Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tiga puluh delapan


* u/ team 'challenge accepted' yang dalam beberapa jam langsung kelar, warbiasah memang kalian smua~ *



Kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dialaminya adalah 'aneh', Andin memutuskan. Sungguh aneh jatuh tertidur lelap ketika pikirannya begitu terganggu, tetapi dirinya kelelahan baik mental maupun fisiknya sehingga gadis itu segera jatuh ke dalam tidur, tubuhnya meringkuk, satu tangan di bawah pipinya, seperti anak kecil yang lelah.

Mungkin pikirannya tidak sepenuhnya tertidur karena ia masih memikirkan pria itu. Andin tidak yakin jam berapa sekarang dan apakah ia sedang membayangkan sesuatu atau hal itu benar-benar terjadi. Tapi dirinya merasakan tangan Sebastian menyentuh wajahnya, membelai pipinya, dan kemudian ia merasakan bibir pria itu di dahinya, memberinya ciuman selamat malam ringan seperti ciuman seseorang pada anaknya.

Andin sangat ingin membuka matanya untuk melihat apakah itu hanya imajinasinya atau nyata, namun matanya tetap tertutup. Bukti nyata bahwa dirinya sudah amat lelah.

Beberapa jam kemudian akhirnya ia terbangun. Pada awalnya, kelopak matanya dengan enggan membuka di bawah sorotan sinar matahari yang kuat. Setelah beberapa detik, Andin akhirnya bisa melihat sekelilingnya. Ia meregangkan tubuhnya lalu berguling ke satu sisi tempat tidur dan bangkit. Andin pergi ke kamar mandi dan setelah memastikan kedua pintu terkunci, ia mengalirkan air ke bak mandi dan menambahkan minyak lavender dan mawar yang ia temukan di konter dekat wastafel. Gadis itu masuk ke bak mandi wangi dan menyandarkan kepalanya ke tepi bak mandi. Kehangatan menyelimutinya, dan ia pun mengistirahatkan matanya. Peristiwa kemarin berputar dalam pikirannya dan ia menghela nafas berat. Semuanya telah berubah dalam hitungan dua puluh empat jam. Tidak, semuanya telah berubah sejak mereka berciuman di kamar tidur Sebastian saat pesta ulang tahun pria itu. Seolah-olah untuk pertama kalinya, bosnya itu menyadari kehadiran Andin. Untuk pertama kalinya Andin memperhatikannya. Dan bukan sebagai sekretarisnya tetapi sebagai seorang wanita. Seorang wanita yang menggairahkan, tidak dingin dan profesional.

Andin keluar dari bak mandi setelah bersantai selama setengah jam dan membersihkan dirinya lalu berpakaian. Setelah ia memastikan bahwa pakaiannya sudah rapi dan tidak menunjukkan kerentanan juga tidak memperlihatkan lebih banyak kulit daripada yang diperlukan, gadis itu mengambil napas dalam-dalam dan melalui kamar mandi bersama, ia membuka sisi pintu yang menuju kamar pria itu.

"Sir?" Ketika tidak ada jawaban, Andin memanggilnya sedikit lebih keras. "Mister Summers?"

Masih tidak ada jawaban jadi Andin berjalan lebih jauh ke dalam kamarnya hanya untuk menemukan bahwa laki-laki itu tidak ada. Sebastian telah pergi dan tidak meninggalkan catatan apapun untuknya. Kepanikan mulai muncul saat otaknya mulai memikirkan semua skenario terburuk. Kemudian bel pintu berbunyi dan bunyinya berasal dari kamar Andin jadi gadis itu pergi ke kamar mandi lagi, masuk ke kamarnya dan berjalan sampai ke ruang depan, lalu membuka pintu.

Seorang staf hotel berdiri di depannya dengan senyum sopan di wajahnya. "Buongiorno, Signorina."

"Selamat pagi," jawab Andin. "Dapatkah saya membantu Anda?"

Staf hotel itu mendorong sebuah tray ke dekat pintu dan berkata, "Saya membawakan sarapan Anda, Signorina."

"Maaf, saya rasa Anda salah kamar. Saya tidak memesan sarapan."

"Apakah Anda Signorina Andin Williams?"

"Ya."

"Kalau begitu saya yakin ini sarapan Anda, Signorina. Seseorang telah memesankannya untuk Anda. Bolehkah saya masuk?"

Andin menjauh dari pintu masuk dan menahan pintu agar tetap terbuka saat staf hotel mendorong nampan ke dalam kamarnya. Sementara pelayan menyiapkan segalanya, dia meraih dompetnya dan menarik dua puluh Euro.

"Sarapan Anda sudah siap, Signorina," dia menunjuk ke berbagai makanan, sebotol jus nanas, dan seteko kopi. Ada terlalu banyak makanan dan minuman sehingga dia tidak akan menyebutnya sebagai sarapan. Sarapannya yang biasa adalah roti panggang dan secangkir teh. "Tolong hubungi saya apabila Anda membutuhkan saya."

Pelayan itu berjalan ke pintu dan Andin menyerahkan dua puluh euro. "Terima kasih."

"Grazie." Pelayan itu memasukkan tip ke dalam sakunya lalu tersipu. "Ah, saya hampir lupa." Ia mengeluarkan sebuah catatan dari sakunya. "Seharusnya saya meletakkan ini di nampan tapi saya lupa. Ecco, la Signorina Williams."

Setelah menyerahkan kertas yang terlipat itu, pelayan itu membungkuk lalu berjalan pergi. Masih bingung, Andin masuk ke kamarnya dan duduk di kursi. Ia menuangkan jus nanas ke dalam gelas kosong dan mengerutkan kening. Ia menyukai nanas, ia selalu menyukai buah itu meskipun ia jarang meminumnya karena buah-buahan tropis adalah kemewahan yang tidak mampu ia beli. Sungguh kebetulan bahwa hotel memilikinya sebagai bagian dari sarapan! Andin meneguk jus dan mendesah sambil melamun.

Ada begitu banyak pilihan makanan dan Andin memutuskan untuk makan roti panggang dengan sedikit mentega, beberapa pancake dengan sirup maple, dan parfait buah. Sambil mengunyah makanannya, ia membuka catatan yang terlipat dan hampir tersedak. Pesan itu dari Sebastian. Bahkan dari pandangan sekilas gadis itu dapat mengenali tulisan tangan bosnya.

Miss Williams,
aku akan melakukan perjalanan ke tempat saudaraku. Kau terlihat sangat lelah, aku tidak ingin membangunkanmu. Aku yakin setelah apa yang terjadi tadi malam, aku adalah orang terakhir yang ingin kau lihat di pagi hari. Nikmati hari ini. Aku tidak akan kembali sampai malam.
Tian.

Tiba-tiba, Andin kehilangan nafsu makannya. Ia tidak ingin makan tetapi harga dirinya memaksanya untuk menghabiskan semua makanan yang telah ia taruh di piringnya. Benar-benar kebodohan untuk tidak makan hanya karena makanan itu dipesan oleh pria itu, atau fakta bahwa ia telah menyakitinya sama seperti pria itu telah menyakitinya. Mereka berdua terluka dan meskipun ia ingin menyalahkan pria itu, Andin tahu dirinya juga bersalah.

Ia minum segelas jus nanas lagi dan memutuskan bahwa ia sudah selesai sarapan. Karena masih terlalu banyak makanan di sana, ia memutuskan untuk tidak menelepon staf hotel. Sekilas melihat jam di meja nakas memberitahunya bahwa sekarang sudah jam sembilan pagi dan Andin pikir ia masih bisa makan sisa makanan itu untuk makan siang.

Dalam usahanya untuk mengalihkan pikirannya dari memikirkan Sebastian, Andin mengambil buku Bisnis dan Manajemen yang ia bawa. Meskipun ia hanya pergi ke community college dan tidak pernah ke universitas, Andin berharap suatu hari ia memiliki uang yang cukup untuk masuk ke universitas dan mengenyam pendidikan lebih lanjut sehingga ia meminjam buku Damon untuk menjadi persiapannya. Andin selalu senang mendapatkan lebih banyak pengetahuan, tetapi sekarang, bahkan topik yang paling menarik pun tidak dapat menghentikannya untuk memikirkan Sebastian. Satu jam kemudian, Andin memutuskan untuk menghabiskan sisa makanan lalu menelepon staf hotel. Begitu mereka mengambil nampan itu dan membawanya pergi, Andin memakai sunscreen, mengganti pakaian kerjanya menjadi celana jins dan kemeja polos, dan meraih dompetnya dan memasukkan buku dan handuk pantai ke dalamnya. Andin meninggalkan hotel dan berjalan di sekitar pantai.

Sama seperti hari sebelumnya, pantai itu ramai dan ia harus berjalan lebih jauh sampai ia menemukan tempat yang damai dengan lebih sedikit orang. Andin meletakkan handuk pantai di atas pasir dan duduk di atasnya. Mungkin yang ia butuhkan untuk berkonsentrasi adalah berada di tempat di mana ia tidak mengingat pria itu. Andin mengeluarkan buku itu dan mulai membaca lagi. Nampaknya hal itu berhasil dan Andin pun membaca halaman demi halaman.

"Wow, che libro da leggere!" (Wow, what a book to read!) kata suara berat yang datang dari kanannya. Gadis itu mendongak dan bertemu dengan sepasang mata hijau yang menatapnya dari postur tubuh yang tinggi. Pria itu setidaknya enam kaki tingginya (180cm). Sepasang Levi's yang sudah usang menempel rendah di pinggulnya dengan kemeja berkerah berwarna biru muda. "Sei in una spiaggia. Perché non ti godi la splendida vista?" (Anda berada di pantai. Mengapa Anda tidak menikmati pemandangan yang indah saja?)

"Maaf?" Andin menggelengkan kepalanya ketika ia mencoba mengingat ungkapan Italia yang ia tahu atau dengar sebelumnya. "Scusi? Mi dispiace. Io non parlo italiano." (Maaf? Maafkan saya. Saya tidak bisa bahasa Italia.)

"Sei un turista e passi il tuo tempo a leggere un libro noioso. A volte non capisco le persone," gumam pria itu pelan lalu menghela napas berat. (Anda seorang turis dan Anda menghabiskan waktu Anda membaca buku yang membosankan. Terkadang saya tidak mengerti orang). Pria itu berdeham lalu berkata dalam bahasa Inggris, "Maaf, saya hanya tidak mengerti mengapa Anda membaca buku ketika Anda dapat menikmati pemandangan yang indah di depan mata Anda."

Andin menelan kekesalannya. Pria ini tidak tahu betapa sulit baginya untuk mengalihkan pikirannya dari ciuman dan belaian bosnya yang membuatnya ketagihan. "Yah, saya melakukan keduanya sekaligus. Saya membaca sambil menikmati pemandangan."

"Bagaimana Anda bisa melakukan itu?" Pria itu terdengar sedikit tersinggung. "Saya bisa mengerti jika Anda mencoba menangkap keindahannya dan mengabadikannya dengan menuangkannya ke dalam sebuah kanvas, tetapi membaca adalah sesuatu yang sama sekali berbeda."

"Dan mengapa itu jadi urusan Anda?" Andin sedikit meninggikan suara dan kembali ke bukunya, memilih untuk mengabaikan kehadiran pria itu. Ia mendengar beberapa suara gemerisik kemudian menyadari dari penglihatan sudut matanya bahwa pria itu telah berjongkok di sebelahnya. Bahkan tanpa melihat langsung ke arahnya, ia bisa tahu bahwa pria itu tampan dan gagah. Tapi sekali lagi, tadi malam seorang pria yang juga digambarkannya sebagai 'handsome and dashing' telah menyakitinya. Yang terbaik adalah menjauhi pria seperti mereka.

"Le mie sincere scuse. Permintaan maaf saya yang tulus. Anda benar, itu bukan urusan saya apa dan bagaimana Anda menghabiskan waktu Anda. Saya rasa itu adalah jiwa pelukis dalam diri saya yang menolak untuk memahami itu."

"Tidak apa." Andin memberinya senyum kecil. Ia tidak yakin apakah dirinya harus kembali untuk mengabaikan pria itu atau mengajaknya mengobrol. Terus terang, ia tidak terlalu bisa berbicara dengan orang asing.

"Ngomong-ngomong, nama saya Joseph." Pria itu menjulurkan tangannya. "Siapakah nama Anda?"

Andin menjabat tangannya. "Andin."

"Piacere di conoscerti, adorabile Andin." (Senang bertemu denganmu, Andin yang cantik.)

"Saya-saya benar-benar tidak bisa bahasa Italia."

"Ah, maaf. Saya bilang senang bertemu denganmu, Andin."

"Senang bertemu denganmu juga." Andin bergeser sehingga pria itu dapat duduk di handuk pantai di sebelahnya.

Pria itu dengan penuh syukur mengambil ruang yang ditawarkan dan duduk. "Jadi, apa yang membawamu ke Trapani?"

"Pekerjaan, sebenarnya," jawab Andin.

"Ah." Pria itu mengangguk seolah-olah dia akhirnya mencocokkan dua keping puzzle. "Itu menjelaskan buku itu kalau begitu."

"Yah, tidak juga. Saya hanyalah seorang sekretaris," kata Andin.

"Itu tidak berarti kau tidak akan menjadi bos suatu hari nanti." Joseph mengangkat satu alisnya dan memberinya senyum yang menakjubkan.

"Bagaimana denganmu? Kau bilang kau seorang pelukis, kan? Apakah kau datang ke sini untuk melukis panorama?" Andin menandai halaman yang dia baca lalu menutup bukunya.

"Tidak. Saya datang ke sini dari waktu ke waktu untuk melukis tetapi tidak kali ini. Saya sebenarnya kemari untuk mencari saudara laki-laki saya tetapi sepertinya dia tidak ada di sini. "

"Saya minta maaf. Mungkin kau bisa meneleponnya?"

"Saya tidak berpikir dia akan menjawab panggilan apa pun dari saya." Ekspresi suram terbentuk di wajahnya sebelum ia menyembunyikannya dan memberi gadis itu sebuah senyum lagi. "Kakak beradik bertengkar sepanjang waktu, kau tahu."

"Sebenarnya saya tidak berpikir saya bisa memahami hal itu."

"Mengapa? Kau dan saudaramu selalu akrab dan tidak pernah bertengkar?" Tidak ada tanda-tanda sarkasme dalam suaranya, tetapi ada sedikit keheranan. Pria itu tampak seperti anak kecil yang ingin percaya bahwa Santa itu nyata dan Andin tidak bisa tidak merasa sedih karenanya.

"Bukan. Saya tidak punya saudara." Saat harapan perlahan menghilang dari mata hijau lumut pria itu, Andin dengan cepat menambahkan, "Tapi saya yakin apa pun itu, saudaramu akan memaafkanmu. Kau benar, saudara kandung bertengkar tetapi mereka juga saling memaafkan."

"Tidak, saya tidak berpikir itu akan terjadi. Saya telah melakukan sesuatu yang tak termaafkan padanya dan pada salah satu saudara kita. Faktanya, saudara itu telah melarikan diri dan kita semua tidak tahu di mana dia berada." Ketika pria itu melihat ekspresi terkejut di wajah Andin, ia berkata, "Maaf. Saya belum bertemu siapa pun dalam beberapa waktu dan kau adalah orang pertama yang saya ajak bicara. "

Andin menggelengkan kepalanya dan memberinya senyum pengertian. "Tidak, tidak apa-apa. Jika dengan berbagi itu membuatmu merasa lebih baik maka tentu saja, saya akan mendengarkan."

* * * * * * *

A/N: di Amrik/Eropa buah seperti mangga, nanas, itu langka dan mahalnya bukan main. untung kita hidup di Indo yakkk, jadi bisa lotisan :D ada yang menduga gak siapakah laki-laki ini? hohohoho~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro