Aku Bisa Apa?(part b)
"Kenapa orang yang aku sayang itu kamu? Dan kenapa orang yang kamu sayang itu harus dia?"
[Note : Jangan lupa play musiknya di mulmed.]
"Lo pernah suka sama temen sendiri?"
Dalvin sempat melongo tak percaya karena pertanyaan spontan Bela. Dia menegakkan punggung lalu berdehem salah tingkah.
"Selama ini temen gue kebanyakan cowok, jadi nggak pernah." Jawab Dalvin kaku.
"Kenapa lo nggak jujur aja?" Tanya Bela dalam hati yang tak mungkin Dalvin bisa dengar.
"Emang kenapa Bel? Lo lagi suka sama temen sendiri?"
Bela menyunggungkan senyum tipis. "Nggak, gue cuma nanya aja. Kan sekarang lagi jamannya tuh friendzone. Dianggap temen tapi diperlakuin kayak pacar." Kalau Dalvin saja bisa berbohong kenapa Bela tidak?
Alisnya yang tadi tak gatal jadi Dalvin garuk gara-gara bingung dengan ucapan Bela. "Wah gue gatahu tuh kalo... apa lo bilang tadi? Friendzone kan? Gue gatau itu lagi ngetrend."
"Makanya buka ig. Banyak tuh meme tentang friendzone."
"Udah lama gue gak buka ig, terakhir pas follback lo dulu."
Kening Bela mengerut bingung. Seingatnya ia belum mengikuti akun instagram milik Dalvin. "Emang kapan gue follow lo?"
"Dulu, lo sampe dm dm gue minta follback." Dalvin terkekeh.
"Ih mana pernah, liat aja isi dm gue, gak ada elo." Bela segera merogoh isi tasnya dengan tergesa-gesa, kemudian mengluarkan handpone. "Sumpah gue gapernah follow elo Vin." Tuturnya kemudian membuka instagram. "Jujur sih, gue emang pernah stalk lo dulu."
"Lo dm gue Bel."
Seketika ingatan Bela kembali pada hari dimana Nanda datang kerumahnya. Saat itu ia sedang melihat-lihat foto Dalvin di instagram. Ia membiarkan hpnya tanpa menutup kembali aplikasi tersebut, jadi ini semua sudah pasti kerjaan Nanda, tak mungkin mahluk halus atau akunnya dengan keinginan sendiri mem-follow Dalvin.
"Pasti dibajak Nanda." Sahut Bela tiba-tiba.
"Nanda?"
"Siapa lagi kalo bukan dia?" Bela tersenyum pahit. "Gue jadi kangen Nanda." Bisiknya sedih. Bela rindu Nanda yang selalu menghiburnya, Bela rindu tingkah dan lawakan konyol cewek itu. Bela menghela nafas berat, wajahnya tertunduk.
"Bel, please... gue gasuka muka lo yang kayak gini. Manyun, sedih, nunduk, lo gini tuh kayak bukan Bela yang gue kenal."
"Gue kangen sahabat gue Vin. Sahabat yang udah gue sakitin." Bela berkata lirih. Wajahnya sendu.
"Udah berapa ka-" Ucapan Dalvin terpotong karena handponenya berdering. Cowok itu segera mengambil handpone. Deringan tadi bukan sebuah telfon masuk atau sms melainkan alarm pengingat. Mengingatkan bahwa hari ini adalah jadwal tetap Dalvin untuk menjenguk Kanya dirumah sakit. Dalvin mematikan alarm hp-nya. Sudut matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, sudah jam 5 sore, itu artinya Dalvin harus segera bergegas.
"Siapa?" Bela bertanya.
"Bukan siapa-siapa." Jawab Dalvin tak berkata jujur. "Lo gak dicariin nyokap?"
"Kalo keluar bareng lo, biasanya kadar marah Momma berkurang."
"Lo nggak mau pulang gitu?"
Bela mengernyit. Aneh sekali Dalvin ini, tadi dia yang mengajak Bela makan lantas sekarang Dalvin seolah-olah ingin Bela pulang. Lihat saja gelagat aneh cowok itu, mencurigakan sekali dimata Bela.
"Maksud gue.." Dalvin mengatupkan bibir, tak tahu harus berkata apa untuk menjelaskannya pada Bela, ia takut cewek itu nantinya tersinggung.
"Lo kenapa? Gak enak badan? Kita pulang aja."
"Bukan Bel, tapi gue sekarang harus ke rumah sakit-" Kalimat Dalvin belum selesai, Bela sudah lebih dahulu bertanya. "Lo sakit?"
"Nggak Bel," sejenak Dalvin teridiam lalu melanjutkan. "Udah lo lupain aja." Dalvin menarik sudut bibirnya, memberikan senyuman tenang pada Bela agar cewek itu tak curiga. Ia berniat untuk berlibur menjenguk Kanya hari ini. Waktu itu Dalvin pernah meninggalkan Bela karena Kanya dengan mengatakan hal yang menyakitkan pada cewek itu, jadi Dalvin ingin menebus kesalahannya.
"Jujur deh. Lo kenapa?" Bela melirik hp yang di genggam Dalvin. "Tadi itu apa? Jujur Vin."
Dalvin terdiam hingga Bela menyerukan nama cowok itu. "Iya Bel."
"Kasi tau gue."
"Yang tadi itu alarm. Hari ini jadwal rutin gue buat... jenguk Kanya."
Bela suka kejujuran, tapi kali ini kejujuran itu menyakitinya. Memang benar, apa yang kita sukai lebih berpotensi menyakiti. Dia mengerti sekarang. Segala sesuatunya telah tertata dengan rapi dalam otaknya. Bela menaruh hp lalu melipat tangan di atas meja, memajukan sedikit wajah dan berkata. "Lo pergi aja, nggak apa-apa." Tak lupa dengan senyuman dan anggukan palsu.
"Nggak, gue nemenin lo makan dulu baru kerumah sakit."
Bela menggeleng. "Kanya lebih butuhin lo, dia sakit, dia nggak ada temen, kesepian. Gue? Disini rame." Mata Bela melirk sekitar. "Y-ya nggak terlalu rame, tapi seenggaknya ada orang lain. Lo pergi aja."
"Tapi lo takut hujan."
"Gue nggak takut hujan, gue takutnya petir."
Hati Dalvin merasa lega. Sepertinya Bela tak apa-apa jika ia tinggalkan. Benar juga apa yang Bela katakan, Kanya lebih butuh dirinya. Lagi pula Dalvin tak dapat membohongi perasaannya sendiri. Ia ingin bertemu Kanya saat ini, ia merindukan cewek itu. Percuma jika dia diam disini menemani Bela sementara fikirannya berada di rumah sakit. "Oke, gue kerumah sakit." Wajah Dalvin berbinar.
"Lo seneng banget kayaknya."
Dalvin hanya menanggapi ucapan Bela dengan tawa. "Gue bayar makanannya dulu. Lo diem disini atau mau pulang?"
"Makanannya belum dateng bego."
"Ya biarin aja pinter."
"Gue diem aja, menikmati hujan sambil makan. Yaudah sana lo bayar." Bela mengayukan tangan bermaksud menyuruh Dalvin cepat-cepat pergi.
"Ngusir gue lo."
"Emang." Jawab Bela berusaha acuh meski perasaannya saat ini benar-benar tidak karuan. Semuanya bercampur aduk.
"Yaudah gue pulang ya."
Ucapan itu mengantar kaki Dalvin untuk pergi. Mendatangkan rasa sakit yang luar biasa bagi Bela. Tenggorokannya tercekat karena menahan tangis. Semuanya sudah benar-benar jelas bahwa Bela mencintai Dalvin. "Lo nggak boleh pergi." Bisiknya pada punggung yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya.
Butiran air hujan semakin mengecil. Tidak sederas tadi. Sudah satu menit mobil Dalvin meluncur pergi dari pandangan Bela. Seorang pelayan datang membawa pesanannya. Roti bakar hangat dengan lelehan keju mengeluarkan asap tipis. Bela tersenyum miris.
"Makasi." Bela mengatur piring-piring itu di atas meja. Menaruh satu piring di depannya dan satu lagi agak sedikit jauh darinya seakan-akan Dalvin yang akan memakan makanan itu. Bela tak perduli pada pelayan yang akan berfikir bahwa ia gila.
"Mba ada titipan dari mas tadi."
Bela mendongak, ia mengira bahwa pelayan itu sudah pergi sejak tadi. "Apa?"
Sebuah robekan kertas yang dilipat tak rapi diberikan kepada Bela oleh si pelayan. "Tadi Mas yang bayarin nyuruh saya ngasi kertas ini ke Mba."
"Oh... makasi." Bela meraih kertas itu kemudian pelayan tersebut pergi dengan sendirinya.
Bela sudah tak dapat lagi menahan air mata ketika kertas itu ia buka dan tulisan ceker ayam Dalvin di depan matanya.
Lo jangan sedih, kalo lo sedih jelek. Lo lagi suka sama temen sendiri? Jangan galau karena itu, gue yakin temen lo itu suka sama lo juga:) -Dalvin
"Nyatanya temen yang gue suka itu suka sama orang lain, Vin."
"Pasti temen yang lo suka itu Dalvin. Tapiiiii gue nggak kaget sih." Mata Bela membesar, seketika ia menoleh dan mendapatkan Laskar di sebelahnya, cowok itu menunduk sambil membaca kertas yang ada di tangan Bela.
[TBC]
Jangan lupa vote dan komen gais.
Jangan lupa follow instagramnya pipin @GraciousDalvin kalo aku lama update terus kalian kangen Pipin, ya chat aja dia di ig, kali aja di respon wkwkwk. Sekian deh pye pye😚
Muka kagetnya Bela nih
Pipin anaknya Mama
Si begundal laskar
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro