2. Cemburu
Semenjak hasil pemeriksaan menyatakan Nara positif hamil, Argan begitu memanjakan istrinya. Orangtuanya maupun orangtua Nara tak kalah memberi berjibun perhatian. Ibu Argan sering pula memasak makanan kesukaan Nara dan masakan lain untuk menggugah selera makan sang menantu. Hamil muda membuat Nara akrab dengan morning sickness. Indera penciumannya juga menjadi lebih sensitif. Ia mual jika mencium aroma makanan tertentu atau bumbu dapur seperti bawang. Nara yang sebelumnya suka aroma durian, saat hamil muda begini, ia tak tahan mencium baunya dan bisa membuatnya mual.
Kondisinya yang sering pusing dan muntah-muntah saat hamil memang kadang menghambat pengerjaan skripsinya karena terkadang mood-nya turun. Namun ia berusaha untuk tetap bersemangat mengerjakan semua. Argan juga selalu mendukung dan siap membantu. Nara kerap bertanya pada Firda kiat-kiat menjalani kehamilan agar selalu sehat, segar, dan tak mengurangi semangatnya menjalani segala aktivitas. Nara berusaha untuk istirahat teratur dan lebih menjaga makanannya. Ia tak lagi jajan sembarangan di luar. Untuk menetralkan rasa mual yang kerap melanda, Nara selalu sedia buah-buahan untuk cemilan.
Di saat semua anggota keluarga dan kerabat menyambut suka cita kehamilan Nara, ada yang berbeda dari Sakha. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan memiliki seorang adik. Selama ini ia terbiasa menjadi satu-satunya anak kecil di keluarganya. Sekarang, perhatian Nara dan Argan terbagi untuk janin di dalam rahim Nara. Argan dan Nara terbiasa menyapa janin dalam rahim itu dengan panggilan “Dede”.
Belakangan ini Sakha tak pernah menghabiskan makanannya. Ada rasa cemburu saat melihat ayahnya mengelus perut mamanya. Mereka mengajak sang calon adik bicara dengan senyum lebar. Sakha merasa disisihkan.
Sakha membaca buku dengan wajah sedikit ditekuk. Sementara ayahnya mengusap-usap perut Nara.
“Dede bayi lagi apa ya di dalam? Kalau nanti udah empat bulanan ke atas, gerakannya bakal jelas, Na, bakal kerasa.” Argan mengulas senyum dan menatap wajah istrinya yang terlihat lebih bersinar auranya saat mengandung.
Sakha melirik ayah dan mamanya dengan raut wajah yang datar. Nara menoleh ke arah Sakha. Ia bisa membaca ekspresi wajah Sakha menunjukkan rasa kurang senang.
“Mas Sakha kok diam saja, ayo sini ikut ngobrol sama Dede bayi.” Nara mengulas senyumnya.
Sakha menggeleng pelan. Argan dan Nara saling berpandangan. Argan menyadari satu hal, Sakha belum pernah sekalipun menyapa calon adiknya. Sakha terkesan menghindar saat Argan dan Nara mengajaknya bergabung.
“Mas sini, Mas. Coba deh raba perut mama. Dede bayi pasti bakalan seneng disapa sama kakaknya. Dede bayi juga ingin kenalan sama semua anggota keluarga. Nanti kalau Dede udah lahir, bakal jadi teman main Mas Sakha.” Argan melembutkan suaranya.
“Kata ayah kan dedenya belum kerasa gerakannya,” balas Sakha masih dengan mimik muka yang datar.
Argan kembali mengulas senyum, “Iya memang. Tapi kan nggak ada salahnya menyapa Dede dari sekarang. Dia pasti bisa merasakan kasih sayang dari keluarganya.”
Sakha terdiam. Nara menyadari putranya tengah dilanda cemburu karena kehadiran sang calon adik. Mungkin ia takut tersisih dan cemas jika perhatiannya maupun ayahnya akan berkurang padanya.
Sakha minta izin ke kamar. Ia mengatakan pada Argan dan Nara ingin membaca di kamar.
Setelah anak itu berlalu dari hadapan mereka, Nara menatap sang suami begitu serius.
“Sepertinya Sakha cemburu, Mas.”
Argan mengangguk, “Iya aku juga berpikir begitu. Agar dia nggak cemburu, kita harus tetap memberi perhatian padanya. Kita yakinkan dia bahwa setelah adiknya lahir, kita akan tetap menyayanginya dan memperhatikannya. Kita akan berusaha berlaku adil padanya juga adiknya.”
Nara mengangguk. Ia meraih ponselnya lalu browsing artikel tentang bagaimana cara agar si kakak tidak cemburu pada calon adiknya.
“Mas, kalau dari berbagai artikel yang aku baca, biar si kakak nggak cemburu, kita harus libatkan dia ke masa-masa kehamilan. Misal, ya kayak tadi, kita minta dia untuk mengusap perut dan mengajak calon adiknya ngobrol. Kita ajak dia periksa dan melihat perkembangan adiknya dari USG. Kita ajak Sakha untuk belanja keperluan bayi dan memintanya memilih. Kita juga harus meluangkan banyak waktu buat dia, Mas. Pokoknya jangan sampai dia merasa kurang diperhatikan.”
“Iya, Na. Lebih baik kita ke kamarnya. Kita ajak Sakha bicara,” ucap Argan.
Nara mengangguk. Sepasang suami-istri itu mendatangi kamar anaknya. Sakha tidak sedang membaca buku. Ia berbaring miring menghadap tembok. Nara duduk di sebelah Sakha, sedang Argan duduk di kursi belajar.
“Mas Sakha...” Nara mengelus lengan putranya.
Sakha tak bergeming. Ia belum memejamkan mata.
“Ngadep mama dong, Mas. Mama mau ngomong.” Nara mengusap rambut putranya yang ia sadari sudah cukup panjang untuk dipotong.
“Rambut Mas Sakha sudah agak panjang ya. Besok dipotong ya, Mas.” Nara merasa bersalah karena bisa kecolongan menyadari rambut Sakha sudah agak panjang. Ia tak ingin kehamilannya menyita perhatiannya hingga sedikit melupakan sang kakak.
“Mas Sakha marah, ya? Dari tadi mama ngajak ngomong kok dicuekin?” giliran Argan bertanya.
Sakha membalikkan badan. Ia menatap Nara dan Argan bergantian.
“Mama sama ayah lebih sayang sama Dede bayi,” ujar Sakha datar.
Argan tahu, anaknya bisa bersikap dan bicara lebih dewasa dari umurnya, tapi dia tetaplah anak-anak yang memiliki sisi kekanakan dan terkadang begitu menggemaskan dengan kepolosannya.
“Kata siapa lebih sayang sama Dede bayi? Mama sama ayah sayang kalian dan tidak membeda-bedakan.” Nara melirik Argan sepintas lalu kembali menatap putranya yang cemberut.
“Tapi mama sama ayah ngajak Dede bayi ngobrol terus. Padahal dia kan masih ada di perut, belum lahir,” celetuk Sakha.
Nara tersenyum tipis.
“Dede bayi memang harus dibiasakan diajak komunikasi sejak dalam kandungan, sayang. Dia bahkan bisa merasakan apa yang dirasakan ibunya. Makanya mama mesti happy, nggak boleh sedih, biar Dede bayi juga merasa senang. Lebih-lebih kalau Mas Sakha mau ngajak Dede bayi ngobrol, Dede bakalan seneng banget. Mas Sakha nggak mau Dede bayi sedih, kan?”
Sakha menatap wajah Nara, seakan menyelami sorot bening sang mama.
“Mama pasti nanti lebih sayang sama Dede bayi. Mama nggak akan bikin bento atau mainan lagi buat Sakha.” Sakha mengerucutkan bibirnya.
“Mama akan tetap sayang sama Mas Sakha. Insya Allah bakal tetap usaha meluangkan waktu bikin mainan dan nyiapin bekal untuk Mas Sakha. Ayah juga gitu, akan selalu sayang sama Mas Sakha. Mas Sakha jangan khawatir. Baik Mas Sakha maupun Dede bayi, dua-duanya anak mama sama ayah, jadi harus disayang dua-duanya.” Nara mengusap rambut putranya lembut.
“Benar apa kata mama, sayang. Baik mama maupun ayah akan selalu sayang sama Mas Sakha. Nggak akan membeda-bedakan Mas Sakha dan Dede bayi.” Argan merebahkan badan di sebelah Sakha.
Sakha merasa nyaman berbaring di sebelah ayah dan mamanya. Nara mengambil satu buku ensiklopedia.
“Sakha mau dibacakan ensiklopedia?” Nara menawarkan diri. Ia tahu, Sakha sudah sangat lancar membaca. Namun ada kalanya, ia merasa senang jika mendengar Nara membacakan buku yang ingin ia baca.
“Sakha nggak mau ensiklopedia. Mau cerita yang ringan aja. Mau dibacakan cerita bergambar,” pekik Sakha girang.
“Okay. Mama ambil dulu bukunya.” Nara memilih satu buku cergam di lemari buku.
Cergam yang dipilih Nara adalah salah satu cergam favorit Sakha. Meski dia menyukai bacaan yang sarat ilmu seperti ensiklopedia, tapi di suatu waktu dia juga menyukai bacaan ringan seperti cerita bergambar. Sakha selalu senang setiap kali Nara membacakan cerita bergambar karena Nara bisa membacakan dengan sangat ekspresif. Berbeda dengan. Argan yang cenderung datar. Mungkin inilah kelebihan seorang ibu, yang tak hanya sekedar meluangkan waktu untuk membacakan cerita, tapi bisa lebih ekspresif dan memudahkan anak untuk masuk ke dalam cerita serta berimajinasi seolah dia yang memerankan tokoh dalam suatu cerita.
Hingga di bagian yang membahas “tooth fairy”, Sakha menyela.
“Mom, would you like to tell me who is tooth fairy? I often read about her in many children's books.”
Nara tersenyum. Ia tahu Sakha pasti akan menanyakan sesuatu karena dia tipikal anak yang rasa ingin tahunya tinggi. Argan melirik Nara, “Peri gigi? Lucu ya namanya.”
“Ya, peri gigi. Mama waktu kecil suka baca buku cerita asing, sering kali ada karakter peri gigi. Mama nanya sama nenek, peri gigi itu sebenarnya siapa? Nenek bilang, the tooth fairy is a fantasy figure of early childhood in Western and Western-influenced cultures(1). Jadi dalam cerita rakyat, setiap anak yang gigi susunya tanggal lalu disimpan di bawah bantal atau di meja sebelah ranjang, peri gigi akan mengunjungi mereka saat tidur dan mengganti gigi yang tanggal dengan pembayaran kecil(2).” Nara menjelaskan.
“Jadi itu kayak mitos, ya, Ma?” tanya Argan.
“Iya, ini mitos. Kalau di Indonesia kayak dongeng gitu. Di dunia nyata nggak ada peri gigi. Kalau kita minta atau berdoa sesuatu harus sama Allah, bukan sama peri gigi dan yang lainnya.” Nara memberi pengertian pada Sakha agar bisa memahami isi buku dan memilah-milah mana yang real, mana yang tidak, mana yang baik untuk dicontoh mana yang nggak.
“Iya, Ma. Sakha tahu kok itu cuma mitos. Cuma ceritanya lucu dan cara Mama membacakan cerita juga lucu banget dan menjiwai, makanya Sakha kadang pingin dibacakan. Dulu buku itu dikasih sama teman Sakha waktu TK.”
“Coba sini ayah yang bacain.” Argan mengambil buku tersebut dalam genggaman Nara. Saat Argan membacakan cerita, Sakha tertawa.
“Kok ketawa, sih?” Argan mengernyit.
“Ayah bacanya datar. Coba lebih ekspresif kayak mama.” Sakha tertawa cekikikan. Nara ikut tertawa.
Argan berusaha membaca dengan lebih ekspresif. Tetap saja ibu dan anak itu tertawa karena Argan begitu lucu saat membacakannya. Nara dan Argan baru meninggalkan Sakha sendiri setelah anak itu terlelap.
******
Esoknya seperti biasa Nara menyiapkan sarapan untuk Sakha dan Argan.
“Sayang, kaos kaki yang kemarin baru dicuci di mana, ya?” tanya Argan.
“Mama kayaknya lupa menyimpan di kotak kaos kaki Sakha,” jawab Nara sembari menuang sop ke dalam mangkok.
Argan segera mendatangi kamar putranya.
“Ma, pensil Sakha yang kemarin baru beli kok nggak ada, ya?” gantian Sakha yang bertanya.
“Mama taruh di meja ruang tengah. Tadi baru aja diserut. Tempat pensilnya juga ada di sana.”
Setelah semua beres, anak dan ayah itu sarapan bersama. Argan mengelus perut istrinya dan menciumnya, “Selamat pagi Dede bayi.” Selanjutnya ia mengusap kepala Sakha dan mencium pipinya, “selamat pagi Mas Sakha.” Argan tak ingin Sakha merasa tersisih. Apa yang ia bicarakan pada calon anak di rahim Nara, juga ia bicarakan pada Sakha.
“Selamat pagi, Ayah,” jawab Sakha dengan senyumnya. Perasaannya sudah jauh lebih baik. Ia tidak secemburu kemarin karena Argan dan Nara masih begitu memperhatikannya dan semalam membacakan cerita sebelum tidur.
Seperti biasa Sakha diantar ke sekolah dengan mobil jemputan. Argan dan Nara mengantar Sakha hingga ke halaman depan. Mereka kembali masuk ke dalam.
Setelah Argan memasukkan tas dan bekal ke dalam mobil, ia menarik tangan Nara ke dalam. Rasanya kurang lengkap jika belum mencium bibir istrinya. Argan mengusap pipi Nara lembut lalu mendaratkan kecupan di kening dan bibir Nara. Kecupan yang rasanya tak cukup jika hanya dilakukan dengan singkat. Ia pagut bibir istrinya lebih dalam.
Nara melepas ciuman itu dan tersenyum menatap Argan, “Udah, Mas. Nanti telat.”
“Sejak hamil kamu jadi makin seksi, cantik, menggairahkan banget.”
Nara tertawa pendek, “Mas ini kalau udah nggombal, jago banget.”
“Beneran, Mas nggak nggombal. Oya nanti kamu kalau ke kampus, WA Mas ya, nanti aku jemput. Kalau Mas nggak bisa jemput, naik taksi online aja. Jangan naik motor sendiri, Mas khawatir sama kandungan kamu.”
“Iya, Mas. Nara bakal jaga kandungan ini baik-baik.”
Argan mengecup perut Nara.
“Baik-baik ya De sama mama.”
Selanjutnya Argan mengecup kening Nara.
“Mas berangkat dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Nara melepas keberangkatan Argan dengan senyum yang mengembang. Ia mengusap perutnya. Rasanya begitu membahagiakan dikelilingi orang-orang terbaik yang selalu ada untuknya entah susah maupun senang. Ia berharap semua berjalan lancar sampai tiba saatnya melahirkan. Baru saja hamil muda, Nara sudah tak sabar menantikan moment bahagia menggendong buah hati.
******
Foot note tentang tooth fairy :
[1] Blair, John R.; McKee, Judy S.; Jernigan, Louise F., Psychological Reports, Vol. 46 (3, Pt. 1), June 1980. "Children's belief in Santa Claus, Easter Bunny and Tooth Fairy". pp. 691–694.
(2) Watts, Linda S. (2007). Encyclopedia of American folklore. NY, NY, United States of America: Facts on file Inc. p. 386. ISBN 0-8160-5699-4.
Jadi peri gigi ini sering muncul di buku anak berbahasa asing dan anakku pernah nanyain , peri gigi itu apa.
Oya next mungkin membahas ngidamnya Nara. Slice of life aja ya cerita ini, kayak keseharian aja jadi kalau nggak seru mohon maaf haha, kalau gak mau ngikutin gpp kok. Cerita ini lebih ke daily life ngurus anak, keluarga, kehidupan rumah tangga, seputar kehamilan, menyusui, dll. Aku emang gak mau main konflik berat di cerita ini.
Terus vote, comment, n support ya. Makasih banyak untuk semua support 😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro