* dua puluh enam
* untuk semua yang masih melek dan bawa tiket jalur vip express, ini untuk kalian semua *
SEBASTIAN
Mau tak mau Sebastian memperhatikan keterkejutan dan keheranan di wajah Andin dan langsung merasa tidak enak karena menjadi penyebab hal tersebut. "Sudahlah." Pria itu menggelengkan kepalanya sambil menggumam pada saat yang sama. Ini bodoh. Tidak peduli seberapa kesalnya dia pada Michelle dan keluarganya, ia tidak seharusnya membuat Andin merasa tidak nyaman. Ya, pria itu sudah muak dengan keluarganya malam ini dan hal terakhir yang ia inginkan adalah kembali ke rumahnya dan menghadapi mereka semua, tapi tetap saja, ia tidak boleh menginap di sini. Sebastian seharusnya pergi ke salah satu hotel -sebaiknya hotel yang tidak dimiliki dan dikelola oleh saudaranya, Declan Summers. Lebih pentingnya lagi, dengan keadaannya yang amat sangat tertarik pada Andin, bermalam di rumah gadis itu adalah ide yang buruk.
"Apakah ada yang salah?"
Pria itu mendengar Andin bertanya dan berbalik menghadapnya. "Maaf?"
"Mengapa kau ingin bermalam di sini? Apakah kau tidak ingin kembali ke pesta?" gadis itu bertanya penuh rasa ingin tahu, memiringkan kepalanya ke satu sisi.
"Setelah apa yang mereka lakukan padamu?" Pria itu menatap Andin dengan ekspresi tidak percaya di wajahnya. "Tentu saja tidak."
"Tapi, Sir-"
Sebelum Andin bisa melanjutkan kalimatnya, pria itu meletakkan satu jari di bibir ranum gadis itu dan Andin pun sontak tersentak ke belakang saking kagetnya. Pria itu bergerak cepat, satu tangan meraih pinggangnya dengan aman sementara yang lain menempel di dinding lift di sebelah wajah Andin. "Aku bukan Sir untukmu malam ini," Sebastian mengulangi kalimatnya sebelumnya. Kemudian dirinya mencondongkan tubuh ke depan, begitu dekat sehingga ia hampir bisa mendengar gadis itu bernapas menderu. "Apakah sesulit itu bagimu untuk menganggapku sebagai orang lain selain bosmu?"
"Maafkan aku," sembur Andin buru-buru.
"Apakah sangat sulit untuk melihatku sebagai kekasihmu?" pria itu bertanya dengan nada yang setengah berbisik.
Mata gadis itu melebar dan ia memiringkan kepalanya. Bibirnya sangat dekat dengan bibir Sebastian hampir membuat pria itu tidak bisa mengendalikan diri. Yang pria itu inginkan hanyalah menciumnya, menggendong Andin, dan membawanya ke tempat di mana ia bisa merayunya habis-habisan. Sebastian segera menyingkirkan pikiran berbahaya itu dan mengingatkan dirinya sendiri bahwa Andin telah menghadapi cukup banyak penghinaan malam itu.
"A-a aku rasa siapa pun akan merasa sulit untuk menganggap bos mereka sebagai kekasih mereka, Sir."
Untuk sepersekian detik, Sebastian hampir kehilangan kendali. Sebastian hampir mengenyahkan pikiran buruknya dan menarik tubuh gadis itu erat-erat ke tubuhnya. Ia ingin menunjukkan pada Andin semua hal yang bisa membuktikan sebaliknya, semua hal yang bisa membuatnya menjadi kekasihnya. Sebelum ia bisa melakukan apa pun, lift berhenti dengan bunyi ding dan pria itu menegakkan tubuhnya.
"Kalau begitu, untungnya aku tidak lagi menjadi bosmu dalam waktu dua bulan," gumam Sebastian pelan sambil mundur selangkah, menjauh dari gadis itu.
Jarinya menekan tombol lift untuk menjaga pintu tetap terbuka dan setelah gadis itu keluar, Sebastian mengikutinya. Mereka berjalan menyusuri lorong dalam keheningan karena mereka berdua tampaknya sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
"Dengar, aku minta maaf," kata sosok mungil di sebelah pria itu saat mereka berhenti di depan pintu kayu. "Aku tidak keberatan kau menginap malam ini." Andin mengeluarkan kuncinya dan membuka pintu depan lalu berbalik ke arah Sebastian sembari memegang kenop pintu. "Hanya saja tempatku sangat kecil dan aku cukup mengenalmu untuk mengetahui bahwa kau tidak akan senang tidur di sofa bekas yang kubeli seharga lima puluh dolar beberapa bulan yang lalu."
"Mungkin kau tidak begitu mengenalku sebaik itu, Miss Williams," ucap Sebastian dingin.
Gadis itu mengangkat bahu dan membuka pintu. "If you say so, Sir."
* * * * * * *
ANDIN
Andin memperhatikan saat bosnya melihat sekeliling flat kecilnya. Meskipun tempat tinggal Andin amat kurang mewah dibanding tempat lain yang mungkin pernah dikunjungi bosnya, Andin tidaklah malu akan hal itu. Rumahnya hangat dan nyaman dan yang paling penting, dirinya telah membayar dengan setiap sen yang ia dapatkan dengan jerih payah dan keringatnya sendiri. Andin bangga akan hal itu. Ini adalah tempat di mana ia bisa beristirahan di akhir hari kerja yang panjang.
"Tempat yang bagus," kata Sebastian setelah beberapa saat.
"T-terima kasih." Gadis itu sedikit terkejut dengan komentar Sebastian dan menyadari bahwa bosnya bersikap manis. Tidak yakin apakah itu berarti Sebastian akan jadi menginap atau tidak, Andin meletakkan tasnya di atas meja kecil dekat gantungan baju dan berjalan masuk ke flat-nya. "Apakah kau ingin minum?" Andin menawarkan.
"Tidak. Terima kasih."
"Um, baiklah. Kalau begitu biarkan aku mengambilkanmu beberapa selimut." Andin berjalan menuju ke kamar tidurnya dan mencari beberapa selimut dan satu bantal cadangan. Dengan tangan penuh linen, gadis itu berjalan kembali ke ruang tamu dan baru beberapa langkah saja, gadis itu langsung berhenti. Mulutnya tiba-tiba terasa kering saat matanya melihat pemandangan yang anehnya amat memikat. Sebastian telah melonggarkan dasinya, membuka kancing atas kemejanya, dan melepaskan jaketnya.
Saat gadis itu berjalan perlahan medekat, ia melihat pria itu membuka kancing di lengan kemejanya dan melonggarkannya. Sebastian kemudian melepaskan rompinya, otot-otot di punggung dan bahunya bergerak saat pria itu melakukannya. Sebastian jelas belum menyadari kehadirannya dan gadis itu memanfaatkan momen itu untuk mengamati pria itu baik-baik. Meskipun Andin tahu seperti apa tubuh pria, sebenarnya dirinya belum pernah melihat nyata secara langsung. Itu bisa dimengerti mengingat pacar pertamanya adalah Leroy yang kemudian membuat Andin takut sekaligus ngeri akan spesies laki-laki.
Gadis itu tahu seperti apa seharusnya tubuh pria yang seksi, ia telah bertemu dengan para model dan ia juga telah membaca majalah. Terlebih lagi, ia tahu bahwa bosnya, Sebastian Summers, sangatlah seksi. Fakta itu, bagaimanapun, tiba-tiba sangat terasa saat dirinya menyaksikan Sebastian perlahan melepas pakaian, tepat setelah pria itu mencela keluarganya sendiri demi Andin.
Ada api yang membakar di perut Andin. Terlepas dari penolakannya yang terus-menerus, gadis itu harus mengakui - setidaknya pada dirinya sendiri, bahwa ia merasa tertarik secara fisik pada Sebastian. Fakta bahwa Sebastian bertukar wanita sesering pria itu mengganti pakaiannyalah yang membuat Andin menjauh, dan fakta bahwa ia nantinya hanyalah sebatas teman tidur, satu nama dalam daftar taklukan Sebastian yang panjang.
Namun saat ini, semua itu sepertinya tidaklah penting.
Gadis itu terus menatapnya saat pria itu membuka kancing kemejanya sekarang sambil menguap, matanya mengikuti jari-jari Sebastian saat dada halus pria itu mulai terlihat, otot-ototnya yang kencang. Untuk sesaat, Andin lupa bagaimana caranya berpikir saat api menyebar ke seluruh tubuhnya. Seolah-olah kesurupan, gadis itu bergerak mendekati Sebastian seperti ngengat mendekati nyala api. Kemudian jarinya menyentuh lengan pria itu dan tiba-tiba dirinya menyadari apa yang terjadi dan yang lebih penting, apa yang hampir akan lakukannya. Gadis itu mendongak dan matanya bertemu dengan mata biru Sebastian.
Pria itu menatap ke bibir Andin untuk sepersekian detik sebelum melihat selimut dan bantal yang dipegangnya. "Terima kasih," katanya sambil tersenyum kecil. "Apakah kau yakin tidak apa-apa bagiku untuk menginap di sini? Aku tidak ingin kembali tapi aku bisa saja tinggal di tempat lain jika kehadiranku di sini merepotkanmu."
"Tidak apa apa," jawab gadis itu sambil maju selangkah. Sebuah peringatan di pikirannya menyuruhnya untuk berhenti, mengingatkan bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan ini. Tapi sekali lagi ia baru saja mengalami malam yang menyebalkan dan pria yang berdiri begitu dekat dengannya sampai Andin bisa merasakan napas pria itu adalah satu-satunya pria yang membuatnya merasa penting. Itu jugalah salah satu alasan mengapa ia memperbolehkan Sebastian menginap di rumahnya meskipun akal sehatnya memperingatkan betapa berbahayanya hal itu.
Sebastian melangkah maju, tangannya meraih selimut dan bantal. Pria itu mengambilnya dari Andin dan meletakkannya di sofa sebelum menoleh kembali pada gadis itu.
Efek sampanye yang Andin minum sebelumnya mulai kembali saat gadis itu bergoyang ke depan, hampir tergelincir oleh gaunnya sendiri. Tangan pria itu menangkapnya tepat pada waktunya sebelum Andin membenturkan kepalanya ke meja kopi di dekat mereka. Baru saat itulah Andin menyadari bahwa untuk mencegahnya jatuh, Sebastian telah menariknya ke arahnya dan sekarang tubuh depannya didorong ke dada pria itu. Andin dapat merasakan napas pria itu di dahinya dan telapak tangan Sebastian menekan punggung bawahnya.
Sebastian menggerakkan ibu jarinya di rahang Andin, meninggalkan jejak hangat di kulit gadis itu kemudian menengadahkan Andin ke atas. "Kau baik-baik saja, Andin?" Mata birunya yang dalam menatap gadis itu.
Suara lembut pria itu melelehkan kakinya, dan Andin ketakutan akan reaksinya terhadap pria itu. Tetap saja, ia memaksakan matanya untuk bertemu dengan mata pria itu, menolak untuk menunjukkan kerentanan apa pun. "Ya." Tenggorokannya terasa lebih kering dari sebelumnya dan gadis itu membasahi bibir bawahnya dengan ujung lidahnya tanpa menyadari bahwa mata biru pria itu kini terpaku pada setiap gerak-geriknya.
Mata birunya menggelap tatkala pria itu mengerang frustrasi. "Damn it, Andin."
"A-apa?" gadis itu bertanya, tidak yakin apa yang menyebabkan Sebastian mengutuk.
Sebelum Andin sempat bereaksi, pria itu menangkup dagunya dengan kuat, menarik wajah gadis itu ke wajahnya, dan bibirnya dengan lembut bertemu dengan bibir Andin.
"Tidak," bisik gadis itu lemah, tahu betul bahwa ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya jika ia membiarkan pria itu menciumnya. Andin ingat apa yang terjadi terakhir kali dan ia tidak yakin ia memiliki keinginan yang cukup kuat untuk tetap memegang kendali.
"Hanya satu ciuman, Andin," erang Sebastian di mulutnya. Suaranya kental dengan gairah.
Andin tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan kelopak matanya menutup sementara lidah pria itu menelusuri garis bibirnya dan tubuh gadis itu merespons tanpa malu-malu. Andin melingkarkan lengannya di belakang leher Sebastian dan menekan pinggulnya secara naluriah ke tubuh pria itu. Mengeluarkan erangan kecil, gadis itu membuka bibirnya, nyaris tidak sadar akan tindakannya sendiri.
Sebastian mengambil keuntungan penuh dari reaksi Andin dan segera menekan lidahnya masuk ke dalam mulut Andin. "Damn it, Andin, you are going to be my undoing," gumamnya serak lalu kembali melumat bibir ranum gadis itu.
(A/N: maksudnya Andin satu-satunya yang bisa menghancurkan diri Sebastian)
Satu tangan Andin mencengkeram rambut tebal pria itu sementara tangannya yang lain menjelajahi otot-otot keras punggung laki-laki itu. Sebastian mengerang saat tiap sentuhan lembut Andin justru semakin memicunya. Sebastian menyelipkan tangannya di punggung bawah gadis itu untuk menangkup pangkal paha gadis itu dan ketika pria itu meremasnya, mata Andin terbuka.
Andin menjadi sepenuhnya sadar di mana mereka berada dan tubuh siapa yang ditekannya. Seolah-olah seember air dingin telah dituangkan dari atas kepalanya. Semua gairah yang berputar-putar di dalam dirinya hilang tanpa bekas. Andin menarik bibirnya dan meletakkan tangannya di atas otot-otot telanjang di dada Sebastian dan mendorong pria itu menjauh. "Tidak, berhenti. Kita tidak bisa melakukan ini."
"What?" Sebastian melonggarkan cengkeramannya dan menarik diri sedikit.
Andin mengambil momen itu untuk melepaskan diri dari pelukan pria itu dan menjauh tiga kaki darinya. "Ini tidak boleh terjadi," kata gadis itu, terengah-engah. Tangannya terlipat di depan dadanya dengan protektif.
"Mengapa?"
"Karena aku mengenalmu dengan sangat baik." Andin menggelengkan kepalanya dan mengencangkan cengkeramannya di lengannya. "Kita terlalu jauh berbeda. Kau adalah tipe yang 'fun while it lasts' sedangkan aku tidak. "
"What the fuck does that even mean?" geram Sebastian frustrasi. Tubuh pria itu sangat sakit sehingga yang ia inginkan hanyalah mengumpat.
"Aku akan kehilangan banyak." Andin menurunkan tangannya dan mundur selangkah menuju kamar tidurnya.
Pada awalnya, kebingungan tampak terlihat di wajah pria itu sebelum kesadaran menghantamnya dengan keras. "Aku mengerti." Sebastian mengambil pakaiannya lalu beranjak menuju ke pintu depan.
Andin mengikuti di belakangnya. Ia tidak bisa menahan perasaan tidak enak atas apa yang telah terjadi. "Look, Sir, I'm sorry. I-"
Sebastian berhenti tepat di depat pintu dan mengangkat satu tangan untuk menghentikannya. "Tidak perlu menjelaskan apa-apa, Miss Williams. Aku sangat memahaminya." Sebastian membuka kunci dan memutar kenop pintu kemudian melangkah keluar. "Kau selalu menganggapku sebagai seorang playboy dan itu tidak akan pernah berubah, bukan? Well, have a good night."
Kemudian pria itu pergi, bahkan sebelum pintu tersebut tertutup sepenuhnya.
* * * * * * *
A/N: maap ya lama karena ini 2 bab digabung lagi jadi panjang soalnya kalo diputus kayaknya nanggung. gimana menurut kalian? pak bos marah nih lumrah gak? kalo kalian jadi andin gimana?
bab 28 & 27 akan up hari Jumat 23/12
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro