Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Neng Perawan Cantik Siapa yang Punya?

Respati kembali ke hotel dengan perasaan lega. Siang ini agenda meninjau lokasi untuk pembangunan cabang bimbingan belajar telah selesai dikerjakan. Dia sudah mantap untuk mendirikan satu cabang di Purwokerto.

Duda idola kaum singlewati itu teringat akan jadwal Bima mengikuti terapi. Hari ini Bima akan mengikuti terapi ABA (Applied Behaviour Analysis), sebuah terapi yang bertujuan memberikan ketrampilan khusus untuk anak autis agar bisa memahami instruksi verbal, mampu memberikan respons atas perkataan orang lain, mampu mendeskripsikan suatu benda, bahkan bisa digunakan untuk mengajari baca tulis. Bima tak hanya menjalani satu jenis terapi, ia juga menjalani terapi sensori integrasi.

Biasanya Respati selalu menyempatkan waktu untuk mendampingi putranya. Ia mengundang terapis untuk membimbing Bima terapi di rumah. Karena sekarang tengah berada di Purwokerto, ia meminta pengasuh Bima untuk menghubunginya via video call dan ia akan memantau proses terapi itu dari layar ponselnya.

Respati mengamati baik-baik sang terapis yang tengah duduk berhadapan dengan Bima, sedang sang asisten terapis berada di belakang Bima. Awal bertemu sang terapis, Bima tak mau diajak bicara dan cenderung menolak kedatangannya. Perlahan ia mampu menerima karena sang terapis begitu telaten dan bersabar menghadapi Bima.

Terapis mencoba mendapatkan eye contact dari Bima dengan memanggil nama anak itu berulang. Bima masih sibuk dengan hand flapping-nya. Flapping adalah gerakan mengepakkan tangan berulang. Anak autis terkadang melakukan berbagai gerakan stimming (self-stimulating behaviour), suatu gerakan yang sengaja dilakukan untuk merangsang indra tertentu. Flapping (mengepakkan tangan) adalah salah satu stimming. Selain gerak tangan (anggota tubuh), stimming juga bisa ditunjukkan dengan berkata atau mengeluarkan kalimat berulang-berulang dan menggerakkan benda. Stimming bisa menjadi berbahaya jika ditunjukkan dengan gerakan yang membahayakan seperti membenturkan kepala ke tembok, mencukil luka, menggigit, meninju, dan menggaruk berlebihan.

Respati teringat akan perkataan terapis yang biasa menangani Bima. Stimming pada anak autis bisa jadi adalah cara anak autis memperoleh kenyamanan. Stimming terjadi saat anak autis merasakan suatu emosi, seperti gembira, senang, stres, cemas, takut, dan lain-lain.

Dalam layar ponselnya, Respati memerhatikan sang terapis yang mengambil apel lalu memposisikannya di sebelah matanya dan sejajar dengan mata Bima. Ia meminta Bima untuk melihat apel tersebut. Perlahan Bima mau melihatnya. Terapi ABA pada dasarnya diterapkan untuk mengubah suatu perilaku yang bisa diterima masyarakat. Salah satu alasan Respati mengambil jenis terapi ini, selain terapi lainnya seperti okupasi, sensori integrasi, dan wicara, adalah karena terapi ini cocok untuk anak autis yang masih kesulitan memberikan eye contact saat diajak berkomunikasi. Karena itu di setiap terapi, terapis berusaha untuk mendapatkan eye contact dari Bima.

Sang terapis yang bernama Melinda ini kemudian menunjukkan tiga macam mainan, mobil-mobilan, robot, dan baling-baling.

“Bima mau yang mana?”

Bima menunjuk robot. Melinda tersenyum. Ia meletakkan robot itu di ujung meja.

“Nanti Tante kasih robotnya tapi setelah kita bermain, ya.” Senyum Melinda terulas ramah. Keramahan ini perlahan meruntuhkan keengganan Bima untuk menjalankan terapi.

Melinda menunjukkan satu kartu bergambar bola dengan tulisan di bawahnya.

“Ini gambar apa, Bima?”

Bima terdiam. Matanya tertuju pada kartu itu. Terlihat benar ia tengah memfokuskan perhatiannya pada kartu itu.

“Bola...” jawab Bima.

“Pintar.” Melinda tersenyum, ia kembali menunjukkan satu buah kartu.

“Kalau ini gambar apa?”

“Payung.”

Good job,” Melinda mengganti dengan kartu lain.

What about this one? Gambar apa, Bima?”

“Sepatu.”

Smart boy.”

Respati masih terus mengawasi dari layar ponsel. Sejauh ini Bima telah menunjukkan perkembangan yang bagus sejak rutin mengikuti terapi. Respati berusaha memilih terapis yang banyak direkomendasikan oleh para orang tua anak penyandang ASD. Sebenarnya sebelum memanggil terapis ke rumah, Bima sempat menjalani terapi di therapy center untuk anak ASD, sayangnya Bima merasa tak nyaman dan sering kali proses terapi gagal karena Bima ngamuk duluan. Setelah mengundang terapis ke rumah, barulah Bima mau mengikuti tanpa mengamuk lagi.

Selesai terapi, Melinda berbincang dengan Respati via video call. Dulu Melinda adalah teman dari mantan istri Respati. Ia sudah menekuni dunia terapis anak ASD delapan tahun lamanya.

“Bagaimana perkembangan Bima, Mel?”

Alhamdulillah bagus, Mas. Bima ini anak cerdas. Dia terlihat lebih antusias dari waktu ke waktu. Kemampuannya mendeskripsikan benda juga maju pesat. Sudah tidak begitu bingung untuk mencocokkan visual benda di gambar dengan benda real. Kemampuan untuk mengenal huruf, membaca, juga ada kemajuan. Nanti dia bisa dimasukkan ke sekolah inklusi.”

Alhamdulillah. Terima kasih banyak, ya, Mel, sudah telaten membimbing Bima.”

Melinda tersenyum, “Dari Bima brojol, aku udah kenal, tahu bayinya dia gimana. Jadi aku ikut seneng dengan perkembangan positif Bima.”

Respati bersyukur bisa menemukan terapis sesabar dan setelaten Melinda. Mencari terapis yang bisa diterima Bima juga tak mudah. Total, Bima sudah berganti-ganti terapis sebanyak lima kali. Melinda yang paling bisa dekat dan diterima oleh anak itu.

Selanjutnya, Respati berbicara dengan anaknya. Meski, Bima tak begitu merespons, tapi satu ulas senyum yang terlukis saat mata Bima menatap wajah ayahnya di layar, sudah cukup menjadi sedikit obat rindu bagi ayah dua anak itu. Ia juga rindu dengan putra sulungnya, tapi di jam ini Rain belum pulang dari sekolah.

Respati tak lupa akan janjinya pada Bulik dan Pakliknya bahwa ia akan buka puasa bersama di rumah mereka. Ia juga berencana untuk mengenalkan Lira pada satu-satunya kerabat di Purwokerto ini. Dulu ia pernah tinggal di Purwokerto bersama orang tuanya sampai umur dua belas tahun. Setelah itu ia dan keluarganya pindah ke Jakarta. Purwokerto selalu menjadi tempat yang tak terlupakan, bukan sekedar bernostalgia ke masa kanak-kanak, tapi memang kota kecil ini memiliki tempat tersendiri di hatinya. Ia menyukai suasana kota itu, makanan khasnya, warganya, dan semua sudut di kota itu memiliki kenangan tersendiri.

Respati mengamati layar ponselnya. Terpikir olehnya untuk menghubungi Lira, si Neng perawan yang telah mengobrak-abrik perasaannya. Awalnya ia hanya ingin menjaga gadis itu, memenuhi amanah dari almarhum ayah Lira. Namun tanpa mampu ia cegah, perasaan itu hadir begitu saja, meski sebenarnya Lira bukanlah tipe idamannya.
Respati mengirimkan pesan whatsapp.

Assalamu'alaikum neng perawan yang bikin kangen cenut-cenut nggak menentu dan selalu cantik memesona seperti bidadari kayangan dengan mahkota emas permata zamrud intan berlian.

Tak ada balasan dan pesannya pun belum dibaca. Dengan sabar, Respati menunggu balasan.

Lira : Wa’alaikumussalam duda tengil, gesrek, mesum kuadrat, menyebalkan, rese, norak, alay, lebay, duda bangkotan, duda nakal, duda nggak laku.

Respati mengelus dada membaca kata-kata julukan yang nggak banget ditujukan untuknya. Untunglah dia sedang puasa, jadi kesabarannya meningkat berkali lipat.

Respati : Kurang panjang. Tambahin lagi dong zheyeng... duda ganteng, duda keren, duda macho, duda baik hati dan tidak sombong, duda yang selalu memesona, gagah berwibawa dengan pesona yang membelah angkasa dan menghancurkan angkara murka. Satu lagi, hebat untuk urusan menaklukkan ran***

Lira : Ih, keluar lagi mesumnya.

Respati : Mesum apanya?

Lira : Kalimat terakhirnya. Hebat untuk urusan menaklukkan ran... ranjang, kan?

Respati : Ini yang mesum sebenarnya siapa? Dari kemarin kamu bahas ranjang mulu?

Lira : Mas duluan yang bahas ranjang.

Respati : Saya kan cuma ngetik ran***

Lira : Iya, ran*** maksudnya ranjang.

Respati : Bukan, neng sayang, ran*** itu ranjau. Bintangnya tiga noh, kalau bintangnya empat kayak gini ran**** baru deh ranjang.

Lira : Ngeles...!!!

Diam-diam Lira tersipu malu. Dia jadi bingung, jangan-jangan ia ketularan duda mesum itu. Dikit-dikit membahas ranjang.

Respati : Lira udah gedhe, ya. Pikirannya ke sana mulu. Udah pingin cepet-cepet dihalalin kayaknya, nih.

Lira :Itu mah Mas Respati yang pingin cepet-cepet halalin Lira.

Respati : Kalau itu memang tidak ada lagi keraguan. Sudah mantap hati Mas untuk membawa neng perawan cantik ke KUA.

Lira : Kalau Lira nggak mau, gimana?

Respati : Pasti, mau, lah. Duren mateng alias duda keren mapan ganteng kayak Mas kok ditolak? Nanti nyesel.

Lira : Nggak nyesel.

Respati : Ya, udah, Mas cari yang lain.

Lira : Jangan.

Buru-buru Lira menghapus pesannya.

Lira : pesan dihapus.

Respati : Udah kebaca wew. Akhirnya Mas tahu isi hati Lira yang sebenarnya.

Lira : Tadi salah ketik. Typo..!!!

Respati : Nggak salah ketik, ah. Masa iya ngetik ya jadi nggak. Nggak usah gengsi, Neng. Kalau udah ada rasa, biarkan rasa itu berkembang menjadi sebesar gunung dan seluas lautan.

Lira : Pede banget!

Respati : Nanti sore jangan lupa, ya. Mas ajak kamu ke tempat Paklik dan Bulik. Jangan lupa untuk...

Lira : Bersikap sewajarnya wanita.

Respati : Good... Pinter banget sayangnya Mamas.

Lira : Ih...

Respati : Itulah akibat memilih calon suami yang tepat, jadi tambah pinter.

Lira : Udah, ah. Lira mau mandi dulu.

Respati : Dari pagi belum mandi? Astaghfirullah neng perawan cantik ternyata jarang mandi. Nanti kalau udan nikah, Mas yang mandiin.

Lira : Ini mandi kedua kalinya, Mas. Udah mau jam tiga. Gerah banget, jadi pingin mandi lagi.

Respati : Untung, kamu ngingetin, nggak lama lagi Ashar. Ya udah mandi yang wangi, ya. Nanti Mas jemput ke kost.

Lira : Iya.

Respati : Assalamu’alaikum neng perawan cantik sayangnya Mas Respati Narendra, duda rasa pemuda, masih energik dan perkasa.

Lira : Wa'alaikumussalam duda rese.

Respati senyum-senyum membaca ulang chat-nya dengan Lira. Terkadang Lira itu begitu keras kepala, egois, nggak ada sopan santunnya, tapi entah kenapa semakin gadis itu jual mahal, semakin ia tertarik.

******

Respati menjemput Lira setelah Ashar. Lira mengenakan gamis dipadu dengan kerudung yang warnanya senada. Ia tahu benar bagaimana cara membawa diri agar terlihat rapi dan sopan di depan keluarga Paklik calon suaminya.

Sebelum menuju rumah Paklik, Respati mengajak Lira mampir ke swalayan yang khusus menjual sayur dan buah. Respati hendak membeli buah-buahan kesukaan Pakliknya.

Tiba di sana, Lira cukup kaget melihat Alea yang juga tengah berbelanja sayuran dan buah. Suasana begitu canggung ketika dua mata itu bertabrakan.

“Mbak Alea...” Lira mencoba tersenyum ramah, melupakan apa yang pernah membuat mereka bersitegang.

Alea membalas senyum itu dengan senyum tipis. Respati mengangguk dan mengulas senyum. Ia bisa melihat kecanggungan di ekspresi wajah Lira.

“Belanja apa, Mbak?” tanya Lira setenang mungkin.

“Saya belanja brokoli, apel, kacang panjang, semangka, banyak. Biasa ibu rumah tangga, mesti nyetok sayur dan buah buat konsumsi sehari-hari,” balas Alea. Ia melirik Respati yang tengah memilih-milih melon. Alea bisa melihat, hubungan keduanya lebih serius dari yang ia bayangkan. Ia berharap Lira tak akan mengganggu suaminya lagi.

Lira tersenyum lagi. Ia masih merasa bersalah pada wanita itu. Sikap kaku dan datar Alea memberi tanda bahwa wanita itu masih menyimpan luka.

“Mbak, sekali lagi saya minta maaf.”

Alea menatap Lira dan menelisik dari atas ke bawah. Raut wajah gadis itu menggambarkan ketulusan. Ia mungkin masih merasa sakit, tapi ia juga tengah mencoba membuka hati untuk memaafkan siapapun yang pernah menyakitinya.

“Saya juga minta maaf. Lupakan saja semuanya. Kamu sebentar lagi menikah, kan? Mudah-mudahan pernikahan kalian berjalan lancar.” Alea menatap Lira dan Respati bersamaan.

“Aamiin, makasih, Mbak,” sahut Lira.

“Aamiin, terima kasih, Mbak Alea,” susul Respati.

Alea mengangguk dan mengulas senyum. Segalanya terasa lebih baik saat dua hati yang pernah berseteru kembali berdamai dan saling memaafkan.

Setelah selesai belanja, Respati dan Lira kembali masuk ke dalam mobil. Sebelum Respati melajukan mobilnya, ia memerhatikan ekspresi wajah Lira yang terlihat lebih menyejukkan dibandingkan jika tengah memasang tampang jutek.

“Udah siap? Atau lagi mikirin apa? Dari tadi kayaknya melamun.”

Lira terkesiap.

“Aku nggak melamun, kok.”

“Lega, kan? Tadi ketemu Alea dan minta maaf. Mas bangga sama sikapmu. Itu namanya sikap seorang ksatria. Berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.”

Lira tak merespons dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum tipis.

“Duh, manis banget senyumnya, Neng. Mas nggak kuaattt... Sering-sering aja senyum. Cantik banget kalau lagi senyum.”

Lira melirik Respati yang melebarkan senyum.

“Berarti kalau lagi nggak senyum, nggak cantik, ya?” Lira sedikit menekuk wajahnya.

“Bukan gitu, Neng. Neng mah cantik dalam keadaan dan ekspresi wajah apapun. Cuma kalau lagi senyum, kecantikannya bertambah berkali lipat.”

Lira memalingkan wajahnya dan menerawang ke luar jendela mobil. Ia sembunyikan senyumnya dari hadapan Respati. Tak lama kemudian, Lira menoleh ke arah Respati.

“Kalau aku nggak cantik berarti Mas nggak suka sama aku, ya?”

Respati membelalakan matanya.

“Ya, nggak gitu juga. Pada dasarnya perempuan itu cantik. Dan untuk jatuh cinta, fisik nggak cukup menjadi pemikat. Banyak faktor dan yang namanya perasaan suka, sayang sama seseorang itu mengalir begitu saja.”

Lira terdiam. Pandangan matanya terfokus ke depan.

Respati melirik Lira sekilas lalu kembali memusatkan perhatiannya ke arah depan.

“Kalau nanti kita udah resmi menikah, Mas punya banyak kesempatan untuk nunjukin ke Neng, gimana sayangnya Mas sama Neng. Kalau sekarang masih ada batasan.”

Lira masih membisu. Ia mungkin tak pernah yakin pada laki-laki yang duduk di sebelahnya. Atau memang ia perlu waktu untuk mengenal lebih dekat sosok Respati. Dan hanya pernikahan yang menjadi satu-satunya jalan halal untuk membuat mereka lebih dekat.

"Neng perawan cantik ini memang punyanya Mas, tapi masih setengah karena belum halal. Kalau udah nikah, Neng perawan cantik bakal jadi milik Mas seutuhnya."

Lira seketika ingin tertawa, tapi ia menahannya.

"Emang, Neng perawan beneran punya Mas? Atau punya siapa?" Lira mencoba meledek.

"Sudah tak diragukan lagi, punya Mas Respati seorang." Respati menaikkan alisnya dan tersenyum melirik Lira sekilas.

Lira kembali terpaku dengan senyum yang mulai melebar.

“Aku nggak bisa janjiin macem-macem. Tapi satu hal yang harus kamu tahu. Aku tipe orang yang menghargai komitmen dan kesetiaan.”

Lira menatap Respati tajam. Begitu juga dengan Respati.

“Aku tahu sakitnya dikhianati, jadi aku tak akan melakukannya pada siapapun. Terlebih lagi pada seseorang yang nanti menjadi sebelah sayapku, belahan jiwa, dan pendamping hidup.”

Lira membeku. Ia akui, Respati terlihat begitu menawan dan berkharisma saat sedang serius begini.

“Ya, udah, kita berangkat ke rumah Paklik. Mereka pasti udah nunggu,” ucap Respati sembari tersenyum manis.

Mobil itu melaju. Sepanjang perjalanan, Lira lebih banyak diam. Namun ia tak bisa membantah, Respati memiliki pesona dengan caranya.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro