Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15

Argan mencuci piring sambil bersenandung. Ia menyanyikan lagu milik Armada.

"Katakanlah sekarang, bahwa kau tak bahagia ... Aku punya ragamu, tapi tidak hatimu ...."

"Ehemm ...." Nara mendekat ke arah suaminya sembari bersedekap dan menatap menelisik dari atas ke bawah.

"Eh ada princess cantik."Argan menaikkan kedua alisnya dan tersenyum.

"Dalem banget lagunya, Mas. Lagu buat siapa?" Nara memicingkan matanya.

"Cuma asal nyanyi saja, Sayang." Argan meletakkan piring-piring di rak sebelah wastafel. Ia teringat kata-kata salah satu temannya yang mengatakan bahwa sebaiknya hati-hati menyanyikan lagu cinta di depan istri karena terkadang maksud hati cuma iseng bernyanyi, istri mengartikan lain, curigation si suami sedang jatuh cinta dengan wanita lain atau berselingkuh.

"Kirain buat seseorang. Kalau buat Nara kan nggak mungkin," ucap Nara sambil menyandarkan badannya di meja dapur.

Argan berdiri di hadapan Nara dan menatapnya lekat.

"Nggak mungkin, karena Mas Argan nggak cuma memiliki raga Nara, tapi juga hati Nara." Nara mengalungkan tangannya ke leher Argan dan tersenyum menatap suaminya.

Argan membalasnya dengan senyum dan menaikkan kembali dua alisnya. "Masa, sih?"

Nara mengangguk. Argan mengecup pipi istrinya lalu mengangkat tubuh Nara sedikit dan mendudukkannya di meja dapur. Posisi Nara menjadi lebih tinggi dari Argan. Ia masih mengalungkan tangannya pada leher Argan. Tak perlu waktu lama untuk saling menatap dan mengagumi keindahan rupa masing-masing. Apalagi semalam Sakha menginap di rumah kakek neneknya (orang tua dari Mareta). Pulang sekolah nanti pun, Sakha akan pulang ke rumah orang tua Mareta. Argan berencana menjemput Sakha sore nanti dengan mengajak serta istrinya, hitung-hitung silaturahmi. Kedua sejoli itu merasa bebas berduaan di pagi ini. Tak akan ada yang mengganggu, meski semalam Nara haid, tapi itu tak masalah untuk sekedar berciuman dan berpelukan.

Argan melumat bibir istrinya lembut. Baginya, bibir Nara sudah seperti candu yang tak akan bosan untuk ia kecap berulang-ulang. Setiap berciuman dengan Nara, ia bisa merasakan aliran cinta yang begitu hangat seakan merasuk ke setiap celah hatinya.

Nara sedikit mencelos kala Argan menghentikan ciumannya sementara Nara masih menginginkan untuk meneruskan.

"Kok berhenti?" Nara menatap Argan dengan pandangan bertanya.

Argan tersenyum. "Mas takut menginginkan lebih. Kan bahaya, Nara lagi dapet."

"Ciuman aja nggak masalah, 'kan?" Nara mengernyit.

"Ya, buat kamu nggak masalah. Buat aku, bikin tersiksa. Kalau ada yang bangun, gimana?" Argan mengedipkan matanya.

"Udah kayaknya." Nara melirik ke bawah dengan senyum kepuasan. Bisa membangkitkan gairah suami hanya dengan berciuman atau sedikit menyentuh, bahkan hanya dengan melihatnya berpakaian minim seakan menjadi prestasi tersendiri untuk Nara.

"Kamu hobi banget nyiksa suami, sih." Argan menggendong Nara. Posisi tubuh Nara menghadapnya dan ia melingkarkan kakinya, mengitari pinggang Argan. Nara tertawa nyaring.

"Aku pakai baju seksi aja udah bikin kamu klepek-klepek, Mas. Nggak susah buat aku untuk menggoda Mas."

Argan menurunkan tubuh Istrinya. Mereka berciuman kembali sambil berpelukan.

"Kamu emang menggoda banget, Na."

"Udah, ah, masak yuk. Aku yang bikin bumbunya, Mas yang nyiapin sayurannya." Nara melepas pelukannya dan berjalan menuju kulkas.

"Mau masak apa hari ini?" Argan melirik seikat kangkung yang dikeluarkan Nara dari dalam kulkas.

"Mas, pingin apa?" Nara melirik suaminya seraya mengulas senyum.

"Pingin kamu," ledek Argan.

"Ih, Mas Argan malah ngledekin." Nara sedikit tersipu, terlebih lagi Argan menatapnya lekat-lekat.

"Kangkung aja nggak apa-apa kok." Argan memungut seikat kangkung itu lalu mencucinya di wastafel. Bagi Argan, membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah salah satu caranya untuk bersikap romantis pada istri, seperti yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu'alaihi wassalam yang senang mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

"Oya, Mas, nanti aku mau ketemuan sama Firda dan Tasya. Firda kayaknya lagi galau karena Bayu tiba-tiba datang dan ingin bertanggung jawab."

Argan mendelik. "Bayu ingin bertanggung jawab? Aku jadi ingat satu hal dan aku belum nyeritain ke kamu." Argan meletakkan kangkung tersebut dalam wadah.

"Bayunya Firda adalah Bayu yang berselingkuh dengan Mareta. Dia masa lalu dari Mareta dan juga ayah dari bayi yang dikandung Firda."

Nara terhenyak. Ia shocked mendengarnya. Seketika ia menganga.

"Astaghfirullahal'adzim. Ternyata Bayu dari dulu memang nyebelin, ya. Tapi yang aku heran, kenapa dia tiba-tiba ingin bertanggung jawab pada kehamilan Firda. Padahal sebelumnya ia menolak mengakui kalau bayi yang dikandung Firda adalah darah dagingnya." Nara menyiapkan cabai, bawang merah, bawang putih, garam, dan gula merah.

"Tapi entah kenapa aku dukung Bayu bertanggung jawab pada Firda. Anak dalam kandungan Firda butuh sosok ayah." Argan memisahkan daun kangkung dari batangnya dan memotong batangnya.

"Tapi Bayu itu ... jahat!" Nara senewen.

"Semua orang berhak untuk bertobat, 'kan? Bukan aku membela dia, ya. Perbuatan dia tetap salah, tapi kalau dia memang ingin benar-benar bertobat ya sudah semestinya didukung. Meski kalau ingat perselingkuhannya dan Mareta, aku merasa sakit juga. Tapi aku nggak mau memikirkan hal yang telah lalu, apalagi mengisi hatiku dengan rasa benci dan dendam. Itu hanya akan menjadi penyakit hati untukku."

Nara tersenyum. Ia menatap suaminya lembut. Argan melirik istrinya dan menyipitkan matanya.

"Kenapa lihatin aku kayak gitu? Mas ganteng, ya?"

Nara tertawa lepas.

"Iya ganteng banget. Aku suka aja cara berpikir Mas Argan yang realistis dan sabar. Nggak gampang tersulut emosi. Mas Argan bisa mengayomi dan membimbing Nara dengan sabar, lembut, nggak mengedepankan ego."

"Sudah seharusnya seperti itu, 'kan?" Argan mengacak asal rambut Nara.

"Oya, Na, nanti sore kita jemput Sakha ke rumah Pak Sastro dan Bu Yuli ya."

Nara berpikir sejenak. "Apa nggak apa-apa Nara ikut ya? Gimana reaksi mereka kalau ketemu Nara?"

Argan tersenyum. "Tenang saja. Mereka pasti akan menghargai dan berterima kasih sama kamu karena sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Sakha."

"Iya, semoga saja."

******

Yuli memperhatikan lekat-lekat sosok ibu sambung cucunya yang menurutnya kurang meyakinkan untuk disebut sebagai ibu yang ideal untuk cucunya. Perbincangan mereka masih seputar basa-basi tentang perkembangan Sakha dan prestasinya di sekolah. Sesekali Sastro bertanya pada Nara seputar kuliah dan kesulitannya menghadapi Sakha.

"Sabar aja kalau Sakha susah diatasi ya, Nak Nara. Namanya juga anak-anak." Sastro tersenyum mengamati Sakha yang asik menyusun lego. Ia selalu menyediakan lego untuk bermain cucunya yang kadang menginap di rumahnya.

Nara mengangguk dan tersenyum. Belum sempat membalas, Yuli segera menanggapi ucapan suaminya.

"Menghadapi Sakha itu harus pinter. Minimal harus mendekati cara yang dipakai almarhumah anak saya. Berkat bimbingannya, Sakha tumbuh menjadi anak pintar, kritis, cerdas, dan berprestasi. Kalau untuk seumuran kamu mungkin perlu belajar banyak. Kamu kan masih kuliah, masih suka main-main, pasti perhatian kamu kurang ke Sakha, apalagi cuma anak sambung." Nada bicara Yuli terdengar sedikit ketus.

Nara sedikit tersentak. Kata-kata yang meluncur dari bibir Yuli begitu menusuk perasaannya.

"Alhamdulillah Nara bisa menjadi ibu yang baik untuk Sakha. Dia membuatkan Sakha mainan, memasak untuk kami, menemani Sakha belajar. Dia memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup untuk Sakha, bahkan lebih dari cukup." Argan melirik Nara dan tersenyum padanya.

"Tetap saja beda antara ibu kandung dan ibu tiri. Kasih sayang ibu kandung jauh lebih tulus. Kebanyakan ibu sambung, cintanya hanya pada ayahnya saja." Yuli berbicara frontal, membuat Sastro merasa tak enak.

"Bu, jangan gitu, ah. Bapak lihat Nara ini sosok ibu yang baik untuk Sakha meski usianya masih sangat muda. Positive thinking saja. Cucu kita mendapat ibu yang baik."

Yuli menghela napas dengan raut wajah yang tak terbaca. Atmosfer mulai terasa tak nyaman. Argan dan Nara saling memandang sekilas.

"Saya akan berusaha untuk menjadi ibu yang baik untuk Sakha." Nara memberanikan diri untuk bersuara.

"Iya Nara sudah berusaha maksimal. Dia bisa memberikan kasih sayang dan pengasuhan yang sama dengan Mareta. Bahkan saya lihat, Nara ini sangat kreatif dan bisa mengambil hati Sakha." Argan tak berhenti memuji Nara di hadapan orang tua Mareta.

"Saya kok nggak yakin. Saya sempat berharap kamu dapat istri yang umurnya nggak jauh dari kamu. Yang bisa bijak dan dewasa mendidik Sakha." Yuli mengembuskan napas perlahan. Ia melirik cucu kesayangannya yang tengah bermain lego di karpet.

"Andai Mareta nggak meninggal, anak itu nggak akan kehilangan figur seorang ibu. Kasihan Mareta, di akhir hidupnya menderita dan meninggal dengan cara yang tragis." Yuli menunduk dan setitik air mata jatuh membasahi pipi.

"Yang sudah berlalu jangan diungkit-ungkit lagi, Bu." Sastro mengusap lengan istrinya.

Nara dan Argan hanya tertegun. Hingga detik ini, Yuli masih sering mengungkit kematian anaknya. Ada rasa tercabik setiap kali teringat akan kematian Mareta yang mengenaskan. Ia masih sering menyalahkan Argan dan menuduhnya tidak bertanggung jawab pada Mareta dan melukai perasaan anaknya.

"Jika saja Argan bisa menjadi suami yang baik, Mareta nggak akan melakukan itu. Menderitanya seorang istri adalah tanggung jawab suami. Jika istri nggak bahagia, maka suami yang bersalah karena tak bisa membahagiakan istri."

Kali ini Argan yang tersudut, terluka dengan tuduhan Yuli yang tak berdasar. Ia selalu bersabar setiap kali Yuli menuduhnya tak memperlakukan Mareta dengan baik. Ia mencoba memahami duka seorang ibu, yang pasti sangat terluka karena kehilangan buah hati. Kejadian itu sudah berlalu, tapi sakitnya masih mendalam dan menyesakkan hingga kini. Tangis menyayat mungkin sudah lama tercurah, tapi gaungnya masih terdengar hingga sekarang, seakan setiap bilik hatinya menjerit, meneriakkan nama putrinya. Dan mata yang menua itu masih saja luapkan air mata yang sering kali tumpah di atas sajadah, memohon ampunan untuk putrinya di sepertiga malam.

"Sudah, Bu. Jangan menyalahkan Argan. Bapak percaya, Argan suami yang baik." Sastro menegaskan kata-katanya.

"Kalau memang dia suami yang baik, kenapa Mareta menderita di akhir hidupnya? Dia pasti sangat menderita dan tertekan, makanya dia mengakhiri hidupnya." Yuli terisak. Sastro tak tahu bagaimana menenangkan istrinya.

Argan menahan deru emosi yang sedari tadi bergejolak, takut amarah itu akan menembus batas pengendalian emosinya.

"Sudah, Bu. Ada Argan, Nara, hargai mereka." Sastro mengusap bahu istrinya.

"Bisa saja, Argan berselingkuh makanya Mareta tertekan dan depresi." Sorot mata Yuli begitu tajam, bagai ujung sembilu yang siap mengiris perasaan Argan.

Nara hendak mengucapkan sesuatu, tapi Argan segera menggenggam tangannya kuat sebagai isyarat agar Nara diam saja.

"Bu, saya tegaskan ya, saya nggak berselingkuh. Selama menikah dengan Mareta, saya selalu berusaha untuk menjadi suami yang baik dan setia." Kata-kata Argan terdengar tegas dan tajam. Dia menjaga lisannya untuk tidak mengatakan bahwa Mareta telah berselingkuh dengan Bayu, demi menjaga aib orang yang sudah meninggal. Cukup ia ceritakan pada Nara. Dia juga ingin menjaga perasaan orang tua Mareta. Sekeji apapun tuduhan Yuli terhadapnya, ia masih memikirkan perasaan wanita itu. Kehilangan Mareta saja sudah sedemikian menyakitkan untuk Yuli, apalagi jika mendengar fakta lain di balik kematian Mareta.

Argan menoleh anaknya yang masih asyik bermain, agak jauh dari tempatnya duduk. Ada perasaan Sakha juga yang harus dijaga meski ia tengah asik sendiri dan tak memerhatikan apa saja yang tengah diperbincangkan para orang dewasa yang berada dalam satu ruang dengannya.

Andai saja Argan tak mencegahnya, mungkin Nara akan membeberkan fakta yang sebenarnya agar Yuli tak lagi menuduh Argan yang bukan-bukan. Nara membendung kuat-kuat amarahnya pada wanita paruh baya itu.

Yuli terdiam, tak berani menatap Argan juga suaminya. Ia selalu berseberangan pandangan dengan Sastro, karena itu ia hanya membisu mendengar kata-kata Argan, tanpa meminta pembelaan dari suaminya.

"Maafkan istri saya, Nak Argan. Maafkan segala tuduhannya." Sastro memaksakan bibirnya untuk tersenyum.

"Saya sebenarnya ingin Sakha tinggal di sini terus. Suasana rumah ini akan lebih bersahabat untuk Sakha dibanding ketika dia harus serumah dengan ayahnya, yang sampai saat ini belum jelas apa ayahnya harus bertanggung jawab atas kasus ibunya yang sudah meninggal atau tidak. Dia juga harus serumah dengan ibu tiri yang masih terlalu muda dan belum tentu bisa menjadi ibu yang baik untuk Sakha." Yuli menyampaikan keinginannya yang sudah lama ia pendam.

Argan memicingkan matanya. "Saya ayahnya Sakha, Bu. Saya berhak untuk mengasuhnya. Dan selama ini saya selalu berusaha menciptakan suasana rumah yang hangat untuknya. Asal ibu tahu, sejak Nara tinggal di rumah, Sakha yang sebelumnya sangat pendiam dan enggan berinteraksi dengan orang lain selain keluarga, sekarang dia sudah mulai membuka diri dan bersemangat. Tolong jangan pernah meragukan kemampuan istri saya. Ibu percaya saja pada kami, kami akan berusaha mengasuh Sakha dengan penuh kasih sayang dan melakukan yang terbaik untuknya."

"Pokoknya selama motif Mareta belum terjawab, saya belum percaya sama kamu dan saya ingin Sakha suatu saat tinggal di sini," tegas Yuli.

Sastro buru-buru menyenggol lengan istrinya.

"Iya Nak Argan, kami percaya Nak Argan dan Nak Nara adalah orang tua yang baik untuk Sakha." Sebelah kakinya menginjak pelan telapak kaki istrinya agar tak bicara lagi.

"Sudah semakin sore, kami pamit undur diri. Terima kasih banyak Pak, Bu, sudah menjaga Shaka dengan baik."

"Sama-sama, kami malah yang harus berterima kasih karena sudah mengizinkan Sakha menginap di sini." Sastro mengerlingkan senyum.

Argan merasa sudah cukup waktunya berbincang dengan Sastro dan Yuli. Dia tak ingin situasi menegangkan antara dirinya dan Yuli semakin berkelanjutan dan memancing keributan.

******

Nara mengetik tugas kuliahnya, sementara Argan tengah mengoreksi skripsi. Nara menghentikan sejenak tarian jarinya di atas keyboard. Ia melirik Argan yang duduk di ranjang dan menggenggam skripsi yang ia letakkan di atas kakinya yang bersila.

"Mas ...."

Argan mengangkat wajahnya. "Ya, Sayang."

"Kenapa Mas Argan nggak bilang ke Bu Yuli tentang perselingkuhan Mareta dan Bayu? Aku kesal dengan cara Bu Yuli menuduh Mas Argan berselingkuh dan tak bertanggung jawab."

Argan meletakkan lembaran skripsi di atas nakas.

"Sini deh, duduk di sebelahku." Argan menepuk kasur di sebelah tempatnya duduk.

Nara menuruti instruksi suaminya. Argan menatapnya lembut.

"Aku nggak cerita soal itu karena aku menjaga aib Mareta, Na. Aku rasa itu jauh lebih baik dibanding menceritakan hal yang sangat pahit ini. Bu Yuli akan semakin sakit. Aku tahu, aku sudah diperlakukan tidak adil dengan dituduh ini itu, tapi akan sangat tidak dewasa jika aku mengatakan hal-hal pahit dan mengumbar aib orang yang sudah meninggal untuk membela diri. Terkadang kita hanya perlu menyerahkan semua pada Allah untuk menunjukkan kebenarannya. Aku melihat Bu Yuli itu jadi teringat dengan ibu sendiri. Bu Yuli sebenarnya nggak bermaksud menyakiti atau gimana, dia hanya bersedih atas kematian anaknya. Aku juga mempertimbangkan perasaan Pak Sastro juga yang sudah begitu baik dan bijak. Beliau pasti akan sangat kecewa dan terluka mendengar fakta buruk tentang Mareta. Aku rasa menjaga perasaan mereka dan menjaga aib Mareta adalah pilihan yang terbaik."

Nara tergugu. Ia menggenggam telapak tangan Argan dan menautkan jari-jarinya pada jari-jari Argan.

"Nara salut dengan sikap Mas Argan yang begitu dewasa dan nggak gegabah bertindak. Nggak seperti Nara yang kadang grasa-grusu dan nggak mikir panjang. Mas Argan nggak mudah terpancing emosi. Nara mesti belajar menata emosi dari Mas Argan. Kalau saja Mas Argan nggak mencegah Nara untuk bicara, mungkin Nara udah berdebat dengan Bu Yuli."

"Segala sesuatu yang dikerjakan dengan keadaan marah, hati panas, itu pasti akan selalu menimbulkan masalah." Argan mengembuskan napas.

Laki-laki itu mengeratkan tautan jari-jarinya pada jari-jari istrinya.

"Aku sebenarnya sudah nggak mau tahu apa penyebab Mareta bunuh diri. Tapi kalau Bu Yuli terus menuduhku dan malah berharap Sakha tinggal bersama mereka, kok aku jadi ingin tahu juga motif apa sebenarnya yang melatarbelakangi Mareta bunuh diri. Dengan begitu beliau nggak akan semena-mena lagi meminta Sakha tinggal di sana. Aku juga takut kehilangan Sakha."

"Sakha akan tetap tinggal bersama kita, Mas. Ayahnya lebih berhak mengasuh anak dibanding kakek neneknya." Nara mengusap pipi suaminya.

"Na, aku kok kepikiran ingin nanya ke Diandra soal Mareta. Barang kali dia tahu sesuatu. Bisa dibilang Diandra jauh lebih dekat dengan Mareta dibanding Lusi."

"Ya, coba aja, Mas. Aku juga jadi penasaran ingin tahu. Karena memang jika ada masa lalu yang belum terselesaikan, semua itu menjadi sesuatu yang mengganjal langkah kita ke depan."

Argan menatap Nara lembut, "Besok temeni aku ketemuan sama Diandra ya."

Nara mengangguk dan tersenyum, "Baik, Mas."

******

Diandra menyesap jus jambunya dengan perasaan yang terombang-ambing dalam dilema. Rasanya sangat tak nyaman ketika harus berada pada posisi yang serba salah, sebagai seseorang yang tahu tentang suatu kebenaran tapi dia enggan untuk membagikannya. Ada aib yang harus dijaga, tapi ia juga tak tega melihat raut muka Argan yang begitu memelas, berharap ia mau bercerita satu atau dua fakta tentang Mareta yang tak diketahui orang lain selain dirinya.

Diandra menatap Argan dan Nara bergantian.

"Please Di. Jika aku tahu yang sebenarnya, aku akan merasa lega. Aku tahu satu hal menyakitkan tentang perselingkuhan Bayu dan Mareta, aku terima. Jadi aku sudah siap untuk mendengar sesuatu yang lebih buruk lagi." Argan tak henti mendesak Diandra untuk bercerita.

"Okay, pertama izinkan aku bercerita soal Bayu terlebih dahulu."

Nara dan Argan menyimak baik-baik.

"Aku mohon setelah aku cerita, maafkan Bayu."

Nara dan Argan saling berpandangan.

"Demi Allah, pria itu sebenarnya nggak jahat. Selama ini dia mengidap gangguan psikologis yang berat. Sedari remaja sebenarnya sudah bermasalah. Pola asuh orang tuanya jadi salah satu penyebab dia rentan depresi. Bayu mengidap depresi berat pasca meninggalnya Mareta. Depresi yang sudah mengarah ke gajala psikotik. Sepanjang hari dia dihantui halusinasi dan delusi. Aku melihat sendiri bagaimana dia berjuang melawan penyakitnya. Aku jadi temannya berkonsultasi dan aku juga mengenal psikiater yang menanganinya."

Sampai di sini, baik Argan maupun Nara masih diam menyimak. Argan sudah menduga pasti ada sesuatu yang membuat Bayu begitu keras kepala dan bahkan sempat keukeuh menuduhnya ada kaitannya dengan alasan Mareta bunuh diri.

"Bayu sering kali berhalusinasi, seolah mendengar suara Mareta yang memintanya menyelidiki kasus bunuh dirinya, juga sering mendengar suara Mareta yang menyuruhnya bunuh diri. Bagi pengidap gangguan halusinasi, suara-suara itu seolah nyata. Begitu juga dengan delusi yang ia rasakan. Ia berkeyakinan kuat pada sesuatu yang salah dan menganggap apa yang dia yakini benar, seperti mengira kamu adalah penyebab Mareta bunuh diri. Dan nggak mudah untuk melawan semua ini, karena baginya sangat sulit untuk membedakan mana realita, mana imajinasi."

Diandra menghela napas.

"Bayu pernah tiga kali melakukan percobaan bunuh diri dan gagal. Dia melakukan saat depresinya sedang parah-parahnya. Pada saat itu dia nggak bisa diajak komunikasi, pandangannya kosong, seperti mayat hidup. Sayangnya, aku berangkat ke Australia dan nggak bisa melihat keadaannya. Yang aku dengar dari Rayga, dia sempat tinggal di rumah pamannya untuk proses penyembuhan, di Bandung. Alhamdulillah kondisinya membaik. Hanya saja gangguan halusinasi dan delusi itu masih sering datang. Ini kenapa kadang dia begitu aneh dan mungkin menyebalkan di mata orang yang nggak mengenalnya dengan baik."

Nara tercekat, "Apa kondisi psikisnya ini yang membuat Bayu enggan bertanggung jawab pada Firda?"

Diandra mengangguk. "Ya, dia takut akan menyakiti Firda dan anaknya. Dia takut penyakitnya akan membahayakan Firda dan bayinya. Dia sempat berpikir untuk membiarkan Firda pergi dengan segala asumsi yang menghadirkan kebencian di hati Firda untuk Bayu, agar Firda cepat move on dan menemukan laki-laki yang baik dan sehat jiwanya. Tapi kemarin dia datang padaku, bercerita segala hal, dan dia menangis. Ini pertama kali aku melihatnya menangis setelah terakhir kali aku melihatnya menangis saat Mareta meninggal. Jauh di lubuk hati Bayu, ia mencintai Firda. Gangguan psikisnya ini yang membuatnya sulit keluar dari masa lalu."

Argan dan Nara kembali beradu pandang. Kebencian Nara pada laki-laki itu perlahan mencair setelah ia mengetahui sisi lain seorang Bayu, laki-laki yang dulu ia pikir sengaja menyakiti Firda dan meninggalkannya. Kini ia tahu ada alasan kuat kenapa Bayu melakukannya.

"Aku bicara soal Bayu hanya ingin kalian lebih memahami kondisinya. Aku, Bayu, dan Mareta sudah berteman lama. Mereka adalah sahabat baikku. Dan sekarang aku harus bercerita tentang Mareta pada kalian, yang bahkan aku sendiri belum menceritakannya pada Bayu."

Argan dan Nara semakin penasaran.

"Aku sudah memaafkan Bayu, Di. Kamu jangan khawatir. Aku dan Nara berusaha untuk memahami kondisinya. Sekarang ceritakan tentang Mareta, Di. Setelah aku tahu, aku nggak akan pernah lagi mencari tahu. Ini ada kaitannya dengan tuduhan Bu Yuli dan keinginannya agar Sakha tinggal dengan kakek neneknya karena mereka meragukanku."

Diandra memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi, "Mareta, dia ... dia pernah menjadi korban pelecehan seksual."

Argan dan Nara menganga sekian detik, shocked bukan main.

Argan mengernyit. "Pelecehan seksual???"

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro