akan membalas dengan kebaikan yang lebih banyak. Kamu bisa buka pesanan donat kalau kamu mau. Saya akan beri bantuan modal."
Seketika mata Delia berbinar. Ia terharu Sakha mau membantunya berbisnis. Atasannya ini memang orang yang sangat baik dan suka membantu sesama.
"Benar, Pak? Wah saya senang sekali, Pak. Sebenarnya impian saya sejak lama itu bisa punya toko donat dan kue."
"Insya Allah nanti saya akan bantu modalnya. Keahlian kamu ini harus dikembangkan."
Delia mengangguk dengan pipi yang semakin merona. Atmosfer pun terasa sedemikian canggung. Sakha masih menikmati donat buatkan Delia, sementara gadis muda itu masih mematung. Ia mengamati sang atasan yang begitu lahap. Alea sudah jarang membuatkan Sakha cemilan. Delia menyayangkan sikap Alea yang terkadang tak begitu memperhatikan sang suami, di sisi lain ada banyak perempuan yang ingin berada di posisinya.
"Kalau kamu mau, saya bisa bantu promosi donat kamu di medsos saya. Kalau ada yang pesan, nanti saya bilang ke kamu." Sakha kembali menolah Delia yang masih membisu.
"Baik, Pak, terima kasih banyak." Wajah Delia tampak berseri-seri. Rasanya tak salah ketika ia memutuskan menerima tawaran Mbok Minah untuk menggantikannya bekerja di rumah ini.
******
Hingga siang, Alea belum juga kembali. Ia sempat menelepon, tapi hanya menanyakan Ezar dan meminta Delia untuk menyuapi Ezar makan siang. Delia melaksanakan tugasnya dengan baik. Sakha masih kecewa dengan sikap Alea. Istrinya ini bahkan tak menanyakan dirinya seolah ia tak lagi penting di mata wanita yang ia cintai.
Satu pesan WhatsApp masuk. Kezia memberi kabar bahwa ia akan pindah mengajar di universitas yang sama dengan tempat Sakha mengajar.
Moga nanti aku betah ngajar di sana, ya. Aku minta bimbinganmu.
Sakha membalas pesan Kezia. Ia turut senang teman lamanya ini akan pindah kerja di kampusnya.
Nanti kita sama-sama belajar, Kezia. Apa Erlan mengizinkan kamu pindah ke sini? Atau dia ikut pindah?
Tak lama kemudian datang balasan dari Kezia.
Erlan tak setuju, tapi aku nekat. Aku bosan karena dia terus mendominasi dan mengekangku. Sampai detik ini kami masih saling mendiamkan. Aku tak keberatan jika dia ikut aku ke Purwokerto. Dia masih keukeuh ingin bertahan di Bandung. Entah kenapa aku lega.
Sakha membaca rentetan huruf itu dengan serius. Kezia semakin terbuka menceritakan masalah rumah tangganya.
Kenapa lega? Bukankah nanti kalian akan berjauhan? Nggak enak lho berjauhan.
Datang satu balasan dari Kezia.
Iya aku malah lega karena aku nggak akan lagi terkekang. Untuk apa tinggal seatap tapi selalu diisi pertengkaran.
Sakha membalas kembali.
Saat nanti benar-benar berjauhan, kalian pasti akan saling rindu. Mungkin dengan berjauhan ini justru akan memperbaiki hubungan kalian.
Suara tangis Ezar mengagetkan Sakha. Ia segera mendekat ke arah Ezar yang tengah digendong Delia. Sakha bergantian menggendong Ezar dan menimang-nimangnya. Ia melirik jarum jam yang bergerak semakin cepat hingga tak terasa hari telah menjingga. Lagi-lagi ia kecewa pada sang istri yang seolah tak lagi ingat rumah.
******
Tatkala Alea kembali, Sakha tak menyambutnya. Alea paham benar, sang suami tengah memendam kekecewaan. Ia melangkah menuju dapur dan menyaksikan kesibukan Delia membuat donat.
"Kamu bikin donat banyak sekali?" Alea mengernyitkan alis.
"Iya, Bu, Alhamdulillah Pak Sakha bantu promo donat saya di medsos. Banyak yang pesan. Pak Sakha membantu modal untuk bisnis donat."
Alea semakin tak mengerti. Bukan dia tak ikhlas membiarkan gadis itu berbisnis dan menggunakan dapur serta alat-alat memasak di rumah itu. Hanya saja ia merasa Sakha sudah keterlaluan karena tak melibatkannya untuk urusan satu ini. Ia segera melangkah ke atas menyusul Sakha yang sudah lebih dulu ke atas.
"Sakha, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ngasih modal ke Delia buat menerima pesanan donat?"
Sakha menatap Alea datar.
"Gimana aku mau bilang? Kamu susah dihubungi. Sekalinya telepon cuma nanyain Ezar. Sejak pulang tadi kamu juga nggak nanya aku makan pakai apa, Ezar gimana makannya, rewel apa nggak. Kamu udah terlalu terlena dengan pekerjaan." Kata-kata Sakha meluncur tegas. Tak lagi ada raut ramah penuh cinta.
"Aku cuma izin sekali ini di hari Minggu, kamu udah senewen begini. Toh aku kerja juga buat keluarga. Kamu juga mengakui kan hasil kerjaku ini banyak membantu keluarga kita?"
Sakha beranjak dan mendekat ke arah Alea. Tatapannya menghunus tajam.
"Aku tahu gajiku sebagai dosen mungkin masih jauh dari penghasilanmu. Tapi sekalipun kamu nggak kerja, aku masih bisa mencukupi kebutuhanmu dan Ezar. Kamu aja yang nggak pernah merasa cukup dengan yang aku kasih."
"Kok kamu jadi nuduh yang nggak-nggak? Kapan aku merasa nggak cukup? Suami lain banyak yang ingin punya istri mandiri secara finansial, kamu justru mengeluh begini. Apa iya aku harus di rumah saja sementara aku udah membangun usahaku bahkan sejak aku belum menikah? Gimana bisa aku meninggalkan usaha yang udah aku rintis susah payah? Kamu egois!"
Sakha tersenyum miring dan mengusap wajahnya. Ia tatap Alea dengan tatapan yang lebih menghunjam.
"Kamu bilang aku egois? Apa kamu nggak bisa introspeksi? Kamu sadar nggak sih akhir-akhir ini kamu semakin sibuk sampai lupa rumah, lupa anak. Ezar sering kamu titipkan ke Bunda Riana atau Mama Diandra. Atau Delia yang akan mengurus Ezar. Padahal tugas utama kamu adalah sebagai ibu dari Ezar. Aku nggak akan menuntut kamu untuk menjadi istri yang baik untukku, tapi aku berharap kamu memprioritaskan Ezar dibanding pekerjaanmu. Kenapa kamu belum mengerti juga?"
Alea bungkam. Namun ia juga tak mau disalahkan sepihak.
"Jadi kamu ingin aku meninggalkan usaha yang udah aku rintis? Kamu ingin aku mematikan potensi yang aku miliki? Kamu lebih senang lihat aku jadi istri yang nurut, di rumah aja, dan hanya mengandalkan pemberian suami? Kamu ingin istri yang hanya tahu cara ngurus anak dan rumah? Apa bedanya aku dengan asisten rumah tangga kalau memang kamu maunya begitu."
"Astaghfirullah Lea, aku nggak pernah memposisikan diri kamu sebagai asisten rumah tangga atau mematikan potensi kamu. Aku senang kamu produktif dan punya kemampuan berbisnis yang aku akui sangat menakjubkan. Aku hanya ingin kamu lebih teratur lagi memanage waktu. Apa itu salah?"
"Capek ngomong sama kamu!" Alea meninggalkan Sakha yang masih berdiri tertegun.
Hingga malam tiba, sepasang suami istri masih bertahan dengan arogansi masing-masing. Bahkan ranjang yang bisa menjadi penyatu tatkala dua pribadi itu bersitegang kini hanya sebagai hiasan, tanpa makna.
Alea tak bisa memejamkan mata. Suara dering ponsel Sakha mengagetkannya. Ia lirik sang suami yang sudah terlelap. Ia ambil ponsel Sakha yang tergeletak di nakas.
Alea membaca satu pesan WhatsApp dari Kezia. Matanya membulat.
Sakha, aku baru tiba di Purwokerto. Alhamdulillah untuk pertama kali aku merasa benar-benar hidup. Aku pasti bisa bertahan tanpa Erlan. Sampai ketemu besok, ya.
Alea membaca semua percakapan antara Sakha dan Kezia siang tadi. Cemburu perlahan menelusup. Rupanya sang suami masih saja melayani curhatan perempuan lain. Ia berpikir Kezia tak seharusnya menceritakan permasalahan rumah tangganya dengan laki-laki lain.
Alea akan meminta penjelasan Sakha esok hari, siapa sosok Kezia dan rasanya ia tak bisa menerima apapun alasan Sakha yang melayani curhat dari perempuan lain.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro