Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. PROLOG

Gadis berjilbab itu merenung. Ia memikirkan permintaan sang ibu yang begitu sulit untuk ia turuti. Besok ia akan bertolak kembali ke Purwokerto, tempat di mana ia menimba ilmu. Sekarang ia tengah disibukkan dengan skripsi. Skripsi yang harus ia kesampingkan untuk sementara karena ia menemani sang ibunda yang dirawat di rumah sakit. Ibunya sudah diperbolehkan pulang. Ia pikir ibunya tak akan memikirkan hal lain lagi selain kesehatannya. Rupanya wanita paruh baya itu masih teringat akan rencana perjodohan putrinya dengan duda berusia 38 tahun.

Gadis itu mengusap wajahnya lalu mengembuskan napas kesal. Rasanya ingin marah, tapi tak tahu harus marah pada siapa. Ingin pula menangis, tapi lagi-lagi ia tak tahu harus menangisi apa. Menangisi ibunya yang masih dalam proses penyembuhan? Skripsinya yang belum kelar-kelar? Ancaman gagal wisuda sesuai target? Atau pada keadaannya yang sulit saat ini? Ia seakan dipaksa untuk menerima perjodohan dengan seseorang yang ia sebut "Mas Duda" beranak dua. Air matanya mungkin sudah kering karena terlalu banyak menangis, menangisi jalan hidupnya.

Gadis itu menyeka air matanya dengan ujung kerudungnya. Ia belum lama mengenakan jilbab. Ia pikir segalanya akan dipermudah setelah berjilbab. Namun kesulitan-kesulitan justru datang bergantian. Apa ini ujian dari Allah? 

Terbayang akan pertemuan pertamanya dengan Mas Duda di rumah sakit. Waktu itu Mas Duda datang bersama ibunya. Akhirnya gadis itu tahu, ada satu sosok yang berjasa membiayai pengobatan sang ibu serta membiayai kuliah dan biaya hidupnya selama menjadi anak kost di perantauan. Duda itu yang membantu biaya kehidupannya dan ibunya setelah ayahnya meninggal. Kini seolah, ibunya menjualnya untuk membalas jasa sang duda. Ia rasa, semua perempuan muda pun akan berpikir ribuan kali untuk menerima perjodohan dengan duda beranak dua yang selisih umurnya mencapai lima belas tahun.

Banyak ketakutan mendera. Di awal perkenalannya dengan laki-laki bernama Respati Narendra itu, gadis itu sudah menyimpulkan bahwa Mas Duda ini tipikal orang yang disiplin, keras, tegas, kolot, kuno, tidak memahami apa yang disukai anak muda, mungkin juga suka mengekang jika menilik tampang wajahnya yang gahar seperti tokoh-tokoh antagonis di sinetron. Tubuhnya tinggi besar, mungkin inilah sisi positifnya dari segi fisik. Namun ada yang mengusik pikirannya. Laki-laki itu brewokan, dan ia tak suka laki-laki brewok!

Gadis itu meremas-remas bantal saking kesalnya. Ia tak siap menikah, ia tak siap menjadi istri Mas Duda, ia tak siap menjadi ibu dari dua anak tiri! Terlebih anak sulung duda itu sudah remaja, 16 tahun.

******

Dua keluarga mengadakan makan malam bersama di rumah orang tua Respati. Respati sendiri yang menjemput gadis bernama Lira Nabila dan ibunya. Orang tua Respati sengaja mengundang mereka selepas tarawih agar waktunya lebih bebas untuk membicarakan perjodohan Lira dan Respati. Kedua anak Respati yang masing-masing berusia enam belas tahun dan lima tahun tidak turut serta. Ada asisten rumah tangga dan pengasuh anak yang menjaga anak bungsunya.

Seusai makan malam, Lira meminta waktu untuk berbicara berdua dengan Respati di bangku yang terpajang di tepi kolam renang rumah calon mertuanya. Respati menyanggupi. Mereka duduk dengan bentang jarak yang agak jauh.

"Saya tidak menerima perjodohan ini. Jadi saya minta Mas bicara sama orang tua kita masing-masing untuk menolak perjodohan ini." Lira menerawang ke arah kolam. Namun tatapan itu tak bermuara di sudut mana pun.

"Saya menerimanya," balas pria 38 tahun itu datar dan ringan.

Lira terbelalak. Ia mengalihkan pandangan ke arah laki-laki itu. Tatapannya begitu menghunjam seakan siap meruntuhkan tembok pertahanan Respati.

"Tapi saya tidak mau...!" Lira menajamkan matanya.

"Dan saya mau," sahut Respati dengan ekspresi wajah yang tak terbaca. 

Lira semakin kesal.

"Kalau salah satu nggak mau, nggak bisa dipaksa!" Lira meninggikan suaranya.

"Nanti kamu juga mau," timpal sang duda santai seperti tengah menikmati indahnya sunset di pantai.

Lira mengepalkan tangannya. Matanya membulat. Pria ini seakan sengaja menguji kesabarannya.

"Saya bilang nggak mau artinya nggak mau. Mas bukan tipikal saya."

"Suatu saat saya akan menjadi tipe idaman kamu." Respati menoleh sang gadis. Wajahnya masih dingin tanpa ekspresi.

"Mas ini nyebelin banget. Apa nggak ada cewek lain yang mau sama Mas? Segitu nggak lakunya Mas ini, ya? Ngejar-ngejar anak perawan yang nggak mau dinikahi tapi dipaksa-paksa." Lira geram sendiri menghadapi sikap Respati.

Respati terdiam sejenak lalu mengamati wajah Lira yang begitu menggemaskan saat sedang marah.

"Oh, masih perawan? Alhamdulillah."

Lira mengernyit. Wajahnya merah padam.

"Mas pikir aku ini wanita apaan? Selama bernapas aku nggak pernah pacaran, Mas! Tragis amat sekalinya nemu jodoh dapet duda bangkotan!"

"Saya baru 38 tahun. Masih energik dan perkasa. Yang lebih muda kalah," ucap Respati sekenanya.

Kesabaran Lira rasanya sudah habis. Ia beranjak dan berlalu meninggalkan sang duda yang terpaku menatap langkahnya yang menjauh.

Kata-kata almarhum ayah Lira terngiang di benak Respati. Saat itu dia baru setahun bercerai dari mantan istrinya.

Kalau saya dipanggil Allah, saya titip Lira, ya, Nak. Saya yakin cuma Nak Respati yang bisa menjaga Lira. Nak Respati adalah calon imam yang baik untuk Lira.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro