
16. Part 16
Happy reading...
Alea mengantar Zahra hingga ke depan pintu. Di genggaman perempuan berjilbab itu tergantung satu paper bag berisi gamis dan kerudung.
“Makasih ya, Zahra, atas kunjungannya.”
Zahra tersenyum. Ia melirik sejenak sosok pria yang ada di dalam butik dan tatapan laki-laki itu menyasar hingga ke arah dirinya dan Alea.
“Sama-sama Alea, kapan-kapan kita jalan bareng, ya. Kangen nonton film bareng sama kamu.” Zahra menggenggam kedua tangan Alea.
“Siap. Aku juga kangen jalan bareng kamu.”
“Ya, udah aku pamit dulu ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Alea masuk kembali ke dalam. Revan yang tengah melihat-lihat sepatu dan tas koleksi terbaru butik seketika menoleh Alea yang berjalan ke arahnya.
“Gimana? Kamu suka nggak model sepatu dan tasnya?” tanya Alea.
Revan mengangguk, “Suka banget. Ini modelnya anak muda banget, tapi juga ada sisi elegannya. Jadi meski dipakai oleh mamah muda atau ibu-ibu senior sekalipun, ini masih sangat pantas.”
Alea tersenyum sumringah, “Alhamdulillah kalau kamu cocok sama modelnya.”
“Oya, Lea...” Revan menimbang-nimbang sejenak. Apa tak apa jika menanyakan hal ini. Dia hanya penasaran dengan Zahra. Wajahnya bisa begitu mirip dengan mantan tunangannya.
“Iya, Revan, ada apa?” Alea memicingkan matanya.
“Ehm... Zahra itu memang asli Purwokerto?”
Alea bisa membaca ada rasa ingin tahu yang begitu besar di wajah Revan.
“Setahuku, Zahra dari kecil sudah di Purwokerto. Kalau lahirnya di Bandung. Ibunya kan asli Bandung. Ayahnya asli sini. Kenapa emangnya?”
Revan segera menggeleng.
“Nggak.. Cuma aku pernah mengenal seseorang yang wajahnya mirip banget sama Zahra.” Revan sedikit gelagapan.
Alea manggut-manggut dan tersenyum.
“Ohh... Ehem kayaknya kamu penasaran.” Alea tersenyum meledek.
Wajah Revan sedikit memerah.
“Dia itu mirip banget sama mantan tunanganku, Lea. Aku nggak berani untuk mendekati perempuan dalam waktu dekat ini. Aku pernah gagal menikah. Aku juga pernah patah hati, jatuh cinta pada perempuan yang akhirnya memilih menikah dengan laki-laki lain.” Kata-kata itu meluncur tegas. Ungkapan perasaan dari bilik hatinya yang terdalam.
Alea membisu. Ia sangat mengerti bahwa penuturan Revan barusan ditujukan untuknya. Ia tak tahu harus berkata apa.
“Oya, aku mau lihat-lihat gamis dulu, ya.” Revan tersenyum tipis, lalu melangkah menuju deretan gamis.
Alea mengamati langkah Revan sekilas lalu memperhatikan salah seorang pengunjung yang tengah memilih-milih gamis.
“Rancangannya bagus, cantik, bahannya juga adem. Saya sudah tiga kali beli gamis di sini. Kalau boleh tahu owner-nya siapa, ya? Katanya dia yang merancang. Jadi penasaran.” Seorang ibu paruh baya bertanya pada salah satu karyawati.
“Iya ini gamis hasil rancangan owner butik ini. Owner-nya ada di sana.” Salah seorang karyawati menunjuk Alea.
Alea tersenyum dan mengangguk pada pelanggan tersebut. Sang pelanggan mendekat ke arah Alea dan menatapnya takjub.
“Ini owner dan desainernya? Masya Allah, cantik banget. Pantes aja baju rancangannya bagus-bagus. Yang merancang, cantik begini.” Ibu tersebut menatap Alea penuh kekaguman.
“Ah, Ibu bisa aja. Mudah-mudahan Ibu suka sama rancangan saya.” Alea mengurai senyum manisnya.
“Saya suka banget. Sudah tiga kali saya beli baju di sini. Ngomong-ngomong Mbak masih single atau sudah menikah?” Ibu tersebut tanpa sungkan bertanya hal privasi, berharap status Alea masih single agar nanti bisa dikenalkan dengan anaknya.
“Saya sudah menikah, Bu.”
Ada kekecewaan yang tergambar di wajah ibu itu. Pupus sudah untuk memiliki menantu yang cantik dan berbakat seperti Alea.
“Wah, pasti suami Mbak, bahagia banget, ya. Punya istri yang berbakat, cantik, shalihah pula... Masya Allah...Benar-benar istri idaman.”
Alea tak membalas apapun, hanya senyum yang ia lukiskan. Tak hanya Zahra yang salah paham akan penampilan barunya, tapi juga salah satu pelanggan butiknya.
“Nanti kalau saya arisan, saya mau bilang ke teman-teman kalau butik Alea ini owner-nya cantik, shalihah, berjilbab, dan ramah banget.” Ibu tersebut tersenyum sekali lagi.
“Ibu, saya sedang belajar untuk menjadi shalihah. Saya punya banyak kekurangan,” tukas Alea.
“Semua orang punya kekurangan. Semua orang harus belajar. Tapi tidak semua orang punya kerendahan hati seperti kamu,” timpal ibu tersebut.
“Ya, sudah, saya mau pilih-pilih kerudung dulu, ya.” Ibu tersebut berjalan menuju deretan kerudung.
“Silakan, Bu. Banyak koleksi terbaru,” balas Alea ramah.
Revan yang sedari tadi mendengar percakapan Alea dan ibu paruh baya tersebut berjalan mendekat ke arah Alea.
“Apa yang dikatakan ibu itu memang benar. Kamu seperti paket lengkap. Berbakat, cantik fisik maupun hati, dan ramah.” Revan menyunggingkan senyum lalu berlalu dari hadapan Alea dan kembali memilih sepatu.
Alea mematung. Ia menyadari, hingga detik ini Revan tak henti mengaguminya. Ia berharap Revan akan menemukan perempuan lain. Mungkin ia bisa memulai menyarankan Revan untuk mengenal Zahra lebih dekat. Alea pikir mereka bisa cocok satu sama lain.
******
Hujan mengguyur dengan derasnya. Aroma petrichor menguar, semakin menonjolkan kekhasannya. Sakha mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan yang menjadi lebih licin dibanding saat belum hujan. Hari ini ia pulang lebih sore karena ada rapat dadakan untuk membahas lomba karya ilmiah mahasiswa. Di saat yang sama Alea juga memberi tahunya akan pulang telat.
Ia melihat sosok yang tak asing mematung di depan toko buku. Sakha menepi dan menghentikan mobilnya. Diturunkannya kaca jendela mobil dan ia menatap gadis itu yang tampak terkejut setelah melihat wajah sang dosen pembimbingnya.
“Lira, sedang apa di sini?” tanya Sakha yang masih duduk di dalam mobil.
“Ehm... Saya mau pulang ke kost, tapi keburu hujan. Jadi saya berteduh di sini. Sekalian tadi beli pulpen,” suara Lira terdengar sedikit terbata.
Sakha tak tega juga membiarkan gadis itu berdiri lama menunggu hujan terang. Ia membuka pintu mobil, lalu mengambil payung yang selalu ia bawa dalam mobilnya, entah hujan maupun terang. Ia turun dari mobil dengan bernaung di bawah payung. Lira terkesiap melihat langkah sang dosen menghampirinya.
“Saya antar pulang,” ucap Sakha.
Lira merasa tak enak hati.
“Nggak usah repot-repot, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Sebentar lagi hujan mungkin akan reda.”
Sakha tersenyum tipis, “Tidak merepotkan, kok. Sepertinya hujan akan lama.”
Lira masih ragu. Rasanya sangat sungkan.
“Ayo Lira, kamu ingin cepat sampai kost, kan? Ini sudah mau Maghrib."
Lira mengangguk, “Baik, Pak.”
Sakha memayungi Lira dan berjalan beriringan ke arah mobil. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dan mempersilakan gadis itu untuk masuk. Setelah itu, ia masuk dari arah yang satunya.
Sakha melirik Lira yang tampak gugup, grogi... Bahkan gadis itu merasakan debaran yang begitu kuat, tanpa mampu ia cegah.
Sakha menanyakan alamat kost Lira lalu melajukannya menuju alamat yang dimaksud. Sepanjang perjalanan keduanya lebih banyak diam. Atmosfer canggung semakin kentara. Hujan yang semakin deras menjadi backsound yang seakan menunggu pemain utama untuk berdialog. Alam pun bosan menunggu. Hingga akhirnya bunyi ponsel Lira membuyarkan kebekuan itu.
Lira mengernyit saat membaca pesan dari laki-laki bernama Respati, duda 35 tahun yang dijodohkan dengannya. Pria itu semakin berani menghubunginya sejak ibunya dan orang tua Respati sepakat untuk menjodohkan keduanya. Ia baca pesan itu.
Lira, lagi apa? Skripsinya gimana? Kata ibu kamu kemarin sempat dirombak total, ya? Besok insya Allah berangkat ke Purwokerto, mau silaturahim ke rumah Paklik. Saya ingin bertemu kamu sekalian.
Lira tersentak. Ia enggan membalas pesan itu. Setiap Respati menghubunginya, antah menelepon atau mengirim pesan whatsapp, Lira jarang membalasnya.
Sakha melirik mahasiswi bimbingannya yang membatu sementara pandangannya menyapu layar ponsel.
“Ada apa, Ra?”
Lira terkesiap. Ia menoleh sang dosen dengan raut wajah yang terlihat gugup.
“Ehm.. ini... Ada whatsapp,” Lira memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
“Kok malah kayak bingung, gitu?”
Lira mengurai senyum tipis. Haruskah ia menceritakannya?
“Saya dapat pesan dari Mas Respati, laki-laki yang dijodohkan dengan saya. Saya malas membalasnya.”
Sakha terdiam. Ia melihat ada penjual wedang ronde di tepi jalan. Tiba-tiba tercetus keinginan untuk membeli wedang ronde itu untuk buka puasa. Apalagi situasi sangat mendukung, hujan dan dingin. Sakha menepikan mobilnya dan berhenti di depan penjual wedang ronde yang berteduh di bawah atap warung kecilnya.
“Kita mampir beli wedang ronde dulu, ya untuk buka puasa. Saya ingin minum yang hangat-hangat.” Sakha mengurai senyumnya.
Lira ingin menolak, tapi Pak Dosen sudah membuka pintu mobil dan mengembangkan payung. Ia membuka pintu mobil sebelahnya dan meminta Lira untuk keluar. Lira merasa sungkan saat Sakha memayunginya dan mengarahkannya untuk berjalan menuju warung kecil itu.
Keduanya duduk saling berhadapan. Sakha memesan dua wedang ronde dan seporsi pisang goreng.
Lira semakin tak enak hati. Ini pertama kalinya sang dosen pembimbing mengajaknya naik ke mobilnya dan buka bersama.
“Kenapa kamu nggak membalas pesannya, Ra? Saya rasa kalau dia laki-laki yang baik, kamu bisa mempertimbangkan untuk menerimanya.”
Pertanyaan Sakha begitu sulit untuk Lira jawab.
“Saya... Saya tidak mencintainya. Selisih umur kami 13 tahun. Saya tak yakin mampu mengimbangi pola pikirnya. Apalagi beliau juga memiliki dua anak. Rasanya berat untuk saya menerima.”
Pemilik warung menyajikan dua porsi wedang ronde dan sepiring pisang goreng. Adzan berkumandang. Keduanya mengucap Hamdallah. Alea sebelumnya memberi tahu bahwa dia akan pulang telat, karena itu Sakha memutuskan buka puasa di luar dengan makan yang ringan-ringan terlebih dahulu. Hangatnya wedang ronde sedikit bisa menetralkan dingin yang menyergap.
“Ayah saya dan Mama tiri saya juga berselisih 13 tahun. Awalnya memang butuh adaptasi, termasuk saat Mama beradaptasi untuk menghadapi saya yang waktu itu belum bisa menerima kehadirannya sebagai ibu tiri saya. Alhamdulillah perlahan, saya bisa menerimanya dan pernikahan mereka masih harmonis sampai sekarang.”
Lira tertegun mendengar ucapan sang dosen. Tentu semua orang tidak bisa disamakan meski menghadapi permasalahan serupa.
“Jadi Bapak menginginkan saya untuk menerima perjodohan itu? Cinta tidak semudah itu dibangun, Pak. Mungkin orang pikir cinta akan hadir karena terbiasa. Tapi saya nggak yakin. Laki-laki itu sama sekali bukan tipe saya.” Lira sedikit mengerucutkan bibirnya. Ada rasa tak suka, hampir menjelma menjadi kebencian setiap teringat akan laki-laki itu.
“Memangnya dia orangnya seperti apa? Tipe kamu yang bagaimana? Terkadang cinta itu tak mengenal kriteria.”
Tangan Lira yang tengah memegang sendok dan mengaduk-aduk wedang ronde di hadapannya seketika berhenti bergerak. Matanya menatap sang dosen tajam. Bagaimana ia menjelaskan bahwa karakter laki-laki idamannya saat ini tengah duduk berhadapan dengannya.
“Tipe saya yang mengayomi, bijak, tapi jarak umurnya tidak begitu jauh. Saya suka laki-laki yang cerdas, shalih, dan bisa membimbing. Secara fisik, tak perlu terlalu tampan, asal senyumnya manis...” Wajah Lira seketika berbinar.
“Sedang Mas Respati itu... Iya sih, dia sudah matang secara umur, dewasa, dan perhatian. Tapi saya nggak nyaman dengan sikapnya. Sepertinya dia terlalu saklek, disiplin, nggak bisa memahami apa yang disuka anak muda. Secara fisik, tampang dia gahar banget, Pak, mirip karakter antagonis di sinetron-sinetron. Nggak menarik di mata saya. Cuma badannya yang tinggi besar aja yang lumayan bagus dari tampilan fisiknya. Satu lagi, dia punya brewok. Ih.... Saya paling nggak suka lihat cowok brewokan.” Lira seakan lupa, saat ini yang tengah mendengarkannya adalah dosen pembimbingnya. Ia seperti tengah berbicara dengan temannya.
Sakha tertawa pendek. Ia suka cara Lira bercerita, terlihat sisi kelucuannya. Dia lebih suka melihat mahasiswinya ceria seperti ini dibanding murung seperti yang sudah-sudah.
“Kata orang brewok itu seksi, Ra. Jadi saya rasa nggak masalah kalau kamu mencoba untuk mengenal Mas Respati,” ucap Sakha. Ia menyeruput satu sendok wedang ronde.
Lira tertawa, “Beda selera, Pak. Kalau yang suka cowok brewokan mungkin akan mengatakan seksi. Kalau yang nggak suka ya risih aja lihatnya.”
“Yang penting dia baik, kan? Dia mau membantu biaya pengobatan ibumu dan biaya hidupmu di sini.”
Lira mengembuskan napas, “Dia baik ada maunya, karena ingin menikah sama saya.”
Sakha menggeleng dan tersenyum.
“Sholat istikharah saja dan minta petunjuk. Kalau sekarang kamu merasa ingin fokus di skripsi dulu dan tak mau dipusingkan dengan perjodohan, ya sudah jangan mikirin perjodohan dulu.” Sakha melirik Lira yang termenung menatapnya.
Lira menunduk dan fokus pada semangkok wedang ronde di hadapannya. Rasanya kikuk, ditatap sang dosen sedang ia pun tengah mencuri pandang ke arah dosen tersebut.
“Iya, Pak. Saya mau fokus di skripsi dulu.”
Keduanya kembali larut menikmati makanan dan minuman yang ada di depan mereka. Sakha hanya ingin menghibur gadis itu sampai sang gadis mendapatkan semangatnya kembali. Ia tak punya niat lebih. Namun berbeda bagi Lira. Ia anggap perhatian Sakha spesial untuknya. Dia yang sudah terlanjur mengagumi sang dosen tak bisa berkelit, bahwa rasa kagum itu perlahan mendekati ambang batas untuk bisa dikatakan sebatas kagum saja... Ya panah cinta telah melesak, tepat mengenai hatinya.
******
Sakha tiba di rumah saat hujan mulai mereda. Sebelumnya ia mampir ke Masjid untuk sholat Maghrib. Ia melirik mobil Alea yang sudah terparkir di garasi. Alea sudah pulang? Binar cerah mata laki-laki itu semakin terlihat nyata. Senyum melengkung di bibirnya. Ia pikir Alea tak akan tiba di rumah lebih awal.
Ia bersemangat melangkah ke pintu dan mengucap salam. Alea yang tengah memasak sop ayam menjawab salam dengan lebih bersemangat. Ia sudah menantikan suaminya pulang sedari awal tiba di rumah.
“Sayang, kamu udah pulang? Katanya hari ini pulang telat?” Sakha meletakkan tas kerjanya di ruang tengah lalu melangkah ke dapur.
Alea yang tengah mengaduk-aduk sop ayam, mematikan kompor. Sopnya sudah matang.
“Iya, aku sengaja pulang lebih awal biar bisa masak buat kamu. Kamu udah makan berat belum?”
Sakha mencium aroma sop yang menggelitik indra penciumannya.
“Aku baru makan ringan aja di jalan. Hmm... Wangi banget masakannya. Kamu masak apa?” Sakha memeluk pinggang istrinya seraya menatap penuh cinta.
Alea mengalungkan tangannya di leher Sakha. Ia pun menatap suaminya dengan tatapan penuh kekaguman.
“Masak sop ayam. Habis ini kamu mandi, nanti kita makan sop-nya bareng-bareng. Oya udah sholat, kan?”
Sakha menyatukan keningnya dan kening Alea.
"Iya, udah tadi."
“Pingin ciuman sama kamu dulu...” Sakha merajuk manja. Tanpa Alea siap, laki-laki itu telah melumat bibir istrinya dengan rakus.
Suara kecapan menggema di seantero ruang. Sakha mengangkat tubuh Alea dengan tidak melepas ciumannya. Ia mendudukkan Alea di meja dapur. Keduanya masih berciuman seakan lupa pada gemericik hujan yang seakan mengingatkan mereka bahwa hari belum malam.
Keduanya melepas ciuman dan saling menatap dengan senyum yang tak lepas.
“I love you...” ucap Sakha.
“I love you too...” balas Alea.
“Aku mandi dulu, ya. Habis itu makan bareng,” ujar Sakha lagi.
“Siap, bos!” sahut Alea setengah tertawa.
Sakha melangkah menuju kamar. Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk ke whatsapp dari nomor asing. Sakha membaca pesan itu perlahan.
Selamat sore, apa benar ini Pak Sakha? Kenalkan saya Respati, calon suami Lira, mahasiswi bimbingan Bapak. Besok saya ada acara di Purwokerto. Bapak ada waktu tidak, ya? Jika berkenan saya ingin mengundang makan malam. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro