Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hurt(Part C)

Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai. -Ungu

Suara jeritan dan gelak tawa anak-anak yang sedang bermain menyambut Bela, kakinya melangkah takut di belakang Dalvin. Genggaman tangan Dalvin masih erat terasa, selau ada rasa nyaman terselip di setiap sela jari cowok itu yang entah membuat otot di sudut bibir Bela bergerak naik. Diam-diam Bela tersenyum.

"Kenapa?" Dalvin mensejajarkan langkah dengan Bela, memandang bingung dengan alis berkerut. Aneh mungkin bagi Dalvin, di sekitar mereka tidak ada sesuatu yang lucu tapi Bela tersenyum tanpa sebab.

"Ah?" Bela mengangkat wajah, matanya kini tak lagi memandang tangannya dibawah sana. Seketika rona merah menghiasi pipinya kala mata Dalvin memandang lurus kearahnya. Bela menggeleng salah tingkah. "Nggak kenapa-kenapa."

Mat Dalvin memicing. "Tadi lo senyum."

Mata Bela berkeliaran kesana-kemari. Cewek itu melipat bibir bingung. "Yaaa kan... kan gak ada salahnya senyum." Bela berkilah.

"Tapi aneh, senyum sendiri. Kecuali kalo lo gila."

Bela mendecak. "Enak aja bilang gue gila, gue nggak gila kali."

Baru saja Dalvin akan membuka mulut memalas ucapan Bela seorang bocah laki-laki menghampiri mereka."Kak Dalvin."

Dalvin menoleh terkejut lalu menyambut dengan senyum tulus. "Hai Roni, apa kabar?"

"Baik kak."

Dalvin beralih pada Bela. "Inget waktu kita ketemu di rooftop rumah sakit?"

Bela menaikkan alis kemudian mengangguk pelan sesekali melirik anak laki-laki di depan mereka. "Waktu kita masih musuhan?"

Dalvin terkekeh. "Yap. Inget kan tiga anak yang waktu itu sama gue?"

Sekali lagi Bela menangguk. Dalvin kembali menatap Roni, "ini dia salah satunya. Sekarang tiga anak itu tinnggal disini."

Bibir Bela membulat mengeluarkan kata "oh" yang panjang.

"Hai kamu masih inget aku?" Bela menyapa ramah boca laki-laki itu.

Roni menangguk antusias. "Masih kak, Kakak bidadari cantik." Ucap bocah itu dengan polosnya. Diam-diam Dalvin melirik Bela dari sudut matanya. Cowok itu dalam hati menyetujui pendapat Roni.

Bela tertawa mendengar penuturan Roni. "Kita kenalan dulu deh. Aku Bela, panggil Kak Bela aja."

Roni dengan cepat menyambut uluran tangan itu. "Aku Roni. Nggak mau manggil Kak Bela, manggil bidadari cantik aja."

Bela tertawa renyah. Dia merasa malu di panggil seperti itu, apalagi ada Dalvin disebelahnya. "Terserah kamu deh." Mendapat izin dari Bela, Roni langsung tersenyum bahagia.

"Ron-roniiii." Terdengar gemaan dari salah satu ruangan. Roni menoleh ke belakang. "Disuruh rapiin kamar dulu baru main bola." Lanjut suara gemaan tadi.

Roni kembali memutar kepala. "Kak  Dalvin, Kak Bela Roni mau rapiin kamar dulu ya, biar Bunda nggak ngamuk." Bocah itu memperlihatkan deret giginya. Setelah Bela mengangguk Roni langsung bergegas pergi menuju sumber suara yang memanggilnya tadi.

"Kayaknya semua anak-anak disini bahagia banget ya?"

Raut wajah Dalvin seketika berubah. "Kenapa?" Tanya Bela menyadari sesuatu yang berbeda dari Dalvin.

"Nggak juga." Jawab cowok itu singkat, kembali mengajak Bela berjalan.

"Kok nggak juga?"

"Nggak semua yang diluarnya kelhatan bahagia di dalamnya juga bahagia. Setiap dari mereka disini menyimpan luka masing-masing."

"Maksud lo?"

"Roni contohnya. Dia itu korban kecelakaan maut. Mobilnya jatuh ke  sungai gara-gara menghindari tabrakan dengan bus. Di dalam mobil itu ada orang tuanya, adiknya dan kakek dari ibunya." Dalvin menatap lurus kedepan. Mata tajamnya menyiratkan sesuatu yang menyakitkan. "Semua yang di dalam mobil itu meninggal gara-gara kehabisan nafas. Kuasa Tuhan Romi masih bisa bertahan sampai tim penyelamat datang."

Bela bungkam. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Dan gak ada keluarga Roni lagi selain yang ada di dalam mobil." Dalvin menarik Bela ke arah ruang ramu sederahana di dalam bangunan itu. "Ini bukan panti asuhan biasa Bel. Lo haus? Mau minum apa? Lo duduk aja. Gue ambilin minum dulu."

Bela hanya mengangguk pelan, sejujurnya masih sangat banyak pertanyaan yang berkeliaran di kepalanya. Jika ini bukan panti asuhan biasa lalu kenapa Kanya bisa tinggal disini? Apakah sahabat baik Bela itu memilik kisah menyedihkan juga?

Setelah Dalvin menghilang Bela kemudian duduk dan menunggu di sofa bercorak bunga itu. Jantungnya terasa melompa ketika di sampingnya sudah ada orang yang duduk.

"Lo jangan kaget gitu, gue bukan hantu."

"Lo tiba-tiba, jadi gue kaget."

Laskar mengangguk-ngangguk. "Dari tadi gue di belakang lo sama Dalvin kok. Cuma lo aja yang nggak nyadar, ya nggak heran, namanya juga jatuh cinta."

"Apaan sih, gajelas lo."

"Gue boleh nanya?"

"Nanya aja." Sahut Bela santai.

"Lo pacarnya Dalvin?"

Bela memperbaiki posisi duduknya, menelan saliva sebelum mejawab pertanyaan Laskar. "Kalo iya kenapa? Kalo enggak kenapa?"

"Yaaaa nggak apa-apa sih." Laskar menyandarkan punggung, menaikan kaki ke atas lututnya.

"Yaudah kalo nggak ada apa-apa gue nggak perlu jawab kan?"

"Yah-yaaaaah... gabisa gitu dong." Laskar kembali menurunkan kakinya. "Lo punya pertanyaan seputar panti ini? Gue jawab deh, asalkan entar lo kasi tau deh gue, lo itu pacarnya Dalvin atau bukan."

"Ck." Bela berdecak. "Nggak punya pertanyaan, gue juga nggak berniat ngasi lo jawaban."

"Yakin?"

Bela melirik Laskar ragu. "Y-yakinlah."

"Oke." Laskar menepuk kedua pahanya. "Gue balik dulu. Lo nggak boleh nyesel nanti setelah gue pulang karena nggak semua pertanyaan lo tentang panti ini bakalan dijawab Dalvin." Laskar bangkit dari duduknya.

"Kalo nggak dijawab berarti itu privasi." Sahut Bela berusaha menahan dirinya untuk menerima tawaran Laskar.

"Okelah,  gue mau pulang dulu. Semoga kita ketenu lagi." Laskar melambaikan tangan kemudian melangkah pergi. Baru beberapa langkah Bela menarik nafas lalu berkata, "tunggu!".

●●●

"Kenapa harus disini sih?" Bela bertanya pada Laskar yang saat ini sedang melemparkan segenggam pelet ke dalam kolam ikan di belakang panti.

"Karena gue lagi pengen ngasi ikan maakan, berbagu itu indah."

"Tapi nanti Dalvin nyariin gue."

"Nggak lama kok."

Bela mendesah. Memandang kesal mulut ikan yang membuka tutup. Tapi ia bukan kesal pada ikan tak berdosa itu, Bela kesal pada Laskar yang berhasil memancingnya dengan umpannya. Bela merasa seperti koi bermulut bulat yang memakan butiran makanan yang di lempar Laskar.

"Sekarang lo boleh nanya apapun ke gue."

Bela diam. Tidak menyahuti Laskar.
"Kenapa diem?"

"Masih mikir."

Laskar terkekeh. "Owhhhh."

"Kenapa lo dan Dalvin keliatan kayak biasa banget disini?"

"Karena gue dan Dalvin dulunya tinggal disini sebelum di adopsi orang tua masing-masing."

Bela tersedak kemudian batuk-batuk. "Hah serius lo?"

"Nggak, boong aja." Jawab Laskar dengan wajah tanpa dosa kembali melemparkan makanan ikan ke kolam.

Bela menghembuskan nafas. "Nggak lucu tau."

"Ini panti asuhan didiriin nenek gue dari nyokap. Dalvin udah cerita belum kenapa gue dan dia sepupuan? Kalo belum gue kasi tau nih, nyokap gue dan bokap dia sodaraan. Makanya tuh marga nama dia sama Mama gue sama. Bokapnya Dalvin kan turunin nama Gracious ke Dalvin sedangkan gue ya marga kayak bokap gue lah, Galileo."

Butiran pelet sudah habis masuk ke dalam mulut ikan koi yang jumlahnya tak akan sebanding dengan makanan yang di lemparkan Laskar.

"Lo kenal Ka-" Bela menutup bibirnya. "Gajadi deh."

"Kanya?" Laskar melanjutkan perkataan Bela.

"Lo kenal?" Tanya Bela dengan mata melotot.

"Kenal. Salah satu keluarga pnti ini tapi sekarang lagi sakit."

"Sakit apa?"

"Kalo lo tau Kanya ya pastilah lo tau dia sakit apa."

"Gue nggak tau."

"Gue nggak bisa ngasi tau."

Bela mencebikkan bibir.

"Sorry yang satu itu ntar deh gue kasi taunya, tunggu kita kenal lebih deket." Laskar tersenyum miring. "Sekarang lo jawab pertanyaan gue. Lo pacarnya Dalvin?"

"Bukan, cuma temen." Jawab Bela bete.

Laskar kini telah selesai memberikan seluruh makanan pada ikan koi bermulut bulat itu. Ia menepuk-nepukkan tangan bermaksud membersihkan.

"Masih belum move on juga tu anak. Gue kirain."

"Maksud lo? Gue nggak ngerti."

"Gue kirain elo cewenya Dalvin, ternyata bukan."

"Emang kenapa kalo bukan?" Tanya Bela penasaran.

"Itu artinya dia belum move on dari Kanya."

"Dalvin suka Kanya?" Bela bertanya pelan, menekan perasaannya di dalam sana.

"Cinta lebih tepatnya."

Oksigen yang baru saja Bela hirup terasa seperti beracun. "Oh" Bela tersenyum miris. Persendiannya terasa lemas. Sudut matanya berair. Nafasnya tak beraturan, detak jantungnya terlalu cepat. Dia membasahi bibirnya, membuang pandangan agar Laskar tak menyadari ada air yang jatuh dari sudut matanya.

[TBC]

Selamat malam minggu.

Makasi udah setia nunggu,

Jangan bosen nunggu DHWH ya

Semoga kalian masih setia di lapak ini😂

Haula suka kalo banyak yang komen😂 entah rasanya bahagia gitu:') tapi kemarin komennya berkurang wkwkwk, mungkin karena Updatenya gapernah tepat waktu😂😂 maaf ya gais.

Sekali lagi makasi udah mau baca kisahnya DB, jalannya masih panjang. Jadi sekali lagi jangan bosen dlu😉😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro