Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Cemburu Menguras Hati

Respati merenung di balkon kamarnya. Tatapannya menerawang ke langit, tanpa ujung, tak bermuara di sudut mana pun. Hari pernikahan sudah ditentukan, setelah lebaran. Namun ada satu yang masih menggelayut manja di benak serta terus mengusiknya. Perasaan Lira. Ya, perasaan Lira. Ia tak tahu apakah Lira mencintainya atau tidak. Dari sikap Lira yang selalu ketus dan seakan membencinya, Respati tak yakin jika gadis itu memiliki perasaan padanya. Entah, seiring berjalannya waktu, mungkin perlahan kekerasan hati Lira akan mencair.

Empat tahun menduda dengan luka perceraian yang masih membekas itu tak mudah untuk dilalui. Mantan istrinya yang sibuk berbisnis, sering abai dengan keluarga, pada akhirnya melabuhkan hatinya pada laki-laki yang ia pikir lebih bisa memahami dirinya dibanding suaminya sendiri.

Luka itu masih sedemikian perih apalagi jika teringat perjalanan cintanya dan mantan istri yang berliku. Awalnya orang tua sang mantan istri tidak menyetujui hubungan mereka karena waktu itu Respati masihlah seorang mahasiswa sekaligus guru honorer di salah satu SMA. Mereka tak yakin Respati mampu mencukupi kebutuhan putri mereka yang masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Dengan segala perjuangan dan air mata, keduanya berhasil meyakinkan orang tua untuk memberikan restu. 

Respati yang bekerja sampingan menjadi guru les privat mengambil keputusan krusial untuk lebih fokus pada satu tempat bimbingan belajar yang ia buka sendiri dengan menyewa salah satu ruko. Semakin berjalannya waktu, usaha bimbingan belajarnya semakin berkembang hingga membuka cabang di berbagai kota di Indonesia. Sayangnya kesuksesan usahanya ini tak berbanding lurus dengan keharmonisan rumah tangganya. Sang mantan istri yang sedang getol-getolnya berbisnis produk kecantikan dan sudah mendirikan beberapa outlet, menggugat cerai dengan alasan bosan karena hampir setiap hari bertengkar. Ia merasa Respati tak mendukungnya dalam berbisnis dan tak memahami apa yang ia inginkan. Bagaimana tidak bertengkar, jika sang mantan istri kerap pulang malam, menyerahkan segala urusan rumah pada asisten rumah tangga, bahkan dua anaknya pun tidak pernah ia perhatikan. Dia juga enggan disentuh Respati. Ia kerap menolak jika sang suami meminta haknya. Yang membuat luka di hati Respati bertambah pedih adalah saat ia tahu bahwa ternyata sang mantan istri sudah memiliki pria idaman lain jauh sebelum mereka bercerai. 

Perceraian itu terjadi kala Bima masih berumur satu tahun. Hak asuh jatuh pada Respati. Saat Bima berusia delapan belas bulan, Respati merasakan ada yang berbeda dari anak keduanya. Perkembangan motoriknya mengalami regresi, kemampuan bicara menurun, beberapa kosakata yang sebelumnya bisa diucapkan seolah menguap entah kemana, dan yang paling menonjol adalah tak ada respons ketika namanya dipanggil. Tak ada eye contact saat diajak bicara. Setelah melalui beberapa pemeriksaan, Bima didiagnosis ASD (Autism Spectrum Disorder). Hatinya hancur. Bahkan ia masih menyangkal bahwa anaknya mengidap ASD. Seminggu pasca diagnosis itu terlontar, ia masih berada pada fase denial. Ia menganggap anaknya normal, seperti anak lainnya. Hingga akhirnya ia sadar bahwa autisme bukan sesuatu yang buruk, bukan satu hal yang harus ditolak apalagi dikucilkan, bukan hukuman, bukan juga aib. 

Dia pernah membaca curahan hati seorang ayah tentang anaknya yang mengidap ASD di salah satu majalah.

Aku ayah dari anak laki-laki berusia enam tahun. Anakku adalah anak ASD (Autism Spectrum Disorder). Orang mendadak menjadi penilai yang tahu segalanya. Mereka menyebut autisme pada anak kami adalah buah dari dosa kami di masa lampau. Atau mereka menuduh istriku tak bisa menjaga kehamilan selama mengandung putra kami. 

Mereka sebut autisme pada anak kami adalah kemalangan, suatu masalah. Anak kami dicap merepotkan, tapi bagi kami dia adalah anugerah. Mereka hanya tak tahu, darinya kami belajar banyak hal. Dunia yang sebelumnya sempit di mata kami, kini menjadi lebih luas karena membesarkannya telah berikan pelajaran dan pengalaman berharga yang bahkan tak bisa dinilai dengan apa pun.

Anak kami memang berbeda... Dia unik dan istimewa dengan caranya. Anak kami berbeda... Tapi dia memiliki hak yang sama untuk dicintai.

Jika menjadi berbeda dikatakan tidak normal, jika memiliki kemampuan terbatas dalam berbicara dianggap tidak normal, jika terlahir membawa suatu gen yang kita sendiri tidak punya kuasa untuk mengaturnya disebut tidak normal, jika sering kali flapping mengepakkan tangan untuk menyamankan diri sendiri dibilang tidak normal, lalu seperti apakah bentuk kenormalan yang seharusnya ada? Apa dengan tidak bisa menerima segala sesuatu yang kita anggap beda dan jauh dari jangkauan pemikiran kita sudah bisa menyebut diri kita normal?

Cobalah merenungi perasaan anak-anak autis yang mungkin jika mereka bisa berbicara lancar, mereka akan mengatakan :

"Aku seorang anak. Autisme yang ada padaku hanyalah bagian dari diriku, bukan keseluruhan dariku.”

"Cahaya, suara, sentuhan, aroma, rasa makanan yang mungkin menurut kalian biasa saja, bahkan luput dari perhatian kalian, bisa menjadi sesuatu yang menyakitkan untukku. Kadang otakku tak bisa memfilter untuk semua input yang masuk, aku dalam keadaan "overload", dan ini membuatku meraung, berteriak, menjerit, menangis, meltdown ini membuat kalian kewalahan. Aku juga tak suka tantrum, meltdown, agresif menyakiti diri, atau menyerang kalian, tapi sungguh aku juga tak tahu caranya menyampaikan keinginanku."

"I just want you to try to focus on what I can do rather than what I can't do."

"And the last, please love me unconditionally."

Wajahnya seketika bergerimis membaca tulisan itu. Ia berjanji untuk menerima Bima apapun keadaannya, mencintainya tanpa syarat.

Bima tetap istimewa apa pun kondisinya. Tak peduli sang mantan istri hanya bisa marah-marah dan menyalahkannya, menilainya tak becus mengurus anak hingga anaknya menderita autis, ia tetap optimis mampu membesarkan anak-anaknya seorang diri. Ia tak butuh simpati dari mantan istrinya sekalipun untuk turut memikirkan upaya terbaik apa yang akan mereka tempuh terkait dengan autisme yang diidap Bima. Nyatanya sang mantan istri tetap kurang memperhatikan anak-anaknya, tetap abai pada kesehatan dan perkembangan Bima. Ia justru semakin sibuk berbisnis dan bahkan rencana pernikahannya dengan laki-laki selingkuhannya saat masih menjadi istri Respati pun gagal. 

Respati melakukan segala yang terbaik yang mampu ia lakukan untuk kedua anaknya. Laki-laki itu meminta bantuan terapis terbaik untuk rutin menerapi Bima. Anak itu juga menjalani beberapa terapi biomedik yang direkomendasikan dokter. Setiap enam bulan sekali, Bima menjalani test kadar logam dalam tubuhnya. Dalam tubuh anak autis, mekanisme pembuangan logam berat tidak sempurna. Logam yang menumpuk ini dapat merusak sistem saraf dan pencernaan. Karena itu setiap enam bulan sekali, Bima harus diperiksa kandungan logamnya melalui sampel darah atau rambut. Untuk mengeluarkan logam berat dalam tubuh, Bima pernah menjalani terapi khelasi baik oral maupun infus. Hanya saja berdasarkan pengalaman, terapi khelasi oral ternyata meningkatkan kadar jamur di pencernaan Bima, karena itu terapi ini dihentikan. Bima tetap menjalani terapi khelasi infus selama sepuluh kali hingga kadar timbal dan merkurinya turun. 

Banyak yang memuji Respati sebagai ayah terbaik dan bertanggung jawab pada kedua anaknya. Respati berusaha menjadi ayah terbaik untuk Rain dan Bima bukan untuk mendapat pujian apalagi membentuk citra yang baik di mata publik. Ia sadar benar, kedua anaknya adalah amanah yang harus dijaga. Ia juga sadar, perceraiannya dan sang mantan telah menorehkan luka di hati kedua anaknya terutama Rain. Ia ingin menetralkan luka itu dengan kasih sayang yang tulus dan perhatian ekstra yang tidak bisa diberikan ibu mereka.

Tak sedikit pula yang meledek Respati untuk mencari pendamping. Sebelumnya orang tuanya pernah menjodohkannya dengan anak sahabat mereka. Namun perjodohan itu gagal karena sang perempuan tak yakin mampu menjadi ibu yang baik untuk anak berkebutuhan khusus seperti Bima. Banyak perempuan yang mengejarnya, tapi setelah tahu Respati memiliki anak ASD, mereka mundur teratur. 

Respati tak ambil pusing. Ia tetap banyak tersenyum, menjaga hubungan baik dengan sesama, selalu terlihat bersemangat seolah tak punya duka. Bahkan ia tak keberatan kala teman dan tetangganya terbiasa memanggilnya “Mas Duda”. 

Respati pernah berpikir untuk tak memikirkan pernikahan lagi karena ia tak yakin ada seseorang yang tulus mau menerima kondisi Bima. Hingga akhirnya, ia bertemu Lira, anak dari sahabat kedua orang tuanya. 

Tanpa alasan yang jelas, Respati merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali berinteraksi dengan Lira, meski gadis itu tak pernah bersikap lembut padanya. Keras kepalanya seorang Lira, kejutekan gadis berjilbab itu, serta kepolosannya membuatnya mau membuka hati. Ia sadar, mungkin ia telah jatuh cinta pada gadis galak itu.

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ada panggilan telepon dari ibu Lira. Respati mengernyit, ada gerangan apa, sang calon ibu mertua memintanya datang ke rumahnya?

******

"Nak Respati, saya menemukan diary Lira di lemari kamar. Saya mengkhawatirkan Lira. Dia telah jatuh cinta pada dosen pembimbingnya, laki-laki beristri."

Respati terperanjat mendengarnya. Jadi ini penyebab gadis itu sulit membuka hati untuknya?

"Nak Respati katanya mau ke Purwokerto, mau ke rumah Paklik, ya? Nah, saya ingin minta tolong. Ini jika Nak Respati berkenaan. Tolong, bicarakan sama Pak Sakha, dosen pembimbing Lira untuk menasihati Lira agar fokus sama skripsinya dan sebaiknya Pak Dosen tidak perlu memberikan perhatian lebih pada Lira. Setelah membaca diary-nya, sepertinya Lira salah paham dan mengartikan lain perhatian dosennya ini."

Tentu Respati tak enak hati untuk menolak. Pria itu mengangguk pelan.

"Insya Allah, Bu. Nanti saya akan menghubungi dosen pembimbing Lira."

"Terima kasih, ya, Nak. Saya masih belum pulih benar jadi nggak bisa ke Purwokerto. Saya khawatir sama Lira. Saya nggak mau dia jadi perusak rumah tangga orang. Saya sebenarnya sudah curiga kalau Lira memendam perasaan pada Pak Sakha. Saya sering mengingatkan untuk tidak terlalu mengagumi dosen pembimbingnya yang sudah menikah. Lira sering bercerita tentang Pak Sakha. Lira nggak pernah menggubris nasihat saya. Sifatnya begitu keras. Kalau nanti Nak Respati mau menegur atau menasihati, saya akan berterima kasih. Mungkin kata-kata Mas Respati akan lebih didengarkan," lanjut Maryam panjang lebar.

"Baik, Bu. Nanti saya akan bicara sama Lira."

Maryam tersenyum lega. Ia tahu, almarhum suaminya tak salah menitipkan Lira pada Respati.

******

Ada rasa sakit yang menjalar setiap membaca deretan kata yang tertuang di diary Lira. Seperti apa Sakha? Kenapa Lira begitu menggilainya? Sungguh ia penasaran. Ia cemburu, hatinya terbakar, dan ia tak sabar untuk membicarakan hal ini dengan Lira.

Respati mencoba menelepon Lira tapi gadis itu tak mengangkatnya. Di panggilan ke lima barulah Lira mau mengangkat.

"Ngapain sih telepon? Ganggu banget!" suara Lira terdengar ketus.

Respati mengelus dada. Kalau tak cinta, tentu sudah dia tinggalkan gadis angkuh bernama Lira itu.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh neng perawan yang cantik jelita seperti bulan purnama di ujung mega kelam tak berbintang."

Lira yang sedang berada di tempat nun jauh semakin enek mendengarnya.

"Wa'alaikumussalam," balas Lira masih dengan nada yang ketus.

"Jawab salam kok ketus? Boleh nggak suka sama yang ngasih salam, tapi adab jawab salam juga harus diperhatikan."

"Nggak usah banyak omong, deh..."

Respati tetap berusaha tenang dan sabar.

"Neng sayang, Mas ingin tanya sesuatu. Tolong dijawab, ya."

"Nang neng nang neng... apaan ih..."

Kejutekan masih mendominasi nada bicara Lira.

"Sesekali yang lembut dong, jangan marah-marah terus. Aku mau minta nomor Sakha, dosen pembimbingmu."

"Ngapain sih Mas nanya-nanya nomor Pak Sakha?"

Nada bicara Lira semakin sewot.

"Saya mau bicara sama dia."

"Bicara apa?"

"Saya udah tahu semuanya. Saya tahu bagaimana perasaanmu ke Pak Sakha. Saya tahu kamu suka curhat sama dia. Kalau boleh kasih saran, sebaiknya kamu nggak lagi curhat ke dia. Ingat, dosenmu ini sudah menikah. Hargai perasaan istrinya. Apa kamu mau disebut pelakor? Kalau kamu mau curhat, saya siap kok menampung. Apa sih yang nggak buat kamu? Masih banyak laki-laki single, tapi yang paket komplit cuma Respati Narendra."

"Emang salah saya curhat sama Pak Sakha? Cuma Pak Sakha yang bisa memahami saya. Saya memang menyukainya. Bahkan kemarin Pak Sakha ngajak saya buka puasa di wedang ronde. Kami minum wedang ronde dan makan pisang goreng."

Respati beristighfar.

"Lira, tolong berhenti sebelum nanti berkelanjutan. Nggak baik dekat-dekat dengan laki-laki beristri. Kamu sendiri nanti yang sakit. Sebentar lagi kita akan menikah. Aku mohon, tata hati kamu. Lupakan Pak Sakha, jangan biarkan nama dia semakin kuat menguasai hatimu. Coba posisikan diri kamu ada di posisi istri Pak Sakha. Jangan jadi orang yang mati rasa dan egois."

"Mas, kami nggak punya hubungan apa pun. Saya cuma mendam perasaan, nggak macem-macem, apa itu salah? Saya tahu kok dia sudah menikah. Saya juga nggak berniat merebut Pak Sakha dari istrinya."

"Tetap salah, Lira. Kamu curhat sama suami orang itu salah besar. Meski nggak terselip niat apa pun, berawal dari curhat bisa menjalar ke mana-mana. Biasanya kenyamanan dimulai dari curhat-curhat kayak gini. Apalagi kamu punya perasaan sama Pak Sakha."

"Saya udah bilang, Mas, saya nggak akan merebut Pak Sakha. Saya tahu diri, kok. Saya nggak menyakiti perempuan lain. Saya hanya menyukai Mas Sakha dan saya sadar perasaan saya nggak akan pernah berbalas."

Respati menghela napas. 

"Kenapa kamu begitu keras kepala. Saya minta jangan lagi curhat hal pribadi pada Pak Sakha!"

"Mas punya hak apa melarang saya?"

"Tentu saya punya hak! Saya calon suamimu. Kalau kamu nggak mau nurut, saya akan memajukan tanggal pernikahan dan menikahimu secepatnya!" kata-kata Respati meluncur tegas. 

Lira tercekat. Bahkan ia tak tahu harus membalas apa. Baru kali ini ia mendengar suara Respati yang menggelegar.

Respati tak kehabisan akal. Ia baru ingat jika sepupunya, anak dari Paklik dan Buliknya kuliah di universitas dan jurusan yang sama dengan Lira, dan bisa saja sekelas karena satu angkatan. Ia menghubungi saudara sepupunya dan ia membulatkan tekadnya untuk menemui Sakha.

******

Respati duduk di lobi hotel menunggu kedatangan dosen pembimbing Lira. Sebenarnya ia masih merasa sedikit lelah. Siang tadi dia baru tiba di hotel dan malam ini langsung mengajak Sakha ketemuan. 

Respati datang ke Purwokerto untuk urusan bisnis. Ia berencana untuk mendirikan cabang bimbingan belajar di Purwokerto. Selain itu dia hendak bersilaturahmi ke rumah Paklik Buliknya. Dan tentu saja ia penuhi keinginan calon ibu mertuanya untuk menemui Sakha. 

Pria 38 tahun itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya tertuju pada seorang pria berkemeja warna biru muda yang melangkah penuh percaya diri. Respati sudah bisa menebak bahwa pria itu adalah Sakha, sesuai dengan yang diceritakan Sakha dalam whatsapp-nya bahwa ia akan mengenakan kemeja warna biru muda. Sakha sendiri dapat langsung mengenali Respati yang mengenakan kemeja abu-abu.

Keduanya berjabat tangan layaknya teman lama yang sudah lama tak bersua. Respati langsung mengajak Sakha berjalan menuju restoran hotel.

Atmosfer mendadak kaku. Dua laki-laki janjian makan malam dan keduanya belum mengenal satu sama lain. Mereka memesan beef steak untuk menu makan malam dadakan ini.

"Terima kasih Pak Sakha sudah mau memenuhi undangan saya. Langsung saja, Pak, saya mengundang Bapak memang ada sesuatu yang ingin saya bicarakan."

Sakha mengamati sang calon suami mahasiswi bimbingannya ini penuh tanda tanya. Satu yang ia tangkap, laki-laki ini tidak semenakutkan apa yang dibicarakan Lira. Tampangnya memang gahar dengan brewoknya, tapi dia tampak gagah dan berwibawa, mengingatkannya pada sosok ayahnya semasa muda. Sakha kerap melihat album foto lama saat kecil dulu.

"Begini, Pak, orang tua saya dan Ibu Lira sepakat untuk menjodohkan kami. Kalau semuanya lancar, insya Allah kami menikah setelah Lebaran. Namun ada sesuatu yang mengganjal. Saya tidak pernah merasakan Lira cinta sama saya. Sebenarnya saya tidak memaksanya, tapi saat saya tanya apa keputusannya, apa dia menerima lamaran saya, dia diam saja. Saya artikan dia menerima. Dan setelah itu, ibu Lira menghubungi saya, meminta saya ke rumahnya. Ternyata ibu Lira menemukan diary Lira yang tertinggal. Dalam diary itu, dia banyak sekali menuliskan nama Anda. Ibu Lira meminta tolong saya untuk bicara dengan Anda dan menasihati Lira sebagai dosen pembimbingnya agar dia fokus pada skripsinya dan juga tidak lagi memberikan perhatian lebih pada Lira, karena Anda sudah beristri." 

Respati mengembuskan napas sejenak. Ia sebenarnya tak enak hati mengutarakan semua. Ia takut menyinggung perasaan Sakha. Hanya saja ia rasa, ia harus mengungkapkan semua yang mengganjal di hatinya. Ibu Lira belum bisa bepergian jauh karena masih harus benar-benar memulihkan kondisinya pasca sakit. Sedang jika berbicara lewat telepon, rasa-rasanya kurang sopan.

Sakha mengernyit, "Perhatian berlebih? Saya hanya ingin memberikan semangat untuk Lira. Saya harap Anda tidak salah paham."

"Saya berusaha untuk tidak salah paham. Sampai akhirnya waktu saya menelepon dia dan menanyakan nomor telepon anda, dia marah-marah. Dia bilang, hanya Pak Sakha yang bisa memahaminya dan memberikan semangat. Ia bercerita kemarin Bapak bahkan mengajaknya buka puasa, minum wedang ronde dan makan pisang goreng. Mungkin niat Bapak hanya untuk menyenangkannya, memberikan support. Tapi Lira mengartikan lain. Dia bilang, dia menyukai Bapak. Maaf saya lancang mencari tahu nomor Bapak dari salah satu teman Lira. Saya mengenal salah satu temannya."

Respati berusaha untuk tetap tenang meski ada kecemburuan yang tiba-tiba datang. Dosen pembimbing calon istrinya ini masih muda, tampan, dan berkarisma. Tak heran jika Lira jatuh cinta padanya.

Sakha terdiam sejenak. Ia tak menyangka, support, semangat, dan perhatian yang ia berikan untuk Lira yang kehilangan semangat mengerjakan skripsi telah diartikan lain oleh Lira.

"Maaf, Pak, saya sebenarnya nggak punya niat macam-macam. Saya tak menyangka apa yang saya lakukan diartikan lain oleh Lira. Saya tak pernah berpikir bahwa Lira akan jatuh cinta sama saya. Dia tahu saya sudah menikah. Ke depan, saya akan menjaga sikap saya untuk tidak lagi membuat Lira salah paham."

Respati mengurai senyum. Ia tak bisa serta merta menyalahkan Sakha, meski tetap saja pria di hadapannya ini seharusnya bisa lebih menjaga perasaan istrinya dengan tidak melayani curhat perempuan non mahram bahkan memberinya perhatian.

"Tidak apa, Pak. Saya juga minta maaf jika saya lancang mengatakan hal ini. Saya percaya Bapak tidak berniat buruk. Hanya saja, perempuan itu mudah baper. Maafkan saya kalau saya lancang. Saya sudah pasti lebih berpengalaman berumah tangga dibanding Bapak. Bapak masih muda dan mungkin belum lama menikah, ya?"

Sakha mengangguk.

"Dari pengalaman yang saya jalani, namanya perempuan itu memang mudah baper. Bapak coba bayangkan saja jika istri Bapak diberi perhatian oleh laki-laki lain dan sampai membuat istri Bapak baper, Bapak pasti akan cemburu. Itu yang dirasakan saya saat ini meski kami belum resmi menikah. Dan di pernikahan saya sebelumnya, saya dihadapkan pada masalah seperti ini. Bukan saya yang baperin perempuan lain, tapi istri saya yang dibaperin laki-laki lain yang juga sudah beristri. Maaf saya malah jadi bercerita. Saya hanya berbagi pengalaman saja. Ketika kita sudah menikah, mata dan hati kita memang sudah selayaknya ditutup agar tidak ada celah masuk. Bukan yang tertutup gimana, tapi maksudnya tahan diri untuk tidak dekat dengan perempuan lain, untuk tidak memberikan ruang bagi perempuan lain curhat sama kita. Karena berawal dari curhat bisa melebar ke mana-mana."

Sakha bisa memahami maksud perkataan Respati. Ia akui, ia masih harus banyak belajar. Setelah tahu Lira memendam perasaan padanya, tentu dia akan lebih menjaga diri dan kalau perlu tak lagi memberikan perhatian apa pun pada mahasiswi bimbingannya ini meski tak terselip niat untuk membuat baper.

"Terima kasih untuk ilmunya, Pak. Saya memang masih harus belajar lagi. Terima kasih sudah diingatkan. Sebenarnya saya sering meminta Lira untuk memberikan kesempatan pada Bapak. Mudah-mudahan Lira sepenuhnya mau memberikan hatinya untuk Bapak. Saya juga berharap pernikahan kalian nanti berjalan lancar."

"Aamiin, terima kasih banyak, Pak," balas Respati dengan senyum khasnya.

******

Respati merebahkan badannya di ranjang kamar hotel. Lega rasanya telah memenuhi amanah dari calon ibu mertuanya untuk bicara dengan Sakha. Ia mengirim pesan whatsapp untuk Lira.

Saya barusan bertemu dengan dosen pembimbingmu. Kamu kangen nggak sama saya? Kalau kangen kita ketemuan, ya. Saya kenalkan ke Paklik dan Bulik saya. Biar Paklik dan Bulik tahu bahwa calon istri saya kuliah di Purwokerto dan ternyata kamu sekelas sama anak Paklikku.

Tak lama kemudian, Lira membalas pesan Respati.

Mas ini nekat banget ya. Mas ngomong apa aja sama Pak Sakha?

Respati tak membalas. Lira membalas lagi.

Mas... Mas ngomong apa aja?

Respati tetap tak membalas.

Lira semakin kesal.

Maaassssssss...

Mas Respati balas!!!

Massss Resss... Mas Patiiii...!!!

Nyebelin banget jadi orang!!!

Dasar duda bangkotan!

Dasar duda mesum!

Duda nggak laku!

Duda tengil!

Duda narsis!

Duda ganjen!

Maaasssss

Respati membiarkan pesan-pesan itu agar Lira peka akan rasa sakitnya karena cemburu. Kecemburuan itu telah menguras hatinya.

Sesaat kemudian dering telepon terdengar begitu nyaring gaungnya. Respati tersenyum simpul kala membaca nama "Neng Perawan Lira" terpampang di layar. Ia memutuskan untuk tak mengangkatnya.

Lira menelepon berkali-kali tapi Respati tak jua mengangkat. Satu pesan whatsapp datang dari Lira.

DUDA GILA...!!!!

Dengan santai, Respati mengetik balasan.

Besok ketemuan ya. Kangen banget sama kamu. Jangan lupa dandan yang cantik.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro