Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Beautiful Life

Yang dulu ketinggalan PO MBA, masih bisa pesan ya. Buka aja part terakhir MBA dan hubungi nomor adminnya.

Nara berjalan memasuki perpustakaan bersama Tasya. Sesekali ia berhenti dan memegang pinggangnya. Rasanya sedikit pegal. Usia kandungannya sudah 21 minggu. Perkembangan skripsinya sudah hampir tiba di seminar hasil. Ia tengah rajin-rajinnya belajar dari banyak referensi. Ia berniat meminjam buku ke perpustakaan untuk tambahan referensi.

Tasya mengamati wajah Nara yang terlihat pias.

“Na, kamu capek ya? Istirahat aja. Biar aku yang nyari bukunya,” ucap Tasya.

“Nggak, kok, Tas. Aku masih kuat.” Nara mengulas senyum.

Nara berjalan menaiki tangga dengan dituntun Tasya. Ia melangkah hati-hati. Setiba di lantai kedua perpustakaan, Nara mencari buku di salah satu lorong. Ia mengambil dua buku lalu duduk lesehan, membaca buku-buku sambil selonjoran untuk meluruskan kaki dan mengurangi rasa pegal yang mendera. Punggungnya bersandar di dinding ujung lorong.

Tasya masih sibuk memilih buku.  Nara melihat tiga orang mahasisiwi melangkah memasuki lorong yang terbentuk antara dua rak buku yang cukup besar dan panjang. Mereka sesekali tertawa dan berbincang.

“Eh, abis ini jalan-jalan yuk ke mall. Pingin mampir gramed, beli buku baru,” ucap salah seorang mahasiswi berkerudung warna biru.

“Bukannya fokus skripsi malah beli novel,” salah satu temannya menanggapi.

“Justru karena aku butuh refreshing, makanya aku ingin beli novel, buat baca-baca. Otak aku butuh pendinginan. Kasihan kalau setiap hari mendidih gara-gara skripsi.” Mahasiswi berkerudung itu memegangi kepalanya.

Dua temannya tertawa.

“Nanti habis dari mall, kita coba tempat makan baru, deh. Enak kayaknya,” balas salah satu mahasiswi berambut ikal.

“Boleh, deh. Oya aku nanti temeni beli baju juga ya. Ntar lihat-lihat di Duta Mode dulu lah. Di mall harganya mihil-mihil,” tukas yang lain.

Nara terdiam sejenak. Ia ingat, sudah lama ia tak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Apalagi saat hamil begini, ia menjaga diri agar tidak kecapaian. Sejak menikah banyak hal berubah. Ia tidak bisa bebas bepergian bersama teman-temannya. Kemanapun harus izin suami terlebih dahulu. Rasanya juga tak pantas, jika ia menghabiskan waktu sampai sore, pulang sudah malam, belum lagi masak untuk makan malam dan menemani Sakha belajar. Teman-temannya juga sungkan mengajaknya hang out karena takut mengganggu aktivitas Nara. Bahkan mengirim pesan whatsapp juga kadang menanyakan, apa Nara sibuk atau tidak.

Matanya kembali mengawasi gerak-gerik ketiga mahasiswi itu yang begitu energik jalan ke sana kemari,  mengingatkan dirinya yang sebelum menikah dan hamil juga pecicilan ke sana kemari, aktif, kadang hang out bareng teman sampai sore atau malam. Sekarang boro-boro. Kehamilan membuatnya mudah merasa lelah.

“Na, aku udah dapat bukunya, nih. Oya habis ini, kamu mau pulang ya? Aku ada janji sama teman, mau jalan-jalan.” Wajah Tasya berseri-seri.

“Iya, aku mau pulang,” jawab Nara dengan senyum tipis.

Seusai meminjam buku, Nara menunggu jemputan suami. Ia duduk di bangku panjang sembari mengamati arah seberang jalan yang dipadati penjual keliling aneka rupa. Ia melihat tiga mahasiswi yang tadi mengambil buku di lorong yang sama tengah mengerumuni penjual cilok.

Banyaknya aneka makanan yang dijajakan penjual keliling membuatnya menelan ludah. Saat belum menikah, ia suka sekali membeli jajanan di pinggir jalan. Sejak menikah ia terbawa gaya hidup Argan yang lebih senang masakan rumahan dan dimasak sendiri.
Satu pesan whatsapp masuk.

Na, Mas udah sampai di depan gerbang nih.

Nara segera melangkah menuju pintu gerbang. Ia menghampiri mobil Argan yang terparkir di depan pintu gerbang, tidak di depan persis tapi agak ke kanan agar tidak menghalagi pintu.

Argan membukakan pintu. Nara menyunggingkan senyum dan duduk di jok. Dengan sigap, Argan memakaikan seat belt, mengitari tubuh sang istri. Wajah mereka saling menatap sejenak dengan jarak yang begitu dekat. Argan melirik ke depan sekilas, tak ada orang yang lewat. Secepat kilat Argan mengecup pipi Nara sebelum kembali ke posisinya.
Nara tersenyum menanggapi keahlian Argan yang pintar sekali mengambil kesempatan.

“Udah dapat bukunya, sayang? Kalau butuh buku dan di perpustakaan nggak ada, Mas bantu nyari di toko buku atau toko buku online yang khusus menjual buku-buku non fiksi, kayak ekonomi.”

Alhamdulillah dapet.”

Alhamdulillah...”

Argan melajukan mobil dengan hati-hati. Sejak Nara hamil, ia lebih ekstra hati-hati saat mengemudi.

“Mas setelah mengantar aku pulang, ada jadwal mengajar lagi, nggak?” Nara melirik Argan yang tengah fokus menatap ke depan.

“Iya, ada. Tapi ada waktu untuk rehat sejenak. Kamu udah sholat dhuhur tadi?” Argan melirik Nara sepintas.

Nara mengangguk, “Udah, Mas. Oya, Sakha katanya pulang ke rumah bapak ibu. Padahal hari ini Nara pulang lebih awal.”

“Nggak apa-apa, nanti Mas jemput Sakha setelah pulang dari kampus.”

“Kamu udah makan siang? Bawa bekal nggak tadi?” tanya Argan lagi.

“Belum, Mas. Makan di rumah aja ya bareng Mas.”

Argan mengangguk, “Boleh. Kalau kamu ingin makan di mana juga hayuk, Mas anter. Sekarang lagi banyak model rumah makan ayam geprek atau ayam penyet, ada banyak menu lain juga yang bisa dipilih. Modelnya prasmanan, banyak pilihan lauk dan sayurnya.”

Nara sedang tidak berselera makan di luar.

“Kita makan di rumah saja, Mas.”

Argan melihat ekspresi wajah Nara tidak begitu bersemangat.

“Kamu kayaknya nggak semangat, Na? Apa ada masalah?”

“Nggak ada, sih. Ngobrolnya di rumah saja, ya.” Nara tersenyum tipis. Argan selalu tanggap setiap kali ada perubahan sikap dan raut wajah sang istri.

Setiba di rumah, Nara berganti baju, mencuci tangan, dan membersihkan wajah. Ia menyiapkan makan siang untuk Argan dan dirinya. Keduanya melahap menu masing-masing. Argan mengamati ekspresi wajah Nara yang tidak seceria biasanya.

“Kamu kenapa, Na? Mas perhatiin dari tadi kamu murung. Cerita dong sama Mas.”

Nara menghela napas.

“Nara kadang kangen masa-masa ngumpul sama teman. Jalan-jalan ke mall sampai sore. Kadang kita hunting menu makan malam ramai-ramai satu kost. Sekarang teman-teman jarang ngajak aku jalan. Udah nggak mungkin juga aku jalan sampai sore. Udah nggak seenergik dulu. Apalagi sedang hamil gini, nggak boleh kecapaian.” Nara memainkan sendok dan garpu. Ia kembali mengembuskan napas.

“Kalau lihat teman-teman yang single, pada bebas banget. Mau main sampai sore atau malam sekalipun juga tak masalah. Bebas jalan kemana. Bebas lari-lari, naik turun tangga. Nggak perlu mikirin kerjaan rumah tangga, ngurus anak, fokus ke skripsi...”

Argan mendengarkan semua curahan hati sang istri dengan tenang.

“Sudah ceritanya? Mas boleh nanggepin, nggak?” Argan menatap Nara lembut. Wanita itu hanya mengangguk pelan.

“Jadi Nara pingin balik ke masa lalu? Ke masa waktu masih single?” Argan menaikkan sebelah alisnya.

Nara segera menggeleng, “Bukan itu maksudnya, Mas...”

“Itu yang Mas tangkap. Nara kayak nyesel nikah muda karena merasa tak bisa bebas beraktivitas. Merasa terikat tanggung jawab sebagai istri dan ibu.” Argan mengusap rambut istrinya lembut.

“Kalau Nara mau main sama teman, Mas ngizinin asal tahu waktu. Kalau Nara mau bebas tugas dari kerjaan rumah tangga, silakan. Mas nggak pernah nuntut Nara untuk ngerjain pekerjaan rumah tangga. Mas nggak ingin Nara merasa terbebani. Tapi coba pikirkan, setelah menikah, kehidupan Nara jauh lebih baik atau malah semakin buruk?”

Nara mencerna dalam-dalam pertanyaan Argan.

“Jauh lebih baik, Mas. Dulu hidup Nara kacau, berantakan. Nara nggak bisa masak dan sepertinya potensi Nara banyak yang masih terpendam. Setelah menikah, potensi itu tergali setelah Nara belajar banyak hal. Nara belajar masak, membuat mainan untuk Sakha. Nara belajar menjadi istri dan ibu yang baik meski masih jauh dari sempurna. Hidup Nara terasa jauh lebih berarti.”

“Meski Nara nggak seenergik dulu karena sekarang sedang hamil, nggak bisa bebas naik turun tangga, nggak bisa main sampai malam, apa Nara ikhlas? Apa semua yang didapat Nara sekarang tidak ada manfaatnya untuk Nara dan orang-orang di sekitar Nara? Bayangkan dengan kehidupan Nara sebelum nikah. Nara seneng-seneng sama teman, clubbing, ngabisin uang saku dari papa buat beli barang-barang branded... Apa semua itu ngasih manfaat untuk Nara? Untuk orang tua Nara? Sedang sekarang, Nara pulang ke rumah lebih awal. Nara masak, Nara nemeni Sakha main, seberapa besar manfaat yang dirasakan anggota keluarga? Insya Allah jika Nara ikhlas melakukannya, Allah akan kasih pahala.”

Nara termenung mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir Argan. Tentu, kehidupannya yang sekarang jauh lebih baik dan positif.

“Kalau Nara cuma sekedar kangen masa-masa dulu hang out sama teman sampai sore, bebas beraktivitas di luar tanpa ingat rumah, anak, hayuk Mas temenin. Kalau nanti Nara abis lahiran dan udah pulih, kita main sampai sore. Anak-anak titipin ke bapak ibu. Kita nonton bioskop, jalan-jalan ke mall, ngumpul sama teman-teman Nara... Mas mau lihat, seberapa lama Nara tahan berada di luar tanpa anak-anak, tanpa memikirkan rumah.”

Nara masih tercenung. Argan menatap Nara lebih tajam dengan kelembutan yang masih mendominasi.

“Ketika seorang perempuan menikah, dia memikirkan anak, suami, kerjaan rumah, melebihi memikirkan diri sendiri. Secara alami tanggung jawab itu muncul dan dia mengerjakan semua tanggung jawab itu tanpa paksaan atau tuntutan. Mas nggak sedang membicarakan para istri dan ibu yang lalai dari tanggung jawab. Umumnya, mereka yang sudah menikah sadar diri memiliki tanggung jawab lebih.”

Nara menatap sorot bening Argan yang tersenyum padanya.

“Bayangkan, Na...how many women out there who want to be in your position? Ada berapa banyak wanita di luar sana yang ingin berada di posisimu? Kamu masih muda, sudah menikah, sudah punya Sakha yang begitu dekat sama kamu, ada suami yang siap jadi sahabat terbaikmu, sekarang sedang hamil... Sementara di luar sana ada banyak wanita yang ingin sekali menikah, ingin mengurus anak, ingin memasak untuk suami, tapi jodoh tak kunjung datang. Ada yang setiap hari tertekan karena orang tua menyuruhnya cepat menikah. Ada yang tiap kondangan harus tebel kuping tiap ada yang nanya, kamu kapan nyusul? Datang sendirian mulu, pasangannya mana? Ribetnya netijen di sini. Kalau perempuan umur sudah matang belum menikah pasti pada kepo dan nanya-nanya mulu. Ambil sisi positifnya. Kamu nggak harus melayani pertanyaan seperti itu, karena ada di posisi mereka juga nggak enak.”

Nara masih tergugu. Ia membenarkan ucapan suaminya.

“Mungkin kamu mikir, kalau kamu masih single, kamu bisa konsen skripsi, selesai lebih cepat, berkarir, dan membantu orang tua. Setiap orang mengemban tugasnya masing-masing. Yang belum menikah bisa berkarir dan membantu orang tua, membantu adik-adiknya. Yang sudah menikah bisa mengurus anak, suami, tetap berbakti pada orang tua dengan caranya, ada yang tetap bekerja membantu suami menambah penghasilan, ada yang full di rumah mengurus keluarga. Kedua tugas ini sama-sama baik. Asal dilakukan dengan ikhlas dan diniatkan untuk ibadah, insya Allah akan dibalas kebaikan. Setiap orang punya medan perjuangan sendiri-sendiri. Tak perlu sibuk membandingkan dan iri dengan pencapaian orang lain.”

Argan mengusap pipi Nara. Mata perempuan itu mulai berkaca.

“Kamu di usia semuda ini sudah memiliki medan perjuangan lebih. Kamu nggak hanya mengurus pendidikan, tapi juga keluarga. Bahkan saat kamu berjalan, kamu nggak hanya memikirkan diri kamu sendiri, tapi juga memikirkan bayi yang ada di rahim kamu. Kamu hati-hati dalam melangkah, nggak bebas naik turun tangga, karena kamu ingin menjaga bayi kita, memastikan dia dalam keadaan aman dan baik-baik saja. Semua yang kamu lakukan, selalu kamu pikirkan matang-matang, apakah ini aman untuk dede bayi atau tidak.” Argan mengusap perut Nara.

“Belum lagi saat nanti melahirkan. Setiap rasa sakit itu adalah perjuangan. Allah pasti menghitung setiap perjuanganmu. Bayangkan ada berapa banyak perempuan yang ingin merasakan nikmatnya hamil dan melahirkan tapi belum juga diberi kesempatan itu? Allah menganugerahkan begitu banyak nikmat untukmu Na, untuk keluarga kita.”

Air mata Nara menetes perlahan. Ia merasa bersalah karena sempat mengeluh tak sebebas waktu masih single. Setelah ia berpikir mendalam, apa yang dikatakan Argan benar adanya. Hidupnya terasa jauh lebih baik dan lengkap setelah menikah. Ada Argan, Sakha, dan bayi di rahim yang selalu membuatnya merasa tak membutuhkan apa-apa lagi.

“Maafin Nara, Mas. Nara kok kayak orang yang nggak bersyukur. Maafkan aku ya Allah. Nara nggak bermaksud mengkufuri nikmat. Nara bersyukur dengan semuanya. Nara bahagia dengan hidup Nara. Nara nggak menyesal menikah muda dengan Mas Argan.”

Argan menangkup kedua pipi istrinya lalu menyeka bulir bening itu dengan jari-jarinya.

“Mas juga nggak menyesal nikah sama kamu. Kamu tahu, waktu dulu bapak ibu jodohin Mas sama kamu, entah kenapa Mas begitu yakin meski usia kamu waktu itu masih sembilan belas, meski kehidupan kamu dulu bengal dan suka clubbing. Tapi hati kecil Mas yakin, kamu orang yang dikirimkan Allah untuk melengkapi hidupku dan Sakha. Meski saat itu kita belum bertemu, entah kenapa Mas ingin menjaga kamu. Menikah adalah satu jalan terbaik untuk merealisasikannya.”

Nara menghambur memeluk suaminya dengan senyum merekah kendati tangis haru masih mengalir.
Argan mengecup kening Nara bertubi-tubi.

“Menikah dan menjadi ibu itu bukan hambatan untuk bersinar. Justru banyak orang yang semakin cemerlang setelah menikah. Menikah itu ibadah. Ketika orang menyesal menikah, perlu dipertanyakan lagi apa yang dia cari dalam pernikahan? Kenapa ia menyesal? Apa dia tak bahagia? Apa dia tersakiti? Pernikahan yang berhasil itu yang membuatmu semakin dekat dengan Allah,” ucap Argan lagi.

Nara mengangguk pelan, “Iya, Mas. Menikah dengan Mas Argan itu salah satu hal terbaik dalam perjalanan hidupku.”

Argan mengangkat dagu istrinya. Ia mencium bibir istrinya, menyesapnya dalam-dalam. Tak cukup di situ, ia mencium sekali lagi, kali ini ia menekan lebih dalam, menarik pelan bibir bawah Nara dengan gemasnya.
Ia tersenyum setelah mengakhiri ciumannya.

“Gemeesss....” ucap Argan sembari mencubit pipi Nara.

Nara tertawa kecil. Ia tak mau kalah. Ia cubit pipi Argan pelan.

“Aku juga gemeessss sama Mas.”

Keduanya tertawa lalu saling berpelukan.

“Ya, udah...Mas balik ke kampus dulu, ya.” Argan mengusap pipi istrinya sekali lagi.

Nara mengangguk, “Iya, Mas.”

Argan mengecup perut Nara.
“Ayah ke kampus lagi ya, Dek. Baik-baik sama Mama.”

Argan mengecup kening Nara sekali lagi.

Assalamu'alaikum.”

Wa'alaikumussalam.”

Nara menatap laju mobil sang suami hingga berbelok di ujung gang. Jari-jarinya mengusap perut. Ia bicara pelan pada sang bayi dalam rahim.

“Baik-baik ya De...sampai nanti waktunya tiba. Maafin mama yang sempat mengeluh. Mama bersyukur dengan kehadiranmu di perut mama. Mama bahagia dengan kehadiran ayah, Mas Sakha, dan kamu.”

******

Udah dulu ya. Mau ngerjain tugas. Maaf sakha belum muncul lagi, insya Allah next part. Aku mau menyelesiakan tugas dulu.

Buat yang minta resep-resep masakan yang pernah aku share di cerita-ceritaku, aku jadiin satu di work Food-Art and Recipes ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro