Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 33

Udah ikutan PO belum? Hehe. Buka di part “OPEN PO” di cerita MBA ya untuk info selengkapnya.

Nara mematut diri di cermin dan meneliti semua yang dikenakannya. Gamis, kerudung, semuanya sudah terlihat rapi. Hari ini Argan dan Sakha akan datang mengunjunginya. Mereka berencana untuk mengunjungi objek wisata di Cilacap.

Cherry memperhatikan sahabatnya dengan senyum tersungging di bibirnya.

“Udah cantik, Na. Pak Argan pasti bakal terpesona.”

Nara tersenyum menanggapi ledekan Cherry.

“Bisa saja, kamu Cher.” Nara tertawa pendek.

Suara smartphone mengagetkan keduanya. Cherry mengangkat smartphone-nya dan membaca apa yang di layar. Ia meletakkan smartphone itu kembali di atas kasur. Sejak bermasalah dengan Layla, Cherry bertukar tempat dengan Dita. Dita pindah ke kamar sebelah, Cherry menempati kamar yang sama dengan Nara.

“Kenapa cuma dibaca aja, Cher? Kayaknya tadi ada WhatsApp ya? Mendadak muka kamu jadi cemberut gitu.”

Cherry tersenyum kecut, “Nggak apa-apa, Na. Emang sengaja nggak aku balas. Mas Guntur belakangan ini sering kirim WA. Entah minta maaf karena nggak peka dan nggak tahu soal perasaanku, atau WA apapun. Cuma aku malas balasnya.”

Nara terdiam sesaat. Ia menatap Cherry tajam.

“Tapi kasian juga, Cher, nggak dibalas. Kemarin Mas Guntur lewat di depan rumah ini, matanya merhatiin terus ke arah teras. Jangan-jangan nyariin kamu kali, ya.”

Cherry menaikkan sebelah sudut bibirnya, tersenyum miring.
“Bukan nyari aku, tapi nyari Layla. Dia kan suka sama Layla.”

“Yakin? Kadang perasaan ke teman justru lebih nggak enak dibanding ke orang yang disuka. Artinya Guntur lebih nggak enak sama kamu dibanding ke Layla. Toh dia nggak pernah bilang langsung ke Layla akan perasaannya, kan? Dia malah terus ngubungin kamu. Artinya dia benar-benar merasa bersalah. Kenapa kamu nggak membalasnya? Cukup kamu balas memaafkannya, mungkin dia nggak akan mengusikmu lagi dengan pesan-pesan whatsapp-nya.”

Cherry terpekur. Ia memang sengaja menjauh dari Guntur. Semua pesan whatsapp Guntur tidak ada yang dibalas.

“Aku memang sengaja menghindari dia, sih. Sebenarnya dia nggak salah. Sebelumnya dia nggak tahu aku suka dia. Dia ingin berteman denganku meski ada niat ingin mengorek informasi soal Layla juga. Aku ke-GR-an mengira dia suka aku. Sekarang dia merasa bersalah karena jelas aku patah hati. Cinta nggak bisa dipaksakan, kan? Mungkin aku aja yang belum bisa bersikap dewasa. Mas Guntur nggak salah kalau memang dia jatuh cinta sama Layla. Aku nggak punya hak untuk melarang apalagi marah. Tapi aku kesannya malah kayak marah ke dia.” Cherry mengembuskan napas pelan. Ia melirik Nara dan tersenyum padanya.

“Dipikir-pikir aku kekanakan, ya, Na? Jujur aku nggak tega juga sama Mas Guntur. Setiap kita papasan, kayak waktu aku ke pasar, dia lihatin aku dalem banget, mukanya memelas gitu. Terus pas kemarin, dia minta waktu sebentar untuk bicara, aku nggak mau. Kayaknya aku jahat banget, ya?”

Nara terdiam sesaat. Ia tahu sahabatnya ini masih sangat menyukai Guntur. Hanya saja dia ingin melindungi hatinya agar tak jatuh kedua kali. Dia juga merasa tak enak hati pada Layla. Katanya Layla yang disukai Guntur, tapi nyatanya Cherry yang terus-menerus dikejar. Cherry pasti bingung menanggapi sikap Guntur.

“Aku nggak berani menilai, Cher. Kamu lebih tahu bagaimana menentukan sikapmu.” Nara mengulas senyum sekali lagi.

“Na... Nara...”

Panggilan dari Siska membuat Nara sedikit tersentak.

“Iya, Sis.”

Sosok gadis bermata bulat muncul dari balik pintu, “Suami sama anakmu baru aja nyampai tuh.” Siska mengerlingkan senyum terbaiknya.

Nara tersenyum lebar, “Wah mereka sudah sampai. Aku keluar dulu ya teman-teman.” Nara beranjak dan keluar kamar. Hatinya seperti taman yang ditumbuhi bermacam bunga. Rasanya begitu membahagiakan dikunjungi oleh orang-orang terkasih.

Begitu melihat Nara melangkah keluar, Sakha memekik girang.

“Mama...”

“Sakha...”

Ibu dan anak itu berpelukan menyalurkan kerinduan. Sakha merindukan kehadiran Nara dengan segala hal yang bisa dilakukan mama muda itu. Memasak, membuat bento, membuat mainan, serta siap siaga menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Nara juga merindukan kehangatan rumah, kelucuan Sakha, dan romantisnya Argan.

“Hari ini ayah ngajak kita jalan-jalan. Kata ayah kita bakal mengunjungi Teluk Penyu dan Benteng Pendem.” Binar mata Sakha terlihat berkilatan. Senyum tak lepas dari bibirnya.

“Iya, kalau Mama sudah siap, mending kita berangkat sekarang.” Argan menaikkan alisnya.

Nara mengangguk, “Ayo...”

Keluarga kecil itu melaju menuju destinasi wisata yang sudah direncanakan Argan sebelumnya. Bastian sudah memberi Nara izin, toh program-program mereka sudah selesai dikerjakan. Masa KKN mereka hanya tinggal tiga hari lagi.

Sepanjang jalan, Sakha dan Nara bernyanyi-nyanyi. Mata Sakha awas mengamati luar jendela. Argan tersenyum, melirik sang istri dan putranya yang terlihat begitu ceria.

“Mama nggak sempat nyiapin bekal tadi.” Nara sedikit mengerucutkan bibirnya.

“Nggak apa-apa. Nanti kita beli saja. Kita makan di luar. Namanya juga piknik. Kita juga nggak sering-sering makan di luar,” jawab Argan.

“Mama KKN tiga hari lagi ya, Ma?” tanya Sakha senang.

Nara mengangguk, “Iya, sayang. Setelah itu mama akan lebih banyak di rumah.”

“Horee... Nanti Sakha dimasakin lagi, dibikinin mainan lagi.” Sakha tersenyum lebar.

Nara mengacak rambut Sakha, “Iya, mama seneng banget sebentar lagi kita kumpul lagi. Jauhan sama anak itu nggak enak.”

“Kalau sama suami gimana?” Argan melirik istrinya.

Nara tertawa, “Sama-sama nggak enak.”

Argan tersenyum. Tentu, ia begitu merindukan Nara. Tidak mudah menahan rindu selama hampir sebulan ini. Kerinduan dengan pasangan halal itu terasa begitu menyiksa dan ingin cepat-cepat diobati. Dia adalah bagian dari hidupnya, separuh nyawanya, sebelah sayapnya, yang jika tak ada dirinya, sebagian dirinya seolah hilang.

Setiba di pantai Teluk Penyu, Sakha begitu antusias melihat hamparan pasir yang luas beserta panorama indah di sekeliling pantai. Ia bersemangat sekali lari-lari kecil di sepanjang bibir pantai, tentu saja dengan pendampingan Argan. Laki-laki 32 tahun itu tak sekalipun melepas pegangan tangannya.


Sakha berteriak riang saat air ombak menyapu bibir pantai dan membasahi kakinya. Nara tak ingin menyia-nyiakan moment kebersamaan mereka. Ia mengabadikan kebersamaan suami dan anaknya dalam kamera smartphone-nya.

Mereka juga memanfaatkan kesempatan untuk berjalan di jembatan yang menjorok hingga ke tengah lautan. Selanjutnya mereka bermain di pantai, membuat istana pasir. Puas bermain di laut, mereka melanjutkan perjalanan ke Benteng Pendem yang masih satu lokasi dengan Teluk Penyu. Sebelum memasuki area Benteng Pendem, mereka sempat membeli kaos untuk Argan dan Sakha, sedang Nara membeli satu topi lebar karena cuaca begitu terik.

Masuk ke area Benteng Pendem, Sakha terpana dengan arsitektur Benteng Pendem yang kental dengan gaya kolonial.

“Kayak sedang berpertualang ke zaman penjajahan ya, Yah.” Sakha tersenyum lebar. Imajinasinya berkelana ke masa-masa penjajahan Belanda dalam buku-buku yang pernah ia baca. Apalagi setelah mendengar penjelasan Nara tentang sejarah Benteng Pendem. Sebelumnya Nara membaca banyak artikel tentang Benteng Pendem karena ia sudah sangat paham dengan karakter Sakha yang banyak bertanya.

Nara menjelaskan bahwa Benteng Pendem pertama kali dibangun pada tahun 1816. Menurut artikel yang Nara baca, sekitar 40 persen seluruh bangunan Benteng Pendem di atas lahan seluas 6,5 hektar itu belum sepenuhnya tergali. Bangunan Benteng Pendem dikelilingi parit dengan jembatan beton yang melintang di atasnya di sisi timur. Di bawah jembatan terlihat banyak anak berenang. Wisatawan yang berkunjung bergantian melempar koin ke parit di mana ada anak-anak yang sedang berenang. Anak-anak tersebut berebut koin-koin yang dilempar. Sakha tak mau ketinggalan melemparkan koin ke arah anak-anak yang beberapa di antaranya tampak sepantaran dengannya.


Satu hal yang begitu menarik di mata Argan adalah, banyaknya bangunan ruang kosong berjajar dengan lubang pintu dan jendela yang kecil. Suasana dalam lorong juga gelap dan pengap. Bangunan tersebut disinyalir sebagai penjara. Sebenarnya ada banyak ruang di Benteng Pendem yang bukan hanya digunakan sebagai penjara, tapi untuk hal lain juga. Banyak yang belum bisa diidentifikasi. Beberapa yang bisa diidentifikasi adalah barak untuk tentara, klinik pengobatan, dan gudang amunisi senjata. Yang membuat Argan kagum adalah bangunan Benteng Pendem terlihat begitu kokoh meski sudah berabad-abad lamanya. Ia antusias mengamati peninggalan bersejarah yang harus dilestarikan karena bangunan ini memiliki nilai historis tinggi dan menjadi salah satu kekayaan bangsa.

Sakha tak mau ketinggalan untuk mengitari parit dengan mengayuh sepeda air. Mereka bertiga menaiki sepeda air berbentuk bebek dan melaju mengelilingi parit. Tawa renyah terdengar nyaring. Setiap moment bersama keluarga itu selalu hadirkan keceriaan dan kebahagiaan. Rasanya Nara tak ingin moment ini cepat-cepat berlalu. Ia bersyukur karena Allah telah mengirim dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Satu bagian terbaik dalam perjalanan hidupnya adalah menikah dengan Argan dan menjadi ibu untuk Sakha.

Puas menghabiskan waktu di Benteng Pendem, mereka mampir ke salah satu restoran untuk mencicipi aneka seafoods, tak lupa membeli beberapa bungkus untuk Pak Kades dan keluarga serta teman-teman Nara. Argan juga membeli kerupuk tengiri untuk oleh-oleh yang akan dibagikan untuk bapak ibunya serta orang  tua Mareta.

Hingga pulang ke rumah Pak Kades, wajah-wajah itu masih terlihat ceria, seolah tiada lelahnya setelah berlarian di sepanjang bibir pantai dan mengitari Benteng Pendem.

Saat tiba di rumah Pak Kades, semua anggota tim Nara tengah berkumpul. Mereka memekik senang mendapat banyak oleh-oleh dari Argan. Pak Kades dan Bu Kades tengah pergi ke tempat hajatan di desa sebelah. Sakha bergabung bersama teman-teman Nara. Mereka menyambut senang kedatangan Sakha, terutama Cherry dan Dita yang sangat menyukai anak-anak.

Mendadak Argan merasa berat meninggalkan Nara untuk kembali ke Purwokerto. Sejak bertemu Nara pagi tadi, dia belum menemukan kesempatan untuk sekedar mencium istrinya. Rasanya rugi menyambangi Nara di kampung yang lokasinya agak pelosok ini tapi tak mendapat apa-apa dari istrinya, minimal ciumannya. Sebagai laki-laki dewasa yang sudah beristri, wajar baginya merindukan kehangatan di ranjang bersama Nara. Memang waktu dan situasinya tak tepat. Namun ia ingin mencari celah untuk bisa mencium Nara. Satu ide tercetus di kepala. Ia meminta Nara mengantarnya ke kamar mandi. Semua orang tengah berkumpul di depan. Pak Kades dan Bu Kades tengah pergi hajatan, Argan rasa ini kesempatan yang tepat.

Nara mengantar Argan ke belakang. Bukannya ke kamar mandi, Argan justru bertanya di mana kamar Nara. Tanpa curiga, Nara membuka pintu kamar. Langsung saja, Argan menarik tangan Nara untuk masuk ke dalam kamar. Pintu tidak tertutup sepenuhnya, hanya tersisa celah kecil. Argan mendorong tubuh istrinya hingga mepet ke salah satu sudut. Argan mencumbu bibir Nara penuh gairah.

Keduanya saling melumat dan memeluk seolah lupa mereka tengah berada di rumah orang. Argan melepas ciumannya dan menatap Nara dengan gempuran napas yang memburu.

“Aku kangen banget sama kamu... Akhirnya dapat kesempatan buat nyium kamu.” Argan berbisik lirih agar suaranya tak terdengar sampai luar.

Nara tersenyum. Jari-jarinya menyapu bibir suaminya. Ia akui soal mencari kesempatan dalam kesempitan, Argan terkadang begitu ahli.

“Nara juga kangen banget. Tapi ini di rumah orang, Mas. Tiga hari lagi Nara selesai KKN. Kita juga mau liburan honeymoon...Ditahan Mas...”

Argan kembali mencium bibir ranum Nara dan menyesapnya dalam-dalam. Rasanya sulit untuk mengontrol diri, tapi ia juga tahu, situasinya sangat tidak memungkinkan.

Mereka kembali melepas ciuman dan beradu pandang. Mata Argan melirik ke bagian dada sang istri yang tertutup kerudung. Ia menyingkap kerudung istrinya dan membuka kancing gamis yang dikenakan Nara.

“Mas...” Nara berusaha mengingatkan Argan untuk lebih bisa menahan diri.

Tangan Argan sudah merogoh ke dalam bra tanpa Nara bisa mencegahnya.

“Cuma pingin “mimi” sebentar aja....” Argan menyeringai.

Nara melongo, “Astaghfirullah....Mas...”

Kehangatan yang terbangun sebentar itu harus buru-buru diakhiri karena keduanya sadar sudah terlalu lama di kamar, takut teman-temannya curiga. Kalaupun curiga, mereka pasti bisa memaklumi, sudah pada gedhe. Termasuk para pembaca juga bisa memaklumi.

Akhirnya tiba juga Argan dan Sakha berpamitan pulang ke Purwokerto. Wajah Nara mendadak pias dan matanya masih awas mengikuti ke arah mana mobil itu melaju meninggalkan pelataran. Bahkan Sakha masih sempat membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada sang mama. Nara membalas lambaian tangan Sakha dengan rasa sedih yang tertahan. Berpisah dengan keluarga meski untuk sementara selalu hadirkan perasaan yang bergejolak, tak menentu. Begitu berat arti sebuah perpisahan.

******

Foto-foto objek wisata dari google ya. Aku ada sih cuma sedikit dan aku simpan di laptop, agak males update via laptop coz suka lemot, males juga ambil fotonya dan dipindah ke hp hehe. Dua objek wisata itu terkenal di Cilacap dan aku udah ke Teluk Penyu beberapa kali, ke Benteng Pendem lebaran tahun kemarin. Rumahku jauh dari pantai, jauh dari kotanya hehe.

Cerita ini insya Allah sebentar lagi tamat. Untuk kalian yang ingin sekuel, pilih yg kalian inginkan :
1.Sekuel Argan dan Nara setelah Sakha punya adik.
2.Sekuel Sakha, gak cuma ada Alea, tapi ada Adira, anak Bayu dan Firda. Adira ini gadis istimewa dan terpikir untuk membuat cerita tentang dia, karena karakternya yg inspiratif dan tangguh.

Cuma aku ga janji cepet2 merilis sekuel coz habis Argan tamat, aku punya PR menamatkan MBMS dulu.

Untuk Cherry dan Guntur, bapernya mereka  akan  berlanjut  dan mungkin akan aku tambahkan sebagai extra part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro