Part 23
Maaf ya lama nunggu hehe. Aku kasih bonus coretanku haaha. Menggambar/melukis itu hobi selain nulis. Kalau ada free time dan ide lagi stuck, biasanya gambar atau coret2 biar pikiran segar lagi.
Happy reading ❤️
Argan ingin tahu juga apa yang ingin diceritakan Bastian. Sejenak ia berpikir, apa tidak ada teman selain Nara yang bisa diajak curhat. Kenapa harus menghubungi istri orang? Smartphone Nara berbunyi lagi. Kali ini datang dari notifikasi instagram Nara. Argan membukanya. Lagi-lagi Bastian berkomentar di foto Nara yang tengah berpose dengan Tasya. Membaca comment-nya saja sudah membuat Argan tak suka.
Yang pakai hijab semakin hari semakin cantik.
Argan mengembuskan napas kesal. Saking gregetnya ia membalas komentar Bastian, tentu dengan akun instagram milik Nara.
Iyalah, istrinya siapa dulu. Istrinya Mas Argan yang paling ganteng.
Argan kembali meletakkan smartphone Nara di meja. Ia tahu, apa yang ia ketik barusan mungkin agak berlebihan, tapi ia kesal juga melihat bukti-bukti keagresifan Bastian yang hingga detik ini masih mengagumi Nara. Ucapan salah satu temannya ada benarnya juga tentang ungkapan bahwa seseorang yang sudah jadi istri orang kenapa terlihat jauh lebih menarik?
Nara berjalan ke arahnya. Ia mengulas senyum terbaiknya.
"Mas, berangkat sekarang, yuk."
Argan melirik Nara dan tersenyum padanya, senyum tipis yang kurang lepas.
"Ayo."
Sepanjang jalan, Argan lebih banyak diam. Nara asyik memainkan ponselnya. Argan semakin senewen, ia pikir Nara tengah membalas pesan dari Bastian. Ingin ia menanyakan, tapi akan terlihat jelas rasa penasarannya dan ia tak mau Nara mengartikannya sebagai rasa kurang percaya. Ia tak ingin mengekang Nara, tapi juga tak membebaskannya tanpa aturan.
Setiba di depan pintu gerbang kampus, Nara memasukkan kembali smartphone-nya ke dalam tas lalu melirik sang suami. "Mas, Nara turun dulu ya." Nara menjabat tangan Argan dan mencium tangan suaminya.
Argan mengangguk. "Ya, Na, lancar ya semuanya."
Nara mengangguk. "Ya, Mas, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Argan memandangi istrinya yang berjalan menjauh. Ia bergumam, langsung turun aja ... nggak nyium dulu. Ia berusaha memaklumi, mungkin karena di dalam mobil dan di tempat umum, makanya Nara sungkan untuk mencium. Ia kembali melajukan mobilnya menuju fakultas pertanian.
Nara berjalan sepanjang koridor menuju kelas.
"Nara ...." Panggilan dari seseorang membuat Nara berhenti dan menoleh ke belakang. Bastian setengah berlari ke arahnya, dengan tergopoh-gopoh.
"Bastian? Ada apa lari-lari gitu?" Nara menyipitkan matanya.
"Aku ingin cerita. Tadi pagi aku kirim WA," jawab Bastian.
"Kirim WA? Kok aku nggak baca, ya?" Nara mengingat-ingat lagi. Ia merasa tak menerima pesan apa pun dari Bastian.
"Udah dibaca, kok. Udah centang biru. Ya udah nanti siang abis kuliah, kita bicara di depan perpustakaan, ya." Bastian begitu berharap Nara mau bicara dengannya. Di antara temannya yang lain, Nara satu-satunya teman yang paling mengerti keadaannya.
Nara mengangguk pelan. "Okay."
Selanjutnya mereka berjalan beriringan menuju kelas. Di dalam kelas, tampak Tasya tengah duduk sembari membaca materi untuk presentasi. Ia melirik ke arah Nara dan Bastian.
"Hai gaessss, sini deh." Tasya melambaikan tangan ke arah dua sahabatnya.
Nara duduk di sebelah Tasya, sedang Bastian duduk di hadapan mereka.
"Ada apa, sih?" tanya Nara penasaran. Pasalnya wajah Tasya terlihat lebih cerah dari biasanya.
"Kalian udah ngecek penempatan lokasi KKN belum di web? Udah ada jadwal pembekalan materi juga." Tasya menatap Nara dan Bastian bergantian.
"Emang udah keluar, ya? Aku belum ngecek. Coba deh aku cek." Nara mengeluarkan smartphone-nya, begitu juga Bastian.
"Aku dapet di daerah Cilacap. Tasya Karanglewas ya? Aku lebih jauh dari Tasya," pekik Nara.
"Kita satu lokasi, Na." Bastian mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan namanya dan Nara ditempatkan di lokasi yang sama.
Nara membaca kembali daftar nama mahasiswa di tabel. Ia cukup terkejut membaca namanya dan Bastian ditempatkan di lokasi yang sama.
"Wah enak satu lokasi. Aku nggak ada yang kenal nih. Tapi lokasi ku nggak jauh, di Karanglewas," ujar Tasya.
Bastian tersenyum senang dengan penempatan lokasi KKN yang menempatkan dirinya dan Nara di lokasi yang sama. Hingga detik ini perasaannya terhadap Nara tak jua berubah, masih sama seperti di awal perkenalan mereka.
******
Argan baru saja mengajar di salah satu kelas. Saat kembali ke ruangan, sudah ada Kayla yang menunggunya. Ia mempersilahkan mahasiswi tersebut untuk masuk.
"Ini skripsimu. Sudah saya ACC, persiapkan untuk seminar hasil, ya. Oya dosen pembimbing yang satu lagi sudah meng-ACC belum?" Argan menyerahkan lembaran skripsi itu pada sang mahasiswi bimbingan.
Kayla menerimanya dengan senyum merekah. "Alhamdulillah. Makasih banyak, Pak. Bu Rina sudah meng-ACC skripsi saya."
"Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" tanya Argan.
Kayla menggeleng. "Saya cuma ingin berterima kasih atas semua nasihat dan semangat dari Bapak. Saya lega akhirnya saya benar-benar bisa move on Pak. Petuah dari bapak itu berarti banget buat mahasiswi yang lagi patah hati saat disibukkan dengan skripsi. Saya nggak menyangka saya bakal menjadi bagian dari barisan mahasiswi tingkat akhir yang stres karena skripsi ditambah putus cinta. Tapi alhamdulillah saya bisa melaluinya dan ternyata tanpa dia sekalipun, saya baik-baik saja, malah kata teman, saya semakin cantik dan bersinar."
Argan menahan tawa saat mendengar celoteh dari Kayla. Mahasiswi ini memang dikenal over PD dan narsis.
"Syukurlah kalau gitu. Being optimistic is the best choice. Tetap optimis apapun permasalahan yang datang," balas Argan tenang.
"Ehm, kalau nggak keberatan, bapak follback instagram saya, ya?" Kayla sedikit menunduk. Sebenarnya ia malu mengungkapkannya. Namun ia ingin dosen pembimbing kesayangannya ini mem-follow instagramnya juga.
Argan membelalakan matanya. "Saya kan udah bilang kalau saya nggak mem-follow akun mahasiswa mana pun."
"Ya, bentar lagi saya kan lulus, Pak ....," balas Kayla dengan ucapan yang menggantung.
"Terus kenapa?" Argan menatap Kayla datar.
Kayla jadi malu sendiri. Ia berpikir barang kali dosen pembimbingnya merindukannya saat dia sudah wisuda. Ia buang jauh-jauh pikiran narsisnya.
"Nggak kenapa-kenapa, Pak. Ya sudah, saya permisi dulu. Terima kasih banyak, Pak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Argan melirik jarum jam yang tergantung di dinding. Dia berencana ingin menjemput Nara di kampusnya dan mengajaknya makan siang. Dia tak ada jadwal mengajar siang ini. Sakha pulang ke rumah orang tuanya. Mengajak Nara makan siang bisa jadi satu cara untuk menghangatkan hubungannya dan Nara. Argan meraih kunci mobilnya. Dia tak mengirim pesan apa pun pada Nara. Ia pikir lebih baik mengirim pesan whatsapp nanti saja saat ia sudah tiba di depan kampus Nara.
Sementara itu Nara dan Bastian tengah berbincang di bangku depan perpustakaan. Suasana asri dan sejuk dari pepohonan yang menaungi bangku panjang itu sedikit bisa mengusir rasa gerah karena cuaca yang sedang panas. Beberapa mahasiswa terlihat berlalu lalang masuk dan keluar dari perpustakaan pusat yang luas bangunannya cukup besar dengan gaya arsitek klasik ala zaman dulu.
"Kamu mau ngomong apa, Bas?"
Bastian menghela napas. "Aku baru aja putus dari Delfina." Ekspresi wajah Bastian menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Putus? Ya namanya pacaran kan memang ada risiko putus cinta." Nara berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi berlebih. Dulu ia memang bersimpati pada Bastian, ada sedikit getaran kala dekat dengan Bastian. Tapi karena dia sudah pasang alarm kuat untuk tidak terlalu jauh memikirkan perasaannya pada Bastian, dia bisa mengendalikan perasaannya. Dari awal dia sudah memberi peringatan keras pada diri sendiri bahwa cinta beda agama itu tak akan bisa disatukan. Sampai akhirnya ia menikah dengan Argan. Ia semakin mudah menenggelamkan perasaan simpatinya pada pemuda itu.
"Iya aku tahu. Sebenarnya awal pacaran aku cuma iseng. Tapi makin lama aku belajar untuk sayang sama dia. Setelah aku bisa membuka hatiku untuknya, dia malah mutusin aku." Bastian mengusap wajahnya.
"Alasannya?" tanya Nara singkat.
"Beda agama," balas Bastian tanpa menoleh pada Nara.
Nara mengembuskan napas.
"Kamu selalu jatuh cinta sama seorang muslimah. Aku udah bilang, perempuan Muslim itu nggak boleh nikah sama cowok beda agama. Ya wajar kalau Delfina mutusin kamu. Mungkin dia berpikir untuk apa meneruskan hubungan kalau ujung-ujungnya bakal pisah. Sekian waktu menjalani sebuah hubungan yang pada akhirnya akan berakhir, itu sama saja buang waktu, 'kan? Belum lagi menyembuhkan rasa sakit itu. Putus cinta pasti meninggalkan rasa sakit. Dan rasanya wajar juga cewek yang udah memasuki usia 20, udah memandang sebuah hubungan itu bukan untuk main-main tapi untuk dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Meski dalam Islam sendiri, nggak ada yang namanya pacaran. Kalau udah siap nikah bisa ta'arufan dulu."
Bastian mencerna kata-kata Nara dengan terus bergelut dengan pikirannya.
"Kenapa aturannya begitu ribet ya? Nggak boleh pacaran dan perempuan muslimah nggak boleh nikah sama yang beda agama." Bastian memicingkan matanya.
Nara mengulas senyum. "Aturan dalam agama itu tujuannya memang untuk kebaikan manusia itu sendiri. Agamamu juga punya aturan, 'kan? Bayangin aja kalau kehidupan ini nggak punya pedoman, nggak dibatasi oleh peraturan, pasti bakal kacau, 'kan? Sudah diatur pun masih banyak yang melanggar apalagi dibebaskan."
Bastian terdiam.
"Dalam Islam, mendekati zina saja sudah dilarang. Dan yang namanya pacaran dikhawatirkan akan menjadi jembatan ke sana. Sedang kenapa wanita muslimah dilarang dinikahi laki-laki non muslim, ini ada dalilnya, cuma aku lupa. Maklum aku masih belajar, Bas. Logikanya gini, perempuan butuh sosok imam yang mampu membimbing dia untuk berjalan di jalan yang diridhoi Allah, untuk menuju surga Allah, dan seorang suami memiliki kewajiban untuk membimbing istri dan anak-anaknya agar tetap berjalan di Jalan yang diridhoi Allah, menjauhkan dirinya dan keluarga dari api neraka, membawa dirinya dan keluarga menuju surga Allah. Bagaimana dia bisa membimbing keluarga jika dia berbeda agama? Bagaimana bisa membimbing ke surga Allah? Hidup di dunia ini hanya sementara, Bas. Aku rasa baik Delfina maupun muslimah lain juga ingin menjalani hidup yang benar-benar terarah di jalan yang nggak menyimpang dari koridor agama. Kamu harus menghormati keputusan Delfina." Nara menghela napas. Nada bicaranya yang tenang menyentuh sampai ke hati Bastian.
"Baik, Na. Terima kasih untuk semua kata-kata kamu. Aku akan mencoba untuk mengerti Delfina dan memahami keputusannya. Memang sekarang ini Delfina lagi senang-senangnya berteman sama teman kostnya yang religius. Mungkin dia dapat pencerahan dari temannya itu."
Nara tersenyum. "Itu baik, 'kan? Karena pergaulan itu punya pengaruh yang kuat. Apalagi untuk yang masih belajar kayak aku. Kalau nggak bisa jaga iman, bisa aja goyah dan terbawa arus negatif. Sebaik-baik teman adalah yang dengan mengenalnya, kamu akan semakin mencintai Allah dan lebih dekat padaNya."
Bastian mengangguk. "Ya aku akan belajar untuk menghargai prinsip kalian."
Tanpa Nara sadari, Argan menyaksikannya dan Bastian dari depan pintu gerbang. Lokasi perpustakaan itu ada di pelataran depan, terlihat jelas dari jalan raya. Argan ingin mendekat pada Nara tapi ragu sejenak. Tentu saja ia cemburu. Apalagi mereka berbincang berdua, tidak ada yang lain. Meski mereka bicara di tempat umum dan banyak mahasiswa berlalu lalang, tapi tetap saja Argan tak bisa menyangkal bahwa ia cemburu melihat keakraban Nara dan Bastian.
Ketika ia hendak melangkah menyusul istrinya, smartphone Argan berbunyi. Ada satu pesan whatsapp datang. Argan menghela napas, sedikit kesal, ada rapat mendadak terkait pembahasan materi perbekalan KKN, karena ia akan menjadi salah satu dosen yang nantinya akan memberikan materi perbekalan KKN. Argan berbalik menuju mobilnya.
******
Malam ini Argan mengoreksi skripsi di ruang tengah. Sesekali ia melirik Nara yang sedang menemani Sakha belajar. Dia masih merasa kesal dan cemburu. Apalagi Nara seolah tak peka. Sepulang dari kampus, Nara menjemput Sakha di rumah mertuanya. Dan setiba di rumah, mereka bermain dan belajar bersama. Nara bahkan tak menyadari seharian ini Argan lebih diam dari biasanya.
"Ma, Sakha ingin keliling dunia suatu saat nanti," ucap Sakha dengan mata berbinar.
"Wah, bagus itu Sakha. Mama doain semoga cita-cita kamu untuk keliling dunia bisa terwujud." Nara mengusap kepala Sakha lembut.
"Aamiin. Sakha mau terbang ke Arab, naik haji kan mesti ke sana. Terus pingin ke Turki juga. Di sana ada kota paling bahagia, namanya kota Sinop."
Nara menyipitkan matanya. "Kenapa dijuluki kota paling bahagia?"
"Karena di kota itu nggak ada polusi, pemandangannya bagus, para warga suka berbincang tapi nggak suka bergosip dan nggak suka mencampuri urusan orang. Nggak ada perbedaan mencolok juga antara si kaya dan orang yang kurang mampu karena pakaian yang dikenakan sama modelnya. Mereka senang berkumpul di restoran yang sama dan makan simit, roti bagel khas Turki. Mereka juga senang jalan kaki. Katanya nggak ada lampu lalu lintas juga." Sakha menjelaskan panjang lebar.
"Sakha tahu banyak, ya," sahut Nara menanggapi.
"Iya, Sakha kan baca dari buku."
Nara tersenyum. Terkadang ia merasa banyak belajar dari Sakha. Ada hal-hal yang dia belum tahu dan justru tahu dari Sakha.
"Selain ke Arab dan Turki, Sakha ingin kemana lagi?"
Sakha memutar bola matanya. "Ke Malaysia. Soalnya Sakha pingin ketemu Upin Ipin."
Nata tertawa mendengar penuturan Sakha.
"Pingin ke Rusia juga nggak? Ketemu Masha and the Bear?" tanya Nara.
Sakha tertawa. "Iya boleh. Di Rusia itu ada empat musim ya? Katanya kalau negara yang punya empat musim, warna kulitnya lebih cerah dibanding yang cuma punya dua musim kayak Indonesia."
Nara mengangguk. "Iya soalnya orang yang tinggal di negara yang memiliki empat musim durasi terkena paparan sinar matahari jauh lebih sedikit dibanding kita, yang tinggal di negara tropis dan hanya punya dua musim. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi warna kulit, kayak faktor genetik atau keturunan, juga pigmen."
Sakha mengangguk. "Mama emang pintar."
Argan hanya mendengarkan percakapan ibu anak itu tanpa melibatkan diri dalam perbincangan mereka. Cemburu masih saja merajai pikirannya.
"Sakha juga pintar, banyak tahu hal-hal yang bahkan Mama belum tahu. Oya, Sakha ingin mengunjungi negara mana lagi?"
"Sakha ingin ke Amerika biar bisa ke NASA. Terus ke Perancis karena ada menara Eiffel, ke India ada Taj Mahal. Satu yang Sakha pingin, ingin ke Borobudur. Itu kan salah satu keajaiban dunia, ada di Indonesia, tapi Sakha belum pernah ke sana." Ia berganti melirik ke arah ayahnya.
Nara ikut melirik Argan seakan menunggu reaksi Argan.
"Iya kapan-kapan kita ke Jogja kalau Sakha libur kenaikan kelas. Nanti kita mampir ke Magelang, ke candi Borobudur." Argan menimpali dan menutup lembaran skripsi.
"Asyiiikk ...." pekik Sakha girang.
"Ma, Sakha ngantuk. Pingin tidur." Sakha menguap.
"Ya udah yuk, Mama antar ke kamar. Jangan lupa gosok gigi dan berwudu dulu." Nara menggandeng Sakha.
"Ayah, Sakha tidur dulu, ya."
Argan tersenyum. Ia mendekat ke arah Sakha dan mengecup keningnya, "Have a nice dream, Baby."
Nara menuntun Sakha menuju kamar mandi, sementara Argan melangkah menaiki tangga, menuju kamar.
Argan merebahkan badan dan mengembuskan napas berkali-kali. Ingin ia menanyakan perihal apa yang ia lihat tadi siang di depan perpustakaan, tapi ia juga ingin Nara berinisiatif untuk membicarakannya terlebih dahulu.
Derap langkah Nara terdengar hingga menembus kamar. Argan melirik sejenak saat Nara masuk ke dalam dan menutup pintu. Selanjutnya ia melangkah ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan membersihkan wajahnya.
Nara berganti baju tidur. Argan meliriknya sesaat. Gaun itu cukup tipis dan menggoda, sayangnya mood-nya yang sudah berantakan sedari siang membuatnya kurang berminat untuk menyentuh Nara.
Nara duduk di ranjang, di sebelah Argan yang masih dalam posisi berbaring. Nara ikut merebahkan badan dan miring menghadap suaminya, sementara Argan menatap ke langit-langit.
"Mas, kok diam?"
Argan melirik istrinya. "Terus aku mesti gimana? Ngomong terus?"
Nara merasakan nada bicara Argan terdengar berbeda.
"Kok, jawabannya gitu? Tumben Mas Argan nyuekin Nara. Nggak ngomong dulu atau nggak kasih Nara ciuman." Bibir Nara mengerucut.
Argan menghela napas sejenak.
"Yang nyuekin itu sebenarnya siapa? Dari siang di kampus, kamu lebih merhatiin teman kamu yang sempat kirim WA, katanya mau curhat. Sepulang dari kampus, kamu main sama Sakha, terus masak, malam belajar sama Sakha," balas Argan tenang.
"Makanya sekarang waktu Nara sepenuhnya untuk Mas Argan. Oya, tadi Mas bilang, di kampus aku kasih perhatian sama teman yang kirim WA?" kini ia yakin benar, Argan telah membaca pesan whatsapp dari Bastian.
"Ya, Mas tadi siang itu nyusul kamu ke kampus. Pas mau masuk ke dalam, Mas lihat kamu duduk bareng Bastian. Berdua pula. Wajar kalau Mas cemburu."
Nara menganga sekian detik. "Ya, tapi Nara cuma ngobrol biasa, Mas. Dia bilang baru putus dari Delfina, alasannya beda agama. Aku jelasin aja mungkin aja Delfina nggak mau menjalani hubungan yang ujung-ujungnya berakhir perpisahan. Namanya cewek kan pingin kejelasan kalau suatu saat nanti ia akan menikah dengan orang yang ia cintai. Sementara mereka beda agama. Aku jelasin kalau muslimah dilarang dinikahi pria yang berbeda agama dengannya. Terus dia sempat nanya kenapa aturannya ribet, nggak boleh pacaran, muslimah nggak boleh dinikahi cowok non muslim. Aku jelasin sebisaku. Nggak ada pembicaraan yang gimana, Mas. Kita juga nggak lama ngobrolnya."
Argan membisu sesaat.
"Bukan semata isi perbincangan kalian yang jadi masalah, Na. Tapi kalian berbincang berdua. Itu yang Mas kurang suka. Apalagi dulu kamu sempat suka kan sama Bastian? Dan Bastian juga punya rasa sama kamu. Kenapa dia nggak curhat sama teman lain? Kenapa harus sama kamu? Kamu udah jadi istri orang lho."
Nara menunduk. "Jadi Nara salah, ya? Padahal Nara nggak ada apa-apa sama Bastian. Nggak ada hubungan apa-apa, Mas."
"Mas percaya kamu nggak ada hubungan apa-apa. Tapi Mas tetap nggak suka lihat kalian ngobrol berdua, kecuali kalau ada yang nemeni."
Nara menatap Argan dengan tampang memelas. "Maafkan Nara, Mas. Lain kali Nara nggak akan ngobrol berdua sama cowok tanpa ada mahram yang menemani. Tadi siang Nara cuma ingin jadi pendengar yang baik aja, sebagai teman baik aja."
Mata mereka saling beradu.
"Ya udah, sebaiknya kita tidur." Argan memiringkan badan, memunggungi Nara.
"Mas, kok nggak nyium kening Nara dulu? Mas masih marah?"
"Mas lagi nggak mood," jawab Argan sekenanya.
"Mas, kok gitu sih? Apa Nara udah nggak menarik lagi?"
Argan terdiam.
"Bentar lagi Nara berangkat KKN, Mas mesti puasa. Mas nggak pingin manfaatin waktu sebelum kita jauhan?"
Lagi-lagi Argan bergeming.
"Biasanya Mas selalu agresif, hangat, dan romantis. Sekarang cuek sama Nara. Bahkan Nara juga ditolak. Jangan-jangan Mas Argan punya wanita lain, ya?" suara Nara terdengar meninggi.
Argan masih bertahan dengan sikap diamnya. Wajah Nara terlihat ingin menangis. Ia kesal dan merebahkan badan juga dengan posisi yang memunggungi suaminya. Mendengar istrinya sesenggukan, Argan segera berbalik. Ia membalik tubuh istrinya agar menghadapnya. Ia usap air mata istrinya.
"Maafin Mas ya. Mas nggak beneran marah sama kamu, kok. Tadi, Mas diemin kamu itu bukan karena Mas serius marah. Mas nggak marah, cuma masih saja ada sisa cemburu. Mas juga berani bersumpah nggak ada wanita lain. Kamu tetap menarik di mata Mas." Argan mengulas senyum.
Nara masih saja cemberut dan menatap suaminya lekat. Argan mendaratkan kecupan di kening Nara dan menurun ke bawah hingga ia memagut bibir istrinya lembut.
"Mumpung kamu belum berangkat KKN, Mas nggak mau menyia-nyiakan kesempatan." Argan menyeringai genit. Aura mesum sudah terlihat mendominasi wajah Pak Dosen.
"Mas tadi bikin Nara kesel."
"Masa, sih? Kan harusnya Mas yang kesel." Argan tersenyum tipis.
"Iya, tapi Mas Argan juga bikin Nara kesel."
"Oh kasian, cup cup cup ... maafin Mas, ya." Argan mencium kening, pipi, dan bibir Nara bertubi-tubi.
"Mas, Nara pakai body mist dulu, ya. Wanginya enak," ucap Nara dengan mengumbar senyum manisnya.
"Ah nggak usah, hajar saja. Pakai body mist ntar malah jadi pahit," balas Argan.
"Emang Nara mau dimakan? Kok pahit?" Nara tertawa geli.
"Ih, kayak nggak ngerti aja." Argan mencubit pipi Nara gemas.
"Pintu belum dikunci, Mas. Kalau Sakha bangun lagi gimana?" Nara melirik pintu.
"Siap, Mas kunci dulu pintunya."
Secepat kilat Argan mengunci pintu dan setelahnya, ia merangkak naik ke ranjang dan langsung menyergap sang istri dengan ganas, seperti biasanya.
*****
Hmm bentar lagi Nara berangkat KKN nih. Untuk nama desa tempat Nara KKN nanti, fiktif aja ya, atau nggak disebut. Atau bisa juga di kampung author. Kampung author sering jadi tempat KKN oleh mahasiswa Purwokerto, Jogja, pernah juga dari Jakarta.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro