Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Talk

Sudah dua minggu sejak ciuman itu terjadi. Baik Revin dan Milda sama-sama tidak pernah menyinggung kejadian tersebut sama sekali meski sebenarnya keduanya sama-sama tidak bisa mengenyahkan ingatan mereka tentang hari itu sama sekali.

Ujian seleksi universitas sudah di depan mata. Mereka sama-sama khawatir ciuman malam itu akan mempengaruhi hubungan mereka dan segalanya. Hal itu jelas diluar rencana keduanya dan mereka hanya tidak ingin mengambil risiko yang kemungkinan besar akan mengacaukan rencana mereka yang sesungguhnya.

Tetapi tentu saja, berpura-pura tidak terjadi apa-apa tidak dapat menyelesaikan masalah. Yang ada mereka semakin tidak bisa fokus dengan apa yang sedang mereka kerjakan dan berakibat kepada hasil belajar keduanya.

Akhirnya sebagai laki-laki, Revin merasa perlu membahas soal hari itu dengan Milda. Apalagi Revin juga merasa dirinya lah yang memulai lebih dulu saat itu, sehingga kini dirinya juga yang seharusnya memulai percakapan tersebut dengan Milda.

Maka di suatu malam, di tengah sesi belajar mereka di ruang perpustakaan keluarga Revin, lelaki itu mengetuk pulpen di tangannya ke kepala gadis di hadapannya yang sedang serius mengerjakan latihan soal.

"Apaan,sih?" tanya Milda ketus karena ini memang bukan pertama kalinya Revin merecokinya saat sedang serius. Lelaki itu memang beberapa kali mengisenginya sehingga Milda tidak mengira kalau kali ini Revin mencoba menarik perhatiannya bukan karena ingin jahil semata.

"Mau hot chocolate?" tanya Revin sambil menaikkan alisnya. Tentu saja dia tidak akan langsung to the point dalam keadaan stress karena mengerjakan puluhan soal latihan malam itu. Segelas coklat panas mungkin bisa membuat rileks sehingga mereka bisa bicara dengan lebih nyaman.

Milda melirik gelas berisi susu coklat milik Revin di mejanya yang masih terisi setengah. "Susu lo masih banyak."

"Ya kan susu sama hot chocolate beda. Kepala gue mumet banget, nih."

Milda menghela napas. "Boleh deh."

"Yaudah, yuk!" Revin segera berdiri dari kursinya sedangkan Milda justru menatapnya dengan alis berkerut, bingung. "Kita bikin sendiri aja di dapur, emangnya lo nggak capek ngerjain soal terus dari tadi?"

Milda adalah perempuan yang cepat tanggap sehingga ia mengerti ajakan Revin untuk minum hot chocolate pasti hanya alasannya saja karena pasti ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Milda akhirnya menutup buku latihan soalnya yang tebal dan berdiri dari kursinya untuk mengekori Revin menuju dapur di lantai dua.

Rumah Revin bergaya eropa klasik. Di setiap sudut dapat ditemui ornamen-ornamen khas eropa berwarna keemasan yang membuatnya terlihat klasik tetapi mewah. Dapur di rumah Revin totalnya ada tiga. Satu dapur bersih dan dua dapur kotor. Revin mengajak Milda ke dapur bersih yang ada di lantai dua tempat mereka berada saat ini.

Milda membiarkan Revin yang menyeduhkan dua gelas coklat panas untuk mereka sambil duduk menunggunya di meja bar. Dalam hati, Milda menerka-nerka apakah Revin pada akhirnya akan membahas soal 'itu' atau tidak.

Milda sendiri tidak mengerti dengan perasaannya. Akhir-akhir ini Revin menguasai pikirannya lebih banyak dari yang seharusnya. Kelebihan-kelebihan Revin yang tadinya sama sekali tidak Milda sadari perlahan tampak lebih jelas seolah berusaha sengaja untuk mencuri perhatiannya.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya untuk Milda suka-sukaan. Milda pernah naksir kakak OSIS tampan yang membantunya lolos dari hukuman saat MOS waktu SMP. Milda juga pernah berdebar karena seorang anak PMR yang menjaganya dengan lembut dan penuh perhatian saat dirinya pingsan di tengah upacara bendera saat dirinya duduk di bangku kelas sepuluh.

Tetapi semua itu hanya perasaan suka—atau mungkin kagum sekilas yang kemudian akan ia lupakan seiring berjalannya hari. Milda tidak pernah punya cukup ruang untuk laki-laki manapun menempati pikirannya lebih dari soal-soal latihan dan materi-materi memusingkan lainnya.

Tetapi kenapa Revin bisa dengan mudahnya mengacaukan semua itu? Milda tidak mengerti. Milda pernah sangat membenci Revin sebelumnya, tetapi dengan mudahnya mereka berdamai lalu menjadi teman yang begitu akrab dan dekat.

"Mil!"

Milda tersentak ketika Revin mengguncang bahunya. Ternyata tanpa sadar Milda sudah melamun hingga tidak tahu kalau Revin sudah meletakkan dua gelas berisi coklat panas yang masih mengepulkan uapnya di hadapan mereka.

"Mikirin apaan sih lo, sampe bengong gitu?" Revin memiliki alis tebal yang membuatnya terlihat lucu saat keduanya bertaut saat lelaki itu merengutkan dahinya. "Mau sambil makan kue juga, nggak?"

"Nggak usah." Milda sadar ia baru saja kehilangan fokus karena lelaki di hadapannya tersebut, dengan salah tingkah ia meraih gelas berisi coklat panasnya dan hampir saja melukai bibir serta lidahnya jika saja Revin tidak menahannya.

"Masih panas, Mil—ah!" Karena gerakan cepat itu, isi gelas itu pun mengenai tangan Revin dan membuatnya mengaduh karena tangannya terasa seperti melepuh.

Milda dengan panik menarik tangan Revin ke arah wastafel tidak jauh dari tempat mereka berada dan segera menyirami tangan Revin dengan air dingin dari keran. "Sorry banget, Vin," lirih Milda penuh dengan rasa sesal.

Ada hening menjeda beberapa detik sebelum akhirnya Revin angkat bicara. Lebih tepatnya, bicara apa yang memang ingin ia bicarakan dengan Milda. "Sorry juga Mil, waktu itu di perpus...gue nyium lo."

Milda berhenti bergerak beberapa saat. Tenggorokannya seperti tercekat, pipinya pun memanas ketika kembali diingatkan tentang hari itu. "Ngapain minta maaf?" tanya Milda tanpa menatap ke arah Revin sama sekali. Fokusnya masih berada pada tangan Revin yang sedang disirami air keran. Padahal mungkin tangan Revin sudah tidak terasa sakit lagi.

Milda bukan tipikal orang yang mudah malu-malu. Bahkan ketika Milda pernah dihukum saat MOS karena tidak membawa atribut lengkap, perempuan itu begitu percaya diri ketika harus maju ke hadapan seluruh murid baru dan melakukan hukuman-hukuman tidak masuk akal yang diberikan panitia MOS.

Tetapi kali ini berbeda. Pipinya terasa terbakar. Milda yakin wajahnya mungkin sudah semerah tomat. "—Kan gue juga kasih izin," lanjutnya pelan.

"Should we...talk about it?" tanya Revin lagi. Kali ini lelaki itu sudah menatap Milda sepenuhnya.

Milda memberanikan diri membalas tatapan Revin. "Gue mau, tapi takut. Takut kalau ini bakal rusak rencana dan menghambat goals kita nanti. Ujian seleksi tinggal beberapa minggu lagi. Mikirin ini aja fokus gue udah berantakan, gue nggak siap kalau—"

"I get it, Mil." Revin memotong cepat ucapan Milda. "Gue juga mau bilang gini kok sama lo. Maksud gue, kita tetap harus bahas ini karena gue bakal lebih nggak fokus kalau kita pura-pura nggak ada apa-apa. Tapi nanti, setelah ujian seleksi, gimana?"

Milda tampak berpikir. Lalu akhirnya mengangguk. "Oke." Karena sama seperti Revin, Milda juga tidak mungkin bisa fokus jika harus terus berpura-pura. Setidaknya pembahasan hari ini tidak membuat mereka harus terus berpura-pura dan mereka bisa fokus kembali pada persiapan ujian seleksi nanti.

***

Dua hari lagi ujian seleksi masuk universitas akan digelar. Milda baru saja pulang dari perpustakaan kota seperti biasa menghabiskan waktunya belajar bersama Revin di sana sampai malam karena hari ini adalah hari Sabtu.

Keadaan rumah terasa lebih sepi ketika Milda membuka pintu utama rumahnya. Seingat Milda, sang Mama tidak mengatakan apa-apa soal pergi hari itu karena pergi ke manapun beliau pasti akan memberi tahunya.

"Mama?" Milda hanya menemukan keheningan. Padahal biasanya sang Mama pasti masih berada di ruang tengah menunggunya pulang. Entah itu menonton tv atau membaca buku. "Mama udah tidur kali, ya?"

Asisten rumah tangga di rumah Milda tiba-tiba menghampirinya dari arah belakang. "Non Milda, non!" Perempuan berkepala empat itu setengah berlari menghampiri Milda. Dari ekspresinya terlihat jelas jika ada sesuatu yang 'gawat' yang akan disampaikannya.

Perasaan Milda langsung tidak enak. "Kenapa, Mbak?"

"Itu Non...Bapak kecelakaan, masuk rumah sakit. Kata Ibu—eh Non! Non!"

Milda tidak lagi menunggu sang asisten rumah tangga menyelesaikan ucapannya. Tanpa pikir panjang, perempuan itu bergegas menghampiri supirnya yang baru saja selesai memarkirkan mobil yang tadi digunakannya untuk menjemput Milda di perpustakaan kota ke dalam garasi.

"Pak, ke rumah sakitnya Eyang!"

Melihat dari ekspresi sang supir, sepertinya lelaki paruh baya itu sudah tahu soal kondisi ayah Milda karena lelaki itu terlihat sedikit panik. "Tapi Non, kata Ibu—"

"Atau mau aku aja yang bawa sendiri mobilnya?" Milda mengancam. Meski dirinya sudah bisa menyetir dan memiliki SIM, orang tuanya tidak pernah mengizinkan Milda mengendarai mobil sendiri di malam hari.

"Iya Non, sebentar biar saya keluarkan mobilnya dulu." Tentu saja lelaki paruh baya itu tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan sang nona.

***

"Kamu pulang aja, Papa nggak apa-apa kok."

"Nggak apa-apa gimana sih, Pa?" Milda menatap ayahnya itu kesal. "Papa nyaris kehilangan kaki Papa, bisa-bisanya bilang nggak apa-apa?"

Bram tersenyum mendengar omelan sang putri. Rasa sakit di tubuhnya terasa sedikit lebih ringan ketika sudah melihat wajah putrinya tersebut. "Papa kan dokter, Mil, Papa beneran nggak apa-apa."

"Dokter tuh juga bisa sakit, Pa, memangnya dokter bukan manusia?" Milda tidak habis pikir dengan cara berpikir ayahnya tersebut yang selalu saja positive dalam keadaan apapun. Bahkan di saat dirinya terluka parah dan hampir saja kehilangan kaki kirinya tersebut.

"Bukan gitu maksudnya..."

"Mil udah dong, masa kamu marahin Papa kamu gitu. Lagi sakit itu dia."

"Mama juga, kenapa nggak langsung nelpon aku? Kenapa malah ngelarang orang rumah buat aku nyusul ke sini?"

Lina sama sekali tidak tersinggung karena sang putri setengah membentaknya. Perempuan yang hari itu mengenakan blouse berwarna merah muda itu tahu sang putri pasti sangat kalut ketika mengetahui jika ayahnya baru saja terlibat kecelakaan.

Lina bahkan tadinya tidak ingin memberitahu Milda soal kondisi ayahnya sama sekali karena dua hari lagi putrinya itu akan melaksanakan ujian seleksi masuk universitas. Lina tahu jika Milda sudah menyiapkan diri untuk ujian tersebut bahkan sejak masih duduk di kelas sebelas. Putrinya itu bahkan menghabiskan waktu lebih banyak dengan soal-soal latihan dibanding dengan teman-temannya dan Lina tidak ingin putrinya itu harus terganggu fokusnya jika mengetahui kondisi sang ayah.

"Mil, Mama kamu itu hanya nggak mau kamu khawatir."

"Ya nggak mungkin nggak khawatir lah Pa, Ma. Papaku kecelakaan, gimana bisa aku nggak khawatir?"

"Tapi kan sekarang kamu lihat sendiri Papa udah baik-baik aja. Kaki Papa mungkin memang nggak bisa berfungsi normal selama beberapa bulan, tapi kan ada kursi roda sama tongkat jalan. It's okay, Papa will be fine soon."

"Harus!" Milda menunduk dan memeluk Bram yang masih terbaring di tempat tidurnya. Milda lalu beralih kepada Lina dan memeluknya, merasa bersalah karena tadi sempat membentak sang Mama. "Milda minta maaf ya udah bentak Mama."

Lina menggeleng dan membalas pelukan sang putri lebih erat. "Nggak apa-apa sayang."

***

Meski tahu jika kondisi ayahnya tidak kritis, Milda tidak bisa memungkiri jika dirinya belum bisa tenang. Tidak saat masih ada kemungkinan ayahnya bisa kehilangan kaki kirinya yang memang terluka cukup parah.

Lina meyakinkan Milda untuk pulang ke rumah dan kembali fokus saja pada ujian seleksinya. Tetapi tentu saja Milda tidak bisa memikirkan apapun selain sang ayah.

Buku soal latihan di hadapannya mendadak berubah menjadi tulisan yang tidak dimengertinya. Angka dan huruf seolah bercampur aduk menjadi tulisan tak terbaca. Milda membalik setiap lembarnya dengan panik, rumus dan materi yang sudah ia hafal di luar kepala mendadak menguap entah ke mana. Semakin Milda mencoba, semakin kepalanya berdenyut sakit dan pandangannya memburam karena tanpa sadar Milda justru telah menimbun air matanya.

Ponsel Milda berdering, panggilan masuk dari Revin. Mungkin Revin bertanya-tanya kenapa hari ini Milda tidak datang ke perpustakaan kota atau pun membalas pesannya. Lelaki itu pasti mencari-carinya.

"MIL, LO KE MANA AJA?" Suara Revin menggelegar begitu panggilan tersambung. Lelaki itu sepertinya benar-benar panik karena Milda baru bisa dihubungi sejak tadi pagi. "Mil?"

"Vin—" Milda tercekat tangisnya sendiri. Tidak tahu harus dari mana memberitahu Revin. "Gue nggak bisa—besok gimana—gue lupa semuanya..."

"Hah? Mil, lo kenapa? Lo nangis?"

"Vin, gue lupa semua yang udah dipelajarin. Gue—hiks."

"Lo di mana? Di rumah, kan? Gue ke situ, sebentar ya. Tunggu gue."

Milda mengangguk meski tahu Revin tidak akan melihatnya. Tetapi entah kenapa ia memang membutuhkan Revin berada di sisinya saat ini untuk alasan yang tidak bisa dimengertinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro