Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Jealous

Maaf banget baru update... Sebenarnya kerjaan belum selesai, tapi sepaneng kalau nggak refreshing, jadi nulis dulu buat refreshing.


Btw siapa yang setuju dengan tulisan di atas? Haha.. ada benarnya juga ya. Pembaca Dear Pak Dosen mungkin ada yang pernah berekspektasi authornya kayak gimana baik karakter maupun fisik. Kalau nggak sesuai ekspektasi, nanti kecewa lho haha.

Aku baca comment dari teman pembaca di ig-ku.


Katanya, ternyata author masih muda dan imut, uhuk keselek. Bukan imut tapi amit. Jadi mikir jangan2 selama ini pembaca pada ngira author udah nenek2 hahaha. Apalagi nama akunnya Archaeopteryx, burung di zaman purba, barangkali ada yang ngira authornya juga makhluk purba 😂.

Yang pasti siapapun penulisnya, kalau ada yang bermanfaat diambil aja, yang nggak bermanfaat dibuang. Itu kenapa aku nggak promo ig dan gak mengharuskan pembaca untuk follow ig-ku, karena bisa aja kalian berekspektasi lebih, terus setelah follow ig dan ternyata author di luar ekspektasi, kalian kecewa. Tapi bagi yang mau follow silakan, bisa dm, soalnya kadang nggak langsung aku confirm.

Udah ah cuap-cuap ya... happy reading...

Mata Nara berbinar cerah saat melihat buah matoa di atas meja. Bastian mengantar matoa itu langsung ke rumah Argan-Nara. Sebenarnya orang tua Nara juga mendapatkan buah matoa di salah satu supermarket, tapi karena jauh dan Nara sendiri tak ingin merepotkan orang tuanya untuk mengantar jauh-jauh ke Purwokerto, akhirnya orang tuanya tak jadi mengantarkan matoa. Apalagi setelah Bastian memberi kabar bahwa ia menemukan buah matoa.

“Makasih banyak, ya, Bas. Aku seneng banget. Akhirnya keturutan juga makan matoa.” Nara memungut satu buah lagi dan memakannya. Bastian membawakan tiga kilo sekaligus.

“Sama-sama, Na. Aku dapet matoa ini di Jakarta. Soalnya di Bogor nggak ada. Kata temenku yang tinggal di Jakarta, di sana ada, di supermarket. Berangkatlah aku ke Jakarta bareng temenku. Akhirnya dapat juga di sana.”

Nara merasa terharu akan kebaikan Bastian.

“Ya Allah, aku jadi ngrepotin kamu, ya. Kamu sampai bela-belain ke Jakarta. Makasih banyak ya, Bas.”

Bastian tersenyum, “Nggak perlu berterima kasih. Aku ikhlas. Semua ini demi calon ponakan.”

Argan yang duduk di sebelah Nara memandang pemuda itu dengan tatapan tak suka. Menurutnya Bastian ini sengaja mencari perhatian Nara, ingin mengambil hati istrinya.

“Oya, berapa harga matoa-nya? Biar saya ganti,” ucap Argan.

“Nggak usah, Pak. Saya ikhlas ngasih matoa buat Nara, nggak berharap diganti.” Bastian mengulas senyum terbaiknya.

“Makasih banyak, ya, Bas. Kamu memang sahabat yang baik.” Nara tersenyum sumringah.

Argan tak dapat menutupi rasa cemburunya. Mukanya terlihat asam.

“Oya, skripsimu sudah sampai mana?” tanya Bastian lagi.

Alhamdulillah aku lagi penelitian. Kalau datanya sudah terkumpul semua, tinggal analisis data. Kamu sendiri sudah sampai mana?” Nara bertanya balik.

“Sama, aku juga lagi penelitian. Dosen pembimbingku rada alot, Na. Saklek banget.”

“Sama, Bas. Dosen pembimbingku juga dikenal killer. Kamu tahu kan, galaknya kayak gimana.”

“Kayaknya dosen pembimbing rata-rata gitu, ya. Nyebelin, galak, superior, saklek, kolot, kebanyakan pada tua-tua juga, makanya suka sensi.” Bastian bicara tanpa tedeng aling-aling, tak menyadari pernyataannya barusan telah menyinggung perasaan Argan.

“Nyebelin, galak, superior, apa lagi tadi?” celetuk Argan sembari melirik Bastian dengan tatapan menusuk ala dosen pembimbing.

Bibir Bastian seketika mengatup, tak berkutik. Ia sadar telah salah ucap. Nara juga menyadari, suaminya tersinggung karena Bastian menggeneralisasi bahwa rata-rata dosen pembimbing itu menyebalkan.

“Nggak semua dosen pembimbing itu superior dan nyebelin. Saya selalu menghargai argumen mahasiswa bimbingan saya. Kami selalu berdiskusi. Bisa jadi kamu yang bermasalah makanya dosen pembimbingmu galak sama kamu.” Argan menatap Bastian datar.

Bastian tertegun. Ia menunduk, tak berani menatap Argan yang awas mengamatinya begitu menelisik, seperti hendak menguliti habis-habisan.

Nara menoleh ke arah suami yang tengah bersedekap.

“Iya, Mas. Nggak semua dosen pembimbing nyebelin. Mas Argan insya Allah seorang dosen pembimbing yang bijak.” Nara tersenyum menatap wajah sang suami dengan berjuta kekaguman.

“Iya bukan cuma dosen pembimbing yang bijak, insya Allah suami yang romantis untuk Nara.” Argan mengelus pipi istrinya, sengaja memamerkan kemesraan di depan Bastian yang ia nilai terlalu caper di depan istrinya.

Bastian memalingkan wajahnya. Ia tak habis pikir, Nara bisa tergila-gila pada Pak Dosen yang menurutnya alay, lebay, dan pencemburu.

“Oya, katanya anak-anak ngajak silaturahim ke rumah Pak Kades, Na. Itung-itung nostalgia masa KKN,” ucap Bastian tak peduli tatapan Argan begitu tajam ke arahnya

“Oya? Aku belum tahu. Ya baguslah. Aku kangen juga sama suasana desa yang asri. Kangen sama warganya juga.” Nara antusias menanggapi. Ia memang merindukan keramahan warga dan suasana kampung yang tenang.

“Cherry pasti seneng banget tuh, ketemu sama Mas Guntur.” Bastian tertawa kecil.

“Aduh jadi inget mereka. Cinta bersemi saat KKN hahaha. Gimana kabar mereka?” wajah Nara terlihat lebih berbinar. Rasanya ia kepo juga ingin tahu kelanjutan kisah cinta Cherry dan Guntur. (pembaca juga kayaknya kepo).

“Posisiku serba bingung, Na. Layla suka curhat masih ada rasa sama Mas Guntur. Cherry juga cerita dia dan Mas Guntur lagi pedekate. Setiap hari mereka komunikasi lewat telepon atau WhatsApp. Nah kemarin ada masalah. Layla ke Cilacap, minta diantar Mas Guntur ke tempat penelitian. Layla nggak berani sendiri. Mas Guntur nganterin. Layla post foto di instagram Cherry marah dan jealous. Kata Cherry, Mas Guntur udah jealasin kalau mereka nggak kesana berdua. Adik perempuan Mas Guntur juga ikut. Tapi nyatanya di Instagram Layla, cuma ada foto mereka berdua. Sumpah aku juga ngerti mesti gimana nanggepin.”

Nara menyimak dengan serius, sementara Argan memasang tampang cemberut karena merasa tak dianggap, tak dilibatkan dalam pembicaraan.

“Cherry kok nggak cerita ke aku, ya?” Nara mengernyitkan dahi.

“Mungkin dia nggak mau kamu kepikiran. Kamu kan lagi hamil,” tukas Bastian.

“Ehem... Kayaknya mau hujan, ya. Mendung banget.” Argan melirik kaca jendela. Suasana di luar memang terlihat mendung. Ia berharap Bastian segera pulang.

“Iya, mendung banget. Untung aku nggak punya jemuran di kost.” Bastian terlihat tenang, tak menunjukkan gelagat hendak berpamitan.

Argan semakin jengah melihat Bastian betah bertamu di rumahnya. Tiba-tiba derap langkah Sakha terdengar begitu merdu. Ia menghampiri ayah dan mamanya.

“Mama, Ayah... Sakha bosan, ingin main.” Anak itu mengerucutkan bibirnya dan dengan santainya duduk di pangkuan ayahnya.

“Main apa sayang?” tanya Nara.

“Bikin kreasi gitu... Bikin mainan.” Sakha memekik girang.

“Bikin mainan apa, Sakha? Yuk Om temani.” Bastian melempar senyum termanis pada anak delapan tahun itu.

“Boleh...yuk...” Sakha menggandeng tangan Bastian dan berjalan menuju ruang tengah.

Argan melongo. Bahkan sang anak pun terpesona dengan bocah kemarin sore itu. Begitu Bastian menawarkan diri ikut main, gayung langsung bersambut.

Sakha terlihat akrab dengan Bastian. Bastian ini tak hanya jago membuat perempuan baper, tapi juga memikat hati anak kecil. Baru saja kenal, Sakha sudah takjub dan mengidolakan Bastian yang ternyata pintar berkreasi.

Sakha memekik senang saat Bastian membuatkan mainan alat transportasi. Pertama ia menggambar alas buat background, ada gambar jalan, laut, dan langit. Kedua ia menggambar alat-alat transportasi mulai dari darat, laut, dan udara. Gambar kendaraan digunting dan  dibawahnya diberi magnet (direkatkan dengan  lem tembak). Terakhir gambar kendaraan diletakkan di atas background. Sakha mengambil satu magnet dan ia letakkan di balik alas. Ketika ia menggerakkan tangannya yang tengah memegang magnet itu, kendaraan ikut bergerak sesuai pergerakan tangan Sakha.


(Aku pernah upload video-nya di ig. Sayang di sini nggak bisa upload video kecuali dari YouTube. Sebelumnya, anakku bikin sendiri mainannya. Aku takjub melihat gambar mobil dijalankan dengan magnet. Kata dia inspirasinya dari fun time. Akhirnya aku buatkan mainan yang sama, dengan lebih meriah gambar alasnya. Mudah-mudahan bermanfaat dan menginspirasi).

“Om Bastian keren. Sakha suka banget mainannya.” Sakha tersenyum lebar.

Bastian mengacak rambut anak itu.
“Om pernah lihat di acara tv, tentang cara membuat mainan DIY. Ya udah om praktekin aja.” Bastian memang menyukai anak-anak. Tak heran jika mereka langsung akrab.

Diam-diam Argan takjub. Melihat kreatifitas Bastian. Di balik tampang songongnya, ia memiliki banyak kelebihan. Ia duduk di sofa mengamati Sakha dan Bastian. Sedang Nara memotong mangga di dapur. Entah kenapa ia ingin memakan mangga muda dan yang masih mangkal, apalagi dicocol sambal. Selain itu, ia juga menggoreng cireng crispy dari Gege’s Foods. (Promo terselubung).


“Nih ada mangga sama cireng crispy. Mas Argan mau? Sakha sama Bastian mau juga?” Nara melirik Bastian dan Sakha yang masih asik bermain.

“Iya makasih, Na. Mangga muda dicocolin sambal mah kesukaan ibu hamil.” Bastian melirik sepiring mangga itu.

Nara tersenyum, “Iya, makanan kayak gini tuh enak banget.”

“Kalau cirengnya aku mau.” Bastian mengambil satu cireng, diikuti Sakha.

“Aku juga mau, ini cireng kesukaanku,” ujar Sakha.

“Ayo Mas Argan, cirengnya enak lho, nggak pakai pengawet dan MSG.” Nara menoleh sang suami yang sedari tadi menekuk wajahnya.

Nara melirik mainan yang diletakkan di atas karpet.

“Wah, itu om Bastian yang bikin ya, Mas Sakha? Keren banget.” Nara terkesima. Argan bisa melihat ada kekaguman di sorot mata istrinya. Lagi-lagi ia cemburu.

“Ini mah gampang bikinnya, Na,” ujar Bastian.

“Sakha juga mau bikin mainan.” Ia mengambil beberapa kertas warna dan menggunting sesuai bentuk yang ia inginkan. Nara ikut bergabung bersama Sakha dan Bastian, sedang Argan hanya mengamati.

Sakha membuat mainan boneka kertas.


(Mainan buatan anak author).

“Sakha pintar ya bikin mainan. Lucu-lucu bonekanya.” Bastian tersenyum melihat boneka kertas buatan Sakha.

Argan melirik jarum jam dinding.

“Bentar lagi Maghrib, Sakha siap-siap Maghriban sama ayah ke Masjid.” Satu kode dari Argan agar Bastian pulang segera.

Bastian melirik jam dinding.

“Wah, udah sore banget ternyata. Om pulang dulu, ya, Sakha.” Bastian beranjak.

“Kapan-kapan main lagi, ya, Om.” Sakha mendongakkan wajahnya, menatap Bastian yang memiliki tinggi badan 180an sentimeter.

“Om Bastian sibuk skripsi, jangan diganggu Sakha,” sela Argan.

Bastian yang hendak menanggapi ucapan Sakha pun terdiam, tak jadi berbicara.

“Oya, Bas, ini ada cireng, cimol, sama sostel, lumayan buat cemilan di kost. Sostelnya bisa untuk lauk.” Nara menyodorkan kantong berisi cimol, cireng, dan sostel.

“Wah, makasih banyak, Na. Nanti aku goreng di kost. Teman-teman juga pada suka.” Wajah Bastian berseri-seri menerima aneka makanan itu.

Argan bisa bernapas lega setelah Bastian pamit pulang.

“Temenmu itu, bertamu kok lama...” Argan mencomot satu buah cireng, ia cocolkan ke sambal, lalu mengunyahnya.

“Ya tadi kan bikin mainan sama Sakha, makanya lama.” Nara mencomot satu potong mangga.

“Dia mah sengaja main lama, pingin lihat kamu lebih lama.” Nada kecemburuan begitu kental terdengar dari penuturan Argan.

“Mas Argan masih saja cemburu. Bastian sekarang nggak ada perasaan apa-apa sama Nara.”

“Ya di luar begitu. Hati orang siapa yang tahu? Dia memang cari muka sama kamu. Kayak nggak ada cewek single aja,” cerocos Argan.

“Mas Argan lucu kalau lagi cemburu gini. Bastian sebenarnya sempat dekat sama Dita. Cuma karena beda agama, akhirnya dua-duanya jaga jarak.”

“Pokoknya Mas nggak suka sama dia. Istri itu dilarang memasukkan orang ke dalam rumah, sementara suami tidak menyukai orang itu.”

Nara terbelalak, “Yang masukin dia ke rumah siapa Mas? Dia datang ke sini kan mau nganter matoa. Harusnya Mas Argan berterima kasih sama dia karena bela-belain nyari matoa sampai Jakarta. Mas Argan aja nggak dapet. Kalau Mas Argan dapet matoa-nya, tentu aku nggak akan bikin status tentang matoa dan Bastian juga nggak akan bantu nyariin.”

“Ya gimana mau dapet? Buahnya aja langka. Aku udah usaha nyari kesana kemari. Kok nggak dihargai? Bastian dapet matoa-nya juga karena posisinya menguntungkan, ada di Bogor, dekat ke Jakarta. Mas yang di Purwokerto bisa apa?”

Atmosfers sudah mulai memanas.

“Kalau Mas Argan benar-benar niat kan bisa nyari matoa kemanapun, termasuk ke tempat jauh.”

“Oh, jadi kamu nuduh aku nggak niat? Aku cari kemana-mana sampai capek, ternyata nggak ada harganya buat kamu?” Argan beranjak. Hatinya kesal dan kecewa.

“Sakha... Siap-siap Maghriban.”

“Iya, Ayah...” balas Sakha dari dalam kamar.

Nara tergugu. Jelas sekali, Argan marah padanya. Ia juga beranjak dan siap-siap untuk berwudhu.

Hingga selesai Isya, sepasang suami-istri itu masih tak mau bertegur sapa. Argan kesal karena merasa tak dihargai, sedang Nara masih berpihak pada egonya. Tak ada maksud menyinggung perasaan Argan. Ia menilai sang suami terlalu berlebihan menanggapi ucapannya.

Keduanya tidur saling memunggungi. Argan yang terbiasa tidur sambil mengeloni Nara, kini memilih mepet ke tepi ranjang, menciptakan bentang jarak yang jauh dengan istrinya. Nara cemberut dan kesal karena Argan tak jua mendekat, meminta maaf, atau memeluk. Ia tak terbiasa tidur tanpa pelukan sang suami. Meski mereka tak selalu berhubungan setiap malam, tapi Argan selalu menyempatkan diri mengecup keningnya juga bibirnya. Kini ia hanya terbaring dalam diam dan sama sekali tak peduli akan gerak Nara yang mulai menghentakkan kaki, memancing perhatian Argan.

Nara mengepalkan tangan dan memukulkannya ke kasur sambil menggerutu. Melihat suaminya tak bereaksi, Nara tak tahan lagi.

“Maassss.....”

“Hmm...” Argan hanya menanggapi dengan satu kata “hmm”, itu juga tak menoleh. Masih bertahan dengan sikapnya.

Nara semakin kesal.

“Mas Argan nggak peka banget. Nyuekin Nara...” Nara menatap punggung sang suami sembari mengelus perutnya.

“Kasian banget sih dede bayi, dicuekin sama ayah.” Nara berbaring miring, memunggungi Argan. Perasaannya yang menjadi lebih sensitif membuat hatinya tercabik dan terluka dengan sikap cuek suami. Air mata menetes dari pelupuk mata Nara. Isak tangisnya terdengar mencekat. Argan tak tega mendengarnya.

Laki-laki itu membalikkan badan dan memeluk Nara dari belakang. Tangannya mengusap perut istrinya. Nara terkesiap.

“Makanya kalau ngomong itu dijaga lisannya. Mas tersinggung, seolah kamu menuduh Mas nggak niat nyari matoa. Pakai dibandingin sama Bastian, ya jelas Mas cemburu.” Argan menyentuh pipi istrinya dan menggerakkan wajah cantik itu agar mau menolehnya, tapi Nara enggan menoleh sang suami.

Argan memegang lengan Nara dan berusaha membalik tubuh Nara agar mau menghadapnya tapi wanita itu tak mau bekerja sama. Ia tak mau menatap suaminya.

“Nggak mau....” derai tangis itu masih menghujani wajahnya.

“Sayang, ngadep sini dong.” Argan trenyuh juga mendengar isak tangis sang istri yang belum juga berhenti.

Nara terkesiap. Ia berbalik menghadap Argan dengan wajah yang masih basah. Argan mengusap bulir bening itu dengan jari-jarinya.

“Cup... Cup.. cup... Udah jangan nangis.” Argan mendaratkan kecupan di kening, kedua mata Nara yang digenangi air mata, di pipi, terakhir di bibirnya.

“Mas minta maaf...” Argan menatap sang istri dengan sorot mata penuh cinta. Ia mengusap perut Nara dan mendaratkan kecupan di sana.

“Maafkan ayah, ya, Dek.”

Nara menghentikan tangisnya.

“Mas Argan tega sama Nara. Jahat... Nyuekin Nara..”

Argan menangkup kedua pipi istrinya.

“Mas minta maaf, ya. Mas emang tersinggung tadi. Mas tahu kok Nara nggak bermaksud meremehkan usaha Mas.” Argan mengecup kening Nara sekali lagi dan mendekapnya dalam pelukan. Tentu saja ia tetap memperhatikan perut Nara agar tidak menekannya.

Nara mendongakkan wajahnya dan menelisik wajah sang suami yang juga tengah menatapnya dengan senyum terulas.

“Nara juga minta maaf. Nara berterima kasih atas usaha Mas untuk menyenangkan Nara, memenuhi ngidam Nara.”

“Iya, sama-sama, sayang.” Argan kembali mendaratkan kecupan bertubi-tubi di kening, mata, pipi, dan terakhir ia mencium bibir Nara dengan cumbuan yang lebih dalam. Ciuman kadang terasa lebih emosional dan dalam setelah percikan konflik datang menjadi bumbu rumah tangga.

Keduanya tidur berpelukan, menyalurkan hangatnya rasa cinta yang tak pernah padam dari sejak awal jatuh cinta. Pernikahan itu seperti sekolah seumur hidup, hanya saja ujiannya tidak terjadwal dan bisa datang sewaktu-waktu. Cinta karena Allah akan terus terjaga dan diharapkan mampu menautkan kembali dua cinta itu di jannahNya.

*****

Aku up kalau minimal udah 2rb vote. Kemarin ga sampai 2rb. Aku mau nyelesein gambar ini dulu.

Ini pesanan. Anak temen suka lihat buku anakku yang aku bikin sendiri. Dia ingin juga dibikinin pakai gambar asli tangan. Buat yg seneng gambar bisa dicoba bikin buku sendiri untuk anak/keponakan/adik.

Hari ini aku udah aktif kuliah, Sabtu Minggu kul sampai sore. Jadi mungkin ga update dulu. Kalau sempet, disempetin ngetik.

Next part tentang mitos hamil, coz ada pembaca yang request.

Mampir ke cerita baruku ya... yg ini bikin baper..



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro