Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Mengakhiri Sebelum Dimulai

Tidak sampai sepuluh menit, Revin sudah tiba di rumah Milda dengan keadaan rambut yang masih setengah kering. Karena saat Milda bisa dihubungi, Revin memang baru saja selesai mandi. Revin bahkan tidak memikirkan baju macam apa yang ia ambil dari lemarinya karena panik ketika mendengar suara isakan Milda di sebrang telpon.

Milda berada di kursi taman rumahnya yang menghadap ke air mancur mini saat Revin memasukkan motor miliknya ke pekarangan rumah gadis itu. Saat berhasil berdiri lebih dekat, Revin bisa mendengar suara isakan Milda dari tempatnya berdiri.

Ada perasaan tidak nyaman di dalam hati Revin saat melihat bahu gadis itu bergerak naik turun. Sesuatu di dalamnya seolah mendorong Revin untuk menarik gadis itu ke dalam rengkuhannya. Tetapi tentu saja Revin tidak akan melakukan hal itu. Mereka tidak pernah melakukan kontak fisik berlebihan, kecuali malam itu, dan sesuai dengan janji mereka—mereka tidak akan melakukan apa-apa sampai ujian seleksi masuk universitas berlangsung.

Jadi, Revin hanya bisa menarik napas pelan sebelum kemudian mengisi kekosongan di sebelah Milda tanpa bersuara.

Kedatangan Revin yang tiba-tiba tidak membuat Milda terkejut karena memang gadis itu menunggunya.

"Jadi lo beneran nangis karena nggak bisa ngerjain soal latihan?" tanya Revin setelah beberapa saat mereka hanya ditemani keheningan dan suara isakan pelan Milda. Sesungguhnya Revin tahu, dari cara Milda menangis tidak mungkin apa yang gadis itu alami hanya sebatas tidak bisa mengerjakan soal latihan. Milda bukanlah gadis yang cengeng. Apalagi tangisnya benar-benar terdengar memilukan.

"Papa kecelakaan."

Revin seketika menegakkan punggungnya yang semula bersandar pada sandaran kursi yang terbuat dari kayu tersebut. "Serius? Terus gimana kondisinya?" Pantas saja Milda sampai sekacau itu. Ini jelas bukan hal yang biasa.

"Masih dirawat. Kakinya luka fatal, ada kemungkinan diamputasi kalau memang udah nggak ketolong. Tapi masih belum ada keputusan."

Tangan Revin akhirnya terulur untuk menepuk pelan bahu Milda. "Gue yakin bokap lo akan sembuh. I know kata-kata 'sabar' bakalan kedengaran klise sekarang, tapi memang ada kalanya kesabaran itu diperlukan." Revin tidak langsung menarik tangannya dari bahu Milda. Tangan itu seolah ingin berpindah ke puncak kepalanya dan mengusapnya di sana.

Tetapi sebelum Revin sempat melakukan keinginannya tersebut, Milda sudah lebih dulu menyandarkan diri kepadanya. Menumpahkan tangisnya di sana.

Maka Revin pun membiarkan bajunya dibasahi oleh air mata Milda malam itu.

***

Hari ujian pun tiba. Revin dan Milda kebetulan mendapatkan nomor ujian yang tidak terlalu jauh berbeda sehingga besar kemungkinan mereka akan berada di satu ruang ujian yang sama.

Semalam Milda kembali tidak bisa dihubungi. Menghilang setelah terakhir kali Revin mengiriminya chat tentang persiapan ujiannya yang sudah lengkap atau belum. Saat pagi Revin menelpon dan menawari Milda untuk berangkat bersama ke tempat ujianpun, gadis itu hanya menjawab chatnya dengan sangat singkat.

Milda: Nggak usah, otw duluan aja.

Kini Revin sudah berada di tempat ujian. Masih ada waktu satu jam setengah lagi sebelum ujiannya dimulai. Setelah mencari tahu di ruangan mana tempat ujiannya nanti berada, Revin melipir mencari tempat yang tenang untuk menyantap sarapan yang dibuatkan oleh kakak perempuannya.

Tidak seperti peserta ujian lain yang sedang sibuk mempelajari ulang soal-soal latihan atau materi yang mungkin akan keluar di ujian nanti, Revin sama sekali tidak membawa buku apapun. Baginya persiapan yang sudah ia lakukan bahkan sejak kelas sebelas sudah lebih dari cukup. Bahkan sejak kemarin Revin sudah tidak lagi belajar apapun.

Sejujurnya, Revin memang jarang belajar. Mungkin memang Tuhan telah memberikan Revin kelebihan untuk dapat menyerap ilmu dan pelajaran hanya dalam waktu singkat saja. Sehingga sekali dua kali belajar, sesungguhnya sudah cukup untuk Revin menguasai sebuah materi.

Milda-lah yang menjadi alasan Revin belajar setiap hari. Karena gadis itu memiliki tekad yang sangat kuat, hal itu membuat Revin merasa malu karena sudah terlalu 'sombong' dengan kelebihan yang dimilikinya sehingga Revin mulai ikut belajar bersama Milda meski sesungguhnya Revin sudah menguasai semua yang mereka pelajari. Dan lagi, Revin suka menghabiskan waktunya membahas soal-soal dengan Milda. Apalagi ketika gadis itu bertanya sesuatu yang tidak dimengertinya.

Omong-omong soal Milda. Gadis itu masih belum terlihat batang hidungnya. Chat Revin terakhir kali juga masih belum dibalas. Kemana sebenarnya gadis itu?

Revin sedang menikmati nasi goreng buatan sang kakak ketika dua orang seumurannya—yang kemungkinan besar juga peserta ujian—melewatinya sambil berbisik-bisik.

Revin bukan orang yang suka mencampuri atau ingin tahu urusan orang. Tetapi bisik-bisik dua orang itu cukup keras untuk menarik perhatiannya.

"Gila, kalau kayak gini gue jadi inget sama series Thailand Bad Genius, bedanya yang jual kunci jawaban ini nggak sejenius di film. Masa ngasih contekan masih pakai kertas gini sih. Gue nggak yakin bisa pakai pas ujian nanti."

"Lagian mereka jual kunci perkode soal. Gue mana tahu kode mana yang keluar nanti, mau nggak mau beli semua tapi gue nggak mampu! Mahal banget, gila!"

"Eh tapi tadi ada cewek beli semua kunci jawabannya! Tiga puluh juta kalau ditotal, tajir banget pasti. Nggak tahu anak sekolah mana, yang jelas bukan sekolah negeri kayak kita sih. Tuh yang itu orangnya!"

Revin mengernyit. Matanya mengikuti ke mana arah orang itu menunjuk. Dan bersamaan dengan itu, sosok Milda juga berada di tempat yang sama. Bertukar tatap dengannya.

"Vin!" Milda setengah berlari menghampiri Revin. Dan dua orang yang tadi berbisik-bisik itu juga sudah menjauh ketika Milda sudah berada persis di hadapannya. "Dicariin ternyata lagi asik makan. Bagi dong!" Milda tanpa tahu apa-apa memposisikan dirinya duduk di sebelah Revin. Kotak bekal pun berpindah ke pangkuan gadis itu.

Revin masih bergeming. Tatapannya menatap Milda yang sedang menyantap nasi gorengnya yang masih setengah itu dengan serius. Mencoba mencerna dan menyambungkan segala kemungkinan yang baru saja didengarnya beberapa saat yang lalu.

Apa maksudnya Milda membeli kunci jawaban?

"Mil—"

"Vin gila ini nasi gorengnya enak banget, nyokap lo yang bikin?"

Revin menutup kembali mulutnya. Tidak mungkin. Ia pasti hanya salah paham. Revin adalah saksi nyata Milda bekerja keras untuk belajar selama ini. Jika pada akhirnya perempuan itu ingin menyontek, untuk apa gadis itu susah payah belajar mati-matian bersamanya? Tidak masuk akal.

Lagipula, sesusah-susahnya soal ujian nanti, Milda itu juga pintar. Meski mungkin tidak secerdas dan sepintar dirinya, Revin tahu Milda pasti masih mampu mengerjakan soal-soal itu tanpa contekan.

"Lo nggak mau lagi? Gue habisin nih, ya?" tanya Milda lagi karena Revin masih saja diam termangu menatapnya.

Revin tersentak ketika siku Milda menyenggolnya. "Eh—iya abisin aja gue udah kenyang." Revin bahkan baru makan setengah, bagaimana bisa dirinya kenyang.

Milda dengan senang hati melahap habis bekal Revin tersebut. Setelah bekal itu habis, Milda mengembalikannya kepada Revin. "Yahh tangan gue berminyak, untung bawa tissue." Milda pun merogoh isi tasnya untuk mengambil tissue di sana. Tetapi sesuatu tidak sengaja terjatuh dari dalam tas itu. Beberapa kertas yang dilipat kecil-kecil.

Tatapan Revin langsung terfokus pada reaksi Milda yang dengan panik memunguti kertas-kertas tersebut.

"Lo...beli contekan?"

Gerakan tangan Milda terhenti. Sebelum kemudian semua kertas itu sudah berada di tangannya dan ia masukkan kembali ke tas. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Milda mengangguk. "Iya," jawabnya pelan.

Revin benar-benar tidak mengerti. Setelah selama ini perjuangan gadis itu, kenapa gadis itu justru menodai sendiri perjuangannya dengan membeli contekan. "Kenapa?" tanyanya masih mencoba untuk memahami maksud semua ini.

"Kenapa? Ya kenapa lagi? Karena gue bukan lo yang jenius, Revin!" Milda kini menaikkan nada suaranya. Untungnya mereka memang berada di tempat yang cukup sepi sehingga keributan mereka tidak akan memancing perhatian.

Revin menatap Milda bingung. "Omong kosong, Milda lo itu—"

"Gue nggak pinter! Gue harus mimisan dulu buat bisa nyerap dan nyimpen semua materi! Rambut gue harus rontok dulu sampai gue bisa berhasil jawab soal-soal. Gue bukan lo yang hanya dua tiga kali baca aja langsung paham!" Air mata Milda menetes. Perempuan itu terlihat lelah dan frustasi. "Bahkan setelah dua tahun belajar tekun bareng lo, hanya karena satu masalah semua yang gue pelajari mendadak ilang dari kepala gue! Gue nggak bisa! Gue nggak percaya sama diri gue sendiri, Revin!"

Revin bisa mendengar nada keputusasaan dari suara Milda. Tetapi lebih daripada itu, rasa kecewa Revin lebih besar menguasainya. Kecewa karena Milda tidak percaya akan kemampuan dirinya sendiri.

"Terus lo pikir ujian ini jadi akhir dari perjuangan lo, Mil? Lo pikir hanya ujian ini yang perlu lo lewatin? Mil, ini lo ujian untuk masuk kuliah kedokteran. Ke depannya bakalan lebih banyak materi-materi sulit yang harus lo pelajarin, bukan lagi hanya materi fisika, kimia, matematika! Yang akan lo pelajarin nanti itu soal penyakit-penyakit dan penyembuhan manusia. Apa lo mau nyontek lagi ketika nanti lo kesusahan mempelajari soal-soal itu, hah? Nggak akan bisa!"

"Orang jenius kayak lo nggak akan ngerti." Milda berdiri dari duduknya. Kata-kata Revin memang benar. Itu sebabnya Milda tidak ingin mendengarnya lebih banyak lagi. Milda menolak untuk menerima kenyataan.

Tetapi tangan Revin menahannya. Membuat mereka saling berhadapan saat ini. "Mil, tell me, walau masuk kedokteran adalah sebuah keharusan di keluarga lo, tapi apa lo sendiri memang mau masuk kedokteran?" tanya Revin serius.

Milda meringis karena cengkraman tangan Revin begitu kuat memegang pergelangannya. "Vin sakit—"

"Jawab gue. Lo beneran mau jadi dokter? Lo yakin nggak akan menyesali keputusan lo ini? Karena kuliah itu bukan main-main. Lo bakal habisin waktu lo empat tahun di sini dan kalau lo nggak benar-benar mau di sini, you just wasting your time later. Masih ada waktu buat lo mundur dibanding lo harus masuk dengan memaksakan diri sendiri."

Apakah ini memang keinginannya? Milda tidak tahu. Dengan fakta Papanya yang kemungkinan akan berhenti dari pekerjaannya sebagai dokter dengan kondisi kakinya setelah ini dan Mama yang kemungkinan besar juga akan berhenti bekerja karena harus merawat Papa. Milda sudah dapat membayangkan akan seperti apa cibiran yang diterima keluarganya dari keluarga besar mereka jika Milda tidak menjadi dokter nantinya.

Milda tidak ingin keluarganya diremehkan lagi oleh anggota keluarga yang lain. Dirinya adalah seorang Hadinata dan menjadi dokter memang adalah 'kewajibannya'.

"Lebih baik lo fokus urus lo sendiri! Fokus aja sama ujian lo nanti dan lo keterima di kedokteran biar rasa inferior lo ke kakak-kakak lo bisa hilang!"

"Apa?" Cengkraman tangan Revin kepada Milda terlepas. "Lo bilang apa?"

Milda tahu apa yang baru saja dikatakannya mungkin saja melukai perasaan Revin. Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi dan Milda tahu terlambat untuknya mundur saat ini. "Lo dan rasa inferior lo ke kakak-kakak lo. Lo sama gue nggak ada bedanya, lo pun mau masuk kedokteran bukan karena keinginan lo tapi hanya karena lo merasa nggak dianggap sama keluarga lo karena kakak-kakak lo selalu bisa lebih sukses dari lo."

Rahang Revin mengeras. Tetapi lelaki itu pada akhirnya tidak membalas ucapan Milda dengan kalimat yang pedas atau menyakitkan. Lelaki itu pun memilih memasukkan dengan asal kotak bekalnya yang sudah kosong ke dalam tas. "Good luck buat ujian nanti." Lalu setelah berkata dengan nada datar, Revin meninggalkan Milda dengan rasa bersalah yang menggerogotinya.

Hari itu, mereka tahu hubungan mereka tidak akan lagi sama.

***

Ujian berlangsung dengan tenang dan lancar di sesi pertama. Dari kursi Milda, ia bisa melihat Revin mengerjakan soalnya tanpa terlihat frustasi atau kesulitan sama sekali. Benar-benar tenang dan sangat berbeda dengan dirinya yang sudah dibanjiri keringat dingin sejak menginjakkan kaki di dalam ruangan.

Mungkin karena Revin mengerjakan soalnya dengan jujur, berbeda dengannya yang sudah nekat membawa masuk kunci jawaban bersamanya saat ini. Meski pada akhirnya Mida kehilangan nyali untuk melihat dan mengintip isi kunci jawabannya dan memutuskan untuk menyelesaikan sisa ujiannya dengan kemampuan sendiri.

Tidak seperti yang Milda duga, perempuan itu pun berhasil mengisi soal-soal itu tanpa hambatan. Kemarin wajar saja dirinya mendadak blank sementara, itu karena kondisi psikisnya masih belum tenang pasca mengetahui kecelakaan dan kondisi sang ayah. Tetapi buktinya hari ini, Milda masih bisa mengingat materi dan rumus-rumus yang sudah ia pelajari selama ini bersama Revin.

"Gue harus minta maaf sama Revin habis ini."

Revin keluar lebih dulu dari ruang ujian beberapa belas menit sebelum bel tanda ujian berakhir berbunyi. Ada waktu istirahat lima belas menit sebelum sesi kedua, tetapi Milda tidak berhasil menemukan Revin di mana-mana untuk meminta maaf. Hingga akhirnya bel masuk untuk sesi kedua dibunyikan, Revin masih tidak tampak.

Lelaki itu masuk paling terakhir, nyaris sebelum kertas ujian sesi kedua dibagikan. Milda tidak bisa mendengar jelas alasan yang laki-laki itu katakan, yang pasti Revin sama sekali tidak melirik atau menatap ke arahnya ketika kembali ke kursi tempat ujiannya.

Baru lima menit ujian berlangsung, pintu ruangan diketuk. Dua orang pria dengan name tag tergantung di leher mereka masuk ke dalam ruangan ujian yang berhasil menarik rasa penasaran dan fokus para peserta tidak terkecuali Milda.

"Kami mendengar ada laporan tindak kecurangan dalam ujian seleksi masuk universitas kami hari ini. Untuk itu, kami akan melakukan inspeksi mendadak dan menggeledah semua peserta ujian dan tidak ada yang dipersilahkan berpindah dari tempatnya sampai inspeksi selesai dilakukan."

Jantung Milda seketika berpacu lebih cepat. Milda bahkan lupa membuang kertas-kertas contekan itu yang saat ini masih tersimpang di dalam kaus kakinya. Tangannya seketika keringat dingin dan gemetar.

"Ini kertas apa? Silahkan keluar dari ruangan ini dan tunggu di depan!" Pria bername tag itu sepertinya berhasil menemukan kertas contekan di salah satu peserta yang ada di ruangan Milda. Dan Milda yakin nasibnya akan sama dengan peserta itu dalam hitungan detik lagi.

"Ramilda Jean Hadinata, dengan nomer peserta 92847451 silahkan berdiri dari kursi anda." Karena Milda perempuan, pengawas wanita lah yang menggeledahnya. Mulai dari meja, alat tulis yang ada di meja hingga terakhir pengawas wanita itu meminta izin untuk meraba tubuh Milda. "Coba lepas sepatu dan kaus kakinya," titahnya setelah tidak berhasil menemukan apa-apa di baju atau kantung celana yang Milda kenakan.

Milda menelan ludah. Dirinya menyempatkan diri melirik ke arah Revin yang sama sekali tidak menolehkan tubuh ke arahnya. Seketika rasa sesal menyelimuti Milda. Harusnya ia mendengarkan Revin. Seharusnya Milda lebih percaya pada dirinya sendiri karena ia sudah bekerja sangat keras selama ini.

Jika sudah seperti ini, tidak ada lagi yang bisa Milda lakukan selain mengakui kesalahannya. Meski memang Milda akhirnya tidak menyontek, tetapi dirinya tetap saja sudah membeli dan membawa contekan tersebut saat ini. Tidak akan ada alasan untuknya membela diri.

"Saya memang membawa contekan, Bu."

"Ramilda silahkan bawa barang-barang kamu dan keluar ruang ujian ini, kamu dinyatakan gagal dan diblacklist dari ujian masuk masuk Atmadja University untuk hari ini dan seterusnya."

Milda tahu, gagal masuk ke universitas incarannya itu bahkan tidak akan sebanding dengan kenyataan yang harus diterimanya saat ini. Jika hanya gagal, Milda masih bisa mencoba tahun depannya lagi. Tetapi jika diblacklist dengan cara seperti ini, bukan hanya membuat orang tuanya kecewa tetapi juga Milda telah mencoreng sendiri harga diri orang tuanya di depan bukan hanya keluarga besar tetapi juga semua orang yang mengetahui soal ini.

***

Milda tahu, pihak universitas pasti sudah menghubungi orang tuanya. Tetapi anehnya sampai saat ini, Mamanya sama sekali belum menghubungi Milda untuk menanyakan apa yang terjadi. Saat Milda menelpon, Mama justru menanyai apakah Milda sudah makan siang atau belum yang langsung membuatnya menangis saat itu juga.

"Ma...maafin Milda!" Milda tidak bisa menahan dirinya dari rasa sesal dan bersalah. Mengkhianati dirinya memang adalah kebodohan, tetapi lebih daripada itu, Milda juga telah mengecewakan orang tuanya. "Milda bego banget, Ma, Milda nggak pantes jadi bagian keluarga Hadinata..."

"Hush! Kok ngomongnya begitu? Milda anak Mama yang paling baik. Milda selalu dapat nilai bagus, Milda punya banyak keahlian dan prestasi. Anak Mama nggak bego."

"Tapi—"

"Milda, Mama tahu kamu pasti punya alasan atas tindakan kamu. Kamu nggak mungkin mengkhianati perjuangan kamu selama ini belajar dengan giat sampai kadang lupa makan hanya karena alasan nggak mampu. Dan apapun alasan kamu itu, Mama akan coba dengar dan pahami. Yang penting sekarang kamu jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Milda masih bisa coba ujian di kampus lain, kampus bagus nggak hanya satu, sayang."

Mendengar kata-kata penuh kelembutan itu justru membuat Milda semakin menangis dengan kejar. Tidak peduli kalau saat ini dirinya sedang duduk di sebuah halte bus antah berantah yang didatanginya setelah pergi dari tempat ujian dilaksanakan.

Setelah diusir tidak langsung, Milda memang langsung pergi naik bus kota tanpa tujuan hingga akhirnya kini ia tanpa sadar berada di salah satu halte yang ternyata lokasinya tidak jauh dari perpustakaan kota tempatnya dan Revin biasa menghabiskan waktu mereka untuk belajar.

Setelah mengakhiri panggilan telpon dan meyakinkan ibunya itu jika Milda akan pulang nanti, Milda melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya sambil berjalan menuju gedung perpustakaan. Sebentar lagi jam empat. Waktu di mana ia dan Revin janji bertemu di perpustakaan untuk membahas 'ciuman' sore itu.

Milda menatap sendu pada bangunan menjulang di hadapannya saat ini. Milda bahkan tidak yakin Revin masih mau menepati janji mereka untuk bertemu di sana. Milda sudah menyakiti hati Revin padahal lelaki itu hanya mencoba menyadarkannya.

Dan sekarang, Milda bahkan tidak punya muka lagi sekadar untuk menghadapi Revin. Tapi meski demikian, kaki Milda tetap melangkah dengan sendirinya memasuki bangunan berlantai tinggi tersebut.

Milda terkejut saat menemukan Revin ada di sana. Duduk di tempat mereka biasa menghabiskan waktu sepanjang sore sambil mengisi soal-soal latihan. Sekelebat kenangan dua tahun belakangan ini di mana hari-hari Milda hanya diisi oleh Revin dan juga soal-soal latihan berputar di depan matanya.

Kali ini Milda tahu apa yang ia inginkan. Bukan menjadi mahasiswa kedokteran di Atmadja University. Bukan menjadi dokter seperti yang diinginkan mendiang kakeknya. Bukan juga menjadi Ramilda Jean Hadinata yang harus pintar dalam segala hal, baik akademik dan non akademik.

Milda hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Melakukan apapun yang diinginkannya. Dan salah satunya adalah Milda ingin menjadi kekasih Revin.

Milda menyukai Revin, lebih dari seorang teman atau tutor sebayanya. Entah sejak ciuman sore itu atau bahkan jauh sebelumnya.

Milda pun melangkahkan kakinya dengan cepat untuk menghampiri Revin. Tidak peduli bahwa lelaki itu mungkin saja masih marah padanya. Tetapi dengan hadirnya Revin sore itu sesuai janji mereka, itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan Milda memberanikan dirinya.

"Vin, gue mau ngomong sesuatu!" Milda berkata dengan cepat. Bahkan tidak ingin membuang waktu dengan basa-basi atau menyapa lebih dulu.

Revin tersentak karena kehadiran Milda yang tiba-tiba. Tetapi hanya beberapa detik sebelum ekspresi wajahnya berubah serius. "Gue juga. Dan kayaknya gue harus ngomong lebih dulu."

Milda tiba-tiba merasakan jantungnya berpacu lebih cepat. Apakah Revin akan menyatakan hal yang sama dengannya? Bukankah memang itu tujuan mereka membuat janji hari itu untuk bertemu di sini saat ini?

"Oke, lo duluan." Milda berucap dengan jantung tak keruan. Pipinya bahkan memanas. Berdebar tetapi juga tidak sabar untuk mendengar apa yang akan Revin nyatakan.

"Gue yang laporin ke pengawas ujian kalau di ruangan kita ada yang beli kunci jawaban."

Langit seperti runtuh di atas kepalanya. Lantai mendadak rapuh dan menjatuhkan Milda ke dalam lubang tak berdasar.

Bukan hanya hatinya, tetapi juga kepercayaan Milda hancur berkeping-keping terhadap lelaki di hadapannya saat ini. Lelaki yang pernah Milda benci tetapi juga diam-diam ia sukai.

Seharusnya Milda tidak pernah mengajak Revin makan di restoran saji hari itu. Seharusnya Milda tidak pernah membuka dirinya pada Revin sejak awal. Seharusnya, Milda membiarkan dirinya membenci Revin seumur hidupnya dan bukannya membiarkan dirinya jatuh cinta.

Hari itu, Milda dan Revin memang menepati janjinya untuk bertemu setelah ujian seleksi selesai. Tetapi keduanya tidak menepati janji mereka untuk membahas soal ciuman hari itu. Sebaliknya, hari itu, mereka memutuskan apa yang sudah terjalin di antara mereka selama dua tahun bahkan belasan tahun sejak pertama kali mereka bertemu dan menjadi teman sekelas.

Revin dan Milda memutuskan untuk saling menghapus satu sama lain dari kehidupan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro