Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

⚘9. Cupid⚘

Bona tersenyum lebar menyambut pelototan Nilla dari balik kaca matanya. Nilla tak enak hati karena selalu merepotkan Bona.

"Nggak usah, Bon," tolak Nilla halus.

"Santai, Nill. Ayo, duduk." Bona duduk lebih dulu.

Selalu saja Bona mengulurkan tangan saat ia sendiri atau kesusahan. Entah Nilla yang bodoh atau bagaimana, hatinya tak bergetar dengan semua kebaikan Bona.

Nilla hanya bisa mendesah dan mengikuti di belakang. Matanya tidak bisa lepas dari gerak gerik Bona. Dia duduk di sebelah Violet. Sedang Bona memosisikan diri di depan gadis kecil itu.

"Vio, kenapa nggak dikucir rambutnya seperti biasa? Kamu nggak gerah?" tanya Nilla sambil mengelus rambut anak itu.

Violet menyeka anak rambut yang menempel di pelipis dan dahi karena basah dengan keringat. AC yang berembus di kantin enggan menyejukkan hawa gerah kota Surabaya. "Papi nggak sempet ngucirin. Mbak Des lagi pulang. Oma sakit. Opa nggak bisa." Mulutnya maju ke depan mengadukan semua pada Nilla.

"Sini, Kakak kucirin," kata Nilla sambil mengambil sisir dan pita rambut dari dalam tas yang ia letakkan di kursi sebelahnya.

Bona terkesiap melihat interaksi Nilla dan Violet. Wajah datar itu lenyap berganti dengan senyum manis yang menggetarkan hati lelaki itu. Raut tanpa ekspresi saja sudah mampu membuat Bona deg-degan, apalagi saat Nilla tersenyum manis dengan menggemaskan seperti itu.

Ternyata yang terpesona tak hanya lelaki muda berdarah Batak itu. Dari jauh Bieru yang bergegas menyusul putrinya ke kantin karena hendak diajak pulang, terkesiap. Dosen muda itu memperlambat langkah. Matanya tertuju pada gerak-gerik Nilla yang sedang menyisir rambut.

Jakun Bieru naik turun. Ia menggeleng berulang, menepis rasa terpesona. "Bieru, sadar! Nilla itu sudah seperti anakmu! Mahasiswamu!Jangan jadi pedofilia!"

Mata Violet yang sedang dikucir oleh Nilla melebar melihat sang papi yang berjalan ke arahnya. "Papi!"

Nilla melirik. Ia terkesiap, tapi tangannya terlanjur memegang ujung rambut yang sudah dikepang

Nilla buru-buru menekuk kepangan dan mengikatnya lalu mempermanis dengan ikat rambut berhias strawberry yang belum sempat ia pakai.

Violet melambai, mengajak Bieru duduk bersama. Bieru pun akhirnya berdiri di depan Nilla.

"Papi, lihat kepanganku. Cantik nggak?" tanya Violet memutar kepala untuk menunjukkan kuciran.

"Cantik," sahut Bieru canggung. Dia tidak enak dengan pandangan para mahasiswa yang ada di foodcourt itu. "Ayo, pulang," ajak Bieru kemudian.

"Makan dulu, Pi. Kak Nilla udah mesenin maem."

Bieru melirik ke Nilla yang tampak sibuk memasukkan sisir di tasnya. Awalnya lelaki itu akan memaksa Violet pulang, tapi saat makanan sudah datang, mau tidak mau ia mengurungkan niatnya. Dengan terpaksa Bieru melepas cangklongan tas Frozen dan meletakkan di atas meja. Ia duduk di sebelah Bona.

Mata Violet membulat saat nasi goreng seafood tersaji di depannya. "Papi mau?"

"Vi makan dulu aja." Sebenarnya air liur Bieru terangsang. Tapi sejak menjadi dosen dia jarang menginjakkan kaki di kantin. Ia memilih pesan antar dan memakannya di ruang dosen.

"Dokter nggak makan?" tanya Bona yang kurang nyaman ada dosen killer di sebelahnya.

"Nggak. Kenyang. Kalian makan aja." Bieru berdusta. Padahal perutnya bergolak saat mencium aroma lezat nasi goreng seafood favoritnya di kantin ini.

"Kakak, suapin dong." Violet mengerjap sambil menarik lengan Nilla.

Nilla menatap Bieru meminta persetujuan. Bieru menggeleng tapi anak kecil itu menarik lengan kemejanya. Sementara Bona merutuk dalam hati karena ulah Violet yang manja.

"Biasanya kan makan sendiri, Vi?" protes Bieru.

"Kak Bona suapin mau?" Mata Bona melebar saat kedua alisnya terangkat.

"Emoh. Ntar kaya Papi! Masih panas disuapin ke mulut." Violet mencebik.

Melihat ekspresi Violet, lagi-lagi Nilla mengalah. Ia hanya tidak ingin terjadi keributan yang mengundang perhatian sekitarnya.

"Iya, Kakak suapin."

"Nill, jangan dimanjain!" sergah Bieru.

"Nggak kok, Dok. Sesekali." Nilla pun segera menarik piring Violet mendekat ke arahnya.

"Kak Nilla baik! Coba Kak Nilla jadi mami Vio!"

Bona yang sudah mulai makan, tiba-tiba tenggorokannnya tersekat. Makanan yang ia kunyah menyasar ke saluran napas sehingga ia terbatuk-batuk.

Bieru menepuk punggung Bona, sementara lelaki muda itu meraih teh botol dan segera meneguknya hingga tandas.

Sesaat keheningan menguasai meja itu, seolah keriuhan di kantin itu teredam begitu saja.

Bona yang sudah bisa menetralisir tersedaknya, melirik Bieru, Nilla, dan Violet. Ia merasa seperti alien di situ. Tapi, melihat reaksi Bieru yang tak mengindahkan ucapan anaknya, Bona merasa tidak perlu khawatir.

Nilla mulai menyuapi Violet, bergantian dengan dirinya makan. Setelah menghabiskan tiga perempat nasi, Violet menolak.

"Kakak, kenyang."

Nilla melihat masih ada nasi seperempat piring. Kalau di rumah pasti ia akan lahap. Lambungnya berperan sebagai keranjang yang menampung makanan sisa adik-adiknya. Tatapan Nilla nanar, merasa sayang nasi goreng itu terbuang.

"Nanti ayamnya nangis loh, Vi," bujuk Nilla

"Sini, kakak ha-" Baru Bona hendak mengambil piring, tangan Bieru sudah terjulur.

"Sini. Papi habisin." Bieru mengambil piring di depan Nilla, lalu mulai melahapnya. Setidaknya ia bisa meredam perutnya yang sedari tadi bergejolak ingin diisi.

Nilla mengambil teh botol. Sambil meneguk isinya, ia memperhatikan Bieru yang melahap makanannya.

"Tumben Papi makan nasi sisa Vio. Biasanya Oma."

Bieru tak menjawab. Ia sibuk mengunyah makanan anaknya. Sementara dua mahasiswanya menatapnya dengan pandangan aneh, karena Bieru yang katanya kenyang tadi terlihat seperti orang kelaparan.

Begitu nasi tandas, Bieru mengambil teh botol untuk menggelondorkan makanan. Namun, baru meneguk, suara Vio terdengar.

"Pi, itu kan teh botol Kak Nilla."

Nilla yang sibuk membalas pesan ibunya mendongak menatap Bieru yang melepas ujung sedotan.

"Sorry."

"Nggak papa, Dok."

"Aku pesan lagi." Bieru buru-buru berdiri. Tapi, Violet menghalangi.

"Punya Violet masih. Ini buat kakak ya?" tanya Nilla saat melihat botol Vio masih separuh.

"Boleh." Gadis kecil itu mengerjap dibalas dengan senyum tipis Nilla.

"Ayo, Vi, kita pulang." Bieru merogoh dan mengeluarkan dompet. Ia mengeluarkan uang kertas merah.

"Dok, biar saya aja yang bayar."

"Nggak usah. Masa ada dosen dibayari mahasiswa. Lagian kan anak saya yang mau makan." Bieru memasukkan lagi dompet kulit cokelat tuanya. "Ayo, Vi."

"Kak Nilla, juga mau pulang kok, Pi. Bareng aja, Kak? Vi mau tahu tempat kakak."

Alis Bieru mengerut.

"Kak Nilla pulang sama kak Bona kok, Vi," kata Bona menyela. Lelaki itu merasa terancam karena Violet sepertinya bertindak sebagai cupid bagi papinya.

"Ehhh, sapa bilang? Kak Nilla bareng aku kan, Kak? Ya, ya, ya?"

Nilla meringis. Ia menatap Violet lalu bergantian kepada Bona dan Bieru. Sungguh situasi yang canggung. Gadis itu sangat lemah dengan rengekan Violet.

"Ayo, Vi! Papi ada kerjaan yang lain habis ini." Bieru bangkit, lalu mencangklong tas Violet untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu.

"Ayo, Kak. Vio mau tahu tempat kakak," ujar Violet kukuh. "Please ...."

"Violet, jangan mulai!" sergah sang Papi.

Violet masih mengerjapkan mata dengan sorot memohon kepada Nilla. Nilla hanya mendesah.

"Papi Violet boleh nggak tuh. Gimana Dok?"

Bieru menelan ludah. "Papi Violet"? Kenapa hati Bieru merasa adem? Bieru berdeham. Lelaki itu merasa tak enak hati menolak, tapi di sisi lain ia tak nyaman karena pasti akan ada gosip yang beredar.

"Ayo."

Violet pun tersenyum cerah. Ia menggandeng Nilla seolah takut gadis itu berubah pikiran. Sementara Bona hanya melongo melihat Nilla yang menyanggupi begitu saja keinginan Violet.

Bisa dipastikan apa yang terjadi kemudian sesuai dengan prediksi Bieru. Semua mata tertuju pada mereka. Bisik-bisik membuat Bieru semakin canggung. Ia mempercepat langkah dan mengambil sedikit jarak dengan mahasiswa yang menggandeng sang putri.

Begitu sampai di dalam mobil, bahkan Violet yang sering berebut tempat duduk di depan, meminta Nilla duduk di samping Bieru. Anak kecil itu sangat senang karena bisa menculik gadis dewasa yang sangat ia kagumi.

Dalam perjalanan, Bieru melirik interaksi Nilla dan Violet. Betul kata Rina, wajah datar itu menguap begitu saja. Senyuman lebih sering merekah di paras tirus Nilla. Bahkan tawa renyah itu tersembur dari bibirnya.

Cantik ....

Saking fokus menatap raut cerah Nilla, Bieru tak memperhatikan jalanan.

"Dokter, awas lampu merah!" pekik Nilla.

Bieru tersentak kesadarannya. Kaki kanannya seketika menekan pedal rem bersamaan dengan kaki kiri yang menekan kopling. Roda berdecit saat mobil berhenti tiba-tiba.

Nila merengkuh dan memeluk Violet yang ia pangku. Badan yang dibelenggu seatbelt sempat terdorong ke depan. Wajah Nilla memutih seolah darahnya terkuras. Napas gadis itu tersengal dan peluhnya merembes di pori-pori.

"So-sorry."

Nilla terdiam. Matanya memerah dan berkaca-kaca.

"Kenapa?"

Nilla menggeleng. "Ka-kaget, Dok. Takut sa-saya mati muda."

"Ih, Papi ini nyetirnya hati-hati dong. Tuh, kan, Kak Nilla nangis." Violet berbalik, menarik selembar tisu.

"Iya. Maafin Papi."

Setelah itu, Nilla hanya diam. Senyumnya hilang, dan wajah datar kembali datang. Sampai mereka berpisah di depan gang kos pun Nilla hanya mengucapkan terima kasih lalu turun.

***

Aruna melihat ada yang berbeda dari cucunya. Ikat rambut dengan hiasan strawberry mempercantik kepangan tekuk di belakang kepala. Bahkan, Violet enggan melepasnya saat Desti mau mandi, sehingga dengan terpaksa pembantu rumah tangga itu memandikan tanpa mencuci rambut Violet.

"Vio, sini Oma sisirin." Aruna ikut duduk di sofa depan televisi.

Cucuqnya kini sedang asyik menonton salah satu film kartun di channel televisi berbayar. "Nggak mau, Oma. Nanti rusak kepangan Kak Nilla."

Aruna mengernyit. "Tapi, Vi. Udah nggak rapi tuh kepangannya. Harusnya sore ini kamu keramas kan?"

Violet menggeleng sambil memegang kepalanya. "Vio nggak mau! Vio ... Vio ... ngerasa dikepangin Mami, Oma."

Mata besar itu mulai digenangi air. Aruna mendesah, kemudian menatap Bieru yang sore itu sudah bersiap hendak pergi ke klinik bersama Papinya.

Aruna pun bangkit, membiarkan cucu perempuannya. Ia menghampiri Bieru dan menarik anak lelakinya ke dalam kamar.

Bieru tahu topik apa yang akan dibicarakan oleh maminya. Namun, lelaki itu diam lebih dulu, menanti sang mami berucap.

Begitu masuk ke dalam kamar, Aruna menutup pintu. Dia duduk di tepi pembaringan sambil menatap putranya. "Mas, Vio dekat sekali dengan Nilla. Dia bahkan ngerasa Nilla itu maminya. Apa ngga sebaiknya kamu mewujudkan harapan Vio?"

Bieru mendesah, sambil menumpukan pantat di sudut meja tulis. Kaki panjangnya lurus dan tangannya bersedekap.

"Nggak bisa, Mi. Nilla itu anak didikku," sahut Bieru dengan ekspresi serius. "Lagian ada alasan kenapa aku nggak bisa deketin dia."

💕Dee_ane💕

Di KK udah tamat yak. Untuk buka part 6-10 bisa pake kode voucher. Silakan dm aku yak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro