Bukan Update : Cerpen
Mohon maaf aku belum bisa update, besok aku ujian tiga matkul sekaligus. Sebagai gantinya, aku kasih cerpen yang udah aku tulis lama thn 2011, dan aku revisi tahun 2017, aku ganti nama tokoh dan aku remake lagi biar lebih menarik. Pernah aku publish di kumpulan cerpen, di wattpad juga, cuma udah aku unpublish. Untuk yang belum baca, silakan aja kalau mau membaca. Cerpen ini bikin baper juga hehe...
DIARY 30 HARI
Defne's POV
Sudah tiga puluh menit aku duduk berhadapan dengan Zahra, sahabat semasa SMA dulu. Tapi pembicaran kami hanya seputar obrolan biasa yang ringan. Aku mengajaknya makan di kafe ini karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Namun seribu keraguan menyergapku. Kuyakinkan diriku berkali-kali, apa aku benar-benar siap membagi cerita ini dengannya? Pantang bagiku membagi masalah rumah tanggaku dengan orang lain. Namun aku dihadapkan pada jalan buntu. Aku butuh bantuan seseorang untuk mencari solusi. Zahra adalah sahabat terbaikku. Dia bisa dipercaya.
"Zahra, sebenarnya ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan." Akhirnya kata-kata yang sedari tadi membelit otakku keluar juga.
Zahra menghentikan sejenak gerakan tangannya yang tengah mengiris beef steak di depannya.
"Katakan saja Def, aku siap mendengar." Dia tersenyum. Senyum yang selalu tulus dan menyejukkan.
Aku menghela napas sejenak, "Akhir-akhir ini hubunganku dan Gilar tengah memburuk. Aku merasakan setahunan belakangan ini kami semakin jauh. Pernikahan kami kian hambar."
Zahra terlihat agak terperanjat. Mungkin dia tak menyangka aku dan Gilar mengalami masalah seperti ini. Selama ini aku selalu menutupi tiap permasalahan yang datang pada kami. Dia selalu bilang bahwa kehidupanku begitu sempurna. Aku memiliki suami yang bertanggungjawab, dua anak kembar yang lucu, dan kehidupan yang cukup mapan. Sementara dia merasa hidupnya belum sempurna karena belum ada kehadiran buah hati di pernikahan mereka yang menginjak usia tujuh tahun.
"Kenapa bisa sampai begitu Def? Selama ini aku lihat kalian baik-baik saja."
"Setahun belakangan ini Gilar banyak berubah. Dia sering lembur, waktu untuk kami jadi berkurang. Ketika tiba di rumah dia sudah terlalu capek untuk sekedar bersenda gurau dengan Revani dan Revano. Dia jarang makan menu malam yang udah aku siapin. Dia jarang ngobrol ama aku bahkan jarang menyentuhku."
Zahra mengelus-elus punggung tanganku.
"Kamu sudah membicarakan ini dengan Gilar? Bicara dari hati ke hati?"
"Sudah Ra. Terlalu sering malah. Tapi ujung-ujungnya ribut. Aku jenuh dengan keadaan ini Ra."
Ku tak sanggup menahan kesedihanku. Mata ini mungkin sudah berkaca-kaca.
"Kadang aku lelah, jenuh, hari-hariku terasa monoton. Kamu tahu kan? Dulu aku resign saat karirku lagi bagus-bagusnya. Sekarang aku di rumah menjalankan aktivitas itu-itu saja. Kadang aku capek. Seharian ada saja kerjaan rumahtangga yang nggak beres-beres. Belum lagi anak-anak makin aktif, lari kesana-kemari. Gilar tadinya mau mempekerjakan asisten rumahtangga buat bantu-bantu ngerjain kerjaan rumah biar aku fokus ngurus si kembar. Tapi ibu mertuaku nggak setuju. Dia menyindirku manja lah.. boros lah... Malah membandingkanku dengan dirinya yang punya lima anak nggak pakai asisten, aku baru dua udah manja minta asisten. Pengaruh mertuaku kuat banget Ra. Gilar lebih dengerin ibunya dibanding istrinya."
Aku lega nyerocos panjang lebar seperti ini. Sekian lama aku pendam semua dalam hati. Aku telan sendiri semua luka ini. Detik ini aku luapkan semua pada sahabatku.
"Sebenarnya aku nggak keberatan melakukan tugas-tugas itu Ra. Tapi Gilar kurang pengertian, kurang peka, kurang perhatian. Dia nggak ada romantis-romantisnya ke aku Ra. Kita udah jarang banget luangin waktu jalan berdua atau bicara dalam suasana hangat. Benar-benar hambar Ra."
Tenggorokanku seakan tercekat. Napasku memburu. Tetes-tetes itu pun akhirnya tumpah.
"Defne, aku bisa mahami perasaan kamu. Dan aku bingung mesti komentar apa."
Zahra mengernyitkan dahi seolah sedang berpikir.
"Def, apa kamu udah melayani suami kamu dengan baik? Bukan maksud aku menuduhmu nggak melayani suamimu dengan baik.. Tapi bisa aja kamu udah merasa nglakuin tugas kamu sebagai istri dengan baik, tapi di mata suamimu apa yang kamu lakuin belum cukup baik. Misalnya, masakan kamu kurang bisa bikin suami kamu berselera, atau kamu cuma berhias seadanya di depan suami, atau ada kata-kata kamu yang pernah menyinggung perasaan suamimu?''
Kugigit bibir bawahku. Aku merasa sudah maksimal melakukan tugasku sebagai istri.
''Aku udah berusaha buat jadi istri yang baik Ra. Tiap pagi aku masakin sarapan buat dia. Makan malam juga selalu aku sediain walau dia nggak pernah memakannya. Aku juga suka dandan, tapi dia seolah nggak ada minat lagi buat ngliat aku.. Ya walau kadang aku belum sempat mandi saat dia pulang kerja karena aku mesti masak dan ngurus anak-anak dulu. Belum lagi aku mesti ngerjain semua pekerjaan rumah. Aku juga capek. Dia nggak bisa menghargai apa yang udah aku lakuin..''
Aku melihat air muka Zahra menyiratkan kebingungan. Sekarang aku merasa bersalah pada sahabatku ini karena telah menyeretnya ke dalam permasalahan rumah tanggaku.
"Def, apa aku boleh mendiskusikan masalahmu ini dengan Ardi? Kami akan mencoba mencari solusi yang tepat untuk kalian. Kami akan pikirkan caranya. Kurasa Ardi bisa bersikap bijak dan dewasa dalam menilai persoalanmu."
Kucermati kata demi kata yang keluar dari bibirnya. Aku selalu mendengar ada nada ketulusan di setiap katanya.
"Tentu saja aku nggak keberatan Ra. Aku justru sangat berterimakasih karena kalian sudah mau membantuku dan Gilar. Aku jadi merepotkan kalian." Kugenggam tangan sahabatku dengan seulas senyum di sudut bibirku.
"That's what friends are for... Aku senang kamu mau berbagi masalahmu." Zahra menyunggingkan senyum yang begitu tulus dan menenangkan.
***
Gilar's POV
Kutautkan kedua telapak tanganku sementara pandanganku tertuju pada sahabat terdekatku yang saat ini tengah menyantap nasi Padang di warung Padang dekat kantor. Ardi adalah temanku semasa SMA. Dia suami dari Zahra, sahabat dekat Defne, istriku.
Aku menimbang-nimbang lagi untuk meminta pendapat Ardi mengenai permasalahan yang setahun belakangan ini membuat hubunganku dan Defne menjadi dingin. Dia sosok yang bisa dipercaya dan selalu memandang segala sesuatu dari sudut pandang positif.
Ardi mendongakkan wajahnya, "Kamu kenapa Lar? Kamu kelihatan kayak orang bingung."
Aku terhenyak, "Ehm... sebenarnya aku pengin sharing Di."
"Sharing apa Lar?" Ardi menyeruput es teh dengan sedotan, lalu memajukan kursinya dan duduk dengan tenang.
"Ayo Lar cerita aja."
Kuhembuskan napasku dalam-dalam.
"Begini Di, setahun belakangan ini aku dan Defne menjadi dingin. Komunikasi nggak selancar dulu. Kami juga jarang meluangkan waktu berdua. Aku selalu kecapaian tiap pulang kerja. Dia juga capek ngurus kerjaan di rumah. Kita jadi sering ribut. Aku pun jadi males ngomong sama dia karena ujung-ujungnya pasti bertengkar."
Ardi mendengus. Kunantikan respon darinya.
"Kalian sudah mencoba untuk bicara dari hati ke hati? Sebenarnya kalian hanya butuh waktu dan komunikasi."
"Sudah Di, kami pernah bicara berdua saat anak-anak sudah tidur. Tapi selalu saja diakhiri pertengkaran. Dia bilang aku kurang peka, kurang romantis. Seolah dia korban yang paling menderita dan aku pelaku kejahatan."
Ardi mengetukkan jarinya ke meja beberapa kali.
"Kamu sudah minta maaf padanya? Bukan berarti aku bilang kamu salah. Tapi perempuan itu kadang gengsi untuk mengutarakan keinginannya untuk berdamai. Dia ingin laki-laki yang memulai lebih dulu. Dalam menghadapi mereka kita harus bisa sabar Lar. Kita baru bicara satu kata, mereka bisa membalas dengan ratusan kata. Kadang mereka hanya ingin didengarkan."
Aku mencerna kata-kata Ardi yang memang benar adanya. Defne bisa menjadi sosok yang sangat bawel dan membuatku jengah.
"Aku juga udah berusaha bersabar Di. Tapi saat posisiku terus-menerus disalahkan, disudutkan, lama-lama aku nggak tahan juga. Aku belum bisa menjadi suami yang memiliki kesabaran lebih. Kadang aku tersulut emosi hingga aku membiarkannya dan memilih tak menggubris perkataannya. Semakin aku layani, dia akan semakin tajam dalam bicara. Aku nggak mau suasana makin runyam, apalagi saat anak-anak masih terjaga."
Pria berkacamata yang sedari tadi setia mendengarkan keluhanku menyeruput kembali es teh yang tinggal setengah gelas.
''Kalian terlalu tegang menjalani kehidupan rumahtangga. Akhirnya kalian mementingkan ego masing-masing, karena kalian merasa diri kalian lah yang paling benar. Kalian berpikir bahwa kalian sudah berusaha maksimal buat jadi suami dan istri yang baik, tapi kalian lupa untuk memperhatikan kebutuhan masing-masing, inilah yang membuat kalian nggak bisa saling ngertiin satu sama lain..''
Petuah yang Ardi berikan aku aamiinkan di dalam hati. Apa yang dikatakannya memang benar. Mungkin kami tak bisa memahami kebutuhan masing-masing.
Kuedarkan pandanganku ke suasana warung yang semakin ramai pengunjung.
"Di aku mohon bantu aku cari solusinya. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan kami."
Ardi mengembuskan napas sekali lagi.
"Lar, apa kamu keberatan kalau aku mendiskusikan masalahmu dengan Zahra? Mungkin dia bisa bantu mikir buat nyari solusinya. Kami akan berusaha membantu kalian."
Aku mengangguk, "Aku nggak keberatan Di. Aku justru berterimakasih banget kalian mau repot-repot mau membantu kami."
Ardi melemparkan senyumnya, "Sama sekali nggak repot Lar. Kalian dulu sudah banyak membantu kami saat proses pedekate hehe. Sekarang biar kami yang gantian membantu kalian."
Aku tersenyum lega, "Sekali lagi makasih ya."
***
Defne's POV
''Apa Ra? Untuk sementara aku dan Gilar tinggal terpisah selama sebulan?'' Aku terbengong-bengong tak mengerti dengan jalan pikiran Zahra. Bukankah dengan tinggal terpisah akan semakin menjauhkanku dari Gilar?
''Ya kalian tinggal terpisah untuk jangka waktu satu bulan. Selama kalian tinggal berjauhan, kalian jangan bertemu atau berkomunikasi. Setiap hari usahakan untuk menulis diary tentang apa yang kalian rasakan saat harus tinggal berjauhan tanpa ada komunikasi apapun. Ingat, apa yang kalian tulis harus benar-benar keluar dari lubuk hati kalian yang terdalam, jujur apa adanya, nggak usah gengsi dan jangan mentingin ego dan emosi kalian. Dari catatan-catatan kalian nanti, kalian bisa menilai apa kalian masih saling mencintai dan membutuhkan satu sama lain atau tidak.''
Aku membisu sejenak. Aku masih ragu.
''Bagaimana dengan anak-anak Ra? Kalau mereka nanya ayahnya kemana, aku mesti jawab apa?''
''Kamu bilang aja, suamimu lagi ada kerjaan di luar kota dan belum bisa pulang sampai satu bulan ke depan.''
Walau awalnya agak ragu, akhirnya aku mau mengikuti saran Zahra. Zahra juga bilang bahwa Gilar sudah menyetujui ide ini. Mulai besok, Gilar akan tinggal di apartemen dulu sampai satu bulan ke depan tanpa ada pertemuan atau komunikasi dalam bentuk apapun denganku.
Hari terus berganti, satu bulan yang cukup dramatis berlalu sudah. Buku diaryku dan Gilar telah penuh dengan coretan-coretan selama sebulan ini. Buku diary Gilar sudah ada padaku. Sedang buku diaryku sudah Ardi serahkan pada Gilar. Aku percaya baik Zahra maupun Ardi tak ikut membaca diary kami.
Kuamati cover buku diary Gilar yg berwarna biru polos. Rupanya dia masih menyukai warna biru.
Kubuka lembar pertama buku diary itu,
1 Agustus 2017,
Ini hari pertamaku tinggal di apartement. Rasanya jauh lebih nyaman daripada tinggal di rumah..
Hmm pasti karena berasa single lagi ya? Dasar laki-laki!
2 Agustus 2017,
Pagi tadi aku terburu-buru mandi dan menyiapkan sarapanku. Walau hanya dengan sepotong roti, tapi jauh lebih enak daripada harus melihat muka kusam istriku di pagi hari.
Aku berhenti sejenak. Enak saja dia bilang mukaku kusam. Aku lirik bayangan wajahku yang memantul di cermin, apa emang benar mukaku bertambah kusam? Lelaki itu udah bikin aku banyak mikir, makanya mukaku keliatan lebih tua.
Walau kesal, aku tetap melanjutkan membaca tulisan Gilar.
5 Agustus 2017,
Indahnya sore ini. Pulang kerja, suasana begitu tenang. Tanpa ada rengekan dari anak-anak dan nenek sihir itu nggak bisa lagi ngomel ini itu karena di matanya aku selalu kurang memperhatikan anak-anak.
Dia bilang aku nenek siihhiiirr? Dasar tidak beretika. Bulu kudukku serasa meremang membayangkan sosok nenek sihir merasuki tubuhku. Hatiku meradang. Ini namanya pelecehan, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Kubuka lembar berikutnya, aku harap tidak ada lagi tulisan-tulisan semacam ini.
8 Agustus 2017,
Lagi-lagi aku tak sempat sarapan pagi. Cucian juga ampe numpuk. Aku terpaksa pakai kemeja yg belum disetrika. Huf, ternyata gak mudah juga hidup sendiri.
Aku tersenyum. Sepucuk kemenangan terbitkan tawa ala devil dari hatiku, "hahahaha.. rasakan kau". Paling tidak dia mendapat pelajaran bahwa peran istri itu sangat penting dan tidak bisa dianggap remeh-temeh.
13 Agustus 2017,
Hari ini Andra membelikanku martabak telor. Aku bersemangat pulang ke rumah. Anak-anak dan Defne sangat menyukai makanan ini. Tapi sesampainya di apartement, aku baru sadar, mereka tidak ada di sini. Akhirnya aku terpaksa makan martabak itu sendiri sambil menonton bola..
Hmm dia masih ingat makanan kesukaan kami.
15 Agustus 2017,
Malam ini entah kenapa aku kangen berat ama anak-anak. Betapa lama waktu yang aku buang bersama mereka. Sekarang aku malah merindukan keceriaan mereka. Mereka sedang apa ya sekarang? Apa mereka kangen aku juga?
Hmm jadi cuma kangen ama anak-anak? Sama aku enggak? Bibirku mengerucut. Sepertinya aku sudah tidak penting lagi.
17 Agustus 2017,
Ketika aku pulang dari kantor, lagi-lagi kudapati suasana yang sepi, tanpa anak-anak, tanpa harumnya aroma masakan Defne. Aku ingat dulu, waktu aku pulang, Defne menyambutku dengan daster kedodorannya dan tatanan rambut yang digulung sekedarnya. Sebenarnya aku sadar dia terlihat jauh lebih kurus, aku tahu dia capek. Waktu itu aku ingin menciumnya, tapi dia malah mengeluh tentang capeknya hari itu karena harus mencuci baju pakai tenaga tangan karena mesin cuci rusak. Aku belum sempat istirahat, dia sudah nyuruh aku buat ngecek mesin cuci.. Bagaimana aku tak kesal? Terlebih lagi bau asam dari tubuh istriku membuatku ingin pingsan saja. Tapi sekarang aku justru merindukan bau asam istriku.. Harusnya aku lebih memperhatikannya dengan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantunya, agar dia tak begitu capek. Meski ibuku tak setuju, tapi aku bisa menjelaskan baik-baik. Sudah kewajibanku memberikan kenyamanan untuk Defne. Oya aku ke kantor bukan untuk bekerja tapi dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaan. Aku sempat ikut seru-seruan di kantor. Ada beberapa lomba di sana. Tapi hatiku tetap hampa.
Aku tertegun. Ternyata dia tak secuek yang aku kira. Bahkan dia menyadari betapa belakangan ini berat badanku terus merosot. Aku senang membacanya bahwa dia hendak mempekerjakan asisten rumah tangga. Kabar bagus lainnya, dia sudah mulai merasa hampa.
20 Agustus 2017,
Sepulang dari kantor, aku menyempatkan diri mampir jalan-jalan ke mall. Sebenarnya aku nggak begitu suka jalan-jalan ke mall, tapi hari ini aku pengen refreshing. Di mall aku melihat keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak yang masih balita jalan bergandengan tangan. Aku kembali teringat akan keluargaku. Aku rindu sekali pada mereka. Karena itu aku sengaja membeli baju untuk Revano dan Revani. Aku juga membeli baju utk Defne. Semoga saja dia suka. Dulu dia pernah membeli baju dan sengaja memakainya untuk menyambutku pulang dari kantor. Tapi aku malah memarahinya karena bagiku itu suatu pemborosan. Aku lupa satu hal, sudah lama sekali aku tak membelikannya baju. Dia hanya ingin terlihat cantik di mataku, tapi aku malah memarahinya. Aku merasa sangat bersalah. Aku janji, saat dia mengenakan baju ini, aku akan bilang padanya bahwa dia terlihat sangat cantik.
Mataku mungkin sudah berkaca. Ingatanku melayang ke memori baju baru itu. Sampai sekarang aku masih sakit mengingatnya. Namun ternyata, Gilar sangat merasa bersalah. Mendadak rasa sakit itu sirna. Aku sudah memaafkannya. Andai waktu itu kami bisa bersikap lebih sabar, tentu persoalan-persoalan kecil tak akan mampu menyulut api pertengkaran.
23 Agutus 2017,
Malam ini aku menonton tv sepuasku. Jika aku menontonnya di rumah, Defne sudah pasti mengomel macam-macam, listrik mahal lah, boros lah. Tapi sebenarnya semua itu ada benarnya juga. Aku menyesal selalu merasa diri sendiri yang paling benar. Tiba-tiba aku rindu pada istriku. Apalagi film yang tadi aku tonton bergenre drama romantis. Aku teringat akan awal kehidupan rumahtangga kami. Begitu indah dan romantis. Aku ingin mengulanginya kembali..
Sampai di sini aku tak mampu berkata-kata. Dia yang aku pikir sudah tidak peduli pada rumah tangga kami, ternyata memiliki kerinduan yang sama denganku. Aku ikut hanyut pada kisah cinta kami. Dulu di sekolah, dia termasuk murid yang badung dan suka bikin onar. Tapi begitu jatuh cinta padaku, dia berubah menjadi lebih baik.
25 Agustus 2017,
Hari ini aku libur kerja. Jadwalku pagi ini adalah mencuci baju. Sayang sekali mesin cucinya rusak, jadi terpaksa aku mengucek pakai tangan. Aku baru sadar, betapa capeknya mencuci baju pakai tenaga manual, apalagi cuciannya menggunung seperti ini. Pantas saja Defne mengeluh waktu mesin cuci di rumah rusak. Apalagi Defne mencuci baju orang serumah. Aku semakin merasa bersalah padanya karena nggak bisa menghargai apa yang udah dia lakukan..
Aku menghela napas. Memang capek kan? Dan aku tidak berlebihan saat mengeluh.
27 Agustus 2017,
Aku rindu sekali pada Defne dan anak-anak. Sebenarnya aku udah pengen pulang dari dulu. Tapi masih ada 4 hari lagi yang harus aku lalui seorang diri tanpa mereka.
30 Agustus 2017,
Aku membuka kembali album pernikahan kami. Defne yang sekarang masih terlihat cantik seperti dulu..
Taukah kamu Defne? Kamu selalu terlihat cantik di mataku. Tak peduli saat itu kamu belum mandi dan dengan penampilan seadanya menyambutku pulang dari kantor. Tapi aku tak tahu kenapa semakin bertambah usia kita, sifat kenakakan kita semakin menjadi. Kita jadi gampang emosi, meributkan hal-hal yang sepele. Padahal perjuangan kita saat menikah dulu tidaklah mudah. Aku harus meyakinkan ayahmu untuk merestui pernikahan kita. Aku merasa malu pada ayahmu karena aku menyia-nyiakan kepercayaannya. Aku belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Kamu telah banyak menderita istriku. Aku masih ingat saat kamu bersusah payah mengandung dan melahirkan buah hati kita. Harusnya aku hargai semua perjuangan dan pengorbananmu. Sekarang aku menyadari, tanpamu aku tak bisa berdiri kokoh. Kamu ibarat sayap kiriku. Tanpamu aku tak bisa terbang, aku rapuh, aku tak berdaya.. Aku butuh kamu Defne.. Aku butuh kamu karena aku mencintaimu..
Tak terasa air mataku berlinang sampai membasahi lembaran diary suamiku. Serangkaian memory suka duka yang pernah kami jalani saat ini tengah menari-nari di pikiranku. Kutatap dua kembarku yang tertidur pulas. Air mataku semakin deras mengalir. Rasanya aku tak sabar menunggu hari esok untuk bertemu dengannya.
Gilar's POV
Kutatap diary Defne. Warnanya merah muda, berhiaskan pita merah marun dan renda. Dia selalu menyukai warna-warna pastel dan dekorasi yang simple tapi kental dengan kesan feminim.
Kubuka halaman pertama
1 Agustus 2017,
Hari ini tugasku serasa lebih ringan. Aku tak perlu menyiapkan sarapan utk suamiku. Aku merasa lebih tenang tanpa suara berisik suamiku yang meminta disiapkan segala keperluannya, tas kantor lah, dasi, sepatu, belum lagi sapu tangannya yang suka ketinggalan di rumah. Tenangnya hari ini..
Apa aku sedemikian merepotkan? Seolah jika tak ada aku, hari-harinya begitu bebas dan tenang.
3 Agustus 2017,
Pagi ini tak ada makanan sisa. Maklum, aku hanya memasak sedikit untukku dan anak-anak. Coba kalau makhluk itu masih tinggal disini, makan malam yang udah capek-capek aku masakin, eh sama sekali nggak dia sentuh. Lagi-lagi makanan itu jadi rezeki ayam tetangga.. Nasib nasib, tiap hari jadi tukang masak si ayam.
Aku sebenarnya ingin tertawa membaca kata-kata terakhir istriku. Tapi aku juga merasa bersalah karena tidak menghargai jerih payahnya. Aku baru menyadari akan adanya perbedaan besar antara istriku yang dulu dengan yang sekarang. Dulu aku mengenalnya sebagai sosok yang punya sense of humor di atas rata-rata, dia tipe menyenangkan dan lucu. Namun Defne setahun belakangan ini seolah menjadi seseorang yang jarang sekali tertawa. Apa aku sudah melukainya sedalam ini?
7 Agustus 2017,
Sebenarnya aku kangen ama suamiku. Anak-anak juga udah sering nanya dimana ayahnya. Tapi aku harus kuat. Aku harus buktikan bahwa tanpa dia aku bisa menjalani kehidupanku dengan normal.
Keras kepalanya masih belum berubah. Selalu saja gengsi untuk mengakui perasaannya. Aku hanya menyeringai membaca bagian ini.
13 Agustus 2017,
Hari ini mesin cuci rusak lagi. Jadi terpaksa deh ngucek pakai tangan. Aku inget kejadian dulu. Baru aja pulang dari kantor aku malah nyuruh dia ngecek kerusakan mesin. Harusnya aku ngertiin kondisinya yang capek. Aku terlalu egois..
Aku juga egois Def, sangat egois. Jika nanti ada rezeki lebih, aku akan belikan kamu mesin cuci baru.
15 Agustus 2017,
Malam ini aku mendengarkan irama kotak musik yang memainkan lagu lama 'when you tell me that you love me'. Sebenarnya dulu aku beli kotak musik ini untuk suamiku. Tapi malam itu suamiku pulang dengan muka kusut tanpa menyapaku sepatah katapun. Dia langsung tertidur tanpa peduli aku duduk di sampingnya, menunggunya untuk mengucapkan sepatah kata 'selamat malam, atau mimpi indah sayang'. Tapi dia sama sekali tak mempedulikan keberadaanku. Aku kecewa dan ku putuskan untuk tidak memberikan kotak musik ini padanya.
Napasku serasa sesak. Aku begitu tercekat dan kepiluan menyergap segala sudut di hatiku. Andai aku bisa memutar waktu, aku akan kembali ke masa itu. Akan kutebus rasa sakit yang aku torehkan padanya. Maafkan aku Defne...
20 Agustus 2017,
Diary, sore tadi aku memasak ayam bakar kesukaan suamiku. Walau aku tahu dia sudah tak tinggal di sini lagi. Dan kalaupun dia masih tinggal di sini, ayam bakarku tak akan cukup menarik perhatiaannya, tapi aku tetap memasaknya. Setidaknya dengan memasak makanan favoritnya, rasa rinduku padanya sedikit terobati. Dulu aku ingat saat awal menikah, aku memasakkan ayam bakar untuknya. Dia makan dengan lahapnya. Dia bilang masakanku adalah masakan paling lezat di dunia. Aku tersanjung. Sudah lama dia tak memuji masakanku. Aku rindu melihatnya memakan masakanku dengan lahap.
Hampir saja sebutir air mata jatuh membasahi pipi. Namun buru-buru aku tahan. Boys Don't Cry, judul film lawas yang agaknya begitu berakar di hatiku membuatku berusaha sekuat tenaga membendung air mataku agar tak jatuh. Apa laki-laki memang tidak boleh menangis? Jika aku terlalu angkuh untuk menangis, maka aku akan melihat diriku kembali. Aku siapa? Aku manusia. Crying isn't a sign of weakness.. Crying is another way to tell that I'm only human.
23 Agustus 201,
Aku pikir aku bisa kuat bertahan berpisah dengannya sampai hari ini. Tapi aku tak mampu. Aku sangat merindukannya. Aku ingin tahu kabarnya. Tapi aku harus melewati satu bulan ini tanpa berkomunikasi dengannya dalam bentuk apapun. Apakah dia juga merindukanku? Apa dia juga merindukan anak-anak?
Aku mungkin jauh lebih terpuruk darimu Def. Kau hanya tak tahu.. laki-laki bisa serapuh ini.
27 Agustus 2017,
Semalam Revani mengigau memanggil-manggil ayahnya. Rupanya anak-anakku juga memendam kerinduan yang sangat mendalam padanya. Sabarlah anakku, sebentar lagi ayah pulang..
Pertahananku roboh juga. Aku juga sangat merindukan mereka. Dulu Defne melahirkan mereka dengan teramat sakit dan segenap perjuangan. Alhamdulillah Allah memberi keselamatan untuk istri dan bayi kembarku. Aku sudah tak tahan lagi ingin bertemu mereka.
30 Agustus 2017,
Selalu ada seseorang yang tak peduli betapa kau sering menyusahkan, dan di lain waktu menyenangkan, betapa kau terkadang merepotkan dengan hal yang sama dan berulang, betapa kau kerap cerewet dengan segala sesuatu, betapa kau sering berubah wujud, dari seorang peri lemah lembut lalu di lain waktu tampak seperti nenek sihir bermuka masam.
Selalu ada seseorang yang tak pernah membiarkanmu sendiri lalui jatuh bangunmu, sedih senangmu, gelap terangmu.. Dia kan terus menggenggam kendati dunia perlahan menjauh.
Selalu ada seseorang yang kan bersama-sama merawat cinta, membiarkannya tumbuh lebat, lalu menua bersama dan pada akhirnya doa selalu terpanjatkan, agar cinta itu bertaut kembali di jannahNya, aamiin
Selalu ada pola pikir, latar belakang dan watak yang berbeda antara dua orang yang saling mencintai dan disatukan dalam ikatan pernikahan.
Seperti ketika aku terjebak di hutan dan tak jua melangkah karena sibuk memilih jalan mana yang harus ditempuh, sedang kau terus melangkah menelusuri apa yang bisa dipijak. Perkara sampai di jalan keluar atau tidak, itu urusan nanti. Aku memikirkan tentang kemungkinan apa aja yang akan kutemui di jalan yang aku pilih, dan kau tak memikirkan sejauh itu.
Seperti halnya ketika hendak berlayar di pulau kapuk. Aku senang dengan suasana kamar yang rapi, sprei dan sarung bantal yang bersih, barulah aku kan terlelap, sementara kau tak pernah memikirkan sedetail itu, kapanpun kau mengantuk, kau bisa saja tertidur, meski saat duduk sekalipun.
Aku suka jalan menurun, kau suka jalan menanjak.
Aku suka telur ceplok tanpa garam, kau suka telur ceplok dibubuhi garam.
Aku terlalu mempersiapkan dengan detail apa yang mesti dibawa ketika hendak bepergian, kau sudah merasa tenang dengan persiapan seadanya.
Aku yang terkadang ribet, pemikir, kadang dipusingkan dengan hal kecil, nyatanya sikapmu yang cenderung "slow but sure", humoris mampu menjadi penawar..
Aku suka semua serba teratur dengan baju-baju tertumpuk rapi dan ditata searah di dalam lemari, sedang kamu berpikir yang penting sudah dilipat, masalah penyimpanan asal dimasukkan begitu saja, entah posisinya searah atau tidak, itu bukan masalah.
Aku tak tahan melihat satu bijipun plastik yang tergeletak di lantai dan buru-buru kubuang ke tempat sampah, sedang kau akan membuangnya nanti atau kau kumpulkan dulu sampah itu hingga agak banyak, baru dibuang ke tempatnya.
Aku cenderung perfeksionis dan kau sama sekali tidak. Sedikit saja ada noda oli di baju, aku akan mencari cara untuk menghilangkannya, sedang kau tak peduli bagaimana tampilan pakaian yang kau kenakan, asal sopan itu sudah cukup.
Setiap akan meng-upload foto kebersamaan di media sosial, aku akan memilih foto yang paling bagus, di mana aku tidak terlihat gemuk sedang kau tak memperhatikan soal itu, yang terpenting foto keluarga.
Aku yang selalu mengulang pertanyaan yang sama "apa aku terlihat gemuk?" Dan kau pun tak bosan untuk menanggapi, "Nggak...kamu seksi"
Pada akhirnya aku sadar, ribuan diary sekalipun tak akan cukup untuk menuliskan tentangmu... Aku mencintaimu Gilar.
Kupejamkan mataku. Kubayangkan ada sosok Defne di hadapanku. Akan kurengkuh dia dan kubisikkan sesuatu, "aku mencintaimu Defne, dulu, sekarang ataupun nanti..."
***
Author's POV
Defne tertegun kala mendapati sosok pria yang berdiri di balik pintu. Dia merutuki diri sendiri yang tak sempat berhias atau berganti baju. Gilar datang begitu mendadak tanpa memberi kabar. Matanya awas memperhatikan pria itu dari ujung rambut sampai kaki. Dia menyadari satu hal, suaminya tampak lebih kurus. Wajahnya begitu tirus.
Pandangannya berselancar memasuki sorot mata suaminya yang selalu setajam elang, seluas samudra dan sesejuk oase di sahara. Mata itu yang setiap kali ia lihat seperti lautan lepas, seakan menengadahkan ombak tuk menyambutnya. Defne seolah menyelam dan dia bisa tenggelam di dalamnya. Air mata perlahan menetes di pipinya. Hujan yang turun dari sudut matanya semakin deras. Laki-laki ini yang dulu setengah mati memperjuangkan cinta mereka untuk bisa sampai di pelaminan. Laki-laki ini yang terisak sesaat setelah mengucap ijab qabul.. Laki-laki ini yang mendampinginya selama berjuang di kamar bersalin dan dia menangis ketika tangis bayi kembarnya pecah memecah kesunyian.
Gilar terpekur menatap istrinya. Wanita yang begitu ia banggakan. Wanita yang telah mencintainya sedemikian hebat. Wanita yang telah berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan bayi kembarnya. Wanita yang dengan daster kedodorannya tampak lebih kurus dibanding awal dia mengenalnya. Wanita yang begitu cekatan mengurus semua pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan. Wanita yang sudah dengan sangat telaten mengurus anak-anaknya. Wanita yang tak sekalipun berpikir untuk meninggalkannya apalagi menggadaikan kesetiaan. Wanita yang selalu setia mendampinginya dalam susah maupun senang.
Kedua insan itu saling menatap dengan mata membasah dan suasana hati yang tak bisa dijelaskan. Ada beragam perasaan berbaur menganak sungai, entah perasaan apa yang mendominasi. Di saat yang bersamaan, rasa cinta bercampur rindu menguasai setiap bilik hati.
Gilar melangkah mendekat. Didekapnya tubuh istrinya dengan begitu erat. Tangis tercekat terdengar dari keduanya. Pakaian masing-masing pun membasah karena tertimpa genangan air mata yang terus mengalir. Dalam deruan tangis yang masih melantun, Gilar berbisik, "Aku mencintaimu Def.." Defne mengeratkan pelukannya. Dia pun membalas, "Aku juga mecintaimu... sangat..."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro