Extra Part : 1. Menanti Esok
Nara tengah sibuk menyiapkan menu untuk makan malam. Sakha baru pulang dari TPQ dan bermain dengan ayahnya di ruang tengah. Nara memasak lele goreng, sayur bening, tumis buncis-wortel, dan sambal tomat. Sejak menikah dengan Argan, Nara menjadi akrab dengan sayur bening karena Argan menyukainya. Padahal cara memasak sayur ini begitu simpel. Bumbunya hanya menggunakan bawang merah, kencur, garam, dan gula Jawa. Sayurnya bebas tergantung stok di kulkas. Rasanya segar dengan kuah yang khas. Ibu mertuanya sudah mewanti-wanti kalau nanti Nara hamil, lalu punya bayi, harus rajin mengonsumsi sayur bening katuk karena bagus untuk melancarkan ASI.
Nara menyajikan menu itu di atas meja. Sebenarnya perasaannya sedang tak baik, pasalnya proposal skripsinya belum juga di-ACC. Ini semua menurunkan mood. Dosen pembimbingnya dikenal killer dan alot dalam meng-ACC. Namun jika sedang berbaik hati, bisa saja ACC itu mudah diberikan. Meski sang dosen juga mengenal Argan, tak serta merta ia mendapat kemudahan dan dipercepat prosesnya.
Melihat ruang tengah yang berantakan karena lego, hingga masuk ke kolong-kolong sofa dan lemari, membuat Nara meradang. Mood yang buruk membuatnya mudah tersulut amarah.
"Sakha... Legonya diberesin sekarang. Lihatnya berantakan banget. Banyak yang masuk kolong. Kalau nanti banyak yang hilang kamu nggak bisa lagi nyusun aneka bentuk."
Sakha melirik sang mama yang sering banget galak akhir-akhir ini.
"Iya, Ma, nanti... Sakha masih mau main lagi." Sakha kembali mengalihkan tatapannya ke arah layar televisi.
"Kok nanti, sih? Malah nonton tv. Kalau nggak diberesin, legonya bakal mama kasih ke tukang rongsok."
Ancaman Nara membuat Sakha beringsut.
"Jangan, Ma." Sakha segera membereskan lego-legonya dan memungut hingga ke kolong-kolong.
Setelah menegur Sakha, Nara melirik sang suami yang anteng memainkan ponsel.
"Ini lagi si Bapak, dari tadi main ponsel mulu." Nara berkacak pinggang.
Argan tak bergeming. Ia serius membalas pesan whatsapp yang masuk. Nara penasaran juga dengan sikap Argan yang cuek pada tegurannya. Nara mengintip apa yang terpampang di layar dari belakang tubuh suami yang tengah duduk santai di sofa.
Cemburu seketika menyusup sekelebat. Matanya membulat dan hatinya memanas.
"Rupanya sedang membalas pesan whatsapp dari mahasiswi. Makanya istri ngomong keras juga dicuekin."
Argan terkesiap. Ia melirik Nara yang menatapnya garang.
"Ini sedang membahas masalah bimbingan skripsi, sayang."
"Namanya bimbingan skripsi ya di kampus, bukan di WA, di luar jam kerja." Nara ngeloyor pergi, menaiki tangga dengan wajah bersungut.
Argan menyusulnya. Ia tak mau istrinya salah paham. Saat masuk ke kamar, Nara tengah membereskan kertas-kertas HVS yang belum ia bereskan setelah mem-print proposalnya.
"Na, sini Mas jelaskan dulu. Jangan kemrungsung dulu. Apalagi manyun-manyun gitu. Nggak enak dilihatnya."
Nara terdiam.
Argan menyandarkan tubuhnya di meja dan menelisik wajah istrinya yang bisa sedemikian menggemaskan saat tengah ngambek.
"Si Maya ini, mahasiswi bimbinganku, sedang berada di Australia. Makanya bimbingannya jarak jauh karena dia pun ingin cepat ACC. Jadi dia kirim draft-nya via email. Dan kadang komunikasi via WA saat dia menanyakan sesuatu terkait skripsinya."
Nara melongo, "Hebat banget ya, liburan di luar negeri dan revisi skripsi via email. Aku juga mau, liburan ke Bali atau ke luar negeri sekalian, terus nanti revisi skripsinya via email." Nada bicara Nara terdengar begitu ketus.
"Dengerin penjelasanku dulu, Na. Jangan dulu mengambil kesimpulan sebelum aku jelaskan semua." Argan berusaha tenang menghadapi Nara.
Nara bersedekap dan membuang muka.
"Maya ini ke Australia bukan untuk liburan. Dia mewakili kampus dan juga Indonesia untuk menjadi duta kebudayaan dari kalangan mahasiswa yang bertugas mengenalkan budaya negara kita ke para murid SMA serta mahasiswa di sana, sekaligus mengajar bahasa Indonesia. Sekitar dua Minggu, Maya bertugas bersama para wakil yang lain. Hanya saja dia juga tak mau kehilangan kesempatan untuk tetap revisi skripsi." Argan menatap Nara lembut. Mimik muka sang istri tidak sesewot sebelumnya, tapi masih datar.
"Hebat ya mahasiswi fakultas pertanian bisa terpilih menjadi duta," ujar Nara datar.
"Karena dia lolos seleksi yang dibuka untuk semua fakultas dan jurusan. Sebelum berangkat ke Australia dia mengikuti perbekalan dulu di Jakarta. Makanya dia seolah ingin membayar waktu yang dulu terpaksa dikorbankan untuk tak konsultasi skripsi saat dirinya sibuk mengikuti perbekalan."
Nara menoleh sang suami masih dengan raut wajah yang datar.
"Kalau memang sibuk skripsi, kenapa harus ikut seleksi?" Nara masih saja ketus.
"Karena ini kesempatan langka, Nara. Dia bilang sudah lama ingin ke Australia dan berencana untuk melanjutkan S2 di Australia dengan beasiswa. Maya ini berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya jualan gorengan. Dia mendapat beasiswa kuliah di sini. Apa aku tega untuk menghancurkan impiannya dengan tidak mendukungnya bertugas di Australia? Apa aku harus tega untuk tak mau merevisi skripsinya via email? Sama kayak kamu dan mahasiswa lain yang sedang disibukkan dengan urusan skripsi, dia juga ingin cepat kelar urusannya. Bukan karena sengaja menunda. Aku mengapresiasi usahanya untuk bisa meraih mimpinya. Lagipula tugas yang ia emban itu akan sangat bermanfaat untuk keberlangsungan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah di sana." Argan menjelaskan panjang lebar.
Ia meraih kedua lengan Nara lalu mengangkat dagu istrinya hingga sang istri tertambat pada wajah sang suami dan menatapnya lekat-lekat.
"Ada sekolah di sana yang sudah mengajarkan bahasa Indonesia selama 40 tahun berencana menghapus pelajaran bahasa Indonesia. Katanya peminatnya berkurang. Bahasa Indonesia jadi mata pelajaran wajib di sekolah tertentu, untuk kelas dasar, sedang untuk kelas lanjutan dijadikan mata pelajaran pilihan. Info ini dari yang aku baca di banyak artikel. Jadi wajar jika pemerintah kita punya perhatian khusus terkait soal ini dan berharap bahasa Indonesia tetap diajarkan di sana. Karena banyak juga para pelajar yang mengajukan petisi pada sekolah untuk tidak menghapus kelas bahasa Indonesia. Aku harap kamu bisa mengerti dan nggak cemburu buta setelah aku jelaskan. Jangan mudah men-judge sesuatu Nara. Orang memutuskan segala sesuatu pasti sudah dipertimbangkan baik-baik. Cobalah untuk menghargai dan melihat dari perspektif lain. Jangan selalu negatif menyikapi pilihan orang lain." Argan mengusap pipi istrinya.
Nara terdiam. Ia merasa bersalah juga karena begitu mudah cemburu dan sempat kesal pada mahasiswi bernama Maya tersebut. Seharusnya ia ikut berbangga dan support, ada mahasiswi dari universitasnya yang terpilih menjadi duta budaya dan bahasa.
"Maafkan aku, Mas. Aku tahu kadang aku begitu kekanakan, kadang aku labil dan cemburuan." Nara menunduk.
Argan tersenyum. Diangkat kembali dagu sang istri hingga dua pasang mata itu beradu. Argan mendaratkan kecupan lembut di bibir sang istri.
"Aku sayang kamu.." Argan menarik tubuh Nara dalam pelukannya. Dikecupnya kening Nara begitu lembut.
Nara mengeratkan pelukannya. Kepalanya bersandar di dada bidang Argan, "Aku juga sayang kamu, Mas."
"Mama... Ayah..." Panggilan Sakha mengagetkan keduanya.
Argan dan Nara segera bergegas menuju lantai bawah. Sakha tak mau dibiarkan sendiri. Ia ingin ditemani ayah dan mamanya. Mereka kembali menemani Sakha bermain sambil menunggu adzan Maghrib.
Seperti biasa Argan dan Sakha sholat berjamaah di Masjid. Argan biasanya tak langsung pulang karena mendengar ceramah ustadz yang biasa yang diberikan setelah Maghrib untuk menunggu Isya. Tapi karena Sakha sudah lapar, ia pulang mengantar Sakha terlebih dahulu. Seusai mengantar Sakha, ia kembali lagi ke Masjid. Sakha makan malam ditemani Nara.
"Gimana rasanya? Enak nggak?" tanya Nara sembari mengamati putranya yang begitu lahap.
"It's so yummy.... Masakan Mama is the best. Sakha suka. Makanya waktu dulu Mama KKN, Sakha kangen sama masakan Mama." Sakha tersenyum sumringah.
Nara tersenyum, "Alhamdulillah kalau Sakha suka."
Seusai makan malam, Sakha meletakkan piringnya di wastafel. Dia menoleh sang mama.
"Ma...."
"Iya, sayang." Nara melirik sang putra yang duduk kembali di hadapannya.
"Sakha ada PR. Disuruh nulis nama teman-teman yang akrab, teman yang paling baik, teman yang paling pintar, pelajaran yang paling disukai, benda di kelas yang paling disukai," jelas Sakha.
"Ya, sudah kalau gitu dikerjakan. Di sekolah pasti ada teman-teman yang akrab dengan Sakha, kan?"
Sakha mengangguk, "Iya, ada teman yang spesial juga."
Nara membelalak, "Spesial? Siapa yang spesial?" Nara penasaran juga.
"Namanya Rere, Ma. Nama lengkapnya Realita, dipanggilnya Rere. Anaknya baik, Ma, cantik." Sakha tersenyum.
Entah kenapa hati Nara bergejolak tak menentu. Masa iya, putranya sudah tertarik dengan lawan jenis. Ia ingat-ingat kembali masa kanak-kanaknya. Dulu waktu SD, dia memang pernah diledek teman-temannya, pacarnya si Ali yang suka tidur di kelas. Namun itu hanya sekedar ledekan. Karena nyatanya ia baru benar-benar jatuh cinta setelah menikah dengan Argan. Atau memang anak sekarang lebih cepat pubernya?
"Apa dia cantik? Cantikan mana sama Mama?" Nara bertanya lagi.
"Cantik, Ma. Rambutnya seringnya dikepang dua. Cantikan dia lah dari Mama," jawab Sakha lancar.
Nara kembali terbelalak. Kok rasanya patah hati, anak orang dibilang lebih cantik dibanding mamanya sendiri. Padahal kemarin Sakha baru saja menyebutnya cute dan cantik. Sekarang begitu mudah berpaling mengatakan temannya ini lebih cantik. Nara bertanya-tanya, apa maksud kata "spesial" bagi Sakha. Kenapa ia menyebut temannya spesial?
"Kenapa Rere ini spesial di mata Sakha? Apa karena cantik?"
Sakha mengelus dagunya, "Bukan karena itu, sih. Soalnya dia baik sama Sakha. Suka ngasih jajanan yang dia bawa dari rumah. Jajanannya ini homemade kok, Ma. Kayak puding, kue bolu, keripik. Mamanya suka bikinin dia cemilan. Sakha suka dikasih." Anak itu menyunggingkan senyum manisnya, memperlihatkan jajaran giginya yang rapi.
Nara mengembuskan napas lega. Ia sudah berpikir jauh bahwa Sakha sudah mulai mengenal kata "pacaran", tapi ternyata spesial yang dimaksud Sakha adalah karena temannya suka memberinya jajan. Ia ingin tertawa dengan tingkah khas anak-anak Sakha. Namun dia tahan.
"Sakha harus tulus berteman, bukan karena mengharapkan dikasih sesuatu sama teman. Teman yang baik itu susah dicari, Sakha." Nara mengusap rambut putranya.
"She ia a good friend, right? Sakha nggak pernah minta jajan, tapi dia ngasih sendiri. Dia juga nggak pernah minta balik, artinya dia tulus berteman, kan, Ma?"
Nara hanya tersenyum membalas pertanyaan putranya disertai anggukan pelan. Tentu makna persahabatan bagi anak-anak dan orang dewasa itu berbeda. Bagi anak-anak sahabat yang baik itu adalah teman yang sering kali bermain dengannya, berbagi makanan atau apapun, yang tidak suka memukul, menghina, atau merebut barang miliknya. Begitu sederhana tapi di sisi lain pikiran polos mereka juga menunjukkan sebuah ketulusan. Berbeda dengan orang dewasa yang tak cukup menyematkan gelar "sahabat" pada orang lain hanya karena sering menghabiskan waktu bersama atau bersikap manis. Bisa saja manis itu hanya ditunjukkan di luar, sedang di dalam penuh dengki dan kebencian. Seseorang baru terlihat benar-benar sahabat atau bukan adalah ketika kita melalui masa-masa tersulit. Sahabat akan tetap tinggal dan tidak pergi.
Malamnya setelah sholat Isya lalu makan malam bersama Argan, Nara menemani Sakha belajar. Ia mengerjakan PR sebelum akhirnya membaca buku yang baru saja dibelikan Argan.
Sakha membaca lantang isi dalam buku tersebut.
"Salah satu burung paling awal yang diketahui adalah Archaeopteryx. Fosilnya berasal dari batuan Zaman Jura akhir di Jerman Selatan. Fosil itu menunjukkan paruh penuh gigi dan ekor panjang Archaeopteryx, bahkan bulu-bulu halusnya."
Sakha melirik mama dan ayahnya, "Ma, Archaeopteryx ini sebenarnya burung apa dinosaurus, sih, Ma? Nggak jelas." (iya, sama kayak authornya juga kadang nggak jelas).
"Mama suka sih baca-baca tentang binatang atau tumbuhan purba. Jadi Archaeopteryx ini memang misterius. Fosil yang ditemukan itu katanya cuma ada dua belas spesimen. Selama 150 juta tahun terjadi perdebatan tentang status si archaeopteryx, apakah dia termasuk dinosaurus atau burung. Bahkan ahli menyebutnya sebagai makhluk transisi atau peralihan dari dinosaurus ke burung. Namun di penelitian-penelitian berikutnya, menyebutkan bahwa archaeopteryx memang benar-benar jenis burung." Penjelasan Nara membuat Argan berdecak kagum.
"Istrinya siapa ya ini? Pinter banget." Argan mencubit pipi Nara pelan.
Nara tertawa kecil, "Kebetulan aja aku pernah baca, Mas."
Sakha tersenyum senang, "Mama mah pinter apa aja. Sakha senang punya mama kayak Mama Nara."
Nara merasa tersanjung dipuji oleh anak sendiri. Argan melirik putranya.
"Seneng punya ayah kayak ayah Argan, nggak? Ayah juga sering nemeni Sakha main dan belajar."
Sakha mengangguk, "Seneng lah. Ayah kan pahlawan Sakha."
Giliran Argan yang meleleh.
Nara tersenyum. Ayah itu ibarat pahlawan pertama untuk anak laki-laki dan cinta pertama untuk anak perempuan. Anak laki-laki akan belajar bagaimana menjadi pria dari sang ayah.
Setelah Sakha mengantuk, ia sadar diri ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan berwudhu. Dia sudah tak lagi meminta dibacakan cerita atau diusap punggungnya. Semakin ke sini, dia bersikap lebih mandiri sesuai tahapan usianya.
Argan dan Nara merebahkan badan di ranjang. Seperti biasa sebelum tidur, mereka membiasakan pillow talk.
"Mas, tadi Sakha cerita punya teman spesial. Cewek, Mas. Namanya Rere. Katanya lebih cantik dari aku."
Argan tertawa kecil mendengar celoteh sang istri.
"Dia bilang gitu? Ih kasihan, tersisih sama cewek lain." Argan mencubit pipi Nara dengan gemas.
"Ih, Mas... Nara kan patah hati. Harusnya Nara jadi yang paling cantik di mata anak dan suami." Nara mengerucutkan bibirnya.
Argan meraih kepala istrinya dan disandarkan di dada bidangnya.
"Di mataku kamu yang paling cantik. Sakha mengatakan temannya cantik juga bukan karena ada sesuatu yang spesial. Pikiran anak-anak itu beda dengan orang dewasa. Meski namanya ketertarikan dengan lawan jenis itu sudah fitrah dan bisa dirasakan anak-anak sekalipun. Jadi dari umur tiga tahun itu, anak sudah bisa membedakan dengan jelas mana laki-laki, mana perempuan. Ini bagian dari perkembangan psikoseksual anak. Jadi saat anak tertarik dengan lawan jenis artinya kognitifnya sedang berkembang. Artinya anak sudah paham perbedaan laki-laki dan perempuan. Dari buku yang aku baca, menurut Sigmund Freud, wujud perilaku psikoseksual pada anak ini beda-beda, tergantung genetik dan lingkungan tempat tinggal. Makanya kita sebagai orang tua mesti mengarahkan anak, memilah mana yang harus kita ajarkan, mana yang nggak."
Nara mencerna kata demi kata yang meluncur dari penuturan sang suami yang begitu tertata.
"Kamu benar-brnar ayah yang baik, Mas. Paham soal psikologi anak." Nara menatap Argan dengan tatapan kagum.
"Sejak Mareta meninggal, aku banyak baca buku atau artikel yang membahas psikis anak. Kamu tahu sendiri, kan? Sakha pernah trauma dan menutup diri dari sosial. Jujur tak mudah membesarkan anak seorang diri. Apalagi aku tak bisa mendampinginya setiap saat. Artikel-artikel psikologi itu banyak membantuku untuk memahaminya. Sering juga aku nanya ke ustadz yang juga ahli parenting Islami. Namanya orang tua harus terus belajar, Na." Argan bertutur sembari menyila rambut istrinya berkali-kali diriingi dengan tatapan yang begitu lembut.
Nara tersenyum, "Iya, Mas. Aku banyak belajar dari Sakha. Untungnya tadi saat Sakha bercerita seperti itu, aku bisa bersikap tenang, meski ada kekhawatiran juga."
"Wajar seorang ibu itu merasa khawatir. Tapi percayalah, perspektif anak itu berbeda dengan orang dewasa. Saat anak bercerita sesuatu, penting untuk kita mencoba memahami dari perspektif anak-anak, bukan melihatnya dari perspektif orang dewasa. Dengan mendengarkan dia baik-baik, anak akan terbiasa bercerita dan kita pun akan lebih mudah memahami dunianya."
"Makasih banyak ilmunya, Mas."
"Sama-sama, sayang. Kita akan sama-sama belajar." Argan menelisik wajah istrinya yang terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Sayang, kamu kok kelihatan pucat, ya."
"Masa sih, Mas? Emang rada nggak enakan..." Nara memegang perutnya. Tiba-tiba ia merasa mual. Nara beranjak dan berjalan menuju kamar mandi. Ia muntah.
Argan terkesiap. Ia khawatir juga melihat Nara muntah cukup banyak.
"Na, kamu muntah-muntah?" Argan mengelap peluh yang mengucur dari dahi Nara.
Nara memegangi perutnya, "Rasanya enek benget perutnya."
"Pantes tadi kamu makan sedikit. Besok periksa ke dokter ya. Aku curiga kamu hamil, Na. Mareta waktu hamil Sakha juga muntah-muntah."
Nara terbelalak.
"Apa iya ya, Mas? Nara juga belum mens." Wajah pasi Nara berganti ceria.
"Oya? Kayaknya beneran hamil, deh. Pokoknya besok kamu periksa, ya. Mas berharap kamu beneran hamil."
Nara mengangguk dan tersenyum. Rasanya tak sabar menanti hari esok. Dia berharap kehamilan yang diimpikan akan menjadi kenyataan.
******
Buat yang suka cerita ini, apa yang kalian suka dari cerita ini? Konfliknya kan ringan aja hahaha, dan kayak kehidupan sehari-hari aja. Inspirasi Sakha yang bercerita tentang teman spesial ini juga dari real.
Oya mampir ya ke work baruku. Judulnya Gege's Art. Nggak butuh waktu lama utk membaca karena isinya cuma gambar-gambar coretanku aja hehe. Barangkali bisa menginspirasi dan bermanfaat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro