Part 17
Sebelum baca, mau promo cerita yang masih sepi. Dijamin menghibur dan bikin ketawa. Gak ada narasi panjang, cuma cerita dua sejoli yang udah putus dan susah move on, mereka saling menyerang dan nyindir di instagram. Udah 9 part dan aku update saat butuh refreshing dan hiburan haha.
Seminggu ini ada banyak peristiwa yang begitu membekas dan mendewasakan Argan. Ia belajar dari sikap ketus Bu Yuli yang masih saja menyalahkannya atas bunuh dirinya Mareta. Tiga hari kemudian, wanita itu menyambangi rumahnya didampingi Pak Sastro, menangis meminta maaf. Ada satu temuan baru yang memberi jawaban atas penyebab bunuh dirinya Mareta. Yuli menemukan diary Mareta di kardus yang berisi buku-buku tulis Mareta, dari masa SMA hingga kuliah. Buku diary itu terselip di sana. Entah kenapa, saat itu terbersit dalam pikiran Bu Yuli untuk membereskan kardus berisi buku dan koleksi novel Mareta. Seingat Bu Yuli, Mareta sempat menginap di rumahnya beberapa hari sebelum meninggal. Dia meyakini, saat itulah ia menulis diary dan menyimpan diarynya di kardus.
Pak Sastro memberikan buku diary itu pada Argan. Ia baca lembar demi lembar dengan dentuman perasaan yang seakan siap untuk meledak, tapi dia berusaha menurunkan bara emosi yang bergejolak. Ada rasa sedih, tersayat, luka, sakit, dan rasa bersalah karena banyak waktu yang ia lewatkan tanpa memahami apa saja yang menimpa almarhumah.
Dalam diary tertulis jelas bahwa Mareta mencintai Bayu sedari SMA. Saat kelulusan, Mareta kehilangan virginity-nya setelah menghabiskan malam romantis bersama Bayu di vila. Setelah melahirkan Sakha, Bayu kembali datang dalam kehidupannya. Ia menjalin cinta terlarang dengan Bayu. Mareta menceritakan berapa berat perjuangan Bayu untuk sembuh dari anxiety disorder dan bahkan masih suka membuat luka di bagian tubuhnya untuk meredakan kecemasan. Satu hal yang membuat Argan kaget, dan ia yakin Diandra mungkin tak tahu bahwa selain anxiety, Bayu pernah kecanduan self harm. Mareta juga menuliskan bahwa ia bersyukur Bayu lepas dari self harm, meski ia masih harus berjuang untuk sembuh dari anxiety disorder yang diidapnya. Mareta berjanji akan selalu ada untuk Bayu. Baginya Bayu adalah segalanya. Kendati mereka berpacaran di belakang Argan, Bayu menjaga diri untuk tidak menyentuh Mareta.
Di lembaran lain, Mareta menuliskan bahwa ia merasa bersalah karena sudah mengkhianati Argan dan anaknya. Namun ia juga tak bisa jauh dari Bayu. Secara khusus, Mareta menuliskan permintaan maaf untuk Argan dan Sakha.
Mas Argan, maafkan aku karena aku bukan istri yang baik. Maafkan aku karena dari awal menikah, aku tak bisa memberikan hatiku untukmu. Aku mencintai orang lain, seseorang yang sudah menduduki singgasana hatiku sejak aku SMA. Rasa cinta itu semakin menguat dan aku tak bisa berhenti mencintainya.
Maafkan aku karena sudah menyakitimu. Kamu berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Kamu orang baik, Mas, terlalu baik. Tapi aku nggak bisa mencintaimu. Rasa ini masih terjaga untuknya.
Sakha ....
Maafkan Ibu karena Ibu bukan Ibu yang baik. Maafkan Ibu. Doa Ibu selalu menyertaimu. Jadilah anak yang salih. Kelak jika ibu pergi, jadilah anak yang menurut dan patuh sama ayah, sayangi dan hormati ayahmu. Ayahmu adalah ayah terbaik yang pernah ada.
Maafkan untuk segala kekurangan. Ibu cuma manusia biasa yang bergelimang dosa.
Argan menghela napas. Hatinya tercabik-cabik. Ia menyadari satu hal bahwa selama menikah dengan Mareta, mungkin terkadang dia terlalu sibuk bekerja hingga kurang memerhatikannya. Ada satu tulisan lagi yang begitu menyayat untuk dibaca.
Rasanya sangat menyakitkan ketika jiwa dan raga ini sudah tak lagi berharga. Aku tak bisa berbuat banyak setiap kali Andhika mengancamku bahwa ia akan menyebarkan video kami saat bercinta. Dia melecehkanku, membubuhkan obat perangsang dalam minumanku. Aku sadar dia hendak melecehkanku, aku berontak, tapi pengaruh obat itu begitu kuat. Aku menangis sejadi-jadinya ketika esok pagi dia menunjukkan rekaman itu. Bagaimana bisa aku terlihat seperti jalang murahan saat bercinta dengannya? Aku jijik pada diriku sendiri. Aku merasa sangat bersalah pada Bayu dan Argan. Andhika selalu saja memanfaatkan kesempatan untuk menghubungiku ketika dia membutuhkan tubuhku untuk menyalurkan hasratnya. Dia mengajakku bertemu di hotel, rumahnya, di mana pun asal bisa berdua. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut karena aku tak mau video itu tersebar. Aku terlalu takut. Sangat takut ... aku tertekan ... aku depresi.
Mati mungkin bukan pilihan yang baik tapi setidaknya setelah aku mati, aku tak lagi merasakan jijik dan hina setiap kali bercermin dan teringat apa yang sudah bajingan itu lakukan pada tubuhku. Aku tak pantas untuk hidup.
Argan menutup diary itu. Dia ingin mengembalikan diary itu pada orang tua Mareta. Dia tak ingin menyimpannya. Hanya untuk menyimpannya saja, rasanya begitu menyesakkan. Ia tutup kisah Mareta rapat-rapat dan ia tak mau membukanya lagi. Baginya yang terpenting saat ini adalah membangun masa depan bersama Nara dan Sakha. Ia tak mau memikirkan hal-hal getir di masa lalu.
Nara menghampirinya. Di tangannya tergantung rangkuman catatan yang ia tulis sendiri. Ia duduk di sebelah Argan dengan senyum manis yang khas, menonjolkan lesung pipinya.
"Udah belajarnya?" tanya Argan seraya mengusap rambut Nara lembut.
"Udah, Mas. Mudah-mudahan aja besok bisa ngerjain. Dosen yang ini dikenal pelit ngasih nilai, Mas." Nara mengerucutkan bibirnya.
"Sepelit-pelitnya dosen, kalau hasil ujiannya bagus, kehadirannya memenuhi persyaratan, tugas-tugas dikerjakan, insya Allah nilainya bagus," ucap Argan.
"Aamiin, mudah-mudahan saja, ya Mas." Nara melirik diary yang dipegang Argan.
"Mas Argan masih memikirkan diary Mbak Mareta?"
"Nggak, Na. Mas baca sekali lagi dan sekarang aku nggak akan membahas diary ini lagi. Kita tutup semua yang telah berlalu. Kita buka lembaran baru tanpa lagi membahas masa lalu, terutama terkait bunuh dirinya Mareta." Argan tersenyum sekali lagi.
Nara mengangguk.
"Baik, Mas. Kita bahas yang happy-happy saja."
Argan mendekatkan wajahnya pada Nara. Seketika Nara terpaku. Ia mematung seakan bersiap menerima apa pun perlakuan Argan. Laki-laki 32 tahun itu semakin memperpendek jaraknya, ia sedikit memiringkan kepalanya sembari menyejajarkan posisi bibirnya agar tepat menyentuh ujung bibir Nara.
Tiba-tiba Argan menjauhkan kepalanya dari wajah Nara dengan secepat kilat.
"Nggak jadi, ah," ledek Argan tertawa kecil.
Nara memukulkan pelan bantal kursi ke paha Argan sambil mencebik. "Mas Argan ih, ngledekin mulu."
"Ketahuan, Nara ngarep dicium, kan?" Argan mencubit pipi Nara dengan gemas. Ia tak pernah bercanda seperti ini dengan Mareta. Nara lebih ekspresif dan terlihat benar bahwa wanita ini begitu mencintai dan menginginkannya.
"Nggak, Mas Argan yang sebenarnya pingin nyium Nara." Nara mengerucutkan bibirnya.
Argan tertawa sekali lagi. "Iya aku memang pingin. Sakha udah lelap, kan?" Argan menyipitkan matanya.
"Iya, tadi aku lihat dia di kamar, dia tidur nyenyak banget."
Tanpa berpikir panjang, Argan mengecup bibir Nara, dilanjut dengan ciuman yang lebih dalam dan menuntut. Nara hampir kehabisan napas. Ia lepaskan ciuman itu, tetapi Argan belum ingin berhenti. Ia kembali menciumi wajah Nara dengan gerakan tangan yang sudah terampil menjelajahi setiap jengkal tubuh istrinya.
"Mas, pindah ke kamar, ya. Takut Sakha bangun, terus keluar kamar dan melihat kita." Nara menangkup kedua pipi Argan.
Argan menyeringai. "Baiklah istriku." Argan memungut diary yang ia letakkan di sofa. Selanjutnya ia membopong tubuh Nara dan segera membawanya ke kamar. Nara berteriak minta diturunkan. Namun, Argan tetap menggendongnya hingga tiba di kamar. Ruangan itu menjadi saksi bagaimana sepasang kekasih halal itu bercengkerama, menyalurkan hasrat dan cintanya dalam romansa yang semakin hangat dan mendebarkan.
******
Argan berjalan di sepanjang koridor setelah mengajar di salah satu kelas. Para mahasiswa yang berpapasan dengannya bergantian memberi salam dan tersenyum. Argan membalas dengan ramah. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, dia melihat seorang mahasiswi berjilbab biru duduk terpekur menunggu kedatangannya.
Mahasiswi itu mengangguk. "Pak ...."
"Mau setor skripsi?"
"Iya, Pak."
"Ya, sudah masuk." Argan mempersilakan mahasiswi itu untuk masuk.
Argan membuka lembaran-lembaran skripsi mahasiswi tersebut. Ia membaca data-data yang tertera di bagian analisa data.
"Kenaikan harga minyak ini dari tahun ke tahun cukup signifikan ya pengaruhnya terhadap pendapatan? Pemasaran kerupuk ini sudah sampai mana, ya?" Argan melirik mahasiswi itu sekilas.
"Baru di daerah Banyumas, Cilacap, Tegal, Brebes, dan Pemalang. Tapi omsetnya lumayan, Pak." Mahasiswi tersebut mengulas senyum, menutupi kegundahan hati yang sedari tadi berkecamuk.
"Lho kok saya baca di halaman sebelumnya, sudah sampai di Ciamis juga, ya?"
Mahasiswi tersebut menganga sekian detik lalu segera membalas pertanyaan sang dosen pembimbing.
"Ehm, iya Pak. Maksud saya sudah sampai sebagian Jawa Barat."
Argan memerhatikan wajah sang mahasiswi yang terlihat muram. Matanya terlihat sembab, entah karena kurang tidur atau habis menangis.
"Hari ini kamu kayaknya nggak fokus, ya? Kamu kurang tidur? Begadang?" menghadapi mahasiswa yang kurang tidur karena lembur mengerjakan skripsi itu sudah menjadi hal biasa bagi Argan. Hanya saja jejak sembab di mata mahasiswi bernama Kayla itu terlihat berbeda dengan mata-mata lelah karena kurang tidur. Ia terlihat seperti habis menangis.
Kayla sedikit gelagapan. "Iya, Pak. Saya kurang tidur. Semalam tidur jam dua pagi."
Argan menggeleng. "Menjaga kesehatan itu penting. Jangan suka begadang, apalagi begadang untuk hal yang nggak penting, diputusin cowok misalnya."
Jleb ....
Kayla tak habis pikir, bagaimana bisa Pak Dosen tahu bahwa dia menangis semalam karena putus cinta.
"Bapak kok tahu kalau saya habis putus cinta?" Kayla memicingkan matanya.
Argan tercengang. Padahal dia hanya berkata asal tapi ternyata mahasiswi bimbingannya ini benar-benar putus cinta.
"Jangan-jangan Bapak stalking instagram saya, ya?" Kayla mengerutkan dahinya.
Argan melongo. "Instagram kamu saja saya nggak tahu, gimana saya bisa stalking? Saya nggak mem-follow satu pun akun mahasiswa. Saya harus bersikap netral, termasuk saat bermain medsos. Saya pastikan saya nggak akan mem-follow akun mahasiswa mana pun."
Kayla terdiam. Ia menundukkan wajahnya.
"Mata habis menangis itu beda dengan mata begadang karena kurang tidur," ujar Argan sambil mencoret kata atau kalimat yang masih salah.
"Bapak hebat ya bisa menebak. Itu bapak nyoret-nyoret skripsi saya, Bapaknya fokus apa nggak? Dari tadi Bapak bicara, saya takut Bapak nggak fokus." Kayla menelan ludah melihat begitu banyak coretan di lembar skripsinya.
Argan tertawa kecil. "Saya bisa fokus, nggak sama kayak kamu."
"Iya, Bapak kan belum lama nikah, saya baru putus cinta. Jelas beda, Pak."
Argan menyeringai. "Kalau nggak mau merasakan putus cinta ya jangan pacaran."
Kayla tertunduk. Lidahnya serasa kelu. Argan menutup skripsi itu.
"Saya akan melanjutkan koreksi di rumah. Besok kamu bisa ambil lagi." Argan menatap Kayla tajam.
"Dengarkan saya, Kayla. Maaf kalau saya menggurui dan terkesan nggak memahami perasaan kamu. Kamu tahu kenapa agama sangat ketat mengatur hubungan lawan jenis? Kenapa pacaran tidak diperbolehkan?"
Kayla terdiam sesaat. Ia beranikan menggerakkan bibirnya dan menjawab.
"Karena dikhawatirkan pacaran itu akan mendekati zina."
"Kalau sudah tahu kenapa pacaran?" tanya Argan lagi.
Kayla terhenyak. "Saya pacarannya normal-normal saja kok, Pak."
"Saya tanya apa, kamu jawabnya apa. Tuh kan nggak fokus lagi."
Kayla kembali menunduk.
"Segala yang terlihat normal di mata manusia apa lantas bisa dijadikan pembenaran? Saran saya, yang kemarin itu jadikan pengalaman terakhir berpacaran. Sekarang kamu fokus sama skripsi kamu. Nggak usah mikirin pacaran apalagi mantan pacar. Fokus buat masa depan kamu. Jadikan pengalaman pahit kemarin sebagai pelajaran. Toh, kamu mau nangis sampai jam dua pagi sekalipun nggak bikin mantan kamu balik atau tiba-tiba WA nanya kabar kamu. Waktu kamu bakal terbuang percuma hanya untuk memikirkan seseorang yang belum tentu mikirin kamu. Saya yakin nanti Allah bakal kasih jodoh yang jauh lebih baik dari mantan kamu."
Kayla mencerna kata demi kata yang meluncur dari bibir Argan. Ia membenarkan apa yang terucap oleh dosen pembimbingnya.
"Berdoa sama Allah, minta diberi ketenangan. Mudah-mudahan kamu cepat move on ya."
"Aamiin, makasih banyak, Pak. Saya akan berusaha untuk move on," ucap Kayla.
"Gitu dong. Yang semangat ya. Fokus ke masa depan." Argan tersenyum.
Kayla mengangguk. "Baik, Pak."
"Ya sudah kamu boleh keluar. Besok kamu bisa ambil skripsi kamu."
Kayla mengangguk. "Saya permisi dulu, Pak. Terima kasih."
Argan mengembuskan napas dan meregangkan otot-otot tangannya. Ia melirik jarum jam. Hari ini ia akan menjemput Nara di kampus dan mengantarnya pulang. Bunyi smartphone mengagetkannya. Ada panggilan telepon dari Riana.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Pak Argan. Bapak bisa ke sekolah nggak, ya? Sakha berkelahi dengan temannya dan tak mau pulang dengan mobil jemputan."
Argan shocked mendengarnya. Setelah sekian lama Sakha tidak berbuat ulah di sekolah, sekarang ia mendengar kabar bahwa Sakha berkelahi dengan temannya.
"Baik, Bu, saya akan ke sana."
Argan meraih kunci mobil dan tas kerjanya. Ia berjalan keluar ruangan dan bergegas menuju area parkir.
******
Sebelum melajukan mobil ke sekolah Sakha, Argan menjemput Nara terlebih dahulu. Sepanjang jalan, pikiran Argan benar-benar kacau memikirkan perbuatan anaknya. Ia tak percaya, Sakha terlibat perkelahian.
Setiba di sana, Argan dan Nara bergegas berjalan masuk ke lokasi kelas Sakha. Seorang guru menyambutnya.
"Pak Argan, orang tua dari Sakha, ya? Sakha ada di ruang guru. Mari saya antar."
Argan dan Nara berjalan menuju ruang guru,mengikuti guru tersebut. Di ruangan itu sudah ada Riana, Bapak Kepala Sekolah, Sakha yang tengah menangis tersedu-sedu, satu anak laki-laki yang Argan duga adalah anak yang berkelahi dengan Sakha, satu ibu muda, ibu dari anak tersebut.
"Assalamu'alaikum." Argan mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab yang ada dalam ruangan.
Melihat ayahnya datang, Sakha langsung menghambur memeluk ayahnya dengan isakan tangis yang tersedu-sedu.
"Maaf, Pak Argan, Sakha menjambak temannya hingga temannya kesakitan. Mereka saling pukul, cuma karena tenaga dan badan Sakha lebih besar, Revan kalah dan tersungkur sampai lututnya berdarah karena terantuk besi tiang ayunan. Mereka berkelahi di depan TK. Untung salah satu guru memergoki dan berhasil melerai mereka," Pak Irsyad, Kepala Sekolah SD tempat Sakha bersekolah memberi penjelasan.
"Anak saya sampai ketakutan. Sakha brutal sekali saat menyerang Revan. Teman-teman yang melihat kejadian itu mengatakan bahwa Sakha yang menyerang lebih dulu." Ibu muda tersebut bicara dengan ngototnya.
Riana mengelus lengan sang ibu. "Maaf, Bu Rita, Ibu tolong bersabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Sakha. Dari tadi kita hanya mendengar penjelasan sepihak dari Revan. Kita belum mendengarnya dari Sakha."
Riana berganti menatap Argan. "Pak, Sakha tidak mau memberi keterangan apapun. Saya dan Pak Irsyad sudah bertanya berulang kali kenapa Sakha menyerang Revan, tapi Sakha tidak mau menjawab. Dia menangis terus."
Argan berjongkok untuk mensejajarkan badannya dengan tinggi badan Sakha.
"Sakha tolong kasih tahu Ayah, kenapa kamu berkelahi dengan Revan? Sakha yang menyerang lebih dulu?" Argan menatap Sakha lembut, tapi ada ketegasan di matanya.
Sakha semakin terisak.
"Sakha yang mukul Revan duluan, jambakin rambut Revan." Revan menatap Sakha dengan kesal.
"Sakha nyerang kamu pasti ada sebabnya. Tadi kalian bertengkar soal apa?" Argan menoleh ke arah Revan.
"Revan nggak ngapa-ngapain, kok. Tadi kita main ayunan bareng. Mungkin Sakha nggak suka main sama Revan." Revan memasang tampang cemberut.
Nara mendekat pada anak tirinya. Ia mengusap rambut anaknya.
"Sakha beneran nggak mau ngasih tahu alasan Sakha menjambak Revan?" Nara bertanya dengan lembut.
Sakha menggeleng. Tangisnya semakin mencekat. Nara beradu pandang dengan Argan.
"Mas, mungkin sebaiknya kita pulang saja. Biarkan Sakha istirahat dulu. Setelah situasinya memungkinkan, baru deh kita tanya lagi." Nara memberikan usulan.
Argan mengangguk. Rasanya percuma jika terus memaksa Sakha untuk menjawab.
"Pak, Bu, kami mohon pamit, insya Allah nanti saya akan bertanya lagi di rumah. Kondisi Sakha sepertinya sedang tak baik."
Pak Irsyad mengangguk. "Silakan, Pak Argan. Mungkin nanti Sakha mau menjawab setelah tiba di rumah."
"Terima kasih, Pak. Saya minta maaf yang sedalam-dalamnya atas sikap Sakha yang telah mengganggu ketertiban." Argan beralih menatap Riana, "terima kasih, Bu. Maaf kalau Sakha sering merepotkan."
Terakhir Argan menoleh Revan dan ibunya.
"Saya minta maaf atas kelakuan Sakha, Bu."
Ibu muda tersebut menanggapi dingin. Argan tersenyum menatap Revan. "Maafkan Sakha, ya Revan. Semoga setelah ini kalian tetap berteman baik."
Argan meraih tangan Sakha untuk menyalami Revan, tapi Revan masih bergeming, tak mau menjabat tangan Sakha.
Argan, Nara, dan Sakha keluar dari ruangan dengan gejolak perasaan yang membuat mereka tak nyaman. Argan yakin pasti ada penyebab kenapa Sakha menyerang temannya. Ia paham benar watak anaknya yang tak mungkin gegabah berkelahi jika tak ada sebab yang jelas.
Setiba di rumah, baik Argan maupun Nara tak mau terburu-buru bertanya pada Sakha. Mereka biarkan Sakha beristirahat, makan siang, dan bermain, seolah tak terjadi apa-apa. Mereka berencana akan bertanya pada Sakha setelah Sakha menunjukkan sikap tenangnya.
Malam, selepas Isya, Sakha membaca-baca buku cerita. Argan dan Nara yang tengah duduk bersebelahan di sofa saling menatap, seakan memberi kode untuk mulai bertanya pada Sakha.
"Sakha, kesini dong. Ayah mau main tebak-tebakan." Argan melirik putranya yang masih asik membaca.
Sakha beranjak dan duduk diantara Argan dan Nara.
"Tebak-tebakan apa, Yah?"
"Ayah nanya sesuatu, nanti Sakha yang menjawab."
Sakha mengangguk. "Baik, Ayah."
"Menara Eiffel ada di negara mana?"
"Perancis," jawab Sakha cepat.
"Gantian Mama Nara yang bertanya." Argan melirik istrinya.
Nara mengelus dagunya. "Ehm planet yang terdekat dengan matahari?"
"Merkurius," jawab Sakha antusias.
"Sekarang Ayah yang nanya. Apa yang menyebabkan anak kecil berkelahi?" Argan menatap tajam Sakha.
"Karena diejek, dikata-katain ...," balas Sakha sambil mengerucutkan bibirnya, teringat akan kejadian di sekolah.
"Emang dikata-katain apa, sih?" Nara memicingkan mata, sesekali melirik Argan.
"Dikatain ibunya meninggal bunuh diri." Sakha menunduk.
Argan dan Nara membeku untuk sesaat. Rasanya sungguh menyakitkan mengetahui alasan Sakha berkelahi dengan temannya karena temannya mengatakan ibunya bunuh diri. Sekuat apapun Argan menutupi luka lama itu, pada akhirnya kasus getir itu akan tersingkap dengan sendirinya. Argan tak perlu bertanya dari mana anak sekecil Revan tahu akan kasus ini. Ia hanya memikirkan bagaimana mengembalikan rasa percaya diri Sakha dan keceriaannya setelah luka lama itu dikorek kembali.
"Kenapa Sakha diam saat ditanya di sekolah?" sorot mata Argan menancap jelas di kedua mata Sakha.
"I don't want more people know about it." Sakha menjawab tenang.
"Sometimes you can't hide something. I know it's painful to pretend that everything is fine while everything's going wrong. When people know about your biggest secret, all you have to do is deal with it and calm down. They bully you because they want to make you angry." Argan berkata lembut. Ia melihat sorot mata Sakha berkaca, seolah bercerita bahwa ia begitu terluka. Betapa rasa pedih kehilangan seorang ibu karena peristiwa tragis akan selalu membekas di hati dan pikiran anak. (Terkadang kamu tidak bisa menyembunyikan sesuatu. Aku tahu ini menyakitkan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja sementara semuanya berjalan salah. Ketika orang tahu tentang rahasia terbesarmu, yang harus kamu lakukan adalah menghadapinya dan menenangkan diri. Mereka mem-bully kamu karena mereka ingin membuat kamu marah).
"I feel you.. But it doesn't mean what you have done is right. Violence isn't good solution. Kekerasan nggak akan menyelesaikan masalah. Lain kali Sakha jangan terpancing untuk menjambak atau memukul teman yang mengatakan hal itu lagi. Bilang kalau Sakha tak suka mendengarnya. Jika mereka masih saja mengumpat, segera menjauh dan jangan dengarkan. Kalau hal itu sudah sangat mengganggu, Sakha bisa melaporkan ke guru. Bullying secara verbal juga bisa dilaporkan." Nada bicara Argan terdengar tegas.
"I know, I'm wrong. But I'm not comfortable to hear you said 'I feel you', it's slang and informal.." Sakha mengernyit.
Nara dan Argan saling berpandangan dan tertawa.
"Anak kita terlalu kritis. Pilihlah bahasa yang formal." Nara tersenyum menatap Argan.
"Okay, I'm sorry. I just want to show my emphaty. Jadi besok, Sakha minta maaf sama Revan karena sudah menjambak Revan." Argan mengacak rambut Sakha.
"I'm not ready to go to school tomorrow. Sakha nggak mau berangkat sekolah dulu. Sakha nggak mau diejek lagi sama teman-teman." Sakha menatap Argan dan Nara bergantian seolah meminta pengertian keduanya untuk mengizinkannya tidak berangkat ke sekolah dulu.
Argan mengendikkan bahu. Nara segera menyela.
"Baiklah Sakha, Mama dan Ayah akan bicara dengan gurumu untuk mengizinkanmu tidak berangkat sekolah dulu. Tapi Sakha janji, lusa Sakha mau berangkat ya." Nara tersenyum.
"Thank you," Sakha mengerlingkan senyum manisnya.
Argan menatap Nara sepintas seolah meragukan sikap Nara yang mengizinkan Sakha untuk tidak berangkat ke sekolah besok.
"Trust me," ujar Nara seraya melirik sang suami. Ia bisa membaca kekhawatiran yang terlukis di wajah Argan.
"Tapi Sakha janji untuk minta maaf sama Revan meski nggak berangkat sekolah, ya. Minta maafnya bisa lewat telepon," sahut Argan.
Sakha mengangguk.
Argan dan Nara mengantar Sakha untuk tidur. Sakha meminta keduanya menemaninya sampai dirinya terlelap. Setelah Sakha benar-benar nyenyak, Argan dan Nara kembali ke ruang tengah.
"Apa kamu yakin untuk mengizinkannya tidak ke sekolah dulu?" Argan menaikkan alisnya.
"Ya, Mas. Ini jadi kesempatan untuk kita bicara dengan gurunya. Kita minta bantuan Bu Riana untuk menasihati murid-muridnya agar tidak lagi mem-bully Sakha. Sebenarnya orang tua murid yang lain juga harus menasihati anak-anaknya agar tidak mengejek atau mem-bully teman. Kita benahi kondisi psikis Sakha agar kembali membaik."
Argan tersenyum tipis. "Semakin ke sini, aku semakin bersyukur memilikimu, Na. You are a great mom for Sakha."
"Mas Argan ngegombal nih ceritanya?"
Argan terkekeh. "Aku serius." Argan menarik kepala Nara agar bersandar di pundaknya.
"I love you," Argan mengecup puncak kepala Nara.
"I love you more," balas Nara sembari memeluk pinggang Argan dan menyesap aroma parfum suaminya dalam-dalam.
Cinta itu semakin menggelora dan mereka berharap kehangatan ini akan selalu terjaga hingga ajal memisahkan.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro