Part 20
Argan menatap tajam Sakha yang duduk membisu di hadapannya. Nara duduk di sebelah Argan dan menatap Sakha datar.
“Mulai sekarang dan seterusnya, panggil Mama Nara dengan panggilan ‘Mama',” kilat sorot mata Argan menyiratkan ketegasan.
Sakha mengerucutkan bibirnya, “Tapi Ayah ....”
“Tidak ada tapi-tapian,” sela Argan tegas.
“She is your Mom now. Calling your mother by name isn't polite. It's rude!” lanjut Argan dengan nada yang lebih tegas.
Sakha beringsut. Ini pertama kali Argan bicara begitu tegas, terdengar seperti bentakan bagi Sakha.
Nara cukup kaget. Tak biasanya Argan bicara setegas ini. Mata Sakha berembun. Isak tangis seketika meluncur dari bibirnya. Argan menggeleng.
“Kenapa nangis? Apa ayah menyuruhmu melakukan sesuatu yang berat? Apa kurangnya Mama Nara? Dia membuatkan kamu playmat, memasak makanan sehat setiap hari, menemani kamu belajar, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kamu. She is smart, a kind-hearted person, and she loves you just the way you are. Hargailah usahanya.” Argan masih manatap putranya lekat-lekat.
Sakha justru terisak dan tak berani menatap ayahnya. Nara tak tega juga melihat anak itu menangis sesengukan.
“Mas, jangan terlalu keras padanya.” Nara menyandarkan telapak tangannya di bahu Argan.
Argan menghela napas. “Lihat Sakha, Mama Nara bahkan melarang Ayah untuk bersikap keras padamu. Dia begitu baik. Belajarlah untuk menerimanya.”
Nara menggandeng lengan Argan dan menuntunnya sedikit menjauh dari Sakha.
“Mas, jangan memaksanya. Aku memang ingin dipanggil ‘Mama', tapi aku juga nggak mau Sakha merasa tertekan dan terpaksa.”
Argan menatap lembut istrinya. “Kenapa kamu terlalu baik? Dia juga perlu ditegasi. Aku akui aku salah karena memanjakannya dan kurang bisa bersikap tegas padanya. Dan sekarang, aku ingin bersikap tegas. Apa itu salah? Aku ingin dia belajar menghargai orang lain, Na.”
Nara tertunduk sejenak. “Aku mengerti maksud Mas Argan bicara seperti ini, tapi aku juga kasihan melihatnya.”
Argan melirik Sakha yang duduk terpekur sembari mengusap air matanya. Melihat putranya sesenggukan, rasanya tak tega juga. Namun, jika ia terus melunak Sakha tak akan bisa mengerti.
“Sebaiknya kita sarapan dulu, Mas. Oya Mas Argan beneran nggak bisa ke Bandung, ya? Aku dan Tasya pingin banget melihat Firda dan Bayu menikah di sana. Firda butuh support dengan kedatangan sahabat-sahabatnya. Firda bilang, orang tuanya dipastikan tidak hadir. Papanya masih marah padanya.”
Argan mengembuskan napas. “Mas pingin dateng sebenarnya, tapi aku udah terlanjur menyanggupi undangan seminar. Mas nitip salam aja, ya. Oya, kenapa mereka memilih menikah di Bandung?”
“Mereka kan beda propinsi, sama kayak kita dulu. Jadi dipikir-pikir, lebih praktis menikah di Bandung, sesuai KTP asal daerah Firda. Bayu sudah ngurus semua persyaratan dari sini. Firda juga ingin mengurus surat pindah, karena ia mantap untuk pindah jadi warga Purwokerto. Firda juga ingin ketemu mamanya.”
Argan mengangguk. “Mudah-mudahan acara pernikahan mereka berjalan lancar ya. Aku ikut senang Bayu sudah benar-benar move on dan mantap menikahi Firda untuk membuka lembaran baru.”
Keluarga kecil itu berkumpul di ruang makan. Nara mengambilkan nasi untuk suaminya juga untuk Sakha. Nara memperhatikan Sakha yang enggan menyentuh makanannya sedikit pun.
“Sakha kenapa tidak dimakan? Tidak suka dengan lauknya?” tanya Nara seraya mengulas senyum.
“Sakha kurang suka lauknya,” jawab anak delapan tahun itu datar.
“Ya sudah nggak usah makan, kalau memang tidak suka,” balas Argan kesal.
Sakha lagi-lagi terperangah mendengar ucapan ayahnya. Ia berpikir, kenapa ayahnya berubah begitu galak. Ia merasa ayahnya tak lagi sayang padanya.
“Ayah kenapa jadi galak? Ayah nggak sayang lagi sama Sakha,” ucap Sakha dengan tampang cemberutnya.
“Justru karena Ayah sayang kamu makanya Ayah galak. Ayo dimakan.” Argan sedikit meninggikan suaranya.
Sakha terpaksa menuruti perintah sang ayah. Ia menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
“Mama sudah masak untuk kita. Berterima kasihlah padanya dengan memakan apa yang sudah Mama masak.” Tatapan Argan menyasar menelisik putranya yang masih saja memasang tampang cemberut.
Atmosfer terasa dingin. Mengambil hati Sakha adalah sesuatu yang tak mudah untuk Nara. Anak itu terkadang bisa bersikap manis, tapi lebih banyak bersikap ketus padanya. Ia memerhatikan ekspresi wajah Sakha yang terlihat kesal dan murung.
Nara beranjak dan mendekat ke arah meja dapur. Ia bangun pagi-pagi sekali hanya untuk menyiapkan bekal bento untuk Sakha. Ia harap, Sakha menyukainya.
Keterangan foto : Foto pribadi, foto lama, bingung milih bento yg mana..ini aja yg pas.
Sakha menyukai buah naga merah, karena itu Nara membuat nasi naga merah agar tampilannya lebih menarik. Ia belajar membuatnya dari resep yang ia dapat di internet. Nasi setengah matang ia kukus dengan dicampur puree buah naga merah. Cara membuat puree adalah dengan menghaluskan daging buah naga merah dicampur sedikit air. Ia juga tahu, Sakha kurang menyukai sayuran hijau, karena itu ia membuat brokoli goreng tepung agar rasanya menjadi lebih enak dan renyah. Nara membuat barbeque sederhana dari paprika dan daging. Ia tahu, Sakha suka paprika, tidak terlalu pedas tapi cukup memberikan rasa yang berbeda di makanannya. Nara melakukan semuanya karena ingin menyenangkan hati Sakha, menunjukkan padanya bahwa seorang ibu tiri sekalipun dapat memiliki rasa sayang yang sedemikian besar dan tulus untuk anak tirinya. Tidak harus memiliki hubungan darah untuk menyayangi dengan hati.
Nara membawa bekalnya di meja.
“Mama membuatkan bento buat Sakha. Semoga Sakha suka, ya.” Nara tersenyum cerah, melupakan kekesalan dan kekecewaan yang kemarin ia rasakan.
Sakha penasaran juga dengan isi bekalnya. Ia membuka kotak bekalnya. Matanya terbelalak melihat bento lucu di hadapannya.
“Nasiku berwarna pink?” Sakha tersenyum.
Argan ikut penasaran. Ia melirik isi bekal putranya.
“Wah lucu banget bekalnya. Mama Nara hebat ya bisa bikin bento. Ayah juga ingin dibikinin.” Argan melirik istrinya dengan senyum yang tak lepas.
“Beneran Ayah pingin dibikinin?” Nara memicingkan matanya.
Argan melebarkan senyumnya, “Kalau tidak merepotkan, Ayah mau kok.”
Nara tertawa kecil. “Tapi bentuknya lucu gini, cocoknya buat anak-anak.”
“Buat dewasa nggak apa-apa kok, Ayah mau dibikinin.”
Sakha tertawa pendek. “Ayah kok ikut-ikutan pingin dibikinin bento?”
“Habis bentonya lucu, Ayah suka. Sakha suka juga, kan?”
Sakha mengangguk. “Iya.”
“Bilang makasih dong sama mama.” Argan menatapnya lembut.
Sakha menatap Nara yang tersenyum ke arahnya.
“Terima kasih,” ucap Sakha.
“Yang lengkap dong, terima kasih Mama.” Argan mengusap kepala Sakha.
Bibir Sakha terkatup. Ia menatap Nara kembali. Pandangannya beralih pada ayahnya. Argan mengangguk, seolah meyakinkan Sakha untuk mengatakannya.
“Terima kasih, Mama,” ujar Sakha sembari melirik Nara sekilas.
Ada perasan bahagia bercampur haru yang menyusup ke dalam hati Nara tatkala mendengar Sakha memanggilnya mama, meski ia tahu Sakha memanggilnya ‘Mama' hanya untuk menuruti permintaan ayahnya, bukan karena kesadaran sendiri. Nara sudah cukup bahagia.
“Sama-sama, Sayang,” balas Nara dengan senyum sumringah.
Suara klakson mobil mengagetkan Nara dan Argan. Mereka mengantar Sakha ke depan. Seperti biasa Sakha menyalami tangan Argan dan Nara. Ia mengucap salam. Argan dan Nara menjawabnya serempak. Sebelum masuk ke mobil, Argan berpesan agar Sakha menghabiskan bekalnya nanti dan belajar dengan baik.
Argan dan Nara berbalik menuju rumah. Argan menyiapkan segala keperluan yang akan dibawa ke kampus. Nara juga bersiap ke kampus dengan penampilan barunya. Ini hari pertama Nara berhijab. Blouse lengan panjang polos warna biru pastel, rok panjang motif bunga yang senada dengan warna blouse-nya hanya warna dasarnya lebih gelap. Ia mengenakan kerudung warna navy yang menutup dada.
“Aku antar ke kampus, ya,” tukas Argan lembut.
Nara mengangguk. “Iya, Mas.”
Nara terlihat jauh lebih cantik di mata Argan dengan hijabnya. Mereka saling menatap. Nara masih saja tersipu setiap kali Argan menatapnya lekat.
“Kenapa Mas lihatin aku kayak gitu?” Nara sedikit menundukkan wajahnya.
“Kamu cantik.”
Pipi Nara bersemu merah. Bukan sekali ini Argan memuji. Namun, mendengarnya berulang tetap buncahkan rasa senang. Dipuji oleh pasangan halal itu selalu menyenangkan.
“Mas Argan gombal.”
Argan tertawa. “Kamu selalu bilang aku gombal.” Argan mengusap pipi istrinya. Bening manik hitam itu menatap Nara lebih dalam. Nara seakan membeku.
“Aku cium boleh?” tanya Argan.
“Kenapa minta izin?” Nara menggigit bibirnya, membuat Argan semakin tergoda untuk mencium istrinya.
Ia kecup bibir istrinya lalu menyesapnya lebih dalam. Kedua pasang mata itu terpejam, menikmati tautan hangat itu yang rasanya tak pernah bosan untuk diulang.
Argan melepaskan ciumannya.
“Berangkat, yuk.”
Nara mengangguk. “Iya, Mas.”
******
Nara dan Tasya duduk dengan perasaan berdebar, tapi juga bahagia. Tak banyak yang hadir di prosesi akad nikah Bayu dan Firda di KUA Bandung, hanya keluarga paman dari Bayu, dia dan Tasya, seorang teman perempuan Firda semasa SMA, Rayga dan Diandra. Mereka memang memutuskan menikah secara sederhana mengingat kedua orang tua dari dua mempelai menolak untuk memberi restu, mereka tidak hadir. Firda yang ternyata anak yang dipungut orang tuanya dari panti asuhan menggunakan wali hakim sebagai wali nikahnya karena ia diduga anak hasil perzinahan yang dibuang orang tuanya. Identitas orang tuanya tak diketahui.
Perasaan Nara yang dag dig dug tak karuan akhirnya bisa bernapas lega setelah ucapan “sah” terdengar membahana di seantero sudut. Nara mengucap Alhamdulillah. Matanya berkaca menahan haru, apalagi saat melihat Firda terisak dan menyeka air matanya. Bayu pun terlihat menitikkan air mata dan mengusapnya berulang.
Setelah mengikuti proses akad Firda dan Bayu, Nara berencana mengunjungi orang tuanya di Jakarta. Argan hanya mengizinkan Nara menghabiskan tiga hari di Jakarta.
******
Malam ini ada yang berbeda dari suasana di rumah Argan. Tak ada keceriaan dan senyum cerah Nara. Ia dan Sakha duduk terpekur dengan kesibukan masing-masing. Sakha sibuk membaca buku, Argan sibuk mengoreksi skripsi.
“Ayah ....”
“Ya, Sayang.” Argan melirik Sakha.
“Ayah bisa bikin kayak gini, nggak?” Sakha menunjukkan sebuah gambar mainan DIY di buku yang berisi cara-cara membuat mainan DIY.
Argan meletakkan lembaran-lembaran skripsi yang sedang ia koreksi. Ia melihat gambar tersebut dan membaca cara-caranya.
“Membuat rumah dari stik es krim,” Argan membaca setengah bergumam.
“Kalau beginian mah mama Nara jagonya. Sayang Mama lagi di Jakarta,” Argan memasang ekspresi sedih.
Sakha terpekur.
“Kalau tante Elita bisa?”
Argan membelalakan matanya. “Tante Elita bisanya bikin kue, nggak bisa bikin mainan. Hanya Mama Nara yang bisa.”
Sakha terdiam. Ia menyadari, dua hari tanpa kehadiran Nara di rumah membuatnya kehilangan meski ia tak mau mengakuinya. Tidak ada yang membuatkan bento, memasak makanan yang sesuai seleranya, dan dia tak bisa bertanya banyak hal karena ayahnya terkadang pulang sore. Kakek neneknya tak selalu tahu jawaban dari setiap pertanyaannya. Tidak ada juga yang membuatkan mainan untuknya.
“Kenapa Sakha diam? Sakha kangen ya sama Mama?” Argan mencoba membaca raut wajah putranya.
Sakha menggeleng.
“Jangan bohong, Sakha kangen, 'kan?” Argan meledek putranya.
“Sakha nggak kangen,” jawab Sakha.
“Yang bener? Kita telepon ya atau mau video call?”
Sakha menggeleng sekali lagi. Ia masih saja berkelit meski jauh di lubuk hatinya, ia merasa kehilangan.
“Sakha mau tidur, Sakha ngantuk,” balas Sakha sambil menguap.
Argan mengantarnya ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan berwudhu. Seperti biasa Argan mengecup kening putranya sebelum kembali ke kamarnya.
Argan duduk berselonjor di ranjang lalu mengambil smartphone-nya. Ia ingin berbicara dengan istrinya melalui video call.
Raut wajah Nara terlihat memenuhi layar. Betapa Argan merindukan istrinya. Dua malam tidur sendiri tanpa memeluk Nara rasanya begitu berat untuk ia lalui.
“Assalamu’alaikum, Sayang.”
“Wa’alaikumussalam, Mas.”
“Nara lagi di kamar? Papa Mama udah tidur?”
Nara terlihat menyila rambutnya dari layar.
“Udah, Mas. Sakha udah tidur, Mas?”
“Udah, baru saja.”
“Apa dia nggak nanyain aku?"
Argan tersenyum. “Nggak, tapi dia sebenarnya kangen sama kamu. Tadi kan dia nanya apa aku bisa bikin rumah-rumahan dari stik es krim, aku bilang soal bikin mainan gitu, mama Nara jagonya. Dia langsung diem. Aku yakin dia merasa kehilangan.”
“Masa sih, Mas? Mas Argan bilang gini cuma untuk menghibur Nara, kan?”
Argan tersenyum. “Nggak. Aku bisa ngrasain Sakha kehilangan kamu. Cuma anak itu masih gengsi mengakui.”
Nara tersenyum. “syukurlah kalau gitu. Aku pikir dia seneng nggak ada aku di rumah.”
“Jelaslah Sakha kehilangan. Nggak ada yang nyiapin bekal, bikinin bento, nggak ada yang bikinin mainan, nggak ada yang selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya.”
Nara tersenyum tipis.
“Mas juga kangen. Nggak ada yang dipeluk dan dicium sebelum tidur.” Argan mengedipkan matanya.
Nara tertawa lepas. “Besok Nara balik ke Purwokerto. Mas sabar aja nunggu Nara.”
“Iya, aku akan nunggu. I miss you so much.”
“Miss you too Mas ....”
“I love you, Sayang. Kangen banget.”
Nara tersenyum sekali lagi. “Love you too. Aku juga kangen banget sama Mas.”
“Beneran?” Argan memicingkan matanya.
Nara mengangguk. “Beneran, Mas.”
“Apa yang dikangenin dari aku?”
Nara memutar bola matanya, “Apa ya ... semuanya, Mas.”
Gantian Argan yang tersenyum. Keduanya berbunga-bunga seperti sepasang kekasih yang pertama kali jatuh cinta.
“Besok Nara mesti bangun pagi, 'kan? Sekarang tidur dulu yuk, biar nggak telat bangun.”
Nara mengangguk. “Iya, Mas. Padahal masih kangen.”
“Mas juga masih kangen. Besok aku mesti berangkat pagi, jadi lebih baik kita tidur, ya.”
Nara mengangguk.
“Have a nice dream ya Sayang, I love you ...muach....”
Wajah Nara memerah, tersipu.
“I love you too ... muach....” balas Nara.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Keduanya memejamkan mata dengan perasaan yang lebih tenang. Ada harapan yang terajut, akan pertemuan esok hari yang begitu didamba setelah terpisah jarak.
******
Spoiler untuk next part, Sakha cemburu karena ada yang merebut perhatian mama Nara 😁. Vote ya, sampai 1500, nanti baru dilanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro