Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 19

Jefferson menggenggam pergelangan tangan Clarice sambil berjalan mengantarkan gadis itu ke kafetaria. Dalam perjalanan dari parkiran menuju kafetaria pantai sepanjang lima puluh meter, Jefferson bertemu dengan banyak sekali temannya. Kebanyakan dari mereka memandang Clarice dengan tatapan aneh karena penampilan Clarice yang ekstra tertutup, tetapi ada juga yang penasaran dan bertanya kepada Jefferson.

"Siapa orang ini, Jeff?" tanya seorang pria bercelana kuning yang menggandeng gadis berkulit hitam.

"Oh ... ia lesbian dari Kanada. Aku hendak mengajaknya ke kafetaria dulu supaya ia bisa menikmati makanan khas Amerika," jelas Jefferson tanpa dosa. Di balik masker hitamnya, Clarice berusaha menahan tawa. Bagaimana bisa Jefferson memikirkan jawaban sefantastis itu?

"Hei, kita harus cepat, Clary. Pakaianmu mencolok sekali," ujar Jefferson sambil menarik Clarice menuju kafetaria. Ketika mereka telah berada dalam ruangan, Jefferson mendesah lega.

"Mencolok apanya? Ini pakaian yang sangat-sangat normal," bantah Clarice sambil melepaskan masker.

"Normal? Ha! Ketika semua orang berpakaian setengah telanjang, pakaianmu sama sekali abnormal," sahut Jefferson, lalu cowok itu menarik kursi untuk Clarice. "Baiklah. Semoga kau mendapat banyak inspirasi desain dengan memperhatikan kostum para cewek di Summer Holiday. Jika ada sesuatu, kau langsung telepon aku, OK! Handphoneku akan selalu aktif."

"Thanks, Jeff. Bersenang-senanglah," tutur Clarice sambil tersenyum tipis. Clarice pun duduk lalu mengeluarkan handphone dan earphonenya. Tiba-tiba, Clarice menyadari bahwa Jefferson masih diam di tempatnya. "Mengapa kau masih berdiri di sini?"

"Sejujurnya, aku tak rela meninggalkanmu di sini," rayu Jefferson. Telapak tangan cowok itu diletakkan di meja sehingga menyangga tubuhnya. Jarak wajah Jefferson dari wajah Clarice tidak lebih dari dua puluh senti, sehingga posisi ini membuat Clarice gugup.

"Bohong! Kau terlihat bersemangat sekali ketika datang ke sini. Cepat sana pergi. Jangan menggangguku membuat desain," usir Clarice sambil mendorong tubuh Jefferson. Jefferson tertawa pelan, kemudian melambaikan tangan ke arah Clarice. Gadis itu tersenyum tipis, lalu melanjutkan aktivitasnya sendiri.

***

Clarice benar-benar menikmati waktunya di kafetaria pantai dengan menggambar sketsa desain dan menikmati ice cream red velvet yang direkomendasikan oleh pelayan kafetaria. Oh ... Clarice tak menyangka bahwa sekarang ia cukup akrab dengan pelayan bernama Marie itu. Kausalitasnya benar-benar menggelikan.

Awalnya, Marie telah mendengar dari kabar angin bahwa Clarice adalah seorang lesbian dari Kanada. Maka, Marie yang ternyata merupakan lesbian asli mulai tertarik untuk berbincang dengan Clarice.

Pertanyaan paling menggelikan yang pernah didengar Clarice dari bibir Marie adalah: "Clarice, mengapa kau tertarik untuk menjadi lesbian? Dan kau tidak malu untuk menjelaskannya ke semua orang. Aku kagum padamu."

Clarice mengernyitkan kening. Tentu saja aku tidak malu. Karena semua itu hanya pura-pura supaya tidak ada cowok yang tertarik mendekatiku, pikir Clarice. Namun, akhirnya Clarice memutuskan untuk menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan imajinasi terliar yang sempat muncul di kepalanya.

"Oh ... begini. Sebenarnya, semua cewek tidak perlu malu mengakui jika ternyata ia lesbian. Lesbian adalah seorang feminis sejati. Itu artinya kau sangat mencintai tubuhmu dan menjunjung tinggi martabat wanita, sehingga kau tidak mau berhubungan dengan pria mana pun. Nah, kira-kira seperti itu pendapatku," tutur Clarice datar. Clarice kembali melihat-lihat daftar menu, dan tiba-tiba ia bingung.

"Marie, apa kau punya rekomendasi menu untuk lesbian Kanada melankolis yang seksi sepertiku?" tanya Clarice sambil menggigit ujung batang pensil sketsanya.

"Oh ... bagaimana jika ice cream red velvet yang menyegarkan? Warna merah selalu memancarkan aura seorang gadis bukan? Dan jenis red velvet yang seperti ini hanya dapat kau temui di Brighton Beach," jawab Marie antusias. Clarice mengangguk, kemudian membalik halaman untuk mencari gambar sajian ice cream red velvet tersebut.

"Baiklah, aku pesan itu saja." Clarice pun mengembalikan daftar menu kepada Marie, lalu menyumpalkan earphone ke telinganya. Marie pun menuliskan pesanan Clarice di buku kecilnya, lalu pergi menuju dapur.

***

Speaker yang menyuarakan lagu-lagu Summer Picnic dari berbagai sudut di pantai benar-benar tak mampu mengalahkan riuh rendah sorakan para remaja yang bermain-main di Brighton Beach. Ratusan remaja dari seluruh Brooklyn menjadi liar di pantai tersebut.

Di salah satu sisi pesisir pantai, Jefferson menjauh dari meja setelah memenangkan bottle backflip challenge yang diajukan oleh salah satu temannya.

"Hei, Jefferson. Kau mau ke mana? Ini baru ronde satu," cegah salah satu cowok bercelana biru.

"Sebentar, man. Aku ingin jalan-jalan dulu," ucap Jefferson, lalu cowok itu bersandar di salah satu tiang payung dan mengeluarkan handphonenya.

Clary, apa kau bersenang-senang di kafetaria? ;) Jefferson memperhatikan ke sekeliling pantai sambil menunggu pesan dari Clarice.

Tiba-tiba, pandangan matanya berhenti pada satu orang. Nicholas Maison. Apa yang Maison lakukan di sini? pikir Jefferson sambil memasukkan kembali handphonenya ke saku. Melihat cowok itu, Jefferson langsung teringat dengan perlakuannya pada Clarice saat pesta TGIF. Jefferson berjalan perlahan-lahan mendekati Nicholas. Awalnya, ia hendak langsung menghampiri Nicholas dan ... mungkin mengajak cowok itu bertengkar? Entahlah. Jefferson sangat marah jika mengingat kejadian itu lagi.

Namun, sebelum Jefferson sempat berkeputusan bulat untuk menantang Nicholas, tiba-tiba ia mendengar suara samar-sama dari seorang cowok hipster bercelana hitam yang berbicara dengan Nicholas.

"Kau benar-benar tidak berhasil mendapatkannya?" tanya cowok hipster. Jefferson segera mengeluarkan handphone dan menyalakan recorder setelah itu. Siapa yang sedang berusaha didapatkan Maison? pikir Jefferson.

"Entahlah. Aku belum tahu. Gadis itu susah sekali kutemui. Setiap aku melihatnya, ia pasti sedang bersama dengan Jefferson Royce. Aku hanya dapat bertemu dengannya kedua kali saat pesta TGIF. Dan sebelum aku berhasil melakukan apa pun, Royce sudah datang dan mengancamku," tutur Nicholas, lalu menenggak birnya.

Jefferson semakin meningkatkan kapasitas penangkapan recordernya. Maison bahkan menyebut-nyebut namaku? Fuck. Siapa maksud cowok itu? Siapa cewek incaran Nicholas yang selalu bersama denganku? Sekali lagi, Jefferson merasa gelisah.

"Oh ... Maison, aku yakin kau tidak ingin kehilangan 5000 dolarnya, kan? Apakah sesulit itu menyingkirkan Royce dan mendapatkan Clarice?" tantang cowok hipster. Jefferson dapat merasakan wajah dan telinganya memerah begitu mendengar kalimat tersebut.

Tidak lain lagi. Maksud mereka benar-benar Clary, geram Jefferson.

"Tom, ini tantangan dare paling sulit yang pernah kupecahkan dalam permainan Truth or Dare. Clarice tidak seperti cewek kebanyakan yang mudah jatuh cinta." Nicholas menenggak birnya lagi. "Tapi, aku akan mengusahakannya," lanjut Nicholas.

"Kalau begitu beraksilah sekarang, dude. Kudengar dari Marie, pelayan kafetaria, Clarice sedang bersantai di sana," sahut Tom sambil mendorong bahu Nicholas.

Jefferson langsung mematikan recordernya saat itu juga. Ini sudah bukti yang cukup lengkap untuk memaksa Clarice menjauhi Nicholas. Lagipula, bagaimana cewek seperti Clarice bisa mengenal Nicholas? Jefferson benar-benar bingung.

Ia pun berjalan memutar untuk keluar dari kawasan wisata Brighton Beach, hendak menghampiri Clarice di kafetaria. Sambil berjalan, tiba-tiba ia merasakan handphone di sakunya bergetar dan ringtone panjang berkumandang.

Tentu saja. Aku bahkan berkenalan dengan cewek lesbian di sini.

Jika Jefferson belum mendengar percakapan cowok hipster dengan Nicholas, ia pasti akan tertawa membaca pesan tersebut. Pesan dari Clarice sangat polos, seolah-olah tidak ada kejadian buruk yang terjadi. Menyadari itu, Jefferson semakin marah kepada Nicholas. Ia mempercepat langkahnya menuju ke kafetaria.

"Hei, Jeff. Aku sudah berhasil backflip lima kali. Kau harus cepat menyusulku jika tidak mau kalah," seru Matthew sambil melemparkan botol. Botol tersebut tepat mengenai pantat Jefferson.

"Shit. Urusi saja botolmu. Aku tidak peduli." Jefferson mendengkus dan tetap berjalan cepat.

***

Jefferson masuk ke kafetaria dengan wajah kesal, lalu duduk di hadapan Clarice. Clarice tidak mengerti apa yang terjadi.

"Apa kau tidak bersenang-senang di pantai?" tanya Clarice bingung, lalu Jefferson mengangguk menyetujui tebakan itu. "Kau mau minum?"

Jefferson langsung beranjak dari tempat duduk, lalu menghampiri mesin penjual otomatis di sudut ruangan. Cowok itu memasukkan uang, lalu menunggu turunnya minuman kaleng.

Clarice menghela napas sambil menggelengkan kepala, lalu beralih menatap pintu. Pada saat itu, tiba-tiba sosok Nicholas muncul dari balik pintu. Tatapannya dan Nicole bertemu selama beberapa detik.

"Eh ... hai, Clarice. Apa yang kau lakukan di sini?" sapa Nicholas sambil tersenyum.

"Aku mencari inspirasi untuk menggambar di sini. Kau sendiri?" Clarice balik bertanya.

"Yeah ... aku haus. Minuman di pantai agak mahal, jadi aku ke sini untuk membeli minuman di mesin penjual otomatis," jelas Nicholas, lalu mengalihkan pandangan ke arah mesin penjual otomatis di sudut kafetaria. Saat itu juga, tubuh Nicholas mati kutu.

Jefferson yang telah mendapatkan sekaleng Pepsi kembali ke meja Clarice. Ketika pandangannya bertemu dengan Nicholas, Jefferson segera mendekati cowok itu.

"Clary bukan boneka. Tolong jangan mendekatinya hanya untuk bermain-main." Jefferson mengadukan bahunya ke bahu Nicholas, lalu berjalan melewati Nicholas. Ia membuka kaleng Pepsi-nya sebal.

Nicholas yang sama sekali tidak mengerti situasinya pun menyahut, "Aku tidak tahu apa maksudmu. Aku tidak bermain-main dengannya."

Jefferson berbalik secepat kilat dan menyemprot isi botol Pepsi tepat di wajah Nicholas. Ketika Nicholas terbatuk-batuk karena semprotan Pepsi yang mengenai wajahnya, tiba-tiba Jefferson melayangkan tinju tepat di bibir Nicholas.

"JEFF!!! APA YANG KAU LAKUKAN?" jerit Clarice sambil beranjak dari kursinya. Gadis itu langsung mendekati Nicole dan membantunya berdiri tegak.

"Apa maumu, Royce?" desis Nicholas sambil mengusap mulutnya yang terkena tinju.

"Clarice Barack! Tolong jangan pernah berhubungan lagi dengan Maison! Ia hanya mneggunakanmu sebagai umpan permainannya," bentak Jefferson sambil menarik tangan Clarice supaya menjauh dari Nicholas.

Mengapa hatiku terasa tercubit ketika Jeff memanggilku dengan nama lengkap? pikir Clarice sebal. Sepertinya Jefferson benar-benar marah. Clarice harus berusaha menengahi semua ini.

"Jefferson, jangan menuduh orang jika kau tidak punya bukti." Dalam hati, Clarice berharap bahwa Jefferson tidak punya bukti, sehingga cowok itu cepat-cepat pergi dari tempat ini. Mengapa pula Jefferson menjadi sentimental tiba-tiba?

"Aku punya bukti, Clary." Jefferson segera mengeluarkan handphone, lalu membuka galeri dan mengacungkan handphone sambil memutar rekaman pembicaraan Nicholas dengan cowok hipster di pantai.

Video kasak-kusuk tak jelas terdengar dari handphone Jefferson selama beberapa detik kemudian, hingga tiba-tiba recorder telah tersambung lalu terdengar suara pembicaraan Tom dan Nicholas yang samar-samar tertelan riuh-rendah.

Clarice merasa otaknya berhenti berfungsi ketika mendengar audio berkualitas rendah itu. Ia tidak perlu mendengarkan audio tersebut sampai selesai. Jika Jefferson berani memutar audio itu di depan Clarice dan Nicholas, maka Clarice percaya dengan Jefferson.

"Jeff, berikan handphonemu." Clarice menggunakan nada memerintah yang biasa ia lakukan pada Miracle. Namun, Jefferson hanya menurunkan handphonenya. "Jeff, berikan handphonemu," ulang Clarice lagi, kali ini dengan nada lebih tinggi.

"Bagaimana bisa aku membahas hal seprivat itu di tempat umum? Dan bagaimana kau dapat mendapatkan rekaman itu? Kata-kataku itu tidak seharusnya didengar oleh siapa pun." Nicholas mengerang marah.

Aku memang tak perlu mendengarkannya hingga selesai. Nicholas tidak menyangkalnya, dan aku percaya padamu, Jeff, ujar Clarice dalam hati.

"Kau minum bir, tolol!" seru Jefferson marah. Jefferson melemparkan handphonenya ke arah Clarice, lalu membuang kaleng Pepsi sembarangan. Clarice berusaha menangkap handphone yang terlempar ke arah dadanya, lalu memasukkan handphone Jefferson di tasnya. Clarice segera membereskan barang-barangnya yang terletak di meja.

"Clarice, aku punya alasan di balik ini semua," cegah Nicholas. Clarice tak menyahut apa pun, jadi Nicole berasumsi bahwa Clarice langsung mempersilakannya berbicara. "Ini bukan ToD biasa. Kau tahu tahun Seniorku sudah berakhir dan aku harus melunasi uang gedung universitas secepatnya. Mereka memberiku uang 5000 dolar jika aku berhasil memenuhi tantangan dare."

"Aku mengerti tentang membayar biaya kuliah. Tetapi, mengapa kau menjadikanku sebagai umpan?" Clarice tak mengerti dengan model permainan ToD yang dilakukan para remaja seusianya. Mengapa tantangan dare mengerikan sekali?

"Umpan? Tidak. Kau bukan hanya itu. Awalnya, aku memang agak tertarik padamu dari cerita Miracle. Namun, pada proses aku mengerjarmu, aku benar-benar menyukaimu," tutur Nicholas sambil mengerang.

Pada prosesnya, Nicole benar-benar menyukaiku? Jadi sekarang apa maksudnya? Mengapa plotnya jadi rumit seperti ini? pikir Clarice sambil mengernyitkan kening. "Huft ... ini agak sulit bagiku. Tetapi, tetap saja aku bukan cewek yang dapat kau gunakan untuk mencari uang, Nicholas." Clarice mengembuskan napas, lalu menyampirkan tas ransel di bahunya.

"Clarice, aku ...."

"Kenyataan sudah di depan mata, Maison," tukas Jefferson sinis. "Aku dapat memperdengarkan rekaman utuhnya sekarang. Dan semua orang akan mengetahui kebusukanmu."

Bugh .... Nicholas langsung melayangkan tinjunya di wajah Jefferson ketika ia mengatakan hal itu. Jefferson yang tidak terima langsung membalasnya, dan kedua cowok itu pun bergulat di lantai kafetaria. Seketika itu juga, entah bagaimana caranya, tiba-tiba puluhan orang memasuki kafetaria untuk 'menonton' perkelahian itu.

Apa mereka pikir ini sesuatu yang menyenangkan untuk ditonton? Clarice mendesah sebal, lalu menyingkirkan meja kursi sambil mendekati Jefferson dan Nicholas dengan hati-hati.

"Jefferson! Cukup! Tidak ada gunanya kau bertengkar dengan Nicholas. Pulang sekarang!" seru Clarice marah. Gadis itu segera menarik lengan Jefferson, lalu membawanya keluar dari kafetaria.

Biarkan saja semua orang menikmati, biarkan saja semua orang melongo. Tapi, mengapa Jefferson temperamental sekali?

Footnote:

Hipster= masyarakat subkultur yang memiliki kesukaan akan hal yang dianggap memiliki jiwa seni, intelektual, dan berbeda atau tidak mengikuti selera pasar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro