PROLOG
Cerita baru, dosen series hehe... Aku seneng bikin karakter tokoh utama yang berprofesi sebagai dosen. Dan aku selalu suka cerita pernikahan yang berawal dari perjodohan, seperti cerita ini. Mainstream, tapi ada kisah romantis, keluarga, persahabatan, yang ingin aku sajikan di cerita ini. Ini aku test drive. Kalau kalian suka, aku lanjut, kalau nggak minat ya pending dulu haha. Kasih voment ya, biar ramai hhehe...
Seorang gadis mengenakan piyama bergambar Keropi melayangkan pandangan pada sosok di hadapannya. Bintang Arganta Yudha, laki-laki berusia 32 tahun, tepatnya tiga belas tahun lebih tua dari sang gadis duduk terpekur dengan ekspresi wajah seperti biasanya, datar, tenang, dan misterius.
Gadis tomboy, tapi tetap cantik dengan rambut panjangnya bernama Chandragitha Nara menggenggam secarik kertas. Ini adalah malam pertamanya di Purwokerto, kota kelahiran laki-laki yang baru kemarin resmi menjadi suaminya sekaligus tempatnya menimba ilmu di bangku universitas. Tentu atmosfer terasa sedemikian aneh dan asing untuknya. Kemarin dia memang sudah tidur sekamar dengan suaminya. Tapi dalam rumah itu masih ada orang tua dan kerabatnya. Dan statusnya masih "perawan" karena laki-laki yang biasa dipanggil Argan belum menjamahnya. Nara berharap laki-laki itu tak akan pernah menyentuhnya.
Lidahnya serasa kelu. Namun, dia sudah yakin untuk membacakan poin-poin yang harus dipatuhi Argan selama mereka menikah. Nara terpaksa mengiyakan perjodohan orang tua masing-masing setelah dia terganjal kasus hukum dan terancam kehilangan segalanya. Gadis bengal itu digiring ke kantor polisi karena kedapatan bergabung dalam pesta narkoba di salah satu night club. Nara bukan pemakai, apalagi pengedar, tapi keberadaannya di situ memaksanya untuk ikut diamankan. Dari hasil pemeriksaan urine, hasilnya negatif. Tentu saja, karena ia tak pernah mengonsumsi narkoba. Namun, seperti pepatah bahwa seseorang dinilai dari siapa sahabatnya, nama baik gadis itu ikut tercoreng. Orang tua sang gadis merasa kecolongan. Dia percaya anak gadis mereka bisa menjaga diri. Kendati berat hati melepas putri bungsunya kuliah di perantauan, tapi mereka tak bisa menahan langkah sang putri yang akan berjuang meraih masa depan. Kepercayaan mereka justru dikhianati.
Ayah dan ibu Nara marah besar. Dia bersyukur memiliki sahabat lama yang tengah mencari istri untuk anaknya yang berstatus duda dengan satu anak laki-laki berusia delapan tahun. Istri sang duda meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Yang membuat semua terasa seperti kebetulan yang manis adalah sang duda bekerja sebagai dosen di universitas tempat Nara kuliah, hanya saja mereka beda fakultas.
Berharap anak gadis ada yang menjaga dengan baik selama kuliah di Purwokerto, maka orang tua sang gadis mengusulkan pada sahabat lama mereka untuk menjodohkan anak-anak mereka. Gayung bersambut. Sahabat lama mereka bersedia melamar Nara untuk putra sulungnya.
Orang tua sang gadis bersyukur dan lega karena sang anak mendapatkan seorang suami yang religius dan insya Allah bisa membimbingnya dengan baik. Mereka sudah lelah menyaksikan gaya hidup anak gadisnya yang cenderung liar, suka clubbing, dan seenaknya.
Nara tak bisa menolak karena ia tak mau mengecewakan orang tuanya kedua kali, begitu juga dengan Argan yang tak bisa menolak permintaan orang tuanya. Ia memang sempat berpikir, Nara terlalu muda untuknya. Namun, ia berharap Nara bisa mengisi kekosongan hati Sakha akan kerinduan pada sosok ibu. Ibunya meninggal saat Sakha berusia lima tahun. Meski anak itu lebih pantas dikatakan sebagai adik Nara, dibanding anak tirinya.
Nara mengembuskan napas pelan. "Pak, saya akan membacakan poin-poin yang harus Bapak patuhi."
Argan terdiam. Ia mendengar ucapan gadis yang di matanya seperti anak kecil itu dengan seksama. Sungguh ia tak menyangka, saat ini gadis yang berusia tiga belas tahun lebih muda darinya telah sah menjadi istrinya.
"Poin pertama, jangan sentuh saya sebelum saya wisuda. Saya tidak mau hamil sebelum lulus."
Laki-laki gagah dan berwibawa itu cukup tersentak mendengar penuturan istrinya.
Nara melirik suaminya sepintas. Ia akui ketampanan wajah Argan begitu menawan. Namun, ia tak mau terpikat. Seleranya bukan laki-laki yang jauh lebih tua darinya, meski dia tampak baby face sekalipun.
"Poin kedua, jangan menganggap pernikahan ini nyata. Jangan menganggap saya sebagai istri, sebenar-benarnya istri. Saya pun tak akan menganggap Bapak sebagai suami. Poin ketiga, jangan membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, saya tak suka. Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Poin kelima, Bapak jangan melarang saya bergaul dengan teman-teman dan beraktivitas di luar rumah, saya juga nggak akan melarang Bapak. Poin keenam, izinkan saya untuk menjadi diri saya sendiri. Poin ketujuh, kita akan tidur seranjang, tapi tolong jangan macam-macam sama saya." Nara menghela napas. Ada rasa lega yang seolah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.
Argan membisu, tak merespons apapun. Bisa saja ia mentahkan semua yang disebutkan Nara. Saat ini Nara sudah sah menjadi istrinya. Ada serangkaian kewajiban dan hak sebagai istri yang harus ia jalankan. Namun, Argan cukup memahami. Nara hanyalah gadis 19 tahun yang masih labil. Ia bisa membaca kondisi psikis Nara tengah berantakan, hancur lebur tak berbentuk. Siapapun akan tertekan dengan pernikahan yang tak diinginkan. Dia bisa melihat gadis itu begitu tertekan di balik pembawaannya yang terkesan sangar dan kuat. Ia putuskan untuk membiarkan Nara berbuat seenaknya mengaturnya. Paling tidak sampai kondisi psikisnya membaik.
"Boleh aku meminta sesuatu juga darimu?" Argan menatap wajah polos dan cute Nara begitu menelisik.
Nara sedikit salah tingkah. Ia berharap Argan tak meminta sesuatu yang aneh darinya, apalagi meminta haknya. Nara sama sekali belum siap dan mungkin tak akan siap sampai beberapa tahun ke depan.
"Boleh, asal jangan macam-macam," tukas Nara.
"Aku nggak minta banyak. Cukup sayangi anakku. Minimal bacakan cerita sebelum dia tidur dan kecup keningnya. Itu saja." Argan menatapnya datar. Ia beranjak dan melangkah menuju kamar.
Nara tercenung. Ia tidak begitu menyukai anak kecil. Dan sekarang ia harus terbiasa dengan kehadiran Sakha dalam kehidupannya. Nara beranjak dan berjalan menuju kamar Sakha. Nara membuka sedikit pintu kamar dan melirik sang anak yang sudah terpejam. Nara memasuki kamar Sakha yang bernuansa serba biru. Ia menutupkan selimut ke tubuh Sakha dan mengecup kening anak itu. Sakha di matanya adalah sosok anak pendiam dan tertutup. Saat pernikahan kemarin, ia terlihat datar dan lebih banyak menghampiri neneknya. Nara menduga, jauh di lubuk hati Sakha, ia tak pernah menyetujui pernikahan ayahnya dan dirinya.
Nara melirik selembar kertas yang tergeletak di meja belajar Sakha. Nara memerhatikan baik-baik gambar yang tercetak di kertas itu. Ada laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan seorang anak laki-laki di tengah-tengah. Di bawah gambar masing-masing karakter ada tulisan yang menunjukkan siapa saja orang yang ada dalam gambar. Ayah-Sakha- Ibu. Nara juga membaca satu kalimat berbunyi 'I miss you Ibu...'
Mendadak Nara tercekat. Seorang ibu tak akan pernah tergantikan di hati sang anak. Dengan hanya membaca sebaris kalimat itu, Nara bisa merasakan kerinduan Sakha yang menggila akan sosok ibunya. Hatinya bergerimis. Belum reda kesedihannya karena pernikahan yang tak diharapkan ini, muncul kesedihan lain karena sang anak yang begitu merindukan sosok ibunya dan belum bisa menerimanya sebagai bagian dari keluarganya.
******
Part pendek dulu. Lanjut nggak? hihi.. Bukan cuma cerita romansa cinta saja, tentang keluarga juga.. Bakalan bikin baper lah hehe... Dan pastinya ada pesan moral yang bisa diambil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro