Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Mengalir

"Jadi, lo mati-matian buat selalu ranking satu itu cuma buat menuhin tuntutan kakek lo yang udah meninggal?" Revin melongo menatap gadis di hadapannya yang sedang menggigit besar-besar burger di tangannya. Belum selesai makanan itu dikunyah, Milda menambahkan lagi dua potong kentang goreng yang sudah dicocol saus ke mulutnya.

Milda mengangguk cuek. "Bisa dibilang gitu, tapi nggak bisa dibilang 'cuma' juga. Walau kakek gue udah meninggal, being first di keluarga gue udah jadi... kewajiban? Semua anggota keluarga gue sudah punya mindset begitu, susah hilanginnya."

Revin tidak berkomentar lagi. Seketika merasa sedikit bersalah karena selama ini Revin seolah sengaja—atau memang sengaja—selalu menghalangi Milda untuk mendapatkan peringkat satu. Tetapi Revin juga punya alasan, yang kalau dipikir-pikir sebenarnya hampir mirip dengan alasan milik Milda. Tetapi Revin tidak membahasnya, belum.

"Terus lo kenapa nangis tadi?"

Milda mendelik, ia kembali meraup beberapa potong kentang dan mengunyahnya. "Gue kira kita udah sepakat nggak bahas soal itu tadi?"

"Gue sepakat nggak bahas soal itu kalau cuma harus bayarin paket bigmac lo, tapi lo pesen nugget sama es krim juga. Jadi kesepakatan batal." Sebenarnya Revin sama sekali tidak peduli dengan uang yang harus dia keluarkan untuk membayar makanan Milda saat ini, toh uang jajannya masih sangat banyak hanya untuk membayari Milda makanan di restoran cepat saji tersebut. Itu hanya alasan Revin saja agar bisa mengorek informasi.

"Dasar licik!" Milda menggumam, tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kesal atau marah seperti yang biasa ditunjukkannya pada Revin sehari-hari. Entah karena moodnya sudah jauh lebih baik karena makanan di hadapannya atau karena memang Milda sudah lelah bertengkar dengan lelaki di hadapannya itu. "Gue nangis karena capek."

Jawaban Milda membuat Revin memajukan tubuhnya, semakin penasaran. "Capek ngapain?"

Milda memainkan sepotong kentang goreng di tangannya ke dalam saus. Selama beberapa detik hanya menggoyang-goyangkannya sebelum akhirnya menghela napas cukup panjang. "Semuanya. Sama belajar, sama berusaha keras untuk selalu unggul dalam semua hal. Capek sama diri sendiri yang nggak tahu maunya apa."

Akhirnya sisa sore itu dihabiskan Milda untuk menceritakan segalanya pada Revin. Tanpa paksaan. Semuanya seperti air yang dibiarkan mengalir begitu saja dari wadahnya yang sudah terlampau penuh untuk menampung. Milda menceritakan pada Revin bagaimana ia lelah karena harus mengikuti berbagai kegiatan les sejak masih berusia dini. Belum lagi Milda harus belajar begitu keras setiap malam hingga terkadang hidungnya mimisan dan rambutnya rontok.

Mungkin semua orang yang mengenal Milda hanya dari luarnya saja tidak akan menyangka jika Milda bukanlah seseorang yang terlahir dengan otak cerdas. Semua nilai-nilai bagusnya, semua keahliannya didapatkan karena kerja keras. Yang Milda sendiri tidak tahu apakah ia benar-benar menginginkannya atau tidak.

Saat masih kecil, Milda menerima semua didikan keras kakeknya karena Milda mengira itu memang hal yang wajar dan kewajibannya. Tetapi seiring usianya yang bertambah, Milda tahu bahwa tidak semua orang melakukan hal yang sama sepertinya. Milda mulai mengerti bahwa hal itu terjadi karenanya hanya karena Milda adalah bagian dari keluarga Hadinata.

Milda pernah menjadi saksi mata ketika orang tuanya diremehkan oleh anggota keluarga mereka sendiri karena harus menempuh pendidikan kedokteran yang lebih lama dari saudaranya yang lain sampai harus menumpang di rumah kakek dan neneknya karena ayahnya belum memiliki penghasilan yang cukup untuk membeli rumah mereka sendiri. Keluarga Milda yang lain baru bisa berhenti memandang keluarga Milda sebelah mata ketika melihat Milda yang cerdas dan menguasai banyak keahlian sejak kecil.

Jika Milda tidak bekerja keras dan meneruskan apa yang sudah kakeknya 'bentuk' untuknya, orang tuanya lah yang lagi-lagi akan mendapatkan penghinaan dari keluarga besarnya yang lain. Padahal, orang tua Milda bukanlah tipe orang tua yang memaksakan keinginan mereka pada anaknya.

Baik Bram serta Lina bahkan selalu membebaskan Milda untuk melakukan apapun yang anak perempuannya itu inginkan tanpa harus memikirkan mereka.

"Pasti enak ya jadi lo? Terlahir pinter tanpa harus berusaha keras." Milda tidak mengatakan itu untuk menyindir Revin melainkan untuk menyampaikan betapa irinya Milda pada Revin. Selama ini, Milda terlalu gengsi untuk mengakui kalau Revin memang selalu lebih pintar dan unggul darinya.

Revin tidak merasa tersinggung. Pada dasarnya, yang Milda katakan memang tidak salah. Revin memang tidak perlu berusaha sekeras Milda untuk mendapatkan nilai-nilai bagusnya. Tidak perlu juga mengikuti les ini itu untuk menguasai suatu keahlian. Revin tidak tahu bagaimana bisa menjelaskannya, yang jelas semua mungkin sudah anugerah Tuhan? Dan Revin hanya memanfaatkannya sebaik mungkin.

Yang Milda tidak tahu, Revin sebenarnya bisa saja tidak perlu mendapatkan nilai-nilai bagus atau peringkat satunya. Revin tidak pernah dituntut siapa-siapa, baik keluarga apalagi orang tuanya. Tentu saja karena hal itu sudah lebih dulu diberikan oleh kakak-kakaknya sehingga seberapa besar pun Revin mendapatkan prestasi, semuanya tidak lagi spesial karena sudah pernah diberikan oleh kakak-kakaknya.

Hal itu yang membuat Revin secara tidak langsung memiliki rasa 'saing' yang tinggi terhadap Milda. Karena Milda adalah perempuan yang juga berprestasi, mengingatkannya pada ketiga kakak perempuannya yang tidak pernah bisa ia kalahkan. Sehingga ketika Revin berhasil menyaingi Milda, rasanya seperti berhasil mengungguli kakak-kakaknya.

Tetapi mendengar cerita hari ini, Revin menjadi merasa bersalah. Apalagi Milda ternyata butuh usaha yang sangat keras untuk mendapatkan posisinya saat ini tetapi Revin...hanya karena rasa inferiornya kepada kakak-kakaknya jadi melampiaskannya pada Milda yang sama sekali tidak bersalah.

"Selain ranking satu, lo juga harus masuk kedokteran kan?" tanya Revin ketika mereka sudah berada di parkiran restoran cepat saji dan bersiap naik ke motor untuk pulang. Hari sudah mulai gelap ketika mereka keluar dari restoran cepat saji tersebut.

Milda mengernyit. "Gue kira obrolan kita soal ini udah selesai. Kenapa lo nanya lagi?" tanya Milda bingung.

"Gue nggak bisa kasih ranking gue ke lo, tapi gue bisa bantu lo belajar buat persiapan masuk fakultas kedokteran nanti."

"Hah?"

Revin tersenyum. Ide ini sebenarnya sudah terlintas di benaknya sejak mereka duduk berhadapan di dalam restoran tadi. Tetapi Revin masih menimbang-nimbangnya hingga akhirnya kini memutuskan dengan pasti.

Sekarang mereka memang masih duduk di kelas 2 SMA, tetapi mereka sudah berada di semester akhir sehingga sebentar lagi sudah waktunya naik kelas dan mereka fokus untuk persiapan ujian seleksi masuk perguruan tinggi.

"Lo yakin mau bantu gue? Lo juga kan mau masuk kedokteran, secara teknis kita ini saingan. Slot masuk kedokteran di Atmadja University tuh nggak banyak dan kita bukan hanya saingan berdua tapi sama siswa dari seluruh Indonesia yang juga, are you sure?"

Revin memang mempertimbangkan hal tersebut sebelumnya. Karena meski Revin yakin ia memiliki kemampuan yang mumpuni, tetapi ia juga harus berjuang karena saingannya nanti bukan hanya Milda saja. Ada kemungkinan jika dirinya juga tidak bisa lulus, kan?

"Ini gue, Revin. Peringkat satu di Atmadja School." Revin menaikkan sebelah alisnya, "Dan lo Milda, peringkat dua di Atmadja School. Kita ini dua siswa terpintar dari sekolah terbaik di Indonesia, kenapa harus nggak yakin?"

Milda menatap Revin tidak yakin, hanya sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum dan mengangguk. Milda lalu mengulurkan tangannya, membentuk kepalan tinju. "So, friends?"

Revin pun mempertemukan kepalan tangannya pada Milda, "Friends." Dan hari itu, mereka pun menurunkan bendera perang yang telah berkibar hampir sepuluh tahun lamanya.

***

Perubahan hubungan Revin dan Milda yang terjadi dalam waktu semalam benar-benar menjadi berita yang menggeparkan tidak hanya untuk teman-teman sekelas mereka tetapi juga seantero Atmadja School yang sudah menjadi saksi perselisihan keduanya sejak kelas satu SD.

Bahkan jika pohon-pohon di halaman belakang sekolah mereka bisa bicara, mereka sudah menyampaikan ketakjuban mereka akan perdamaian yang dilakukan Milda dan Revin saat ini.

Bagaimana tidak? Dua manusia yang tidak pernah berada di satu ruangan yang sama tanpa bertengkar dalam waktu lima menit saja itu mendadak menjadi sepasang manusia yang tidak bisa dipisahkan.

Di kantin, di kelas, di perpustakaan, di lapangan olahraga. Bahkan saat Milda atau Revin perlu ke toilet, salah satu dari mereka akan duduk tidak jauh dari pintu toilet. Tidak hanya di sekolah, keduanya juga bahkan masih menempel seusai jam sekolah hingga di hari weekend. Kalau tidak di rumah salah satu dari mereka, mereka akan terlihat bersama di perpustakaan kota atau cafe-cafe yang tidak jauh dari daerah perumahan mereka.

"Lo berdua pacaran ya kayak di FTV yang dari benci jadi cinta?"

Naik ke kelas tiga, pertanyaan serupa sudah puluhan kali mereka dengan sejak keduanya menjadi teman tak terpisahkan. Baik Milda dan Revin bahkan sudah terlalu bosan untuk menjawabnya karena mereka bahkan tidak pernah memikirkan hal lain selain goals mereka untuk bisa masuk ke fakultas kedokteran di Atmadja University. Kampus dengan fakultas kedokteran terbaik bukan hanya di Indonesia tetapi juga ASIA.

Milda menyadari, seiring waktu yang bertambah ia pun menjadi saksi perubahan fisik Revin. Dari seorang bocah gemuk yang pernah mengompol di kelas satu hingga menjadi remaja berusia tujuh belas tahun yang...tampan?

Awalnya Milda tidak begitu menyadarinya karena mereka sudah menjadi teman sekelas sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Waktu yang mereka habiskan di sekolah bersama menjadi lebih banyak dibanding waktu mereka dengan keluarga masing-masing di rumah sehingga perubahan sebesar apapun rasanya tidak terlihat jelas. Atau karena memang Milda tidak menaruh perhatiannya pada hal lain pada Revin selain menyainginya.

Sampai di salah satu hari Rabu yang cukup panas dibanding hari lainnya. Saat itu kelas Revin dan Milda sedang pelajaran olahraga. Kebetulan kelas mereka akan bergabung dengan anak kelas tiga IPS yang juga memiliki jam olahraga hari itu karena guru olahraga kelasnya sedang absen.

Karena jumlah murid yang lebih banyak dari biasanya, mereka menggunakan lapangan outdoor untuk kegiatan belajar hari itu. Tidak peduli kalau udara sedang sangat terik-teriknya.

Setelah pengambilan nilai teknik basket yang ternyata selesai lebih cepat, guru olahraga mereka menyarankan mereka untuk bermain dodgeball sambil menunggu jam pelajaran habis dan mereka boleh istirahat.

Tidak seperti biasanya di mana siswi-siswi malas untuk berkeringat di bawah terik matahari yang panas, hari itu semuanya mendadak ingin bermain sehingga permainan dodgeball hari itu benar-benar ramai.

Semuanya tampak seru dan normal. Sampai kemudian salah satu anak IPS melemparkan bolanya terlalu cepat dan nyaris mengenai wajah Milda. Kalau saja Revin tidak dengan sigap menghalanginya dan merelakan punggungnya dihantam bola, Milda yakin hidungnya mungkin saja sudah patah dan berdarah karena terkena hantaman bola tersebut.

Dalam keadaan tersebut, anehnya Milda justru merasa seluruh lapangan yang ramai jadi lengang dalam persekian detik. Teriakan khawatir yang dengan cepat berganti menjadi sorakan gemas karena adegan roman picisan yang baru saja terjadi antara dirinya dan Revin sama sekali tidak terdengar.

Di mata Milda, hanya ada Revin yang saat ini menatapnya serius hanya berjarak beberapa senti di hadapannya. Dengan keringat yang juga sudah membasahi dahi dan rambutnya karena panas matahari yang menyengat, Milda bisa mencium aroma Revin yang tidak pernah ia sadari sebelumnya meski mereka selalu bersama bahkan sesering apapun Milda duduk di boncengan motor Revin.

Bagaimana bisa Milda tidak menyadari kalau Revin memiliki aroma yang manis. Seperti gabungan aroma permen kapas dan juga vanilla. Yang anehnya membuatnya jadi beraroma menyenangkan.

"Milda!"

Milda tersentak. Seketika tersadar ia sudah memandangi temannya itu lebih dari yang seharusnya. Terhantam kenyataan kalau selama mereka mengenal satu sama lain baik saat masih menjadi musuh hingga akhirnya berteman, ada banyak hal yang tidak Milda sadari dari lelaki di hadapannya itu.

Jika Revin ternyata tampan dan menarik.

Tidak heran jika selama ini Revin selalu memiliki setidaknya tiga sampai lima adik kelas yang menyatakan cinta padanya setiap semester. Membuatnya mendapatkan surat cinta dan coklat paling banyak setiap MOS berakhir sekalipun Revin bukanlah anggota OSIS. Oh, belum lagi teman seangkatan mereka yang juga terang-terangan naksir Revin tetapi sayangnya selalu diabaikan oleh lelaki itu.

Hanya ada satu perempuan yang terlihat 'pernah' Revin tanggapi. Tetapi kemudian tidak pernah ada kelanjutannya karena setelah itu perempuan itu akhirnya menyerah tanpa alasan yang seorang pun ketahui.

Setelah Revin dan Milda dekat, tidak ada lagi yang berani mendekati Revin. Sudah minder duluan karena tahu mereka tidak akan bisa menyaingi Milda sama sekali.

Padahal Milda dan Revin tidak pernah memusingkan urusan cinta-cintaan sama sekali. Mereka terlalu sibuk mempelajari soal-soal latihan untuk persiapan ujian seleksi masuk universitas nanti. Cinta-cintaan hanya membuang waktu di saat seperti ini.

Setidaknya itulah yang mereka 'coba' tanamkan dalam pikiran mereka sambil mengabaikan getaran yang sebenarnya mulai timbul akhir-akhir ini.

***

Milda: Lo di mana? Kok di tempat biasa nggak ada? Gue udah sampe nih

Milda menatap pesan yang baru saja dikirimnya begitu memasuki gedung perpustakaan kota tempatnya dan Revin janjian untuk belajar bersama weekend itu.

Sebenarnya mereka janji untuk belajar sejak pagi. Tetapi Milda harus menghadiri acara ulang tahun Eyang Uti di salah satu restoran hotel yang tidak jauh dari perpustakaan kota tempat mereka janjian hari itu sebelumnya sehingga baru bisa datang pukul setengah tiga sore.

Untungnya perpustakaan kota itu buka dua puluh empat jam sehingga mereka juga biasa menghabiskan waktu sampai malam saat weekend di sana. Fasilitas yang tersedia juga sangat lengkap dan lagi ada banyak tempat duduk tersedia sehingga meskipun ramai pengunjung, mereka tidak akan pernah kehabisan tempat duduk.

Biasanya Revin dan Milda duduk di dekat rak buku-buku filsafat karena area itu sepi tetapi menghadap langsung ke jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota dari lantai sepuluh. Tempat yang pas dengan sinar terang yang pastinya tidak akan membuat mereka mengantuk jika belajar di sana.

Tetapi hari itu, Revin tidak terlihat di sana. Padahal lelaki itu sudah berada di perpustakaan sejak jam sebelas. Bahkan sejam yang lalu mereka masih bertukar pesan lewat chat karena Revin ingin memastikan Milda akan tetap datang.

"Apa dia lagi ke food court?" tanya Milda karena tidak menemukan juga tas atau jaket denim yang biasa Revin letakkan di kursi ketika mereka belajar di sana.

Milda akhirnya mencoba menelfon Revin. Tidak diangkat. Tetapi Milda bisa mendengar samar-samar suara nada dering ponsel. Meski terdengar sedikit teredam, Milda masih bisa menangkapnya.

Milda mematikan panggilan. Dan nada dering itu pun ikut berhenti. Fix, itu milik Revin. Sehingga Milda kembali menekan tombol panggil tetapi kali ini sambil menelusuri dari mana arahnya suara tersebut.

Milda menghela napas ketika menemukan Revin ternyata sedang duduk di lantai, tepat di tempat tersudut dari ruangan perpustakaan tersebut yang sebenarnya tidak jauh dari tempat mereka biasa duduk. Hanya saja Revin terlihat bersandar pada tembok di belakangnya, dengan jaket denimnya yang menutupi seluruh wajahnya.

"Bisa-bisanya dia tidur di tempat kayak gini." Milda berdecak tidak habis pikir. Meski memang tahu kebiasaan Revin yang sering numpang tidur di perpustakaan sekolah, tetapi tidak menyangka Revin akan tidur juga di perpustakaan umum kota seperti ini.

Milda berjongkok beberapa senti dari Revin. Sambil memikirkan cara jahil apa untuk membangunkan lelaki yang sepertinya lelap itu sampai-sampai tidak mendengar bunyi ponselnya sendiri padahal benda itu berada di saku jaket yang dijadikannya penutup wajah.

Milda akhirnya berniat untuk memencet hidung Revin hingga lelaki itu terbangun karena sulit bernapas. Tetapi baru sampai jaket denim yang menutupi wajah lelaki itu Milda turunkan, gerakan tangan Milda berhenti di udara dalam seketika ketika ia bisa melihat bagaimana wajah Revin terlihat begitu tampan saat terlelap.

Apa memang Milda sebuta itu sampai bisa tidak menyadari jika wajah Revin ternyata setampan itu?

Kenapa? Kenapa justru sekarang saat ujian semakin dekat dan hatinya justru mulai berdebar dan bereaksi karena Revin?

Bibir Revin sedikit terbuka ketika ia tidur. Yang anehnya justru membuatnya terlihat...lucu?

Milda menggeleng pelan sambil menurunkan tangannya. Tetapi hanya beberapa detik sebelum kemudian Milda kembali mengulurkan tangan itu ke dahi Revin yang ternyata mengerut seolah lelaki itu sedang berpikir keras dalam mimpinya.

Milda mencoba menguraikan kerutan itu dengan telunjuknya perlahan. Tanpa sadar tersenyum karena Revin lebih kebo dari yang ia sangka. Sampai kemudian tiba-tiba saja kedua mata Revin terbuka dan membuat Milda terlonjak di tempatnya.

"Vin, gu—gue—" Tangan Milda masih berada di dahi Revin. Tidak sempat ia tarik karena Revin bangun terlalu tiba-tiba.

Mereka bertatapan beberapa detik sebelum kemudian tiba-tiba tangan Revin menyentuh tangan Milda.

"Vin, gue—" Milda tidak tahu harus mengatakan apa. Posisinya saat-saat ini sangat canggung. Ditambah jantungnya yang mendadak tidak bersahabat dan berdebar sangat keras, entah untuk apa.

"Lo pakai parfum stroberi?" tanya Revin. Suaranya serak yang menandakan dirinya memang baru saja bangun dari tidurnya.

Tubuh Milda masih terasa kaku, tetapi kemudian ia menggeleng. "Bukan parfum, tapi shampoo." Entah kenapa Milda menjawab pertanyaan Revin nyaris seperti cicitan. Suaranya tiba-tiba saja ikut tidak mau keluar. Tubuhnya benar-benar bereaksi tidak seperti seharusnya.

"Suka, wangi."

Mereka masih bertatapan. Milda tidak tahu kenapa Revin tidak juga melepaskan tangannya dan mengubah jarak mereka. Yang ada, Revin justru semakin mengikis jarak itu hingga ketika Milda sadar, hidung mereka sudah saling bersentuhan.

Jantung Milda rasanya seperti genderang perang. Bertalu-talu tanpa henti. Napasnya terasa tercekat, tetapi anehnya semuanya terasa...menyenangkan.

"Lo boleh mundur kalau nggak nyaman." Revin berkata lembut tapi pasti. Membuat Milda justru yakin kalau ia juga menginginkan apapun yang akan mereka lakukan beberapa saat lagi.

Revin masih tidak bergerak. Menunggu Milda memberikan izinnya. Hingga akhirnya Milda memejamkan matanya, Revin pun tahu ia telah mendapatkan izinnya.

Sore itu, baik Revin dan Milda sama-sama kehilangan ciuman pertama mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro