
23. Part 23
Sakha bisa bernapas lega ketika tiba di hotel tempatnya menginap. Malam nanti, semua dosen yang diundang seminar akan menghadiri acara makan malam yang juga diadakan di restoran hotel tersebut.
Ia memberi kabar pada Alea bahwa dirinya sudah sampai. Tak ada balasan dari Alea. Ia menduga sang istri tengah menyusui Ezar, karena itu belum sempat membalas pesannya.
Sakha memutuskan untuk mandi lalu beristirahat sejenak dengan berbaring di atas ranjang.
Sakha mengganti-ganti channel televisi, hingga akhirnya nada dering ponselnya mengalun merdu. Nama "my sexy wife" terpampang di layar.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Maaf, ya, aku tadi nggak bales karena lagi nyusui Ezar. Kamu lagi apa di hotel?"
"Lagi nonton tv. Ezar udah bobo?"
"Udah. Nanti malam kamu mau makan malam, ya?"
"Iya, sayang. Oya ganti video call dong. Aku pengin lihat kamu."
"Aku belum mandi, masih berantakan."
Sakha tersenyum. Sejak melahirkan, istrinya jarang tampil rapi. Ia bisa memakluminya.
"Nggak apa-apa, sayang."
Alea menuruti sang suami. Ia mengamati Sakha di layar. Sakha mengenakan kaus santai dan celana kulot.
Sakha tersenyum menatap Alea yang mengucir rambut sekenanya dengan daster motif bunga-bunga.
"Begini kan lebih enak. Aku bisa sambil lihatin kamu." Lagi-lagi Sakha tersenyum.
Alea tersenyum. Terkadang ia merasa gemuk, tak menarik, tapi ia seolah tak punya banyak waktu merawat diri. Terkadang ia juga bergadang saat Ezar bangun malam dan minta menyusu.
"Kamu suka lihatin aku? Kenapa?" tanya Alea.
"Kamu cantik dan selalu bikin aku kangen. Andai aja Ezar udah satu tahunan, rasanya aku juga pengin ngajak kamu dan Ezar ke sini."
Alea tersenyum lagi.
"Apa aku masih cantik?"
Sakha mengangguk, "Kamu sangat cantik. Nggak ada yang berubah."
"Bukannya aku tambah gemuk?"
"Kata siapa, Alea? Kamu ideal, langsing. Aku sayang kamu apapun keadaan kamu."
"Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?" Alea mengernyitkan dahi.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu meragukanku?"
"Aku percaya sama kamu. Aku hanya takut kamu berubah setelah aku melahirkan." Alea menunduk. Kadang ada ketakutan Sakha akan berpaling karena ia menyadari ada kalinya ia tak bisa maksimal menjalankan perannya sebagai istri.
"Aku nggak berubah, Alea. Aku masih sama seperti dulu. Setelah punya anak, tentu ras sayangku bertambah sama kamu. Lihat perjuanganmu saat melahirkan membuatku semakin menghargai kamu."
Alea menyunggingkan segaris senyum, "Makasih, sayang."
Sakha pun mengulas senyum.
"Sama-sama, I love you."
"I love you too..."
Tiba-tiba terdengar tangis melengking. Ezar bangun dari tidurnya.
"Ezar bangun, udah dulu, ya sayang. Nanti sambung lagi." Alea terlihat panik.
"Iya nggak apa-apa."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Sakha merasa lebih tenang setelah berbincang dengan Alea. Rasa rindu pada putranya juga sedikit terobati kendati hanya mendengar tangisnya.
******
Malamnya Sakha menghadiri acara makan malam yang dihadiri banyak tamu undangan dari berbagai kota. Sakha mengenakan setelan jas rancangan Alea. Istrinya tak hanya piawai merancang busana muslimah, tapi juga mampu merancang baju untuk pria.
Sakha duduk di salah satu sudut dengan secangkir kopi dalam genggaman.
"Sakha..."
Sakha menoleh ke sumber suara. Ia mengernyit menatap seorang perempuan mengenakan gaun panjang dan tatanan rambut yang disanggul sederhana. Make up minimalis semakin menonjolkan kecantikan alaminya. Sakha mengingat-ingat apakah dirinya mengenal perempuan ini?
"Kamu pasti lupa sama aku, ya? Nggak apa-apa, cowok yang dulu populer di SMA mana ingat sama cewek cupu yang nggak tenar." Perempuan itu tersenyum manis.
Sakha masih terus berusaha mengingat. Dari pernyataan sang perempuan, Sakha tahu bahwa perempuan itu adalah teman SMA-nya.
"Bentar... Aku ingat-ingat dulu. Beneran aku pangling... Kamu siapa, ya?"
Perempuan itu duduk di sebelah Sakha. Ia masih tersenyum.
"Aku Kezia. Dulu kita pernah sekelas waktu kelas tiga."
Setelah perempuan itu menyebutkan namanya, barulah Sakha teringat akan sosok gadis pendiam berambut panjang yang sebenarnya cantik tapi tertutup. Sakha juga ingat dulu pernah satu kelompok belajar bersama Kezia. Bahkan Sakha sempat tertarik pada gadis itu hanya ia memilih untuk memendam ketertarikannya. Ia tak menyangka akan dipertemukan kembali dengan Kezia. Dia terlihat sangat berbeda, jauh lebih cantik dibanding ketika waktu SMA. Pipi tembemnya tak ada lagi. Kezia terlihat lebih langsing dan menawan.
"Kezia yang pendiam itu? Iya aku inget. Ya Allah nggak nyangka bisa ketemu di sini. Kamu ngajar di mana?" wajah Sakha berseri. Selalu ada rasa bahagia kala bertemu teman lama. Apalagi dia dan Kezia sama-sama dosen.
"Aku ngajar di Bandung. Aku juga nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu ngajar di Purwokerto ya kalau nggak salah?"
Sakha mengangguk, "Iya, kamu kok bisa tahu?"
"Sebenarnya aku follow Instagram kamu. Tapi kamu kayaknya nggak paham dengan instagramku. Nggak apa-apa kok."
Sakha mengeluarkan ponselnya.
"Oya? Instagram kamu apa? Biar aku follback."
"Instagramku Kezia Ardani."
Sakha segera mem-follow Instagram Kezia. Ia mengamati sejenak postingan foto Kezia bersama seorang pria.
"Ini suami kamu, ya?" Sakha masih mengamati foto pria yang tampak sangar dengan tato di lengannya. Ia tak menyangka Kezia menyukai tipe laki-laki seperti ini.
"Iya, dia Mas Erlan, suamiku. Kami menikah tiga tahun yang lalu."
"Kalian sudah punya anak?"
Raut wajah Kezia mendadak muram. Setiap ada yang bertanya tentang anak, ia selalu teringat pada kehamilannya yang pernah bermasalah hingga keguguran. Sejak itu ia belum hamil lagi dan hingga detik ini Erlan masih sering menyalahkannya atas kehilangan janin mereka. Erlan menganggapnya tak becus menjaga kehamilannya.
"Belum, kami belum punya anak."
Senyum perlahan memudar di wajah Sakha. Niatnya untuk bercerita tentang Ezar pun menguap. Ia bisa merasakan kesedihan yang mengendap di wajah Kezia.
"Baru tiga tahun, masih banyak waktu dan kesempatan. Terus usaha dan doa, nanti Allah pasti akan memberi di waktu yang tepat." Sakha tersenyum.
"Aamiin... Oya, Sakha baby kamu lucu banget, ya. Siapa ya namanya? Ee... Ee..Ezar ya kalau nggak salah?"
Sakha mengangguk, "Iya namanya Ezar. Dia lagi lucu-lucunya." Sakha menyadari Kezia sering melihat-lihat postingannya di Instagram, hingga dia hafal nama bayinya.
"Aku suka lihat foto Ezar. Kalian pasti bahagia banget ya punya bayi selucu Ezar." Kezia tersenyum lebar. Ia berharap suatu saat bisa memiliki anak yang lucu dan menggemaskan.
"Alhamdulillah, kami sangat bahagia. Anak itu anugerah. Pulang ngajar terus lihat dia senyum, ketawa, atau bahkan nangis sekalipun, rasa capek itu seolah hilang."
Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir Kezia. Ia membayangkan jika ada anak dalam pernikahan mereka, pasti pernikahannya akan terasa semakin lengkap. Hubungannya dan Erlan juga akan semakin harmonis.
"Oya kamu menginap di hotel ini? Kamu tinggal di Bandung, kan?"
Kezia menggeleng, "Aku nggak nginep. Aku pulang, kok. Aku cuma datang untuk makan malam."
"Kalau gitu kita ambil makanannya, yuk. Aku udah laper." Sakha memegangi perutnya.
Kezia tertawa, "Okay, aku juga udah laper."
Mereka beranjak dan mengambil makanan di meja prasmanan.
Selesai makan malam, Sakha mengantar Kezia ke luar hotel. Kezia mengatakan bahwa sang suami akan menjemputnya. Sakha ingin berkenalan dengan Erlan.
Mereka berdiri di depan hotel masih sambil berbincang. Keduanya bertukar nomor handphone karena Kezia hendak memasukkan Sakha ke grup perkumpulan dosen fakultas ekonomi.
Tak lama kemudian datang satu mobil berwarna silver yang berhenti di depan hotel. Seorang pria keluar dari mobil. Ia tampak terkejut melihat sang istri berdiri bersebelahan dengan seorang pria.
"Mas, ini ada teman SMA yang mau kenalan sama kamu. Namanya Sakha." Kezia tersenyum menatap Erlan dan beralih menatap Sakha.
"Kenalkan saya Sakha, teman SMA Kezia." Sakha menjulurkan tangannya.
Erlan membalas jabatan tangan Sakha. Senyum yang sangat tipis terulas. Sejatinya ia tak menyukai pria bernama Sakha itu. Ia ingat, ia pernah membaca buku harian Kezia, nama Sakha banyak sekali ia temukan di setiap lembarnya. Sakha adalah cinta pertama Kezia dan perempuan itu tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Sakha. Erlan merasa cemburu.
"Saya Erlan," balas Erlan singkat.
"Ya udah, kita pulang, udah malam," tukas Erlan.
"Kami pulang dulu, sampai ketemu besok di seminar." Kezia tersenyum ramah.
Sakha membalas senyum itu. Ia masih mematung hingga mobil Kezia benar-benar berlalu dari hadapannya.
Sepanjang perjalanan, Erlan sama sekali tak mengajak Kezia bicara. Dadanya bergemuruh rasa cemburu. Memang antara Kezia dan Sakha tidak ada hubungan apapun, tapi tetap saja ada ketakutan yang begitu besar bahwa Kezia akan meninggalkannya dan berpaling pada cinta pertamanya itu.
Setiba di rumah, Erlan masih saja membisu. Kezia yang sudah membersihkan diri dan berganti pakaian menyadari akan sikap Erlan yang berubah begitu dingin. Laki-laki itu memang terkadang dingin, tapi kali ini ada yang berbeda.
"Kenapa Mas? Kamu dari tadi diem aja?" Kezia duduk di sebelah Erlan yang tengah selonjoran di ranjang seraya memainkan ponselnya.
"Teman lama kamu ini udah menikah? Punya anak juga?"
Kezia melirik layar ponsel sang suami yang tengah berselancar di Instagram Sakha.
"Iya, dia sudah punya anak."
"Dia itu cinta pertamamu, kan?" sorot mata Erlan begitu menghunus seakan melumpuhkan setiap titik saraf Kezia. Kezia tahu, kalau sudah begini itu artinya suaminya cemburu. Erlan terlalu posesif dan itu membuat Kezia tak nyaman.
Setiap ada teman pria Kezia yang menghubungi lewat telepon untuk membicarakan pekerjaan, sang suami selalu senewen. Pria itu juga sering mengecek isi ponsel Kezia dan akan berang jika menemukan chat dari teman pria kendati hanya membicarakan urusan pekerjaan. Selain mengajar di salah satu universitas, Kezia juga kerap menerima tawaran untuk mengajar di universitas lain juga memiliki bisnis jual beli mobil bekas. Wajar jika banyak rekan bisnis dan pelanggan laki-laki.
"Itu hanya masa lalu, Mas. Dia sudah berkeluarga, begitu juga denganku. Kami murni berteman."
"Aku lihat kamu bahagia banget. Kamu seneng kan ketemu dia lagi? Awas saja jika kamu macam-macam dengannya!"
"Astaghfirullah, Mas. Kamu terlalu cemburu."
Erlan mendorong tubuh Kezia hingga terbaring. Erlan menindihnya dan mulai menjalankan aksinya melucuti pakaian istrinya. Kezia sangat paham akan kebiasaan sang suami yang selalu melampiaskan amarah dan kekesalannya dengan memintanya memuaskan hasrat seksualnya tak peduli meski Kezia belum siap.
Erlan mencium bibir Kezia rakus, memastikan bahwa hanya dia yang bisa memberi ciuman terpanas untuk istrinya. Jari-jarinya mencengkeram puncak dada sang istri dengan kencangnya hingga membuat Kezia meringis menahan sakit.
"Mendesahlah yang keras dan sebut namaku sepanjang kita bercinta. Ucapkan kalau kamu cinta aku dan aku hanya satu-satunya. Layani aku dengan liar." Erlan berbisik lirih lalu memberi banyak tanda gairahnya di sepanjang leher itu. Tak peduli esoknya Kezia akan mencari berbagai cara untuk menutupi jejak merah itu.
Kezia tak bisa mengelak. Ia harus menuruti permintaan sang suami yang memintanya menyebut nama Erlan dan mendesah keras. Erlan selalu mendominasi dan tak akan berhenti sampai dia terpuaskan. Sesekali Erlan menggigit membuat Kezia memekik. Tak ada jalan lain bagi Kezia untuk mencoba menikmati segala perlakuan Erlan meski terkadang Erlan meminta sesuatu yang aneh tatkala bercinta. Terkadang Erlan meminta Kezia bertingkah seperti korban pemerkosaan yang menjerit kala Erlan menyentuhnya atau ia akan mengikat tangan Kezia agar bisa leluasa menyentuh tubuh istrinya dan menikmati wajah pasrah Kezia. Kezia tahu, ini sesuatu yang menyimpang tapi ia tak bisa melawan karena nyatanya sang suami selalu memberi kepuasan berkali lipat setelah dirinya menuruti semua permintaan Erlan.
******
Sakha mencoba menghubungi Alea menjelang tidur. Setidaknya ia ingin mendengar suara Alea atau melihat wajahnya sebelum terlelap.
Tak ada jawaban. Berulang kali Sakha menelepon, tetap tak ada jawaban. Ia menduga Alea pasti sudah tidur. Sejak melahirkan, Alea sering sekali tidur lebih awal. Ezar terbiasa tidur sambil menyusu. Alea menyusuinya sambil berbaring. Perempuan itu akan ikut tertidur bahkan di saat Ezar masih menyusu dengan mata yang sudah terpejam.
Sakha berusaha memaklumi. Ia letakkan ponselnya di nakas. Seketika ia teringat pada pertemuannya dengan Kezia juga Erlan. Ia tak pernah menyangka, perempuan pendiam itu sekarang sudah menjelma menjadi perempuan sukses yang memiliki pekerjaan yang bagus juga bisnis yang lancar. Ia senang setiap kali mendengar teman-teman lamanya sukses dengan kehidupannya sekarang.
Sakha memejamkan mata, berharap tiga hari ini akan cepat berlalu. Dia sudah rindu pada Alea dan Ezar.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro