4. Melunak Sedikit
Sakha berjalan di sepanjang koridor dengan sesekali membalas sapaan dan senyum dari para mahasiswa yang berpapasan dengannya. Setiba di depan ruang kerjanya, ia melihat Lira sudah duduk di teras, menunggu kedatangannya. Gadis itu mengulas senyum dan mengangguk. Sakha tak membalas senyumnya.
"Saya mau langsung ke ruang D12, ada bimbingan mahasiswa yang mengikuti lomba karya ilmiah. Kalau saya sudah free, baru kamu ngadep saya lagi. Mungkin dua hari lagi," ujar Sakha datar.
Lira hanya mengangguk pelan dengan perasaan tercabik-cabik. Ia teringat akan keramahan sang dosen yang mengajaknya buka puasa di warung wedang ronde. Namun kini apa yang ditampilkan sang dosen begitu berbeda. Sakha berubah dingin dan sedikit jutek. Lira bertanya-tanya ada apa gerangan? Apa dia berbuat kesalahan? Lira menduga Respati yang membuat sikap Sakha menjadi dingin terhadapnya. Ia menebak-nebak, pasti Respati berkata pedas pada sang dosen.
Hati Lira teriris-iris. Ia sadar perasaannya tak akan pernah berbalas. Ia juga tahu, Sakha sudah menikah dan tak seharusnya ia jatuh cinta pada laki-laki beristri. Namun ia tak dapat mencegah rasa yang terlanjur melesak. Ia tak pernah berpikir untuk merebut Sakha dari istrinya. Ia hanya mampu memendam perasaannya. Diperlakukan seperti ini oleh Sakha telah menyakiti hatinya yang terdalam.
Lira berjalan lunglai menuju kostnya. Jarak antara kost dan kampusnya tidak begitu jauh. Ia cukup berjalan kaki.
Setiba di kost ia terkejut bukan kepalang saat matanya bertabrakan dengan seorang perempuan yang duduk termenung di kursi depan teras kostnya. Ia mengernyitkan dahi. Siapa perempuan itu?
"Maaf, Mbak, Mbak mencari siapa?"
Wanita bernama Alea itu menyipit. Ia menelisik Lira dari ujung kepala hingga kaki.
"Saya ingin bertemu Lira."
"Saya Lira, ada apa ya, Mbak?"
Alea beranjak dan menatap gadis itu lebih tajam. Gadis berjilbab di depannya ini terlihat cantik dengan proporsi tubuh yang ideal, tidak pendek, juga tidak begitu tinggi. Tidak kurus, juga tidak gemuk. Ia mengenakan atasan yang panjangnya selutut, celana jeans, kerudung segi empat yang menjuntai hingga menutup dada, sepatu kets, juga tas ransel ukuran sedang yang bertengger di pundaknya. Gadis yang terlihat polos tapi berani mendekati suaminya dengan aktif mengirim pesan whatsapp.
"Jadi kamu yang namanya Lira. Saya Alea, istri dari Pak Sakha, dosen pembimbing kamu."
Lira terbelalak. Ia kaget dan di benaknya berseliweran segala prasangka kenapa Alea menemuinya di kost. Apa dia tahu tentang acara buka bersamanya dengan Sakha? Apa dia marah? Ia sedikit gelagapan menghadapi sikap dingin Alea dan wajahnya yang terlihat jutek seperti menahan amarah.
Wanita itu begitu cantik dengan jilbabnya. Lira merasa minder. Ia merasa bukan apa-apa jika disandingkan dengan Alea.
Alea berusaha menetralisir deru emosi yang terus berkecamuk. Sejujurnya, ia ingin memberi pelajaran pada gadis itu. Kalau perlu ia jambak rambut yang tertutup kerudung itu. Sungguh ia begitu marah dan kecewa. Namun ia tak mau gegabah.
"Ada apa ya, Mbak?" Lira menundukkan wajahnya, tak berani menatap Alea yang memandanginya dengan tatapan menghunjam.
"Saya ingin bicara antar perempuan. Saya yakin kamu punya hati dan perasaan. Jadi tolong dengarkan saya kali ini dan turuti kemauan saya." Kata-kata Alea meluncur tegas.
Lira membisu sesaat. Sungguh ia salah tingkah di depan Alea.
"Lebih baik kita bicara sambil duduk," tukas Lira.
Alea mencoba menahan gejolak amarahnya. Dia duduk di kursi yang tadi ia duduki. Lira duduk di kursi satunya. Ada meja kecil yang membentang di antara dua kursi itu.
"Langsung saja, saya tidak suka kamu curhat hal pribadi pada suami saya. Apalagi kamu juga sempat buka puasa bersama suami saya. Tolong, posisikan diri kamu ada di posisi saya. Wajar jika saya cemburu. Wajar jika saya nggak suka." Alea menatap Lira begitu menghunus, menusuk hingga ke ujung hati.
"Sepertinya Mbak salah paham. Saya tidak pernah berniat macam-macam. Saya dan Pak Sakha tidak ada hubungan apa pun. Saya memang curhat sama Pak Sakha, tapi saya sebatas ingin meminta pendapat saja. Selama ini, saran dari Pak Sakha sangat membantu saya. Waktu buka puasa itu karena awalnya saya nunggu hujan reda. Pak Sakha melihat saya di pinggir jalan dan menawarkan diri untuk mengantar saya. Di tengah jalan udah mau Maghrib, jadi buka puasa di wedang ronde." Lira sesekali menatap Alea yang memasang tampang juteknya.
Semua penjelasan Lira tak berarti apa-apa bagi Alea. Baginya apa yang dilakukan Lira dan suaminya adalah kesalahan. Di matanya Lira tetaplah perempuan tak tahu diri yang memanfaatkan keramahan suaminya untuk curhat segala macam.
"Maaf, saya tidak bisa menerima alibimu. Bagi saya, kamu tetap salah. Harusnya kamu lebih menjaga diri untuk tidak curhat pada laki-laki non mahram, apalagi sudah beristri. Hal ini sangat rentan. Sekalipun dia adalah dosen kamu, dia tetaplah non mahram. Apalagi suami saya masih muda. Sebagai istrinya saya keberatan dengan apa yang kamu lakukan. Pada dasarnya, seorang perempuan selalu menginginkan laki-lakinya hanya untuk dirinya. Ia tak bisa menerima jika ada perempuan lain yang dekat dengannya termasuk mendengar semua curhatan pribadi perempuan lain."
Lira terdiam. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Jauh di lubuk hatinya ia sama sekali tak berniat merebut Sakha dari Alea. Ia terlanjur nyaman berbagi kisahnya dengan Sakha. Namun kini, ia harus menjaga sikapnya. Ia tak ingin menjadi duri di rumah tangga dosen pembimbingnya. Ia tak mau Alea terus-menerus salah paham padanya.
"Saya minta maaf. Saya nggak akan curhat lagi sama Pak Sakha. Saya juga sama sekali nggak berniat merebut Pak Sakha dari Mbak. Saya sadar diri, saya ini siapa. Saya nggak ada apa-apanya dibandingkan Mbak Alea. Pak Sakha juga tak akan berpaling dari Mbak Alea. Dia tak pernah macam-macam sama saya. Apa yang dia lakukan hanya sebatas dosen pembimbing saja." Lira sesekali menundukkan wajahnya.
"Bagus jika kamu menyadari. Saya tidak mau lagi mendapati curhatan pribadi kamu di whatsapp suami saya. Saya tidak ingin dengar lagi kamu pergi berdua sama suami saya."
Tiba-tiba ojek online berhenti di depan pintu gerbang kost Lira. Baik Lira maupun Alea menoleh seseorang yang turun dari ojek dan berjalan memasuki pintu gerbang.
Lira terkesiap. Respati datang tanpa memberi kabar. Ia menduga Respati tahu alamat kostnya dari ibunya. Namun kedatangan Respati dirasa tepat oleh Lira. Lira memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Ia berjalan menghambur ke arah sang duda dan berpura-pura senang atas kedatangannya.
"Mas, kok nggak bilang-bilang mau ke sini. Aku kangen banget sama kamu," tukas Lira yang dengan terpaksa berpura-pura mesra di depan Alea untuk meredam kemarahan Alea.
Respati mengernyitkan alis. Tumben gadis galak ini bersikap manja padanya bahkan mengatakan kangen. Pasti ada yang tak beres. Saat tatapannya beralih pada wanita cantik yang mematung menyaksikan mereka, Respati mulai paham, Lira berpura-pura bersikap baik padanya.
"Aku juga kangen banget sama kamu." Respati menggandeng tangan Lira, membuat Lira memendam kesal di dalam.
Bibir Lira terus tersenyum meski hatinya empet tak karuan karena sang duda mencari kesempatan dengan menggandeng tangannya.
Alea menatap Lira dan Respati bergantian. Dia menduga kalau Respati inilah calon suami Lira yang semalam mengajak Sakha ketemuan.
"Mbak Alea, ini Mas Respati calon suami saya." Lira menatap Alea dengan lebih percaya diri.
Respati menoleh Lira dengan pandangan bertanya, siapa wanita itu?
"Mas, ini Mbak Alea, istri Pak Sakha."
Respati mengangguk dan mengulas senyum. Ia bertanya-tanya apa Alea datang ke kost Lira karena kecewa dengan kedekatan Lira dan Sakha?
Alea mengangguk dan tersenyum tipis.
"Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum," Alea mengambil tas jinjing yang ia letakkan di meja.
"Wa'alaikumussalam," jawab Respati dan Lira bersamaan.
Setelah Alea berlalu dari hadapan mereka, Lira menyentakkan tangannya hingga terlepas dari genggaman Respati.
"Apaan sih, Mas, pegang-pegang!" Lira menajamkan matanya. Ditatapnya sang duda dengan tatapan tak suka.
"Katanya tadi kangen?" Respati menaikkan alisnya.
"Orang cuma pura-pura juga!" Lira bersedekap lalu membuang muka.
"Ya biar pura-puranya semakin meyakinkan," balas Respati santai.
Lira tak menanggapi.
"Tadi istri Pak Sakha bilang apa aja? Pasti dia mempermasalahkan buka puasa bersama kamu dan Pak Sakha, kan?" Respati menatap Lira penuh selidik.
"Dia aja yang lebay. Padahal sudah aku bilang, aku nggak ada apa-apa sama Pak Sakha," ketus Lira.
"Astaghfirullah. Kamu belum ngerti juga, Ra? Kamu punya perasaan apa nggak? Kamu sama-sama perempuan, apa nggak bisa berempati? Bayangkan jika kamu ada di posisi Alea."
Lira menatap Respati masih dengan tampang cemberutnya.
"Aku udah bilang, Mas, aku nggak akan macam-macam atau merebut Pak Sakha. Aku nggak akan curhat-curhat lagi sama dia. Aku nggak akan pergi berdua sama dia. Aku juga tahu diri. Aku nggak akan pernah merusak rumah tangga orang lain!" kata-kata itu meluncur begitu tegas.
Respati menghela napas sejenak.
"Okay, aku pegang kata-kata kamu."
Lira menyadari, duda tengil satu ini mulai menggunakan kata "aku", bukan "saya".
"Aku kasih tahu sesuatu. Kamu mungkin belum pernah mengalami. Pacaran aja belum pernah. Curhat hal pribadi ke non mahram yang sudah menikah, lebih baik dihindari. Ini akan membuka celah. Aku yakin, dosenmu itu nggak jujur sama istrinya, menutupi kedekatan kalian, makanya istrinya marah dan bahkan sampai menemuimu di kost. Kamu harus bersyukur karena semua ini nggak berlanjut. Kalau terus berlanjut, bukan tidak mungkin hubungan dosen-mahasiswi bisa berkembang ke yang lebih personal. Pernikahan itu sebuah komitmen, nggak bisa sembarangan bersikap termasuk memberi perhatian pada lawan jenis bukan mahram."
Lira terdiam lalu menatap Respati lebih tajam dari sebelumnya.
"Teori Mas Respati tentang pernikahan itu bagus, tapi kenapa rumah tangga Mas Respati justru berantakan? Kalau belum bisa membenahi hidup sendiri kenapa harus berceramah ini itu di depanku?"
Seketika senyum di wajah Respati memudar, berganti dengan keterkejutan bahwa gadis angkuh di depannya ini berani berkata pedas yang telah menyinggung perasaannya.
"Tahu apa kamu tentang rumah tanggaku sebelum bercerai, Ra? Kamu bahkan nggak tahu alasanku berpisah dengan mantan istriku? Seenaknya kamu menghakimiku nggak bisa membenahi hidupku? Empat tahun aku tertatih membenahi semuanya. Empat tahun aku berjuang membesarkan anak-anak, terutama Bima, dan aku selalu kelimpungan mencari alasan yang tepat kenapa ibu mereka jarang mengunjungi mereka tanpa menjelekkan ibu mereka. Empat tahun aku tutupi penyebab perceraianku dari siapa pun, termasuk orang tuaku demi menjaga nama baik, aku nggak mau menyebar aib. Sampai akhirnya orang-orang tahu dengan sendirinya. Tahu dari fakta yang mereka lihat sendiri."
Lira tertegun. Baru kali ini ia melihat Respati bicara sedemikian serius dengan pancaran wajah mendungnya. Tiba-tiba ada setitik rasa bersalah menyelinap.
"Aku bisa bicara ini itu, karena aku pernah mengalaminya. Kamu mungkin nggak tahu seberapa sakit dikhianati oleh orang yang kita percaya, orang yang kita cintai, dan bahkan seseorang yang kita harapkan akan menghabiskan masa senja bersama. Kamu mana ngerti. Apa kamu harus mengalami dulu baru kamu bisa berempati dan menghargai perasaan orang lain? Silakan kamu membenciku, tapi jangan pernah menghakimiku. Sekian tahun aku belajar berdamai dengan masa lalu. Jangan lagi kamu tambah dengan tuduhan tak berdasar." Tatapan Respati begitu menghunjam. Nada bicaranya sedikit tercekat.
Lira termangu. Ia bisa melihat luka yang begitu mendalam di mata Respati.
"Aku permisi, dulu. Assalamu'alaikum." Respati berbalik tanpa menoleh lagi.
"Wa'alaikumussalam."
Lira hanya terpekur menatap langkah Respati yang menjauh. Ingin ia mengejarnya tapi masih terbelenggu gengsi. Mendadak hatinya bergerimis. Ia merasa bersalah telah menyakiti perasaan Respati.
******
Malamnya Lira tak jua bisa memejamkan mata. Ia teringat akan percakapannya dengan Respati tadi siang. Rasa bersalah masih bercokol di hatinya. Ia juga memikirkan bagaimana perasaan Alea. Barusan ia membaca novel tentang pengkhianatan suami pada istrinya. Ia belajar banyak dari novel itu. Kini ia memahami, apa yang dikatakan Respati memang benar adanya.
Rasa bersalah itu kian menyergap dan mengimpit dadanya. Semua terasa sesak. Bayangan wajah sendu Respati yang menahan luka telah mengacaukan pikirannya.
Ia melirik ponsel yang tergeletak di atas kasur. Ia ambil ponsel itu dan memberanikan diri mengirim pesan whatsapp pada Respati.
Mas, aku minta maaf untuk tadi siang. Maaf kalau udah nyinggung perasaan Mas.
Tidak ada balasan berarti. Lira mengirim pesan lagi.
Mas, kenapa nggak balas? Apa Mas nggak bisa maafin aku?
Masih saja sepi. Lira kini paham akan sifat Respati yang kadang enggan membalas pesan.
Mas, aku benar-benar minta maaf. Terserah Mas mau maafin aku apa nggak.
Selang tiga menit kemudian, datang balasan dari Respati.
Okay, aku akan memaafkanmu. Tapi aku minta satu hal.
Lira mengernyitkan dahi. Perasaannya mulai tak enak.
Minta apa?
Respati membalas.
Besok temani aku ke rumah Paklik dan Bulik. Aku ingin ngenalin kamu ke mereka. Dan aku mohon bersikaplah sewajarnya wanita.
Lira menggeleng pelan. Ia mengetik balasan kembali.
Lira: Mas pikir aku wanita jadi-jadian!
Respati: Sudah aku bilang, aku akan mengetahuinya nanti setelah kita menikah, di ranjang!
Lira: Dasar mesum kuadrat! Nggak ilang-ilang mesumnya.
Respati: Ilangnya nanti, setelah kita menikah.
Lira: Bukannya kalau udah nikah, malah tambah mesum, ya?
Respati: Tambah mesum gimana?
Lira: Nggak... nggak... lupakan...!
Respati: Hayooo... jangan-jangan lagi mikirin yang iya-iya.
Lira: Ih, apaan sih?
Respati: Coba jawab, kenapa kalau nikah malah tambah mesum?
Lira: Ya, logika aja. Belum nikah aja, Mas udah mesum sama aku. Gimana kalau udah nikah?
Respati: Berarti kamu udah bayangin gimana nanti kalau kita menikah, ya? Artinya kamu udah siap nikah sama aku.
Lira: Ih, nggak... kalaupun nanti aku nikah sama Mas, itu untuk memenuhi keinginan orang tua.
Respati: Yakin cuma karena itu? Atau jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta sama aku.
Lira: Ih, nggak ah. Siapa juga yang jatuh cinta sama Mas.
Respati: Suatu saat kamu pasti jatuh cinta sama aku. Nggak cuma jatuh cinta tapi juga klepek-klepek.
Lira: Nggak akan! Jangan harap!
Respati: Yakin? Aku ini penuh pesona. Aku yakin aku bisa meluluhkanmu.
Lira: Buktikan saja!
Respati: Lihat saja nanti.
Lira Mas yang bakal klepek-klepek sama aku.
Respati: Itu memang iya. Mas akui itu. I love you neng perawan yang cantik membahana dengan pesona paripurna seperti awan yang menembus khatulistiwa.
Lira: Weleh, kurang panjang.
Respati: Kurang panjang? Punya Mas udah panjang, kok.
Lira: Ih, Mas mesum terus.
Respati: Lho mesum apanya? Emang punya Mas panjang, maksudnya kaki Mas panjang. Tinggi Mas kan 180an senti, makanya kakinya panjang.
Lira: Ngeles. Aku udah tahu karakter Mas.
Respati: Emang menurut Neng, yang panjang apanya?
Lira: Au, ah...
Respati: Ehm...
Lira: Apaan, sih.
Respati: Baru tadi siang ketemu kok masih kangen ya.
Lira: Gombalnya nggak ketulungan.
Respati: Mas kayak gini cuma ke Neng doang.
Lira: Ya, mana aku tahu. Di belakangku ngegombal sana sini kan aku nggak tahu.
Respati: Makanya cepat nikah, biar bisa memiliki Mas seutuhnya.
Lira: Nggak mau... nggak mau nikah sama Mas.
Respati: Yakin? Kalau Mas direbut orang ntar kamu nangis-nangis di pojokan.
Lira: Nggaklah, malah seneng.
Respati: Jangan gengsi. Gengsi nggak bikin kenyang. Yang ada bikin nyesel.
Lira: Udah ah, aku mau bobo.
Respati: Aku temenin ya.
Lira: Apaan, sih.
Respati Aku temenin di dalam mimpi.
Lira: Udah ah, assalamu'alaikum.
Respati: Wa'alaikumussalam neng perawan yang cantiknya kebangetan seperti kembang tujuh rupa berwarna-warni di taman.
Lira: Capcay deh...
Respati: Muachhhh...
Lira mendelik. Duda satu itu memang semakin menjadi. Namun tanpa alasan yang pasti, ia tersenyum membaca ulang percakapan itu.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro