Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Penawaran

Alfa-Syilla datang lagi, Gaes.
Ada yang nungguin mereka enggak, ya?

Setelah bab kemarin, apa mereka balikan? Cuss...kita lihat.

Happy reading dan jangan lupa tap bintang 🌟 ya gaes.

Sudah dua minggu berlalu semenjak kejadian malam itu. Selama itu pula perasaan Alfa dibuat tidak tenang. Malam di saat dia merasakan kembali bibir Syilla selalu saja teringat. Bayangan bagaimana dia mencumbu wanita itu terus berputar di kepalanya. Bahkan di saat sibuknya, bayangan tak tahu diri itu muncul. Benar-benar mengganggu konsentrasi.

Alfa mengembuskan napas beberapa kali. Pasalnya sejak kejadian itu, Alfa belum kembali dipertemukan dengan Syilla. Dan itu membuat perasaannya gusar. Lama-lama kepalanya bisa meledak karena terus memikirkan hal itu.

"Lo kenapa?"

Tahu-tahu Toro sudah berada di hadapannya. Alfa hanya meliriknya sekilas, dan pura-pura sibuk dengan komputer.

"Gue nggak kenapa-kenapa."

Toro bergerak duduk di depan Alfa. "Yakin, lo? Presentasi lo di depan klien nyaris kacau, Bro. Bukan lo yang biasanya. Ada masalah? Bisa lo bagi ke gue, atau lainnya."

Alfa menyandarkan punggung ke kursi. "Gue nggak ada masalah apa pun, serius." Kalau kawan-kawannya tahu apa yang Alfa pikirkan, dia bisa ditertawakan tujuh harian suntuk.

Toro memicingkan mata curiga. Lelaki ini memang tidak mudah dibohongi. "Pasti soal harem," tebaknya langsung.

"Sok tahu." Alfa kembali menatap komputer. Dia tidak suka dikuliti oleh mata Toro.

"Tuh kan mengalihkan perhatian. Jadi, siapa cewek beruntung itu, Bro?"

Alfa nyaris memutar bola mata. Toro selalu pandai mengorek-ngorek isi hatinya. Alfa sadar lelaki itu tidak akan menyerah sebelum mendapat apa yang dia ingin.

"Jangan ngada-ngada. Cewek mana?" kilah Alfa.

"Apa yang di kelab waktu itu?" Toro menggerak-gerakkan kedua alisnya. "Rasanya mantap gila, ya? sampai bikin lo galau gini?" Dia menyeringai. Kepalanya memang tidak jauh-jauh dari  hal berbau nana nina.

Alf berdecak. "Mending lo periksa gambar yang udah junior arsitek lo bikin, daripada ganggu gue."

"Ngusir, nih?"

Alfa melotot. "Iya."

Toro malah tertawa. "Alfa-Alfa, ketahuan banget, sih, kalau lagi jatuh cinta."

Alfa mencari apa pun benda yang bisa dia lempar ke muka Toro saat ini juga. Lalu dia menemukan penanya dan seketika benda itu mengenai kepala Toro.
"Nggak ada kerjaan lain, ya. Balik sono!"

"Jangan menyangkal kalau nggak mau gue rebut." Toro lanjut tertawa seraya berjalan menuju pintu keluar. Namun, sebelum benar-benar keluar, dia sempat berkata lagi. "Cewek waktu itu namanya Syilla 'kan?" Dia mengedipkan sebelah matanya sebelum menghilang.

Bagaimana Toro bisa tahu nama Syilla? Itu berita buruk. Biasanya Toro tidak akan peduli dengan nama wanita yang ia temui di kelab malam, kecuali itu mencuri perhatiannya. Apa mungkin Toro tertarik pada Syilla? Ah, Alfa tidak akan membiarkan itu terjadi.

***

Siang sudah beranjak malam saat mobil Alfa parkir di halaman sebuah gedung tinggi di salah satu kawasan elite ibu kota. Menempati parkir tamu yang terletak di depan gedung berlantai lima puluh dengan bentuk hexagon, Alfa beberapa kali mendesah. Dia tidak tahu kenapa bisa berada di sini. Apa alasan yang membawanya? Tiba-tiba saja mobilnya berbelok ke tempat di mana Syilla tinggal.

Mengembuskan napas, dia keluar dari mobil, dan berjalan memasuki lobi apartemen mewah itu. Tidak lama, dia benar-benar berdiri di depan pintu unit milik Syilla. Tangannya terangkat hendak menekan bel pintu. Namun, urung. Apa yang harus dia lakukan kalau bertemu Syilla? Apa wanita itu tidak akan heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba? Dan apa Syilla, mau menerima kedatangannya? Percaya diri sekali Alfa bisa sampai sini? Bermodalkan apa? Ciumannya yang menggebu beberapa waktu lalu? Jangan naif Alfa, hal seperti itu bukannya sudah biasa? Dia dan Syilla sama-sama sudah dewasa.

Kenapa berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul tak terkendali di kepalanya? Padahal saat dia melajukan mobil ke sini, pertanyaan-pertanyaan itu tidak terlintas. Ah, menyebalkan.

Di saat dirinya sedang ruwet dengan isi kepalanya, terdengar langkah kaki diiringi suara seseorang. Alfa tahu itu suara Syilla, tapi bukan hanya itu. Ada suara orang lain juga. Cepat-cepat Alfa menyembunyikan diri. Dengan siapa Syilla datang?

"Jangan ngomel terus, udah sana pulang! Memangnya aku minta dijemput?" Syilla mengomel.

"Kalau bukan karena Bang Reksa yang minta, aku juga nggak mau jemput kamu, ya. Kerjaanku numpuk," sahut lelaki itu.

"Aku tuh nyuruh supirnya yang jemput, kenapa kamu yang datang?  Emangnya itu salahku?"

Lelaki itu berdecak sebal. "Ya, udah, sih. Toh kamu sampe unit. Lain kali nggak perlu merepotkan orang."

"Udah sana buruan pergi!"

"Bukannya terima kasih malah ngusir."

Alfa di tempat persembunyiannya mendengar percakapan itu. Suara lelaki itu terdengar tak asing.

"Oh ya, tentu. Terima kasih Bapak Herdy yang terhormat. Puas?"

Ah! Alfa ingat. Itu suara Herdy atasan sekaligus lelaki yang mau dijodohkan dengan adiknya. Tapi kenapa lelaki itu bisa bersama Syilla sekarang? Ada hubungan apa mereka? Apakah setelah perjodohan dengan Lyra gagal, Herdy sekarang bersama Syilla?

"Kalau nggak ikhlas, nggak usah. Aku balik."

Lalu terdengar langkah yang semakin menjauh. Mungkin Herdy sudah pergi. Alfa masih mendengar gerutuan Syilla.

"Dasar pria judes. Siapa wanita yang mau sama pria seperti itu? Nyebelin banget."

Sementara Alfa masih anteng di tempatnya, Syilla terus saja menggerutu seraya menekan angka kombinasi untuk bisa mengakses unitnya. Dia menekan handle pintu setelahnya, tapi sesuatu di bawah sana mengganjal kakinya. Dia menginjak sesuatu.

Syilla menunduk, menyingkirkan sepatu untuk melihat apa yang dia injak. Dia menemukan sebuah ID card atau tanda pengenal. Syilla berjongkok untuk memungutnya. Dia baca nama pemilik card itu.

"Loh, ini kan?" Sontak kepala Syilla celingukan. Yang dia temukan adalah  ID card milik Alfa dengan nama perusahaan lelaki itu.  "Apa Alfa ke sini?" Syilla kembali celingukan mencari seseorang. Namun, dia tidak nampak siapa pun. Pada akhirnya dia memutuskan untuk masuk unit.

Dia perlu mandi, badannya terasa lengket. Syilla baru saja pulang dari Surabaya. Di bandara tadi, Herdy–seseorang yang sedang Reksa dekatkan padanya–menjemputnya. Padahal dia menyuruh supir Reksa. Eh, malah yang datang Herdy. Dan lelaki judes itu mengomel sepanjang mengantarkan Syilla pulang. Kalau tidak mau, kenapa Herdy tidak menolak Reksa? Syilla geram sendiri dibuatnya.

Syilla menjatuhkan diri di sofa, seraya menarik tas selempangnya. Mengembuskan napas perlahan, dia lalu melepas heels. Syilla hendak beranjak menuju kamar mandi ketika mendengar suara bel. Terpaksa langkahnya memutar. Semoga saja itu bukan Herdy yang kembali minta ongkos karena sudah menjemputnya. Lelaki itu memang kadang keterlaluan. Bisa-bisanya Reksa mau menjodohkannya dengan pria seperti itu.

Membuka pintu, Syilla tertegun di tempat. Bukan wajah Herdy, melainkan wajah Alfa yang terlihat kikuk berada  tepat di depan matanya.

"Alfa?"

"Hai, Syill," sapa Alfa terdengar ragu. Untuk beberapa alasan dia patut gugup. Bahkan dirinya belum bisa menemukan alasan yang tepat bisa berada di sini.

"Hai. Kamu—"

"Sori, kalau aku ganggu. Tadi aku—"

"Kamu mencari ini?" Syilla menunjukkan ID Card yang masih berada di tangannya.

"Kok itu ada sama kamu?" tanya Alfa heran. Tangannya bergerak merogoh saku celana, tempat terakhir dia menyimpan tanda pengenalnya. Fix, dia tak sengaja menjatuhkannya saat mencari tempat sembunyi tadi?

"Aku menemukannya di depan pintu tadi. Alfa? Apa sebelumnya kamu datang ke sini?" Mata wanita itu berbinar indah.

So? Kalau sudah seperti ini, Alfa tidak mungkin berkilah 'kan? Dia tertawa canggung seraya menggaruk pelipisnya.
"Ya, begitulah. Apa aku nggak boleh ke sini?"

"Tentu saja boleh." Serta-merta Syilla mendekat dan menarik tangan pria itu. "Ayo, masuk." Syilla membawa Alfa masuk ke unit. Tidak lupa dia menutup pintu kembali. Jujur, dia senang melihat Alfa ada di sini. Kekesalannya pada Herdy menguap begitu saja.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau mau datang? Untungnya aku baru pulang," ucap Syilla saat berhasil membuat Alfa duduk di sofanya.

"Kamu habis dari mana?" tanya Alfa spontan.

"Aku abis dari Surabaya. Tiga hari aku di sana. Biasalah urusan kerjaan. Kamu mau minum apa?" Syilla berdiri.

Sontak Alfa menahan tangan wanita itu. "Nggak perlu repot-repot."

"Nggak repot kok. Kan aku yang nawarin." Syilla mengulas senyum. Dia menuju dapur begitu Alfa melepas tangannya. Tidak lama Syilla datang membawa satu kaleng minuman bersoda.

"Seadanya ya, aku belum belanja lagi." Dia menyerahkan kaleng itu pada Alfa, dan duduk di sebelah lelaki itu.

"Terima kasih."

Syilla membiarkan Alfa meminumnya.
"Jadi, apa yang membawamu ke sini? Apa aku boleh berharap kamu mau jawab karena lagi kangen sama aku?" goda Syilla.

Alfa menghentikan kegiatan minumnya. Syilla dari dulu tak pernah berubah selalu menyampaikan secara gamblang apa yang ada di pikirannya. Alfa berdeham beberapa kali. Sebisa mungkin dia tidak boleh terpengaruh oleh ucapan Syilla. 

"Aku udah nggak punya hak itu sejak lama," jawab Alfa diplomatis.

"Siapa bilang? Kamu boleh kok kapan pun kangen sama aku." Tangan wanita itu bergerak meraih tangan Alfa. Membawanya ke pipi.

Tahu kah Syilla? Apa yang dia lakukan membuat Alfa menelan ludah gugup?

"Karena aku juga kangen sama kamu, Al."

Bahkan mata Alfa sedikit terbeliak, saat Syilla mulai mendekat. Jantungnya berulah. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun. Tubuhnya membeku seiring wajah Syilla yang kian mendekat.

"Al, bisakah kita bersama lagi seperti dulu?" tanya Syilla lebih mirip rengekan.

Alfa bergeming. Logikanya tentu saja ingin menolak, tapi hatinya memberontak. Maka dari itu, tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam.

"Al?"

Wajah mereka nyaris tak berjarak. Bahkan hidung mereka sudah saling menempel satu sama lain. Satu kali lagi  Syilla bergerak, maka bibir mereka akan menyatu.

Soal hati, logika memang selalu kalah. Meskipun logikanya mengatakan salah, tapi hatinya merasa benar. Sudah sejak dia memutuskan datang ke apartemen Syilla, logikanya memang sudah kalah. Jadi, kalau sekarang tubuhnya pasrah saja saat Syilla menghimpit, itu artinya dia sudah siap menerima segala risikonya nanti.

Kira-kira apa yang dilakukan Syilla ke Alfa selanjutnya, ya? Kayaknya Syilla juga ganas, ya, Hyung. Gimana enggak? Namanya juga Syilla wkwkwk. Tapi Babas kayaknya mah selow deh, kalau urusan beginian.

Hahaha. Dahlah, kuy ramaikan.

Publish, Minggu 9 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro