Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Cemburu Menguras Bak Mandi


Lira memikirkan cara bagaimana menguji Respati, apa dia benar-benar mencintainya? Apa dia bersungguh-sungguh ingin menikahinya?

Dering telepon mengalun merdu. Lira membaca nama “Duda Tengil” terpampang di layar. Diangkatnya telepon itu.

Assalamu'alaikum Neng Perawan galak dan manja tapi ngangeninnya minta ampun dan selalu bikin Mas uring-uringan, nggak enak tidur, nggak enak makan.”

Wa’alaikumussalam Duda genit, tengil, rese, nyebelin, yang selalu bikin Lira KESAL... SEBEL!!!” Lira mengeraskan kata 'kesal' dan 'sebel'.

Entah kenapa nada bicara Lira saat ngambek begini terdengar manja menggemaskan di telinga Respati. Pria itu tersenyum tak jelas di ujung telepon.

Oh, jadi Mas cuma bikin kesal dan sebal, nih? Nggak bikin kangen?”

“NGGAK...!!!” jawab Lira lantang.

Ehm, nggak salah maksudnya.”

“Au ah...” ketus Lira.

“Oya, Lira mulai libur kapan? Kalau udah libur, pulang bareng Mas ya ke Jakarta. Nanti Mas coba pesan tiket kereta api, masih ada apa nggak. Kalau kehabisan, ya kita naik mobil. Nanti Lira bisa ngajak teman Lira yang juga dari Jakarta.”

Sesaat Lira mengernyitkan alis.
“Mas Respati ke sini sebenarnya naik mobil atau kereta? Waktu pertama kali ke kost Lira naik ojek, terus pas ngajak ke tempat Ratna, naik mobil.”

Terdengar embusan napas dari ujung telepon.

“Mas ke Purwokerto naik kereta. Terus waktu ke kostmu, Mas pesan ojek karena biar cepat sampai, Mas nggak hafal jalannya. Nah, sebenarnya... Mas jadi cerita, nih. Tapi nggak apa-apa, kamu perlu tahu. Mas pernah tinggal di Purwokerto sebelum pindah ke Jakarta. Mas juga punya usaha rental mobil, join bareng Paklik. Makanya selama di Purwokerto, Mas makai mobil rental sendiri. Mas tinggal ngubungi karyawan untuk nganter ke hotel. Ini yang jadi salah satu alasan kenapa Mas ingin buka cabang bimbel di sini karena biar sekalian aja punya dua usaha di satu kota. Jadi nggak ribet waktu Mas mau ngecek.”

Lira manggut-manggut. Ternyata calon suaminya selain punya usaha bimbel juga usaha rental mobil. Terkadang ia jadi minder sendiri. Dari status sosial, keduanya begitu berbeda. Perbedaan usia pun terpaut lima belas tahun. Ia tak tahu ke depan, apa ia bisa beradaptasi dengan segala perbedaan ini?

“Kalau bisa naik kereta, naik kereta aja biar lebih cepat, nggak ada macet," sahut Lira.

“Okay, Neng sayang...”

“Sayang... Sayang... Jangan-jangan ke yang lain juga manggil sayang.” Lira mengerucutkan bibirnya.

“Nggak, lah. Mas nggak berani manggil sayang ke cewek lain. Dari kemarin Lira bahas hal-hal kayak gini mulu, ya? Ini perasaan Mas aja atau emang benar kalau Lira cemburu atau posesif karena komentar-komentar di instagram Mas?”

Lira membisu. Ia tak bisa menyangkal tapi akan terkesan konyol jika ia diam saja.

“Siapa yang cemburu?” pekik Lira kencang, ngegas seperti biasanya.

“Semakin ngegas berarti memang benar, Lira ada rasa posesif sama Mas. Atau Lira nggak percaya sama Mas? Ragu sama Mas?”

Lira bingung memilih kata. Ia sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa dia belum jatuh cinta pada Respati. Ia menolak mati-matian rasa itu. Namun ia juga enggan melepas Respati. Tanpa alasan yang jelas, ia kesal membaca komentar-komentar di laman instagram Respati yang terang-terangan menggoda duda beranak dua itu. Mendadak ia butuh pengakuan dan ingin menjadi satu-satunya yang memenangkan hati Respati.

“Kenapa diam, Neng? Hanya karena banyak komentar nggak penting di Instagramku, kamu ragu sama Mas? Apa iya ada gelagat Mas yang ngasih harapan ke cewek-cewek itu? Atau komentar merayu, muji-muji, atau gimana? Mas kan nggak bisa mencegah mereka untuk nggak komen. Atau gini aja, Mas bakal menon-aktifkan komentar di Instagram Mas biar kamu nggak sakit hati saat baca.”

Lagi-lagi Lira terdiam. Ia masih ingat pada misi yang ingin ia jalankan untuk menguji Respati.

“Apa Mas mesti post kata cinta tiap hari buat kamu di ig? Kasih Mas kesempatan buat ngebuktiin kalau Mas benar-benar serius sama kamu. Bukti itu akan semakin mudah ditunjukkan saat kita menikah nanti.”

“Jujur, Lira memang masih ragu. Lira juga merasa... Lira belum sepenuhnya cinta sama Mas.”

Agak lama Respati terdiam. Keheningan merajai.

Ehm... Mas nggak bisa maksa Lira untuk percaya sama Mas. Meski keluarga sudah sepakat menentukan hari pernikahan kita, Mas nggak akan memaksakan kalau kamu memang belum siap. Mas akan kasih kamu waktu untuk memikirkan lagi.”

Lira menghela napas.

“Makasih, Mas.”

“Ya, udah, Mas mau siap-siap ke lokasi pembangunan bimbel. Kamu nggak ke kampus?”

“Siangan, Mas.”

Hati-hati aja nanti ke kampusnya. Assalamu’alaikum neng perawan sayangnya Mamas Respati Narendra, duda rasa pemuda, masih energik dan perkasa.”

Wa’alaikumussalam... Mas Respati yang....” Ucapan Lira terhenti di ujung napas. Kini ia bingung harus melabelkan kata apa.

Yang apa, sayang?”

Lira memutar otak, mencari kata yang pas.

“Pasti mau bilang yang rese, genit, mesum kuadrat, nyebelin, ngeselin, duda bangkotan...” lanjut Respati.

“Yang... Yang nyebelin tapi kadang bikin Lira senyum-senyum,” sela Lira sebelum Respati menyelesaikan ucapannya.

Ada seulas senyum yang terukir di wajah tampan itu. Ia tak menyangka, empat tahun menduda dan menutup hati untuk wanita mana pun, dirinya kembali jatuh cinta pada gadis 23 tahun, lima belas tahun lebih muda darinya. Siapa nyana, ia takluk pada gadis yang terkadang manja dan kekanakan itu.

That is so sweet...” Respati menanggapi.

Rasanya Lira tak punya muka lagi untuk meneruskan perbincangan di telepon. Ia tutup telepon itu dengan wajah semerah kepiting rebus. Senyum melengkung di bibirnya.

******

“Haaahhhh????” mulut gadis berambut ikal itu melompong. Matanya membulat lebar-lebar.

“Nggak usah kaget gitu. Ini soal kecil. Kamu hanya perlu pura-pura godain Mas Respati. Aku penasaran ingin lihat reaksinya gimana.” Lira berharap Mala, teman satu kostnya bersedia membantunya.

“Haduh... Godain gimana zheyeng? Ya, Allah... Tobat tobat, gadis berkelas kayak aku mesti godain duda mateng.” Mala mengelus dada.

“Ini bukan sembarang duda. Dia high quality duda,” tukas Lira.

Mala merebut ponsel sahabatnya. Diintip akun instagram sang duda yang memang sedang diamati Lira.

Masya Allah, ganteng bingiittt... Ya, ampun Lira... Cowok model begini kamu tolak? Kamu ini masih waras apa nggak? Ini mah superior gantengnya. Di atas rata-rata. Mana kelihatan mapan juga. Nggak masalah sih duda anak dua. Body masih aduhai, rasa-rasanya nih duda hot di ranjang.”

Lira mendelik dan matanya menyasar pada sahabatnya yang kadang mesum nggak ketulungan.

“Ngeres amat pikiranmu.”

“Bukan ngeres tapi realistis,” Mala tersenyum tipis.

“Ya, udah, sekarang kamu coba deh nyapa dia di komen atau dm.” Lira tak sabar untuk menguji calon suaminya itu.

Mala membuka instagram dari smartphone-nya, mem-follow akun instagram Respati.

“Ra, kolom komentarnya dinon-aktifkan. Aku nggak bisa komen,” ucap Mala.

“Kirim dm aja,” balas Lira sekenanya.

Mala mengirim direct message.

Hai abang, boleh kenalan, nggak?

“Kayaknya nggak bakal dibalas, deh,” gumam Mala.

“Kalau ada komentar, dia juga jarang balas, sih.” Lira juga tak yakin pesan Mala akan dibalas.

Mala berpikir mendalam. Ia mencari cara untuk menarik perhatian Respati.

“Aku tahu caranya. Aku akan mengirimi dia dm lagi, kita tunggu responsnya.”

Mala mengetik pesan untuk Respati.

Bang, saya mau nanya, post Abang yang foto cewek dikasi caption I love you, itu beneran calon istri Abang?

Mala menunjukkan isi pesannya pada Lira.

“Kayaknya aku mesti kirim pesan yang gimana, biar dia balas,” Mala mengelus dagunya.

“Coba aja, La.”

Mala mengirim pesan kembali.

Kok jelek calon istrinya? Lebih baik sama aku aja. Atau ini cara abang buat nyari sensasi, ya?

Tak lama kemudian datang balasan dari Respati.

Dia calon istri saya. Tolong, jangan ngatain fisiknya, jelek lah, apa lah. Bagi saya dia yang tercantik. Situ merasa sempurna, ya? Dan sekali lagi, saya nggak pernah nyari sensasi atau gimana. Saya cuma orang biasa, ngapain cari sensasi?

Mala menunjukkan balasan Respati pada Lira. Entah kenapa balasan Respati membuat Lira senang. Mala membalas kembali pesan duda dua anak itu.

Pasti abang pacarnya banyak, ya? Abang kan ganteng dan mapan, pasti banyak yang antri. Itu calon istri yang ke berapa, bang? Kalau abang mau, abang bisa dapet yang jauh lebih cantik dari cewek itu.

Tiga menit kemudian, Respati membalas.

Jangan pernah menghakimi orang sembarangan. Kalau kamu ingin diterima dengan baik di pergaulan, hilangkan sifat ini. Saya nggak perlu berkoar-koar menjelaskan karakter saya. Saya juga nggak butuh penilaian dari siapa pun. Terlalu buang waktu dan kekanakan buat saya jika sok-sokan jadi playboy dan ngoleksi banyak pacar.

Mala menunjukkan kembali balasan Respati pada Lira. Sekerling senyum menghiasi wajah cantik Lira.

“Kayaknya dia benar-benar serius sama kamu, Ra. Lagian ya, dia ini punya dua anak. Umur 38 tahun, pasti mikirnya serius, bukan main-main.”

Lira mencerna perkataan sahabatnya. Ia pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Mala.

******

Lira mengetik revisi skripsinya. Siang tadi ia menghadap Pak Sakha, kecanggungan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sungguh, ia tak nyaman sendiri. Rasanya ingin ganti dosen pembimbing. Namun, perjalanan skripisnya tak akan lama. Sakha bilang, dia hanya perlu satu kali revisi lagi.

Tiba-tiba Mala masuk ke kamarnya dan mencomot parfum tanpa permisi. Lira meliriknya dengan pandangan bertanya.

“Kamu mau kemana? Rapi amat, wangi, cantik...” Lira masih menyapu pandangannya pada sosok gadis cantik berkulit putih itu.

Mala tersenyum lebar, “Duda ganteng itu ngajak aku buka puasa bareng. Terus aku bilang, aku lagi dapet, jadi nggak puasa. Dia bilang, nggak apa-apa, besok kamu temani saya buka puasa.”

Lira melongo dan kaget luar biasa.  Ternyata Respati memang benar-benar duda ganjen yang hobi tebar pesona ke banyak perempuan. Entah kenapa, Lira sangat kecewa.

“Kok bisa dia ngajak kamu nemeni dia buka puasa?” Lira beranjak dan menatap Mala  tajam.

“Kami chat sampai malam. Dia follow balik instagramku, dong. Mungkin karena tertarik lihat foto-fotoku yang cantik-cantik, dia jadi ramah banget, nggak jutek lagi. Eh terus ngajak ketemuan.” Mala bicara tanpa beban dengan senyum yang masih tersungging.

Lira terdiam dengan segala kekecewaan dan kekesalan yang mulai menggerogoti dari dalam. Ia berpikir, jika nanti ketemu Respati, ia ingin menendang pria itu sejauh-jauhnya dan ia tak akan lagi mau berurusan dengannya.

“Kamu nggak suka sama duda itu, kan? Buat aku aja, gimana? Dia tipe idamanku banget.” Mala menangkup pipinya sendiri dengan senyum yang tak lepas.

Lira tak merespons. Ia merasa marah, jengkel, bagai ditikam oleh sahabat sendiri. Haruskah ia mengatakan bahwa Mala telah menikamnya? Sementara ia sendiri berlagak tidak menyukai Respati.

Ponsel Mala berbunyi. Mala menggeser layar ponselnya lalu tersenyum cerah, secerah sinar mentari.

“Mas Respati udah keluar dari hotel. Kami janjian ketemu di ayam geprek. Aku pergi dulu, ya. Assalamu’alaikum.” Dengan santainya, Mala melenggang keluar kamar.

Wa'alaikumussalam,” balas lirih Lira dengan raut wajah yang terlihat seperti hendak menangis.

Lira tak lagi bisa fokus merevisi skripsinya. Ia semakin kesal hingga bantal dan gulingnya menjadi sasaran amarahnya. Ia remas-remas guling dan bantal itu dengan gemasnya. Fix, ia tak mau menikah dengan Respati.

******

Malam selesai Tarawih, Lira tak jua bersemangat merevisi skripsinya lagi. Ia semakin sebal kala berpapasan dengan Mala. Tanpa ada rasa bersalah gadis itu menceritakan pengalamannya buka puasa bareng Respati.

“Mas Duda keren banget ya, Ra. Aku sempat nungguin dia selesai sholat Maghrib sebelum makan bareng. Sayangnya sebelum Isya, kita pisahan karena dia mesti sholat Isya dan Tarawih. Masya Allah, sudah ganteng, kaya, rajin salat juga. Benar-benar high quality duda. Aku siap banget deh jadi ibu dari dua anaknya dan calon ibu dari adik-adik mereka kelak.” Mala bicara dengan enaknya tanpa memedulikan ada hati yang tercabik-cabik, terbakar cemburu.

Lira masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Ia merebahkan diri di kasur dan tanpa alasan kuat, tiba-tiba air matanya mengalir begitu saja. Ia kecewa pada Respati, sangat kecewa.
Dering ponselnya yang mengalun berulang kali tak ia hiraukan. Apalagi setelah tahu yang meneleponnya adalah Respati. Ia pikir, enak sekali duda itu. Setelah makan bersama Mala, kini ia menghubunginya.

Ponselnya berbunyi kembali. Ada satu pesan whatsapp dari Respati.

Assalamu’alaikum Neng perawan kesayangan yang selalu membuat hati berdebar tak karuan dan cenut-cenut nggak jelas, bikin kangen, bikin gemas, bikin kacau tak menentu.

Lira tak berminat untuk membalasnya. Ia tak mau berurusan lagi dengan Respati.

Kenapa nggak dibalas, sayang? Ada apa lagi? Masih marah sama Mas?

Lira tak tahan juga, ia balas dengan huruf kapital.

MULAI SEKARANG JANGAN HUBUNGI AKU LAGI. JANGAN KIRIM-KIRIM WA LAGI.

Datang balasan dari Respati lebih cepat dari yang Lira duga.

Kenapa, Neng? Baca pesannya bikin Mas takut. Neng pakai huruf kapital semua. Pasti marah banget sama Mas, ya?

Lira kembali mengetik balasan.

Lira : Nggak usah berlagak innocent. Mas pikir Lira nggak tahu apa yang Mas lakuin di belakang Lira?

Respati : Maksud Lira apa? Sekarang ini Mas lagi rebahan di hotel, nggak nglakuin aktivitas lain selain chat sama Lira. Oya Mas udah dapet tiket keretanya. Nanti kita pulang bareng ke Jakarta.

Lira : Pulang aja sendiri. Lira nggak mau lagi kenal sama Mas.

Respati : Emang Mas salah apa? Sampai Lira nggak mau kenal.

Lira : Nggak usah pura-pura polos, Mas. Sekali playboy tetap playboy. Dasar duda centil, duda keganjenan! Tadi Mas ngajak Mala buka puasa bareng. Dasar tukang cari kesempatan! Dirayu sama cewek cantik saja langsung klepek-klepek dan lupa udah punya calon istri!!!

Respati : Oh, jadi Mala itu temannya Lira? Kok bisa kebetulan banget ya tahu instagram Mas, nyapa Mas, godain Mas di dm, rasa-rasanya aneh. Pantes aja ada dalang yang mengatur semuanya.

Lira : Ya, memang Lira yang nyuruh Mala buat godain Mas. Mas Respati tergoda dengan rayuan Mala sampai ngajak dia buka puasa bareng. Gimana nanti kalau kita nikah, diuji hal kecil kayak gini aja, Mas nggak lulus.

Respati : Mungkin seperti ini juga kali ya rasanya jadi Alea waktu suaminya buka puasa bareng mahasiswi bimbingannya.

Seketika bibir Lira terkatup dan jari-jarinya seolah terpanggang kaku, tak tahu harus mengetik apa. Ini sindiran dan tamparan keras untuknya.

Respati : Kamu nyuruh Mala godain Mas. Mas juga yang minta Mala untuk bersandiwara buka puasa bareng. Padahal kami nggak buka puasa bareng. Mudah bagi Mas buat tahu identitas Mala karena sedari awal dia kirim dm, Mas udah curiga dari bahasanya yang blak-blakan. Kamu jangan lupa, Ratna juga bisa Mas jadikan sumber informasi tentang siapa saja temanmu. Ratna mengenal Mala.

Lira terdiam. Ia tak menyangka Respati mengambil tindakan beberapa langkah lebih maju darinya.

Lira : Palingan Mas juga nyari kesempatan dekat-dekat sama Mala karena dia cantik. Terus Mas nyuruh Mala bersandiwara di depanku tujuannya apa?

Respati : Mas cuma ingin tahu gimana reaksi Lira. Ternyata Lira cemburu banget.

Lira : Siapa yang cemburu? Mas nggak usah ke-GR-an!

Respati : Masih aja ngelak.

Panggilan telepon berbunyi dari Respati. Lira enggan mengangkatnya. Respati tak menyerah. Ia terus menghubungi Lira sampai akhirnya gadis itu luluh. Diangkatnya telepon Respati.

Assalamu’alaikum, Neng...”

Wa’alaikumussalam...” jawab Lira lirih.

Mas nggak nyari-nyari kesempatan. Coba aja tanya Mala. Mas nglakuin ini untuk tahu reaksi kamu. Kita impas, kan? Lira juga minta Mala untuk menguji Mas. Apa segitunya Lira nggak percaya sama Mas?”

Lira terdiam sesaat.

“Kenapa Mas tega banget nglakuin ini ke Lira?” isak tangis itu tak dapat lagi Lira tahan. Suaranya semakin mengeras tanpa bisa Lira cegah. Tiba-tiba saja air matanya berjatuhan. Ia tak ingin menangis tapi kesedihan dan kekecewaan yang sudah terakumulasi sejak tadi sore, yang ia bendung dengan susah payah akhirnya jebol juga.

Respati merasa bersalah karena telah membuat Lira sedih. Ia tak menyangka reaksi Lira akan seperti ini. Ia sadar, Lira itu gadis yang kadang masih kekanakan dan manja.

“Sudah, sayang, jangan nangis. Mas jadi sedih dan merasa bersalah denger kamu nangis gini. Maafin Mas, ya. Mas janji nggak akan kayak gini lagi. Cup cup cup... Sayangnya Mamas jangan nangis terus...”

Lira masih saja terisak. Ia hanya ingin menumpahkan segala deru emosi yang berkecamuk, dari cemburu, kesal, marah, sampai akhirnya sadar dia dikerjai Respati yang bersekongkol dengan Mala.

“Cup cup cup... jangan nangis lagi dong, sayang. Mas ke kostmu ya. Mas nggak tenang, kamu nangis-nangis gini. Kamu minta dibelikan apa? Nanti Mas bawain sekalian.”

Lira yang sesenggukan seketika sedikit lega mendengar Respati mau datang dan menawarkan untuk membawa makanan.

“Lira mau nasi goreng pedas, martabak telur, es krim, coklat, cemilan yang gurih-gurih, susu cair juga,” balas Lira sembari merajuk manja.

“Okay, sayang. Nanti Mas mampir beliin titipan Lira. Tunggu ya, sayang. Nggak lama lagi Mas sampai kok. Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam.”

Lira mengusap air matanya. Kekecewaan itu terganti dengan senyum manis. Rasanya tak sabar untuk memakan makanan titipannya...atau sebenarnya tak sabar untuk bertemu orang yang akan membelikan makanan-makanan itu. Dia masih saja membohongi dirinya sendiri. Yang pasti ia lega, karena dipastikan dirinya masih jadi satu-satunya yang memenangkan hati duda ganteng itu.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro