Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6

Argan mengerjap. Ia membuka mata perlahan. Diliriknya jam dinding yang tergantung. Pukul setengah empat pagi. Azan belum berkumandang. Ia punya cukup waktu untuk mandi dan bersiap ke Masjid. Diliriknya Nara yang masih tertidur lelap dengan selimut menutup hingga ke dada. Argan menelisik siluet tubuh istrinya yang tercetak di balik selimut. Dia teringat ucapan Nara yang mengatakan bahwa ia terbiasa tidur hanya mengenakan baju atasan dan celana dalam. Terbersit ide nakal di kepalanya. Secara perlahan ia turunkan selimut itu untuk tahu apakah Nara hanya mengenakan celana dalam atau tidak.

Matanya terbelalak kala selimut itu tersingkap hingga ke lutut. Paha mulus Nara membuat Argan menelan ludah. Benar dugaannya, sang istri hanya mengenakan celana dalam. Merasa ada angin membelai paha dan lengannya, Nara pun mengerjap. Ia mengucek matanya. Mata indahnya perlahan terbuka. Dia yang awalnya tidur dengan posisi miring, beralih terlentang. Ia menoleh pada Argan yang sudah duduk di sebelahnya dengan senyum penuh arti, entah senyum terpukau akan kecantikannya atau senyum nakal laki-laki dewasa yang tengah mengagumi seorang wanita dan menginginkan sesuatu terhadapnya. Nara memang belum pernah pacaran. Namun ia bukan anak kemarin sore yang terlalu polos untuk tak bisa menafsirkan makna tatapan seorang pria. Ia sering melihat tatapan mesum para cowok di club yang tengah menyasar pada cewek-cewek club yang tengah menari atau duduk. Tatapan Argan saat ini mengingatkannya akan tatapan para cowok mesum di club. Nara menyadari bahwa selimutnya telah tersingkap hingga ke lutut.

Nara berteriak dan saat ia hendak menutupkan kembali selimut itu ke tubuhnya, dengan tangkas, Argan sudah mengambilnya lebih dulu.

"Mas, balikin selimutnya!" Nara berusaha merebut selimut itu, tapi Argan malah menyembunyikan di belakang punggungnya.

Tatapan tajam Argan masih saja menyasar pada tubuh indah yang sudah halal untuk ia pandangi.

"Nggak usah dipakai selimutnya, Mas suka lihat kamu gitu."

"Ih, Mas mesum. Sini balikin selimutnya." Nara berusaha mengejar Argan, Argan pun menghindar ke sudut ruangan yang lain. Ia gulung selimut itu dan ia angkat tinggi-tinggi. Nara berjinjit. Tangannya ia acungkan ke atas untuk merebut selimut dalam genggaman Argan. Badan Argan yang lebih tinggi darinya semakin menyulitkan Nara untuk merebut selimut itu.

Argan melemparkan selimut itu ke sudut ruangan yang lain. Ketika Nara mencoba melangkah menuju sudut di mana selimut itu terjerembab, Argan menarik tangan Nara kuat-kuat hingga tubuh gadis itu menghimpit tubuh Argan. Perasaan berdebar kembali menyergap, apalagi kala ia rasakan tangan Argan memeluk pinggangnya.

"Mas nyari kesempatan meluk-meluk." Nara sedikit menundukan wajahnya, tak berani menatap Argan yang tengah menatapnya begitu menelisik.

"Nggak boleh? Salah sendiri, pagi-pagi kamu sudah menggodaku." Argan tersenyum dan ia selalu menyukai ekspresi wajah polos Nara yang begitu menggemaskan di matanya. Gadis ini begitu spesial. Ia bengal, susah diatur, suka clubbing, tapi di sisi lain begitu polos, manja, kekanakan, labil, dan di suatu waktu juga bisa bersikap dewasa, bahkan juga sok dewasa.

"Mas yang menyingkap selimut, bukan Nara yang menggoda Mas." Nara merasa canggung ketika ia rasakan pelukan Argan bukannya mengendur malah semakin erat.

"Kenapa kamu menghindari tatapanku? Kamu malu atau tersipu?" Argan mengamati wajah Nara yang tertunduk.

Nara sedikit mengangkat wajahnya dan menatap wajah tenang Argan dengan kilat cahaya penuh cinta di bola matanya.

Argan tak bosan menatap wajah sang istri yang telah didominasi semburat merah. Tentu ia menginginkan sesuatu yang lebih romantis. Namun, ketika ia teringat Nara masih sembilan belas, ia mencoba menahan untuk tak melakukan sesuatu yang lebih pada gadis itu. Ia berpikir, mungkin ia harus menunggunya sampai genap 20 tahun.

"Mas mandi dulu ya...." Argan mengusap pipi Nara.

"Ehm, Nara masuk dulu aja ya, sebentar kok, cuma mau cuci muka dan gosok gigi. Aku ingat masih ada tugas yang belum selesai diketik. Aku mau nyeleseiin sebelum Subuh."

Argan mengangguk. Perlahan ia melepas pelukannya. Nara melangkah malu-malu menuju arah lemari. Tentu saja ia malu, karena ia hanya mengenakan celana dalam dan t-shirt. Ia mengambil celana pendek lalu mengenakannya. Tatapan Argan masih terpusat pada sosok istrinya yang menjadi godaan tersendiri di pagi buta ini.

******

Nara mengetik tugas makalahnya, sementara gemericik air keran dari dalam kamar mandi menggaung hingga ke luar ruangan.

"Na, ambilin handuk dong, aku lupa." Suara Argan terdengar nyaring dari dalam kamar mandi.

Nara melirik rak handuk di sebelah kamar mandi. Nara berpikir, suaminya pasti sudah tak mengenakan pakaian apa pun, karena itu ia meminta bantuannya untuk mengambilkan handuk. Nara beranjak dan berjalan mengambil handuk berwarna biru tua. Nara mengetuk pintu kamar mandi.

"Mas, ini handuknya."

Argan membuka sedikit celah. Tangan yang tengah memegang handuk, Nara julurkan hingga menelusup ke dalam celah. Argan memanfaatkan kesempatan untuk menarik tangan Nara kuat-kuat hingga tubuh Nara tertarik masuk ke dalam. Argan segera menangkapnya dalam pelukan.

Nara tersentak kaget. Ia memukul-mukul bahu Argan dengan rengekan manjanya yang minta dilepaskan.

"Lepasin Mas, ih... Mas nyari kesempatan meluk Nara terus." Nara malu sendiri menatap tubuh Argan yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana boxer.

"Bener nih dilepasin? Bukannya kamu suka kalau aku peluk?" Argan menyeringai genit. Ia dorong tubuh Nara hingga menghimpit dinding. Air shower yang belum dimatikan memandikan keduanya. Tubuh mereka basah tersiram air shower yang masih terus mengalir.

Dua pasang mata itu beradu. Argan menatap tajam kedua mata Nara, seakan tengah mencari, adakah cinta Nara untuknya? Gadis itu mungkin belum pernah mengungkapkan langsung perasaannya tapi setidaknya tangisnya yang mencekat kemarin karena rasa cemburu telah mengisyaratkan bahwa hati gadis ini telah sepenuhnya menjadi miliknya. Nara hanya masih terlalu polos untuk menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada laki-laki yang mencuri ciuman pertamanya itu.

Argan mencium bibir Nara tanpa Nara siap menerimanya. Entah suasana yang mendukung atau memang karena ia menginginkannya, Nara mampu mengimbangi serangan panas Argan yang membuat Nara tak kuasa untuk menolak. Matanya terpejam dan ia kalungkan tangannya pada leher Argan. Suara decapan menggema di segala sudut mengalahkan gemericik air yang sudah cukup berisik.

Keduanya melepas ciuman panas itu dengan napas yang memburu.

"Mas, Nara belum siap. Kalau Nara hamil gimana? Nara belum siap hamil," tanya polos Nara dengan debaran yang bertalu begitu kuat, tak menentu.

Argan tertawa kecil. "Ciuman nggak akan bikin hamil."

"Maksudnya, kalau ciuman kita berujung ke hal lain. Sepertinya Mas menginginkannya... Nara... Nara belum pernah pacaran, dan Mas adalah laki-laki yang pertama kali mencium Nara. Tapi Nara juga nggak polos-polos banget. Nara tahu gimana ekspresi laki-laki saat menginginkan lebih. Nara sering melihatnya di club, saat cowok-cowok itu menginginkan sesuatu dari pacar atau kenalan mereka. Nara udah biasa lihat orang pacaran sampai ciuman panas lalu biasanya mereka nyari pojokan, toilet, atau ke ruang karaoke untuk bisa melanjutkan aksi mesum mereka."

Argan terdiam sejenak. Seumur-umur dia belum pernah mendatangi night club dan ucapan Nara barusan membuatnya miris. Satu yang ia kagumi dari Nara adalah gadis itu sanggup bertahan untuk menjaga kesuciannya meski pergaulannya sungguh tidak sehat.

Gemericik air shower masih membasahi keduanya. Argan mengusap pipi istrinya lembut.

"Ini sisi lain dari kamu yang mungkin tak banyak orang tahu, termasuk orang tuamu. Semua menilaimu liar atau bengal. Padahal kamu memiliki prinsip yang kuat, yang tidak mudah untuk kamu jaga, sementara banyak temanmu yang tak sejalan denganmu. Mas bangga sama kamu."

Nara tersipu, terlebih lagi Argan menatapnya begitu intens.

"Nara selalu ingat nasihat Mama. Kata Mama, jadi cewek harus pintar jaga diri, jangan sampai menyerahkan kehormatan kita pada selain suami kita. Selain dosa besar karena sudah berzina, juga akan merugikan perempuan, apalagi jika sampai hamil. Bukan hanya perempuan itu yang akan menanggung aib, keluarga juga. Terus, kalau si cowok kabur, nggak mau tanggung jawab, perempuan akan semakin dirugikan. Bahkan banyak perempuan depresi karena hamil di luar nikah. Banyak berita ibu yang tega membunuh atau membuang bayi yang baru dilahirkan dari hasil hubungan gelap. Itu mungkin karena mereka depresi dan tidak bisa berpikir jernih."

Argan melengkungkan segaris senyum. "Kamu benar, Na. Aku merasa bersyukur menikahimu. Banyak sekarang ini, yang begitu menggampangkan urusan zina. Mereka menganggap hal itu adalah sesuatu yang biasa, padahal dosanya...." Ucapan Argan menggantung di ujung.

Nara mengangguk dengan gerimis dari shower yang masih aktif membasahi kedua insan itu.

"Dingin, Mas." Nara bersedekap sambil merasakan aliran air yang seolah memasuki setiap pori tubuhnya.

"Kita mandi bareng, ya. Nanti bisa langsung sholat Subuh." Argan memegang ujung t-shirt Nara dan menyingkapnya ke atas. Kedua tangan Nara mengangkat ke atas, Argan melepas t-shirt itu melewati kedua tangan Nara. Argan terpana menatap tubuh bagian atas istrinya yang hanya terbalut bra.

"Nara malu, Mas." Nara merasa sungkan. Ini pertama kali ia tampil terbuka di depan laki-laki.

"Mas udah pernah lihat kamu cuma pakai celana dalam, kan nanggung. Jadi sekarang nggak apa-apa ya kalau aku lihat kamu cuma pakai bra. Anggap aja ini latihan sebelum kamu tampil polos di depanku, Na." Argan mengulas senyum. Sungguh pemandangan di depannya begitu luar biasa untuknya, membuatnya panas dingin, cenut-cenut tak menentu. Namun, ia tak akan melakukan sesuatu yang lebih pada gadis itu karena Nara belum siap. Ia hanya ingin mandi bersama Nara, seperti Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam yang pernah mandi bersama Aisyah Radhiyallahu'anha dalam satu bejana.

"Beneran cuma mandi bareng, kan?" Nara memicingkan matanya.

Argan tertawa pendek. "Beneran. Aku nggak akan nyentuh kamu kalau kamu belum siap. Kalau nurut sama poin kesepakatan itu, aku harus sabar menunggumu sampai wisuda."

"Ehm ... lupakan aja kesepakatan itu. Mudah-mudahan Nara siap secepatnya. Sebelum Nara wisuda." Nara menatap Argan dengan pipi yang sudah bersemu merah.

Argan tersenyum sekali lagi. Selanjutnya ia mengoleskan sabun ke tubuh istrinya. Ini pengalaman yang begitu menakjubkan bagi keduanya.

Bagi Nara dan Argan, mandi bersama pagi buta ini adalah moment teromantis yang pernah mereka lalui hingga detik ini. Bahkan Argan belum pernah mandi bersama almarhumah Mareta, karena Mareta selalu menolak setiap kali Argan mengajaknya mandi bersama.

******

Pagi ini, Nara begitu bersemangat memasak. Hubungannya yang semakin membaik dengan Argan menjadi andil terbesar yang mengobarkan semangatnya untuk belajar memasak. Argan masih santai dengan kaos dan celana pendeknya karena berangkat ke kampus agak siangan. Sakha yang sudah bersiap dengan seragamnya tengah bermain lego sambil menunggu Nara selesai memasak.

"Mas ... Mas Argan...."

Argan terkesiap saat Nara memanggil namanya. Dia segera melangkah ke dapur.

"Ada apa, Na?"

"Minyaknya nyiprat-nyiprat, Mas. Nara takut gorengnya." Nara mundur, menjauh dari kompor.

Argan melirik ikan lele yang tengah digoreng istrinya.

"Sini biar aku aja yang goreng, kamu temani Sakha." Argan mengambil sutil yang tengah dipegang Nara. Ia menggantikan Nara menggoreng ikan itu.

"Ikannya nurut sama Mas. Kok nggak nyiprat-nyiprat lagi, ya?" Nara mengamati gerak cekatan suaminya.

Argan tertawa. "Iya, ikannya milih nurut sama orang yang taat aturan, bukan sama orang yang susah diatur."

Nara mengerucutkan bibirnya. "Ih, Mas nyebelin." Nara mencubit lengan suaminya.

Argan tertawa dan mengacak asal rambut istrinya.

******

Sakha melahap makanannya lebih lahap dari biasanya. Argan dan Nara saling berpandangan dan tersenyum.

"Dia suka masakanmu." Argan melirik Nara.

"Selama memasak, kayaknya baru kali ini aku masak enak, Mas." Nara melirik Sakha yang tengah meneguk segelas air.

"Sakha suka sarapannya? Hebat anak ayah, makanannya habis." Segaris senyum melengkung di bibir Argan.

"Iya, lelenya enak," jawab Sakha.

"Bilang makasih dong sama Mama," ucap Argan lagi.

"Ayah kan yang menggoreng? Bukan Nara." Sakha melirik Nara datar.

"Panggil 'Mama' sayang, bukan menyebut namanya, itu nggak sopan." Argan menekankan kata 'mama'.

Nara mengelus lengan suaminya.

"Nggak apa-apa, Mas. Jangan paksa dia. Aku yakin suatu saat dia akan memanggilku 'Mama'. Saat ini dia belum siap."

Sakha masih belum rela memanggil Nara dengan sebutan 'Mama'. Ia mengamati Nara yang menyila rambutnya ke belakang.

"Kenapa kamu nggak pakai jilbab? Semua guru Sakha yang perempuan pasti pakai jilbab. Mama juga dulu pakai jilbab. Nenek juga pakai jilbab."

Nara membeku seketika. Ia tak menyangka Sakha akan bertanya hal sefrontal ini. Belum pernah terlintas di benaknya untuk mengenakan jilbab.

"Mama nanti juga akan mengenakannya. Iya kan, Ma?" Argan melirik Nara.

Nara memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. "Iya."

"Kata ustaz, perempuan yang udah dewasa harus pakai jilbab," lanjut Sakha.

"Iya, sayang. Di surat Al ahzab ayat 59, Allah berfirman, Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Argan menambahkan.

Nara terdiam. Selama ini ia sudah sering mendengar kajian tentang kewajiban berjibab untuk muslimah. Tapi hatinya belum tersentuh untuk mengenakannya.

Mobil jemputan datang. Argan dan Nara mengantar Sakha ke depan. Pagi ini ada kemajuan berarti. Sakha mau menjabat tangan Nara tanpa disuruh Argan terlebih dahulu.

Mereka masuk kembali ke dalam setelah mobil itu melaju. Nara melangkah masuk ke kamar mandi, sedang Argan duduk di ruang tengah. Smartphone Nara yang diletakkan di meja berbunyi. Argan mengambilnya. Ada satu pesan whatsapp dari Bastian.

Hai, Na. Kenapa sekarang WA-ku jarang dibalas? Bukannya kamu bilang pernikahanmu dan Pak Argan bukan sungguhan? Kamu bilang kamu nggak cinta sama dia? Aku masih berharap kita bisa bareng-bareng suatu saat nanti.

Ada rasa kesal dan cemburu yang perlahan mengusik pikirannya. Argan membalas pesan whatsapp Bastian.

Itu dulu. Sekarang aku cinta beneran sama Mas Argan. Cinta banget pokoknya. Kamu jangan ganggu aku lagi. Kamu kan udah punya pacar.

Balasan datang lebih cepat dari yang Argan duga.

Masa secepat itu kamu jatuh cinta sama dia? Aku sama Delfina itu sebenarnya cuma iseng aja. Cintaku cuma buat kamu, nggak ada yang lain.

Argan semakin gregetan. Dia membalas kembali.

Dasar cowok gombal, jelalatan. Kamu pikir aku percaya sama kamu? Jangan ganggu aku lagi. Aku sudah menikah. Aku mencintai Mas Argan yang ganteng, baik, keren, pokoknya segalanya.

Nara berjalan ke arah Argan. Laki-laki itu terperanjat dan langsung meletakkan smartphone itu di meja. Ia belum sempat menghapus chat-nya dan Bastian. Nara menaruh rasa curiga. Ia buka smartphone-nya. Saat ia membuka aplikasi whatsapp, benar saja ia menemukan chat aneh dirinya dengan Bastian. Dia sudah menduga, Argan yang mengirim balasan itu pada Bastian. Tapi kali ini Nara tidak marah, ia justru tertawa.

"Mas Argan yang ganteng, baik, keren, dan segalanya?" Nara tertawa sekali lagi.

"Itu memang fakta, 'kan? Bastian itu nggak tahu diri banget ya. Udah tahu kamu udah nikah, masih saja mengganggu." Argan memasang tampang kesalnya.

"Dari awal kuliah, dia sudah mengejarku," sahut Nara sembari mengamati wajah kesal sang suami. Entah, kadang ada kepuasan tersendiri kala Nara menemukan gurat-gurat kecemburuan yang terlukis di raut wajah sang suami.

"Hmm, kasian amat, ngejar tapi nggak ditanggapi," balas Argan sedikit ketus.

"Tapi dia ganteng, kan, Mas? Di kampus dia cowok the most wanted yang diinginkan banyak mahasiswi." Nara sengaja memanasi Argan.

"Preettt ... gantengan Mas Argan lah." Argan mengibaskan kerahnya.

Nara tertawa. "Mas cemburu ya?"

Argan membelalakan matanya, "Cemburu? Ngapain cemburu? Nggak penting cemburu sama si Bastian yang playboy itu."

"Halah ngaku aja kalau Mas Argan cemburu." Nara semakin bersemangat meledek suaminya.

"Ya, okay deh. Tapi setidaknya Mas nggak sampai nangis-nangis sesenggukan."

"Ih, Mas nyindir nih."Nara mencubit perut suaminya.

"Aoo ... kamu sukanya nyubit-nyubit mulu. Mas cium baru tahu rasa kamu."

"Mau dong dicium," Nara mencoba sedikit agresif.

"Beneran, nih?" Argan langsung saja mencium bibir istrinya dengan menggebu-gebu, membuat Nara terhempas di sofa. Posisi yang menguntungkan bagi Argan untuk menindih tubuh istrinya dan terus menciumi Nara tanpa ampun.

Ting tong ....

Suara bel memecah keheningan. Keduanya melepas ciuman dengan deru napas yang masih berkejaran. Nara mengelap bibir Argan dan merapikan rambut suaminya.

"Siapa yang datang ya, Mas?"

"Entahlah, aku ke depan dulu, ya." Argan bangun dari posisinya dan berjalan menuju pintu depan.

Argan sedikit terkejut ketika melihat Lusi berdiri mematung di depan pintu dengan senyum tipisnya.

"Lusi, apa kabar?"Argan sudah lama tidak bertemu dengan Lusi, sahabat dekat almarhumah Mareta.

"Aku baik, Argan. Kamu apa kabar?" Lusi mengerlingkan senyum yang seolah menyimpan sesuatu.

"Alhamdulillah, aku juga baik. Ayo masuk." Argan mempersilakan Lusi untuk duduk.

"Argan, aku nggak akan lama di sini. Aku hanya ingin menyerahkan sesuatu. Kemarin aku beres-beres lemari buku. Aku menemukan novel Mareta yang aku pinjam sekitar sebulan sebelum Mareta meninggal. Aku kaget. Aku lupa pernah meminjam novelnya. Mungkin catatan yang terselip di dalam novel ini bisa menjadi petunjuk. Aku tak memindah catatan itu. Kertas kecil itu masih terselip di halaman yang sama saat pertama kali aku temukan. Aku juga berusaha untuk mencari tahu. Dan aku mohon, jangan ceritakan penemuanku ini ke orang lain, sebelum kita mendapatkan jawabannya."

Lusi meletakkan sebuah novel di atas meja. Argan terperangah, antara shocked, kaget, tapi juga lega karena ada satu petunjuk yang akan mendekatkannya pada jawaban yang tengah ia cari. Argan melirik novel itu. Argan ingat, ia menemani Mareta waktu membeli novel tersebut di sebuah toko buku. Tangannya gemetar kala menyentuh novel yang cover-nya berwarna biru muda. Beribu tanya berkecamuk. Sejuta rasa penasaran bergemuruh. Hingga detik ini ia masih mencari jawaban. Dan kini salah satu petunjuk hadir. Ada rasa yang bergejolak, yang tak sanggup ia deskripsikan kala jari-jarinya membuka lembaran-lembaran itu sampai secarik kertas melintas di kedua matanya.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro