Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19

Votting terbanyak pada milih Pak Dosen. Pesona Mas Argan memang tidak terbantahkan hahaha. Pembaca banyak yang berharap mendapat jodoh seperti Argan hehe.

Kemarin nyampe target vote 1500 aja lama ya. Makanya lama up. Alhamdulillah sampai target juga. Kadang ada hal2 lain juga yang bikin telat up.

Vote dulu sebelum baca ya.

Nara mengamati ekspresi wajah suaminya yang mengernyitkan dahi.

"Kenapa, Mas?"

"Itu kayak mobilnya temen." Argan teringat pada seseorang yang pernah dikenalkan orang tuanya setahun setelah Mareta meninggal.

"Ya udah masuk, yuk." Argan tersenyum pada Nara dan menuntun tangan Sakha.

Kedua orang tua Argan menyambut senang kedatangan Argan, Nara, dan Sakha. Saat Argan memasuki ruangan, ia dikejutkan dengan kehadiran Elita dan tante Gita, ibu dari Elita.

"Kebetulan banget ini ada Elita dan tante Gita. Elita ini baru kembali dari Surabaya." Ranti melirik Elita dan ibunya dengan senyum mengembang.

Argan menangkupkan kedua tangan di dadanya dan tersenyum ramah. Nara berjabat tangan dengan dua orang itu, ia bimbing Sakha untuk menjabat tangan juga. Mereka duduk melingkar di sofa, sedang Sakha bermain lego di ruang tengah.

"Maaf ya Nak Argan, waktu itu kami nggak datang ke pernikahan kalian karena lagi di Samarinda." Gita bicara dengan ramahnya.

"Iya nggak apa-apa, Tante. Yang penting doanya," balas Argan masih dengan senyum ramah.

"Oya ini dimakan dulu Argan dan Nara, Elita yang membuatnya. Enak banget lho browniesnya." Pandi, Ayah Argan menyodorkan senampan brownies yang sudah dipotong-potong.

Nara mencelos. Ia dan Argan membeli brownies untuk oleh-oleh, sedang Elita membuat sendiri brownies untuk mertuanya.

"Iya, Pak, makasih. Elita masih suka bikin kue gini, ya?" tanya Argan basa-basi.

"Iya, Mas. Bikin kue kan emang udah jadi hobi saya." Elita menjawab dengan senyum manisnya.

"Elita kan baru buka toko kue di Surabaya. Di sini dia punya toko kue juga. Memang punya hobi yang bisa dijadikan bisnis itu menguntungkan sekali. Udah gitu, Elita mau menempuh S2 juga, 'kan?" Ranti melirik Elita dengan sumringah.

"Insya Allah, doakan saja semua berjalan lancar, Tante," sahut Elita.

"Pasti Nak Elita. Perempuan itu bagus banget jika berpendidikan tinggi meski nanti ketemu sama dapur, ngurus anak, ngerjain pekerjaan rumah. Pendidikan ini bisa jadi bekal untuk mendidik anak," ucap Ranti.

"Iya, Tante. Peran orang tua kan berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak," balas Elita.

"Saya suka dengan pemikiran Elita. Makanya dulu saya dan bapaknya Argan tertarik menjodohkan Elita dan Argan. Eh, ternyata belum jodohnya," Ranti tertawa kecil.

"Belum jodohnya, Bu. Saya dulu juga berharap Elita jadi sama Argan." Gita melirik Argan dan Nara yang duduk di sebelahnya.

Nara merasa tak nyaman dengan situasi sekarang. Apalagi baru saja ia tahu fakta bahwa Elita pernah dijodohkan dengan Argan. Ada rasa cemburu yang menjalar dan membuat hatinya meradang. Ia mengamati penampilan fisik Elita yang menurutnya terlihat sempurna. Rambutnya tergerai indah, kulitnya kuning langsat dan terawat, wajahnya cantik, badannya ideal, dan dia juga seorang pengusaha yang sudah punya dua toko kue. Nara merasa kecil dan bukan apa-apanya dibanding Elita.

Argan juga merasa tak enak. Ia melirik istrinya yang pencemburu. Nara tertunduk lesu.

"Oya istri kamu sudah bekerja? Atau masih kuliah?" Gita menatap Nara lekat. Di matanya Nara ini terlihat begitu muda.

"Istri saya masih kuliah," balas Argan.

"Masih muda sekali, ya. Tapi hebat bisa jadi istri sekaligus ibu yang baik," seloroh Gita.

"Alhamdulillah," balas Argan.

Elita memperhatikan Nara dengan awas. Ia tak merasa heran jika Argan jatuh cinta pada istrinya ini. Secara fisik Nara memang cantik, menarik, cute, badannya ideal, dia punya mata yang indah dan lesung pipi saat tersenyum. Ia kembali teringat pada kegagalan perjodohannya dengan Argan dua tahun yang lalu. Keduanya masih belum siap saat itu. Dia fokus menyelesaikan skripsi, sedang Argan masih belum siap membuka hatinya untuk perempuan lain pasca ditinggalkan Mareta untuk selamanya.

"Ayah ...." Sakha melangkah keluar dengan menenteng tiga buah kepingan lego.

"Eh Sakha, ada apa?" Pandi memangku cucunya.

"Ada apa, Sayang?" Argan menatap Sakha.

"Pingin ditemani main, Sakha nggak mau main sendirian." Sakha mengerucutkan bibirnya.

"Main bareng tante Elita, yuk." Elita tersenyum ramah menanggapi ucapan Sakha.

Sakha yang biasanya cuek menanggapi orang asing, kini bersikap lebih terbuka pada Elita. Wanita ini sekilas terlihat agak mirip dengan almarhumah ibunya.

Sakha mengangguk. Argan terkejut melihat reaksi Sakha yang begitu mudah menerima ajakan orang yang tidak ia kenal sebelumnya. Nara menunjukkan reaksi yang sama. Entah kenapa ada setitik rasa cemburu melihat sang anak tiri begitu mudah menerima ajakan wanita lain yang dulu pernah dijodohkan dengan sang suami.

Sakha dan Elita bermain lego di bidang kosong sebelah ruang tamu yang memang tak bersekat, jadi orang-orang yang duduk di ruang tamu bisa melihat aktivitas mereka. Nara merasa kehilangan wibawanya sebagai seorang ibu. Bukankah seharusnya ia yang bermain bersama Sakha dan mengambil hatinya? Kenapa Elita tiba-tiba menyerobot perannya. Ketakutannya mengarah pada sesuatu yang jauh. Bagaimana jika Elita masih menyukai Argan dan berusaha merebut perhatian Argan lewat Sakha?

Nara ikut berbaur dengan Sakha dan Elita. Dia tak mau kehilangan moment bersama Sakha dan membiarkan anak itu akrab dengan sosok wanita lain yang berpotensi menjadi duri dalam pernikahannya. Nara tahu, ia mungkin berpikir terlalu jauh. Namun, wajar rasanya jika ia memendam cemburu mengingat masa lalu Elita dan Argan yang pernah dijodohkan.

Nara memerhatikan gerak terampil jari-jari Elita yang menyusun lego menjadi bentuk istana. Nara merasa takjub, kemampuan Elita untuk membentuk bangun ruang sangat mencengangkan.

"Wow, it's so cool. How you can do that?" Sakha menganga takjub melihat istana lego yang sudah selesai disusun Elita.

"Tante terbiasa membuat kue aneka bentuk dan menyusun kue. Tidak jauh berbeda dengan menyusun lego," balas Elita dengan senyum khasnya. Ia melirik Nara sepintas.

"Apa membuat kue itu menyenangkan?" tanya Sakha penasaran.

"Ya, it's really fun. If you are interested, you can join my baking class next Sunday. It's baking class for kids". Elita tersenyum sekali lagi.

"Oya? Ada kelas baking untuk anak-anak?" Sakha menganga antusias.

Elita menoleh ke arah Nara yang masih terdiam.

"Kalau kamu ada waktu, kamu bisa mengantar Sakha ke tokoku. Setiap hari Minggu ada baking class untuk anak-anak."

Nara mengangguk. "Ya tentu aku ada waktu. Hari Minggu aku libur kuliah. Jadi Sakha ingin ikut baking class Minggu depan?" Nara melirik Sakha yang masih asik menyusun lego.

"Ya. But I want to go there with Ayah," jawab Sakha tanpa menoleh.

Lagi-lagi Nara mencelos. Rasanya kewibawaan dan kredibilitasnya sebagai ibu yang baik runtuh di hadapan Elita, seseorang yang ia pandang sebagai rival. Nara menyadari, dalam beberapa hal dia belum bisa dewasa menyikapi permasalahan, termasuk saat menghadapi Elita. Mungkin terlalu berlebihan saat ia menyebut wanita itu sebagai rival. Nara hanya tak bisa membohongi diri sendiri, dia tak suka dengan kedekatan Elita dan Sakha. Dia cemburu. Saat ini dia tengah berusaha untuk bisa diterima Sakha dan ada seorang wanita lainnya yang justru lebih mudah diterima kehadirannya oleh Sakha. Ini menyakitkan untuk Nara.

"Sebelum hari Minggu, kita bisa mencoba membuat kue di rumah." Nara mengulas senyum terbaik dan menepuk bahu Sakha pelan.

"You are not expert in baking," balas Sakha sekenanya.

Nara terhenyak. Ia dan Elita saling berpandangan.

"Aku akan belajar. Aku pasti bisa," sahut Nara.

"Ya Mama pasti bisa Sakha. Kalian bisa belajar membuat kue di rumah," ucap Elita dan sesekali melirik Nara.

"Sakha nggak mau belajar bikin kue di rumah. Sakha ingin ikut baking class." Sakha menegaskan kata-katanya.

"Okay, kalau gitu Mama ikut. Mama juga ingin belajar," tukas Nara.

Sakha menatap Nara tajam. "Ini baking class untuk anak-anak, bukan untuk mama-mama."

"Tapi Mama bisa ikut, 'kan? Anak-anak yang ikut pasti diantar mamanya." Nara tak mau kalah.

"Tapi Sakha maunya diantar sama ayah." Sakha tetap keukeuh dengan pendiriannya.

Argan yang mendengar ribut-ribut itu pun segera mendekat dan bergabung.

"Ada apa ini?"

"Sakha ingin ikut baking class di tokonya tante Minggu depan," Sakha melirik Elita, lalu kembali menatap ayahnya, "tapi Nara bilang kita bisa belajar di rumah. Dan dia ingin ikut baking class. Sakha maunya diantar sama Ayah."

Argan melirik Nara yang cemberut. Nara semakin kesal karena Sakha tidak memanggilnya 'Mama' di depan Elita.

"Okay, Ayah akan mengantar, Mama Nara juga ikut." Argan mengusap rambut putranya.

"Iya benar apa yang dibilang Ayah, Minggu depan Sakha diantar Ayah dan Mama Nara." Elita ikut bersuara.

Sakha tak menjawab. Bibirnya masih mengerucut.

"Daripada manyun terus, mending bikin lego lagi, yuk. Kita bikin robot, mau nggak?"

Tawaran Elita tak bisa diabaikan oleh Sakha. Ia tersenyum lebar.

"Ayo, Sakha suka bikin robot," Sakha memekik senang.

Nara masih saja cemberut. Ia semakin kesal kala melihat Argan ikut bergabung menyusun lego.

"Sepertinya kamu berbakat bikin ginian ya, Lit?" Argan mengamati cara Elita menyusun lego.

Elita tertawa pendek. "Nggak juga, Mas. Aku Cuma seneng aja. Di rumah aku juga punya lego untuk dewasa, aku suka nyusun-nyusun lego pas lagi nggak ada kerjaan. Bikin kue juga sama main bentuk-bentuk gitu, nyusun-nyusun kue dan hiasannya, aku menerima orderan kue-kue karakter, birthday and wedding cake. Mirip-mirip sama lego kan, membentuk sesuatu menjadi sebuah objek. Kue yang aku bikin bentuknya macam-macam, kayak bentuk sepatu, tas, topi, dan apa saja sesuai pesanan."

"Hebat, Lit. Bisnis kue kayak gitu prospeknya sangat bagus," tanggap Argan.

"Tante punya lego untuk dewasa? Apa bedanya dengan lego anak-anak?" Sakha penasaran ingin tahu.

"Sebenarnya lego ini bisa untuk anak-anak dan dewasa, cuma yang khusus untuk dewasa itu biasanya piece-nya lebih kecil, lebih rumit, lebih bervariasi juga bentuknya. Kalau untuk anak-anak, terutama balita kan bentuk legonya besar-besar agar tidak tertelan."

Argan mendengar penjelasan Elita dengan serius. Dia tertarik juga ingin mencoba membeli lego dewasa.

"Kayaknya aku ingin mencoba juga. Kira-kira aku bisa beli di mana, ya?" tanya Argan.

"Aku dulu beli online sih. Lego ini selain bisa mengasah kreatifitas kita, juga bisa untuk terapi meredakan stres dan kecemasan."

Nara semakin jengah melihat bapak dan anak sama-sama akrab dengan Elita. Rasanya ia seperti disisihkan. Apalagi kala melihat tawa renyah Sakha dan Argan seakan begitu menikmati moment kebersamaan mereka, Nara bertambah sebal.

Sepulang dari rumah mertuanya, Nara masih menekuk wajahnya. Bahkan ketika sampai di butik Diandra pun, Nara tak begitu mood memilih pakaian muslimah dan kerudung. Ia masih kesal pada Argan dan Sakha, terutama pada Argan. Namun, Argan tak begitu peka dengan apa yang Nara rasakan.

Malam ini, Nara tak bersemangat menemani Sakha belajar. Ia merasa Sakha masih saja belum bisa menghargai usahanya. Patah hati karena ulah anak sendiri itu ternyata menyakitkan. Ya, Nara menganggap anak itu sepeti anak kandung. Namun, sepertinya Sakha belum mau menganggapnya sebagai ibu yang sebenarnya.

"Ayah, Sakha pingin nyoba lego yang lebih rumit. Kayaknya itu menantang. Nanti nanya ke tante Elita ya di mana belinya." Sakha melirik sang Ayah, sementara Nara duduk mematung di sofa lain.

"Ya, nanti Ayah tanyakan."

"Nanya ke orangnya langsung, lewat WA, lewat DM, apa lewat inbox di fb?" Nara seketika nyerocos membuat Argan tersentak.

Dosen 32 tahun itu melirik sang istri yang memasang tampang cemberut. Kalau sudah begini, Argan paham benar, Nara tengah cemburu.

"Aku nggak tahu nomor WA-nya, nggak tahu akun media sosialnya juga. Kan bisa nanya saat nanti Sakha ikut baking class."

"Oh, bagus kalau gitu. Bisa ketemu langsung, nanya langsung. Bagus banget." Nara menyahut tanpa menoleh Argan.

Argan hendak membalas tapi ia melihat Sakha masih ada di ruangan itu. Ia tak mau ribut-ribut di depan anak.

Hoammmm Sakha menguap.

"Sakha udah ngantuk? Tidur, ya. Gosok gigi dulu sebelum tidur, lalu berwudu," ujar Argan.

"Baik, Ayah." Sakha membereskan alat tulisnya, lalu berjalan menuju kamar.

Seusai menggosok gigi dan berwudu, Argan dan Nara bergantian mengecup kening Sakha. Nara langsung menuju kamar. Ia tak berminat berbincang dengan Argan di ruang tengah. Argan menyusul istrinya.

Saat ia melangkah masuk kamar, Nara tengah berbaring memunggungi tempatnya berbaring. Tak salah lagi dugaannya, Nara cemburu dan marah padanya.

Argan duduk di sebelah Nara. Ia melirik sang istri yang bergeming.

"Ehm ... ada yang tidur lebih awal rupanya. Biasanya dikecup dulu sebelum tidur. Sekarang tidur begitu saja tanpa pamitan, tanpa kecupan, tanpa ucapan nice dream ...." Argan mendekatkan wajahnya di telinga Nara. Ia berbisik lirih, "tanpa digrepe-grepe dulu."

Nara menutup telinganya dengan telapak tangannya. "Nara mau tidur, jangan berisik," ketus Nara. Badannya masih memunggungi Argan.

"Ehm, kamu kenapa, Na?"

Nara tak menjawab. Sisi egonya seakan menyuruhnya untuk diam. Dia ingin Argan mencari sendiri apa yang menjadi penyebabnya marah.

"Kamu marah sama Mas? Cemburu sama Elita?"

Nara masih membisu.

"Jangan diemin aku kayak gitu dong, Sayang."

Nara masih bertahan dengan sikap diamnya.

Argan membalik tubuh Nara agar mau menghadapnya. Mata mereka beradu, tapi tak bertahan lama. Nara membuang muka.

"Kenapa kamu cemburu? Aku dan Elita nggak ada hubungan apa pun."

"Iya nggak ada hubungan apa-apa. Tapi dulu kalian pernah dijodohkan. Waktu kita ke sana, Ibu juga nggak terlalu menyambutku. Perhatiannya lebih terpusat pada Elita dan banyak memuji Elita. Ya memang Elita itu banyak kelebihannya. Dia punya dua toko kue, cantik, mau S2, udah gitu tahu banyak tentang lego. Sampai-sampai Sakha bisa akrab dengannya meski baru berinteraksi. Mas juga ngobrol banyak sama dia, ketawa-ketawa, aku dicuekin." Nara bicara tanpa jeda.

"Dicuekin? Aku nggak ada maksud nyuekin kamu. Aku kan emang lagi butuh info soal lego. Sakha juga ingin dibelikan lego, 'kan? Toh kita berbincang bersama-sama. Sebenarnya kalau kamu mau ikutan gabung ngobrol, ya gabung aja. Tapi kamu diem terus. Udah cemburu duluan." Argan menatap Nara tajam.

Nara bangun dari posisinya. Ia duduk menekuk kakinya. Argan yang berbaring ikut berganti posisi, ia duduk di sebelah Nara.

"Kenapa kamu masih saja cemburu? Aku nggak akan berpaling."

Nara mengembuskan napas.

"Istri mana yang nggak cemburu lihat suaminya akrab dengan perempuan lain? Apalagi Mas Argan dan Elita dulu pernah dijodohkan. Sakha juga menyukainya. Dia bahkan ingin ikut baking class di toko Elita. Aku berasa nggak ada artinya. Aku coba menawari Sakha untuk belajar bikin kue di rumah, dia malah bilang aku nggak ahli di baking. Dia lebih percaya pada Elita. Ya memang aku bukan ahlinya, tapi aku bisa belajar. Aku merasa nggak dianggap. Mas juga bukannya membesarkan hatiku malah ikutan akrab sama Elita, gimana aku nggak kesal?" Nara lega mengeluarkan unek-uneknya, tapi dadanya masih terasa sesak, seperti ada yang menghimpit begitu kuat. Cemburu itu menguras emosi dan rasanya ia tak bisa tenang sebelum Argan benar-benar meyakinkannya bahwa Nara hanya satu-satunya. Dia juga butuh diakui oleh Sakha.

Argan menghirup napas pelan dan mengeluarkannya kembali.

"Okay, aku minta maaf kalau tadi siang aku terlalu akrab dengan Elita. Aku minta maaf kalau sikapku tadi siang udah nyakitin kamu. Aku juga minta maaf atas tindakan Sakha. Besok aku akan bicara dengan Sakha dan membujuknya untuk mau bikin kue bareng kamu. Ini bisa jadi kesempatan buat kamu menunjukkan kemampuanmu bahwa kamu juga bisa membuat kue." Nada bicara Argan terdengar lembut.

Nara tak menanggapi apa pun.

"Sakha ini memang tipe yang harus dibujuk dengan sesuatu yang mencengangkan. Terkadang dia menerapkan standar tinggi pada orang-orang terdekatnya dan dia mudah hilang respek pada orang yang kurang bisa memenuhi standar atau ekspektasinya. Ini jadi PR besar untukku bagaimana membuat Sakha mau belajar menghargai orang apa adanya dan menghargai kelemahan orang lain, bukan hanya menuntut kelebihan dari orang lain." Tatapan mata Argan masih menyasar pada istri cantiknya yang masih merajuk.

"Nara itu nggak suka kalau Mas Argan genit ke cewek lain, terlalu ramah. Siapa yang nggak kesal? Aku merasa tersisih."

Argan melongo. "Yang genit siapa, Na? Apa iya Mas Argan genit? Definisi genit itu seperti apa coba? Apa iya aku merayu Elita? Memuji dia? Kamu ini cemburuan banget, Na."

"Mas risih kalau Nara cemburu? Mas merasa terganggu dengan sikap Nara? Aku juga nggak mau cemburu kayak gini, Mas. Mas bayangin deh jadi Nara. Berkunjung ke rumah mertua. Sampai di sana ada tamu perempuan yang dulu pernah dijodohkan dengan suaminya. Ibu mertuanya sampai nyuekin, biasa saja sambutannya. Tapi ramah banget sama perempuan itu, muji-muji kehebatannya. Eh anak dan suaminya ikut-ikutan takjub, terpesona, terkesima, tercengang, terkagum-kagum, terpukau ... ter ...."

"Terpana? Terpikat? Ter ...." sela Argan.

"Terperdaya bujukan setan," sambung Nara kesal.

"Lho?" Argan bengong.

"Iyalah terperdaya bujukan setan. Mas nggak nyadar aja waktu ngobrol sama Elita, setan berbisik di telinga Mas Argan untuk melupakan Nara dan fokus pada kecantikan Elita," tandas Nara membabi buta.

"Fokus pada kecantikan Elita? Emang tadi siang Mas Argan melotot matanya mantengin wajah Elita? Ngawur kamu, Na."

Nara terpekur.

"Demi Allah, Mas nggak ada maksud bikin kamu merasa tersisih. Mas mesti ngeyakinin gimana lagi?"

Nara mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kalau kamu nggak mau memaafkan ya udah. Mas juga bisa ngambek, Na. Mas mau ah sesekali ngambek. Kan capek diambekin terus." Argan merebahkan diri lalu memiringkan badannya memunggungi Nara.

Nara melirik suaminya yang tak biasanya berbaring memunggunginya. Nara semakin kesal. Ia kepalkan tangannya dan kakinya ia hentakkan berulang memukul kasur.

"Sebel ... sebel ... sebel ...." Nara memukulkan kepalan tangannya ke kasur berkali-kali.

Mendengar istrinya nyerocos kesal, Pak Dosen bangun dari posisinya. Seketika ia mendorong tubuh Nara pelan hingga wanita cantik itu terbaring. Tanpa banyak kata, Argan menindih tubuh Nara dan memagut bibir itu dalam-dalam.

Hmmmpp eehhmmmm ... Nara berusaha mendorong tubuh Argan. Napasnya serasa mau habis.

Argan justru mencengkeram kedua tangan Nara kuat-kuat, membuat wanita yang sedang marah itu tak bisa leluasa bergerak. Argan masih berusaha melumat benda kenyal itu dalam-dalam sambil sesekali mengambil napas. Nara pun menyerah pada akhirnya. Ia tak lagi memberontak. Perlahan dia membalas ciuman suaminya. Gerakan tangan Argan sudah menjelajah mencari apa saja yang bisa dilepas. Kancing baju, pengait bra. Untuk urusan satu ini, Pak Dosen jagonya.

Kedua mata itu beradu dengan napas tersengal-sengal setelah sebelumnya berciuman begitu panas.

"Apa segala persoalan harus diselesaikan di ranjang?" tanya Nara masih dengan napas yang memburu dan berkejaran.

"Kalau memang bisa diselesaikan di ranjang, kenapa nggak? Selesai masalah, dapet enaknya juga, 'kan?" Argan mengedipkan matanya.

Nara tersenyum tipis.

"Maafkan aku, ya. Aku janji nggak akan ngobrol-ngobrol sama Elita atau siapa pun sampai nyuekin kamu. Aku akan berusaha untuk tidak terlalu ramah sama cewek. Pokoknya kamu jangan khawatir, aku cuma cinta sama kamu. Aku ...."

Nara segera menempelkan jari telunjuknya di bibir Argan.

"Jangan kebanyakan ngomon ...." Seketika Nara langsung menarik kepala Argan untuk memperpendek jarak.

Mereka kembali berciuman dan menuntaskan kehangatan itu dengan sesuatu yang lebih intim.

******

Btw aku punya cerita baru. Ini dosen series juga kok. Kisah si brondong Rayga dalam mengejar cintanya. Yg ini mah lebih ringan ceritanya. Mampir ya dan ramaikan dengan vote hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro