BAB 20
Jefferson benar-benar menyetir pulang dengan cara sembarangan. Ia membalap dari sisi kanan dan kiri, membunyikan klakson panjang, dan sesekali nyaris melanggar lampu lalu lintas.
"Jeff!" Clarice memukul dasbor mobil berang. "Kalau kau ingin membunuh seseorang, silakan bunuh orang lain saja. Kau hanya perlu menurunkanku di sini dan kembali ke Brighton Beach. Aku belum ingin mati karena kecelakaan mobil," keluh Clarice.
"Aku tidak mencoba membunuhmu."
"Kalau begitu menyetirlah dengan benar." Namun, Jefferson tetap mengebut dan membalap banyak mobil. "Fine, aku akan turun sekarang." Clarice melepaskan sabuk pengamannya, lalu pandangannya terarah ke handle pintu mobil.
"Aku tidak akan membuka pintunya," ujar Jefferson dengan rahang mengeras. Clarice mengacak-acak rambutnya frustrasi sambil mengumpat sebal.
"Well, kuperingatkan kau untuk memakai sabuk sekarang juga." Clarice belum sempat mencerna perkataan itu, ketika tiba-tiba Jefferson membelokkan mobil di tikungan tajam secara mendadak. Clarice terguncang di tempat duduknya, hingga kepalanya membentur jendela mobil sekali dan membentur bahu Jefferson sekali.
"Keterlaluan!" Clarice mendengus, lalu berusaha memakai kembali sabuk pengaman di tengah mobil yang bergerak mengerikan. Sementara itu, Jefferson hanya terkekeh geli.
Ya Tuhan, Clarice tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. "Jeff, apa kau mabuk? Kuperingatkan sekali lagi bahwa aku belum siap mati di dalam ...." Mobil berdecit dan berhenti mendadak di drive-thru McDonald's. "Mobil." Clarice beruntung bahwa ia masih dapat menyelesaikan kalimatnya. Ugh ... mengapa Jefferson dapat menyetir seliar ini?
"Tidak, tentu saja aku tidak mabuk. Aku tidak akan mabuk sambil menyetir. Jika gadis yang kusukai berada di sampingku, atau aku telah mengetahui bahwa gadis yang kusukai merasakan hal yang sama tentangku," jawab Jefferson datar.
"Ooo ... pastinya sekarang kau membenciku karena aku telah merebut handphonemu sebelum audionya selesai, dan melarangmu berkelahi dengan Nicholas. Jadi, sekarang kau berusaha membunuhku melalui kecelakaan mobil, kan?" tebak Clarice, berusaha agar suaranya terdengar sesantai mungkin. Namun, sebenarnya ia takut jika yang dikatakannya adalah yang benar-benar terjadi.
"Tidak. Aku tidak tahu." Jefferson menggelengkan kepala sambil mendesah. Cowok itu berusaha mengatur napasnya sebelum mencoba berbicara. "Pada saat-saat seperti ini, aku mungkin tidak akan pernah bisa membencimu. Setelah mengetahui fakta tentang Maison tadi, aku menyadari bahwa gadis polos sepertimu memerlukanku untuk dilindungi. Perasaan bahwa aku dibutuhkan olehmu ... mungkin itu cukup baik. Entahlah. Aku tidak tahu, Clary. Intinya, sekarang aku tidak sedang marah denganmu. Aku sedang marah dengan diriku sendiri, dengan Maison, dan semua kecerobohanku." Jefferson menumpangkan sikunya di bagian bawah jendela mobil, lalu mengusap wajahnya lelah.
Clarice terdiam. Ia benar-benar tak tahu apakah seharusnya ia menyahut sesuatu, memberi sentuhan lembut, atau tetap diam. Ia belum pernah berpacaran sebelum ini, ia belum pernah berteman dengan cowok hingga seintens ini. Dan ... ia tidak pernah dihadapkan pada situasi untuk menenangkan cowok remaja temperamental.
"Aargh ... mengapa aku hanya membiarkan Nicholas melakukan semua ini saat TGIF? Mengapa aku membuat sandiwaranya berlangsung hingga selama ini? Dan ... astaga, mengapa kau harus bertemu dengan Maison? Semua pertanyaan itu benar-benar menyiksaku." Jefferson mengembuskan napas. Clarice tetap mematung di tempatnya selama beberapa detik.
"Hei, seharusnya aku segera memesan karena mobilku sudah terparkir di drive-thru. Bisa tolong ambilkan kausku di kursi belakang?" ujar Jefferson tibba-tiba. Sementara Jefferson menarik hand rem dan membuka kunci pintu, Clarice berbalik meraih kaus Jefferson. "Thanks," ucap Jefferson singkat, lalu memakai kaus itu secepat kilat. Cowok itu pun segera keluar dari mobil dan memesan makanan di drive-thru.
Clarice mengembuskan napas lega setelah Jefferson keluar dari mobil. Ia mengeluarkan handphone Jefferson dari tas ranselnya, lalu membuka galeri cowok itu. Apakah mencari audio itu di handphonenya melanggar privasi? Semoga saja tidak. Aku hanya berniat menyetel audio yang hendak diputar Jefferson di tempat umum. Bukan kesalahannya jika tiba-tiba aku melihat sesuatu yang seperti ....
Oh my God. Tangan Clarice berhenti mengulir ketika tiba-tiba ia melihat foto Alexina Graham tanpa pakaian. Clarice menghela napas, berusaha berpikir positif. Mungkin Jefferson hendak screenshoot poster film di laman rekomendasi Instagram, lalu tiba-tiba lamannya terscroll saat layarnya tertangkap. Itu mungkin saja—meskipun kemungkinannnya hanya satu banding seratus.
Akhirnya, Clarice berhasil menemukan file audionya, lalu cepat-cepat mengirimkan file tersebut ke kontaknya. Tak lama kemudian, Jefferson kembali masuk ke mobil dengan ekspresi yang telah terkondisikan.
"Jeff, ini handphonemu. Maaf, soal tadi." Clarice menyodorkan handphone Jefferson sambil memandang ke bawah.
Jefferson menerima handphone dan memasukkan benda itu di saku. Tiba-tiba, Jefferson mengulurkan tangannya dan mengelus rahang bawah Clarice. Cowok itu bergerak mendekati Clarice, lalu menyapukan pipinya di pipi Clarice. Jefferson membisikkan sesuatu yang sangat lirih, tetapi Clarice mendengarnya seperti: "Aku semakin menyukaimu, Clary."
***
Jefferson benar-benar kembali normal setelah pulang dari McDonald's. Cowok itu mengantarkan Clarice di depan rumahnya dengan selamat.
"Terima kasih untuk hari ini, Jeff," ujar Clarice sambil melepas sabuk pengaman. "Jika kau menyadarkanku lebih terlambat lagi, mungkin kenyataan ini akan sangat sulit untuk kuterima. Kau tahu, awalnya kupikir Nicholas lebih baik darimu—itu dulu, tentu saja sekarang tidak. Aku bersyukur karena aku belum kehilangan apa-apa karenanya." Clarice menyunggingkan senyum tulus.
"Omong kosong," sindir Jefferson. Clarice menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya, "Apa maksudmu?" Jefferson pun melanjutkan ucapannya, "Kau hampir kehilangan rasa ciuman pertamamu."
"Apa?" Clarice mempertajam pendengarannya. "Bagaimana kau tahu kalau aku belum pernah berciuman dengan cowok mana pun?"
"Hell, yes. Kau menghabiskan masa kecilmu di sekolah swasta religius di Alabama, lalu saat tahun kedua SMP kau baru pindah ke Brooklyn. Aku tentu saja mengerti bahwa prinsipmu sudah kuat sekali saat umur itu. Dan, tak dapat dipungkiri, kau masih sepolos anak SD saat usiamu tujuh belas tahun sekarang." Jefferson menjelaskan semuanya dengan lancar, seolah ia selalu mengingat segala perbincangan dengan Clarice.
Clarice mengangguk sambil mengulum senyum. "Oh, dan apa maksudmu tentang hampir kehilangan ciuman pertama?"
"Tidak ada maksud lain. Tentu saja Nicholas pernah nyaris menciummu," jawab Jefferson.
"Apa? Bagaimana bisa?" tanya Clarice bingung. Ia berusaha mengingat-ingat semua momentum kebersamaannya dengan Nicole, tetapi ... ah, bagaimana mungkin sampai 'nyaris' berciuman? Ini seperti menciptakan kemustahilan dalam pelajaran kimia.
"Kau benar-benar tidak ingat sesuatu?" Jefferson duduk menghadap Clarice. Clarice langsung menggeleng kuat-kuat. Jefferson langsung mendengus sambil mengumpat pelan begitu melihat reaksi tersebut. Pikirannya kembali berputar pada pesta TGIF beberapa bulan lalu.
Ketika Jefferson datang, ia melihat Nicholas yang semakin mendekatkan wajahnya hingga dagunya bersentuhan dengan pipi Clarice. Bibirnya hanya berjarak sekitar dua sentimeter dari sudut bibir lembab Clarice sekarang. Tetapi, cowok berengsek itu menghentikan gerakannya ketika melihat Jefferson tiba-tiba berdiri di samping sofa.
"Persetan. Kau jahat sekali. Kalau kau cowok baik-baik, kau seharusnya mencium saat ia sedang sadar, tolol!" desis Jefferson sambil meremas gelas kombucha-nya geram.
Nicholas mengangkat alisnya tak mengerti, kemudian melayangkan elusan singkat di pipi Clarice sebelum akhirnya pergi meninggalkan Clarice dan Jefferson.
Setelah itu, pandangan Jefferson langsung tertuju pada gelas kaca yang diisi setengah koktail di atas meja. Dengan ragu, Jefferson mencoba minuman tersebut, dan langsung tersedak pada tegukan pertama.
"Shit! Ini benar-benar koktail. Kandungan wiskinya cukup tinggi. Bagaimana bisa ia mendapatkan minuman ini?" umpat Jefferson sambil meletakkan gelas kaca dengan sembarangan di atas meja.
Jefferson duduk di samping Clarice, lalu menarik bahu gadis itu supaya menghadap ke arahnya. Kemudian, Clarice berbalik dan bergerak mengingsut mendekati Jefferson. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke dada bidang Jefferson, kemudian mengeluarkan suara erangan kecil. Setelah itu, Clarice terus berdiam dalam posisi tersebut.
"Ini kesalahan. Bagaimana bisa gadis sepertimu mengenal cowok seperti Maison? Ia memang bermuka dua di mana-mana. Tetapi, mengapa kau harus mengenalnya dan menjadi salah satu korban aktingnya? Berengsek, Maison," ujar Jefferson sambil mengusap rambut Clarice.
Setelah itu, Jefferson memakaikan sepatu, menggendong Clarice keluar dari aula menuju mobil Mustang, lalu berkendara menuju rumah Clarice.
"Aku tidak akan pernah lupa bahwa aku pernah berurusan dengan cowok seberengsek itu," geram Jefferson.
Clarice termenung selama beberapa saat ketika mendengar penuturan Jefferson. Rasanya itu terlalu dramatis, tidak seperti dirinya yang sesungguhnya. Bagaimana bisa ia minum wiski? Bagaimana bisa Nicholas hampir menciumnya? Dan ... argh, bagaimana bisa Jefferson menceritakannya selancar itu? Clarice bahkan tidak dapat mencernanya dengan baik. Ia pernah tertidur di dada Jefferson? Tidak. Dapat. Dipercaya.
"Apakah aku melakukan sesuatu yang ... menjijikan di mobilmu? Seperti misalnya, muntah, atau menjerit, atau mengerang? Aku belum pernah mabuk sebelumnya," tanya Clarice ngeri.
"Tidak. Kau sama sekali membuat kegaduhan di mobilku. Tapi, kau muntah di garasi rumahmu. Supaya kau tidak panik saat berangkat sekolah, maka aku langsung menyiramnya dengan selang di pinggir garasi—apakah itu untuk menyiram tanaman?" Jefferson mengatakan semuanya dengan santai, seolah-olah ia sudah terbiasa menghadapi semua kejadian itu.
Namun, Clarice sama sekali tidak terbiasa. "Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Aku harus meminta penitensi dari Pastur secepatnya," erang Clarice sambil mengacak-acak rambutnya. "Oh ... itu pesta terburuk yang pernah kudatangi, Jeff. Jangan bahas itu lagi." Clarice menyandarkan punggungnya pasrah.
Jefferson tertawa pelan. "I'm sorry. Tapi, tanpa pesta itu, kau tidak akan mengetahui kebenarannya, kan? Karena aku tidak akan membuntuti Maison jika cowok itu tidak pernah macam-macam terhadapmu."
Clarice mengangguk, lalu beranjak keluar dari mobil Jefferson. "Thanks, Jeff."
"Ha! Clary, tunggu sebentar." Jefferson berbalik, mengambil sesuatu di kursi belakang. "Makan malam untukmu," ucap Jefferson sambil menyodorkan bungkusan cokelat berisi makanan McDonald's.
"This gonna be sweet," ucap Clarice sambil tersenyum lebar, lalu menerima bungkusan cokelat tersebut. Gadis itu pun masuk ke rumahnya tanpa mengatakan sepatah kata lagi.
***
Clarice terduduk di pinggir kasur, memasangkan earphone di telinganya. Ia kembali memutar audio yang didapatkan Jefferson di pesisir pantai Brighton Beach. Motif Nicholas, permainan Nicholas, dan semuanya. Clarice akhirnya mengetahui keseluruhan ceritanya melalui rekaman butut itu.
Jika diingat-ingat lagi, rasanya semua fakta ini seperti drama. Terlalu direncanakan. Tetapi, yah ... ini memang direncanakan. Mengapa semuanya yang ditemuinya hanya seperti kepura-puraan? Awalnya ia tertarik pada Nicholas, lalu Jefferson mengejarnya dengan agresif. Ia mulai berusaha menerima keberadaan Jefferson, dan perlahan-lahan perasaan tertariknya terhadap Nicholas digantikan dengan perasaan nyaman bersama Jefferson. Lalu, pada akhirnya ia mengetahui bahwa orang yang disukainya pada kesan pertama ternyata hanya menjadikannya umpan pada permainan Truth or Dare demi mendapatkan uang lima ribu dolar guna melunasi biaya pendaftaran di universitas. Sekali lagi, ini tidak dapat dipercaya.
Clarice beringsut mendekati laci mejanya dan membukanya, lalu mengambil tiga surat cinta yang diterimanya beberapa bulan saat musim semi lalu. Semuanya masih terasa seperti baru kemarin terjadi. Dan sekarang, di akhir musim panas pada tahun yang sama, semuanya telah berubah. Hanya secepat itu.
Clarice membuka amplop persegi bersegel hati. Perlahan-lahan, ia mengeluarkan selembar kertas surat yang dilipat empat kali, bersamaan dengan empat lembar foto 4R berkualitas HD.
Dear Clarice Barack,
Aku tidak tahu bagaimana cara menulis surat yang baik kepada seorang gadis tertutup sepertimu. Tapi, aku telah memutuskan untuk mencobanya—bahkan sampai tahap untuk mengirimkannya kepadamu. Karena ....
Kau pasti menyadarinya. Bahwa kau berbeda dari gadis-gadis lain di sekolah kita. Dan aku menyukai hal-hal itu.
Kau terlihat sangat disiplin dalam mengatur kehidupanmu. Kau mengatur hidupmu sedemikian rupa hingga nyaris tak ada waktu yang terbuang ketika seseorang bersamamu. Dan yang paling menarik ... kau tahu pasti apa yang kau inginkan.
Aku tak terlalu mengerti jalan pikir para gadis, bagaimana seorang yang disiplin sepertimu bisa bersahabat karib dengan Miracle yang berantakan. Tapi, jujur saja aku mendapat banyak informasi tentangmu dari gadis supel itu. Ia bahkan memberikan informasi yang sangat lengkap tentang tempat-tempat yang biasa kau kunjungi saat jam istirahat.
Dan, yeah ... aku berhasil mendapatkan foto dirimu. Kuharap kau menyukainya. XOXO
Love Regards,
Cowok Blasteran Amerika-Prancis
Clarice meletakkan suratnya, lalu beralih melihat foto hasil tangkapan Nicholas. Dulu, ia menganggap bahwa foto itu adalah yang terindah. Diambil dari sudut pencahayaan terbaik, pada saat pose terbaik. Namun, sekarang semua itu sama sekali tidak berarti.
"Setidaknya yang terburuk sudah berakhir," gumam Clarice sambil menyobek surat dari Nicholas. Lalu, ia membuang sobekan-sobekan kertas tersebut dalam tong sampah basah—tempat makanan-makanan basi berada.
Footnote:
Alexina Graham= salah satu model Victoria's Secret
Penitensi= denda dosa yang diberikan oleh Pastur setelah menerima Sakramen Tobat dalam Gereja Katolik Roma
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro