Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10

Clarice sudah hampir sepuluh menit berkutat pada lemari pakaiannya, tetapi ia tak lekas menemukan pakaian yang cantik untuk menghadiri pesta remaja pertama ini. Akhirnya, Clarice beralih menuju kamar Mom yang terletak di ujung lantai dua. Ia membuka lemari dan melihat-lihat beberapa gaun mini yang berwarna cantik. Clarice tak tahu mengapa ibunya pernah memiliki banyak gaun cantik seperti itu. Mungkinkah ibunya juga pernah menghadiri banyak pesta seperti Miracle? Entahlah. Ibunya memang tak pernah membahas soal itu di hadapannya. Tetapi, untuk sekarang Clarice memutuskan untuk menyingkirkan hal-hal itu dari pikirannya.

Ia melihat-lihat koleksi gaun ibunya; sebuah gaun malam warna hitam yang dilapisi brokat di semua pepotongannya, sebuah gaun koktail hijau zamrud klasik yang—menurut Clarice—terlalu terbuka di bagian punggungnya, gaun koktail biru model sabrina yang bagian roknya dibentuk miring, dan masih ada beberapa gaun lainnya. Tetapi, setelah melihat-lihat seisi lemari, pilihannya jatuh pada sebuah gaun koktail merah muda selutut tanpa lengan yang bagian atasnya hanya dilapisi brokat tipis.

"Ini paling cantik," gumam Clarice sambil mengeluarkan gaun tersebut dari lemari Mom.

Clarice kembali turun menuju kamarnya, meletakkan gaun tersebut di spring bed, kemudian meraih handphone dan mengirimkan SMS kepada Mom.

Mom, aku pinjam gaun koktail milik Mom yang ini. Clarice mengetikkan pesan tersebut dan mengirimkan foto gaun yang dipinjamnya, kemudian mulai berganti pakaian.

Seusai berhasil memakai gaun koktail yang tipis itu, Clarice melirik ke handphonenya yang bergetar di atas meja. SMS masuk dari Mom.

Boleh saja. Pastikan bahwa kau tidak akan merusak bagian apa pun. Itu salah satu gaun kesukaan Mom. Btw, kau memakai gaun itu untuk kemana?

Clarice langsung mengetikkan balasannya. Party w/ some friends.

Okay. Bersenang-senanglah, dear. XOXO.

Clarice mengirimkan emoticon senyum, kemudian segera melanjutkan aktivitasnya. Ia melirik bagian atas handphonenya, dan ternyata waktu telah menunjukkan pukul 06.20 p.m. Itu berarti ia hanya punya waktu sepuluh menit untuk memoleskan make up natural sebelum Jefferson menjemputnya di depan rumah.

Clarice duduk di hadapan meja riasnya, kemudian mengeluarkan day essence, two way cake powder, pensil alis, dan lip gloss. Ia mengaplikasikan day essencenya menggunakan beauty blender dengan sedikit terburu-buru, karena ia semakin gugup lantaran waktunya hanya tersisa tujuh menit lagi. Sembari menunggu day essencenya meresap, ia menggambar alis pada alis lurusnya yang tipis—nyaris setipis alis orang Asia, yang sepertinya ia dapat dari Dad. Setelah itu, Clarice mengucir rambut sebahunya menjadi bentuk bun berdiameter lima sentimeter di puncak kepala. Ia lanjut menepuk-nepuk two way cake powder pada wajahnya ketika ia mendengar suara mesin mobil menderu di depan rumahnya.

Oh, tidak. Semoga bukan Jefferson yang datang, pikir Clarice. Ia berjalan mendekati jendela kamar sambil mengaplikasikan powder di pipinya. Ia berharap bahwa itu tamu Ms. Rachel saja. Tetapi, ketika ia melihat pengemudi mobil Mustang tersebut menurunkan jendela dan melemparkan senyum narsis ke arahnya, ia langsung mengetahui bahwa itu pasti Jefferson. Clarice cepat-cepat kembali ke hadapan meja riasnya, lalu beralih memberi polesan tipis lip gloss di bibirnya.

Tak seperti biasanya, kali ini Clarice meninggalkan semua alat make up itu di mejanya tanpa dibereskan. Ini bukan hanya karena sikap kacaunya yang telah lama hilang kambuh kembali. Ia juga sangat gugup sekarang. Clarice segera menyambar sebuah tas kecil dari manik-manik, kemudian memasukkan handphone, lip gloss, dan—tentu saja—buku novel ke dalamnya. Ia tak tahu apakah pesta nanti akan membuatnya kebosanan, tetapi tak ada salahnya jika ia menyiapkan pengalih fokus.

Clarice setengah berlari menuju mobil Mustang Jefferson setelah mengunci pintu rumah. Ia mendapati cowok itu tengah bersedekap sambil bersandar di sisi pintu mobil. Hari itu, Jefferson hanya mengenakan kemeja dari kain gingham nuansa kuning dan celana gabardine hitam. Namun, tetap saja pesona seorang Jefferson Royce tergambar jelas hanya dalam kemeja casual tersebut.

Ah, betapa sederhananya menjadi cowok, keluh Clarice dalam hati.

"Mengapa kau tidak langsung keluar tadi?" tanya Jefferson sambil mengamati pakaian Clarice. Clarice merasa terintimidasi jika diperhatikan seperti ini. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, berusaha berkata-kata sebelum tiba-tiba Jefferson melanjutkan ucapannya. "Oh ... aku tahu. Kau pasti sedang menyelesaikan persiapan penampilan ini, kan?"

"Ya. Seperti itu," sahut Clarice canggung.

"Ayo. Kita langsung berangkat." Jefferson menarik pergelangan tangan Clarice, kemudian membuka pintu untuk penumpang. "Silakan masuk."

Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan. Clarice tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang cowok sebelumnya. Bukankah ini seperti kisah di drama romance-comedy musim panas? Clarice tersenyum ragu, sebelum akhirnya ia masuk dan duduk di dalam mobil, lalu Jefferson menutup pintu untuknya. Cowok itu berjalan memutar menuju ke sisi kiri mobil, dan duduk di belakang stir. Jefferson pun menginjak pedal gas, lalu mobil mulai melaju menuju hotel keluarga Patterson.

***

Suasana di dalam mobil ternyata berjalan secanggung yang Clarice bayangkan. Gadis itu terus-terusan memandang ke luar jendela untuk menghindari kontak mata dengan Jefferson. Ia tahu bahwa seluruh tubuhnya terasa seperti tersengat listrik jika Jefferson—satu-satunya orang selain diriya di dalam mobil, cowok yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu—memandanginya.

"Kau mau memutar musik? Atau radio?" Jefferson akhirnya angkat bicara. Pandangannya tetap berfokus ke depan pada jalanan.

"Boleh," jawab Clarice singkat.

"Kau suka musik apa? Sejenis One Direction atau The Beatles? Alan Walker atau Ariana Grande? Attention atau Never Enough?" tanya Jefferson secara beruntun sambil menyalakan tape mobilnya.

"The Beatles, Alan Walker, Never Enough." Clarice menjawab pertanyaan Jefferson secara beruntun pula.

Jefferson mengangguk, kemudian memutar lagu Faded milik Alan Walker. "Omong-omong, selera musikmu hampir sama denganku."

Mendengar itu, Clarice segera menoleh ke arah Jefferson. "Oh ... itu keren. Sebenarnya, aku tidak terlalu sering mendengarkan musik. Hanya saat ada orang yang menyetel musik dan aku cukup dapat menikmatinya. Aku hampir tidak pernah menyempatkan diriku untuk mendengarkan musik. Yeah, kau tahu. Aku lebih tertarik dengan visual daripada audio," cerita Clarice.

"Itu sebabnya kau mengambil kelas Digital Art?" tanya Jefferson.

"Tentu. Aku sangat menyukai seni desain busana," jawab Clarice antusias. Ia memang selalu antusias ketika membahas tentang hobinya.

"Yeah ... aku tahu. Desainmu sangat bagus, unik, estetik, dan ... seksi," sahut Jefferson.

Clarice mengernyitkan keningnya ketika mendengar kata sifat terakhir. Seksi? Benarkah? Ia tidak pernah menganggap desain kostumnya sebagai sesuatu yang seperti itu. Baiklah. Ia memang menggambar beberapa bikini hot untuk menghadiri acara Spring Break, tetapi ia tak pernah menyadari bahwa itu termasuk dalam kategori seksi. Desain lingerie Victoria's Secret, itu baru seksi. Tetapi, Clarice suka dengan asumsi baru itu. "Terima kasih," sahutnya singkat.

Jefferson tersenyum singkat ke arah Clarice, dan Clarice membalas senyumannya. Untuk sesaat, Clarice merasa wajahnya bersemu merah. Tetapi, perasaan dramatisnya tak berlangsung lama.

Tiba-tiba, sebuah mobil van memotong jalur di pertigaan ketika lampu lalu lintas di jalur tersebut berwarna merah. Jefferson mengerem laju Mustang-nya secara mendadak sambil membunyikan klakson panjang.

"Oh, tidak. Shit! Fucking!" umpat Jefferson sambil membunyikan klakson terakhirnya. "Ke mana para polisi Amerika? Shit." Jefferson mengumpat sekali lagi.

Tiba-tiba, Jefferson langsung menoleh kepada Clarice yang sedang menahan napasnya sambil terduduk kaku di kursi mobil. "Clary, kau tidak apa-apa?" tanya Jefferson dengan khawatir. Ia memindahkan mobilnya ke pinggir jalan, kemudian melepas sabuk pengamannya dan memperhatikan Clarice.

"Kau tidak apa-apa?" ulang Jefferson.

Clarice mengangguk sekali. "Hanya membentur bagian belakang kursi."

Tangan Jefferson meraih bagian belakang kepala Clarice, kemudian memijatnya dengan lembut. "Sudah tidak apa-apa?" Clarice mengangguk. "Untungnya kau memakai sabuk, Clary," ujar Jefferson sambil menghela napas lega.

"Ya," jawab Clarice dengan suara lirih. Sepertinya ia masih terguncang lantaran Jefferson yang mengerem terlalu mendadak. Sedikit lagi, ia hampir membentur dasbor mobil tadi. Dan entah bagaimana nasib kepalanya sekarang jika itu benar-benar terjadi. Kau tidak mungkin masih bisa tenang dan ceria jika kepalamu hampir binasa.

"Maaf. Aku nyaris membahayakanmu di tumpangan pertama," ucap Jefferson sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya telah siap di samping stir, tetapi ia tidak melajukan mobilnya.

"Tidak apa-apa. Itu bukan salahmu. Kita lanjut jalan saja," sahut Clarice sambil menggosok-gosokkan tangan di sabuk. Jefferson mengetahui reaksi gelisah Clarice itu, tetapi ia memutuskan untuk tidak berkomentar apa pun dan memilih melajukan mobilnya.

***

Suara musik heavy metal yang menggelegar di setiap sudut ruangan dan lampu disco yang terus berputar membuat kepala Clarice sedikit pening. Sekarang, ia tahu bahwa menghadiri pesta ini adalah pilihan yang salah. Meskipun ia membawa pengalih fokus berupa novel, tetap saja ia tidak dapat membacanya di tengah situasi yang 'gemerlap' seperti ini. Yeah, ini menakutkan. Persis seperti yang dibayangkannya. Seharusnya ia mengetahui bahwa melihat dunia luar tidak harus dilakukan dengan menghadiri pesta-pesta remaja glamour. Ini sebuah kesalahan.

Clarice terus berjalan di dekat Jefferson sementara cowok itu terus menyapa setiap teman yang dikenalinya. Hingga akhirnya, Jefferson berhasil menemui Ronald Patterson yang sedang bermain kartu tarot dengan beberapa cowok bertato di ujung lain ruangan.

"What's up, bro?" sapa Jefferson sambil meninju bahu Ronald.

"Whoa ... welcome to our hall, Jeff," balas Ronald, lalu kedua cowok itu mengadukan tinjunya. Setelah mereka tertawa bersama seolah baru saja bertemu setelah setahun berpisah, akhirnya Ronald menyadari kehadiran Clarice.

"Pacarmu?" tanya Ronald sambil memandangi penampilan Clarice. "Menarik."

"Yeah ... sebenarnya bukan. Ia seorang cewek yang kukenal lewat cerita temanku, dan aku tertarik padanya. Jadi, aku memintanya untuk menemaniku mendatangi pesta ini, dan .... Ya. Kami bersama sekarang," jelas Jefferson sambil tersenyum ke arah Clarice.

Clarice tak tahu apakah ia harus merasa kesal atau berterima kasih kepada Jefferson. Cowok itu menciptakan kesan seolah-olah Clarice adalah cewek sembarangan yang mudah diajak berkencan. Tetapi, di sisi lain, Jefferson juga mencairkan suasana tegang yang dirasakan Clarice dengan sikap periangnya ketika menjelaskan hal tersebut. Akhirnya, Clarice pun hanya menyunggingkan senyum singkat kepada kedua cowok di hadapannya.

"Hai. Aku Ronald Patterson," ucap Ronald sambil mengulurkan tangannya ke arah Clarice.

Clarice memandang skeptis, kemudian menoleh kepada Jefferson. Jefferson tersenyum tipis, lalu menunjuk tangan Ronald yang terulur dengan dagunya, seolah menyuruh Clarice untuk segera menjabat tangan itu.

"Clarice Barack," ucap Clarice sambil menjabat tangan Ronald.

Ronald mengerlingkan matanya ke arah Clarice, dan ... ugh, sial! Ronald menarik Clarice untuk mendekat ke arahnya. Kemudian, cowok itu memindahkan tubuh Clarice untuk berdiri di sampingnya, dan merangkul bahu Clarice.

"Hei, Jeff. Sepertinya tarotku memang bagus hari ini. Clarice ini bukan pacarmu, kan? Bagaimana jika aku saja yang bersama dengannya?" tawar Ronald. "Just for this night, girl." Ronald menatap Clarice dengan intens.

Clarice merasa telinganya memanas ketika mendengar hal tersebut. Ini pertama kalinya ia mendengar seorang cowok mengajaknya untuk berkencan satu malam. Dan ... ini gila! Impossible dan tidak masuk akal. Mengapa ada cowok yang sebegitu kurang ajar di dunia ini?

Clarice cepat-cepat menjauhkan diri dari Ronald dengan mendorong tubuh cowok tersebut. "Cowok bajingan!" umpat Clarice sambil berlari menjauhi situasi itu. Ia tak tahu ia harus berjalan ke mana, tetapi paling tidak ia harus menjauhi Ronald.

"Apa maksudnya ia melakukan itu?" tanya Ronald emosi sambil merentangkan tangannya, tak percaya dengan reaksi yang Clarice tunjukkan kepadanya.

"Oh my God, Ronald! Tolong jangan mengatakan hal-hal seperti itu. Clary sangat sensitif, dan ini adalah pesta remaja pertama yang dihadirinya. Jangan memperlakukannya sama seperti kau memperlakukan cewek lain," tegur Jefferson sambil berjalan menyusul Clarice yang berlari menembus kerumunan orang.

Footnote:

Gaun malam= gaun panjang yang biasa dipakai wanita untuk menghadiri pesta atau acara resmi pada malam hari

Gaun koktail= gaun yang cocok dipakai di acara-acara semi formal, biasanya sepanjang lutut

W/= singkatan dari kata'with' yang biasa dipakai dalam bahasa SMS

XOXO= bentuk virtual dari hughes and kisses (peluk/silang dan cium/lingkaran)

Kain gingham= kain katun yang biasanya bermotif kotak-kotak

Victoria's Secret= salah satu merek pakaian dalam yang cukup populer di Amerika Serikat.

Heavy metal= aliran musik rock yang ditandai dengan distorsi gitar yang snagat kuat, solo gitar panjang, ketukan cepat, dalam semua instrument alat musiknya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro