Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 12

by sirhayani

part of zhkansas

12

"Ma, Pa. Aku langsung berangkat, ya!" Lucy buru-buru keluar dari kamarnya karena terlambat bangun.

"Loh?" Mama menatap anaknya yang memakai sepatu di teras rumah. "Mama kira kamu masih sakit. Mama udah telepon ke rumah Zeline supaya kamu diizinin aja. Sarapan dulu. Kamu belum makan dari selamam. Lucy?"

Lucy seolah tidak mendengarkan. Dia membuka pagar, berlari dengan buru-buru.

"Matanya sembab. Habis nangis, ya?" tanya papa yang juga ada di teras. "Belakangan ini Lucy nggak kayak biasanya. Sadar nggak, Ma?"

"Sadar, sih. Cuma Lucy selalu sering di kamar dibanding dulu. Dulu kan anak itu suka nonton TV bareng." Mama mematikan keran yang dia pakai untuk menyiram tanamannya. "Sekarang lebih sering ngurung diri di kamar."

Papa memperbaiki dasinya. "Mulai sekarang Lucy harus jauh lebih diperhatiin lagi. Jangan sampai terjadi sesuatu." Papa mendekat ke mama Lucy, mengusap perut istrinya dengan lembut. "Baik-baik, ya, Nak. Tunggu berapa bulan lagi kamu ketemu sama kakak kamu."

Mama tertawa dan mengusap perutnya. "Ah, nggak nyangka Lucy akhirnya dapat adik baru. Waktu kecil dia sampai nangis-nangis pengin adik baru, tapi kita belum juga dikasih." Perempuan paruh baya itu tersenyum kepada suaminya. "Kalau adik Lucy sudah balita, kita ajak Lucy jalan-jalan sekalian ke luar negeri, ya? Ke mana, ya?"

"Lucy kan mau ke Paris, Ma."

"Ah, iya. Jadi nggak sabar."

***

Clarissa dan Zeline menahan Lucy agar tidak segera keluar dari kelas saat istirahat tiba. Dua sahabatnya itu memandang Lucy penuh selidik. Zeline bersedekap. Clarissa menahan kedua bahu Lucy dengan tangannya karena Lucy berusaha untuk berdiri.

Lucy memandang dua sahabaatnya itu bergantian. "Kalian kenapa? Gue laper tahu. Kantin, yuk?"

"Nggak sekarang. Kita berdua mau ngomongin hal yang penting banget sama lo!" gertak Zeline.

Lucy menghela napas. "Apa?"

"Ngaku!" seru Zeline. "Lo nggak bahagia kan sama Dean? Jujur aja. Kita berdua tahu lo tertekan setiap di samping cowok itu. Lucy, kita temen lo. Kalau ada apa-apa cerita, ya? Nggak tega gue ngelihat lo jadi aneh banget tiap ada di samping Dean. Awalnya gue pikir lo itu sama kayak gue, deg-degan karena suka sama cowok. But, setelah gue membuka mata gue lebar-lebar, itu beda. Beda banget."

Setelah itu hening. Tatapan menyelidik Zeline masih terus tertuju ke mata Lucy yang memandangnya tanpa ekspresi.

"Nggak ada apa-apa. Gue biasa aja sama seperti dulu." Lucy menjauhkan kedua tangan Clarissa dari bahunya.

"Lucy," panggil Clarissa. "Kalau ada apa-apa bilang. Gue dan Zeline udah kenal lo. Udah tahu banget lo kayak gimana walaupun kita baru kenal dari kelas 1 SMA."

Lucy mengusap lehernya dan tersenyum. "Serius. Kalau gue ada apa-apa pasti udah dari awal gue cerita." Dia berdiri, menepuk-nepuk masing-masing bahu sahabatnya pelan. "Dean ada di luar nungguin gue. Kayaknya gue nggak bisa makan bareng kalian lagi. Besok-besok, ya!"

Lucy berlari menghampiri Dean yang berdiri di luar kelas. Dean menggapai tangan Lucy dan sebelum pergi memandang Zeline dan Clarissa bergantian.

"Ck." Raut wajah Clarissa memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Dean. "Lihat, tuh, tatapannya. Udah kayak pembunuh aja."

"Hus! Jangan ngomong aneh-aneh. Kalau beneran gimana? Kan serem!" Zeline menyenggol bahu Clarissa. "Gimana, dong, sekarang? Gagal?"

"Lo, sih. Pakai ngebentak-bentak. Bukannya ngomong halus," omel Clarissa.

"Terus lo apa? Nahan bahu Lucy sampai bikin dia tegang, tahu?"

"Gue gitu karena nahan Lucy yang mau kabur." Clarissa berdecak. "Nggak ada cara lain. Kita kayaknya harus minta bantuan ke Dewa. Kalau Dean beneran cowok yang parah banget kita juga yang bakalan mampus."

"Y—ya." Zeline terlihat agak ragu. "Sebenarnya, gue mulai agak takut sih sama Dean. Tatapannya itu hiiih... nyeremin."

***

Tiga siswa SMA itu berangkat ke rumah Lucy menaiki mobil Dewa yang datang menjemput Zeline dan Clarissa di sekolah. Lucy tak terlihat setelah waktu istirahat habis dan karena itu juga dua cewek itu semakin khawatir kepada Lucy. Meski Zeline sudah berpikir positif bahwa Dean dan Lucy hanya jalan-jalan. Toh, mereka pacaran. Akan tetapi, Zeline tetap takut. Lucy adalah siswi teladan. Anti bolos. Kenapa mau saja pergi tanpa keterangan apa pun bersama cowok yang baru dikenalnya beberapa hari lalu?

"Nggak usah repot-repot, Tante." Clarissa tak enak melihat mamanya Lucy membawa tiga gelas minuman di atas nampan. Zeline dan Dewa saling memandang. Zeline sebenarnya agak ragu bertanya mengenai Lucy. Mamanya Lucy pasti akan kaget mendengar informasi tiba-tiba itu. Lucy meninggalkan tasnya di kelas dan hanya membawa diri bersama Dean. Begitu juga dengan Dean yang meninggalkan tas di kelasnya sendiri. Rupanya, dua orang itu sudah pergi entah ke mana saat istirahat. Pantas saja Lucy dan Dean tak terlihat saat di kantin.

Zeline dan Clarissa semakin panik mengetahui Lucy tak juga datang ke sekolah untuk mengambil tasnya. Lebih dari tiga jam mereka di sana dan tak juga ada tanda-tanda Lucy kembali.

Saat mamanya Lucy duduk, Dewa mulai bicara. "Begini, Tante. Tujuan kami datang kemari untuk bertanya tentang Lucy. Lucy udah pulang, ya?"

Mamanya Lucy agak heran. "Udah pulang, kok. Tadi katanya nggak enak badan makanya pulang cepet. Dari tadi di kamarnya, tuh. Belum mau keluar. Kayaknya dia kecapekan banget makanya sampai sekarang masih tidur aja."

Zeline bernapas lega. Pikiran Clarissa yang campur aduk mengenai kejanggalan-kejangalan yang ada. Kenapa Lucy meninggalkan tasnya? Lupa, kah? Setahu Clarissa, Lucy sangat sayang dengan buku-bukunya.

"Tuh, jadi salah paham, kan, sama Dean," bisik Zeline sambil menyenggol bahu Clarissa.

"Oh...." Dewa menunduk, menyatukan jemarinya di antara lutut. "Begini, Tante. Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya lancang, apa belakangan ini Lucy terlihat nggak kayak biasanya?"

Mamanya Lucy terdiam cukup lama sampai dia bicara. "Oh...." Perempuan paruh baya itu menatap remaja itu satu per satu. "Ya.... Iya. Tante ngerasa. Apa terjadi sesuatu dengan Lucy di sekolah?"

Zeline dan Dewa saling pandang. "Sepertinya...," kata Dewa agak ragu. Dia sudah mengode Zeline apakah dia harus membalas ini, tetapi Zeline justru tidak peka akan hal itu.

"Oh, iya, Tante. Lucy cerita nggak kalau dia punya pacar?" tanya Clarissa.

"Pacar?" Mamanya Lucy menggeleng pelan. "Jadi, kalau berangkat sekolah dia jalan kaki itu ketemu pacarnya di luar, ya...," gumamnya.

"Ah, bener, Tante.  Lucy udah punya pacar namanya Dean," tambah Clarissa. "Dan bukannya kami bertiga mau nuduh Dean dengan sembarangan kalau dia itu bawa pengaruh buruk ke Lucy. Cuma, kami khawatir aja, sih, dengan keadaan Lucy yang nggak kayak biasanya. Belum lagi faktanya mereka baru kenal satu hari udah pacaran. Lucy juga agak mulai aneh semenjak kenal Dean. Jadi, ya...."

"Tante mengerti, kok, maksud kamu." Mamanya Lucy tersenyum kepada Clarissa yang bicara ragu-ragu karena takut salah bicara. "Bentar, ya. Tante panggil Lucy dulu. Mudah-mudahan Lucy udah bangun."

Setelah mmanya Lucy pergi, Clarissa langsung panik menggoyangkan kedua bahu Zeline. "Gue salah ngomong, ya, barusan?" bisiknya.

"Lo ngegosipin Lucy di depan mamanya langsung tahu. Hayooo," ejek Zeline.

"Lucy...." Mamanya Lucy terus mengetuk pintu kamar Lucy. Tak ada tanda-tanda Lucy akan bangun. Bahkan Lucy juga tak bicara sama sekali dari dalam sana. "Lucy, buka, Nak. Ada temen-temen sekolah kamu, nih."

Sangat lama mamanya mengetuk pintu membuat Zeline dan Clarissa mulai saling pandang khawatir. Mereka beranjak dari kursi dan memanggil Dewa ikut bersama mereka menuju depan kamar Lucy.

"Lucy tuh nggak kebo kalau tidur," kata Zeline, yang tahu betul tentang sahabatnya. Mamanya Lucy sudah sangat khawatir. Ketukan pelan di pintu menjadi terkesan buru-buru. Beberapa kali dia berusaha membuka daun pintu dan tak kunjung terbuka karena memang terkunci. Dewa maju, menggantikan mamanya Lucy yang mulai khawatir terjadi sesuatu. Zeline menenangkan mamanya Lucy. Kemudian Clarissa memberi saran kepada Dewa untuk sama-sama ke jendela kamar Lucy dan melihat ke sana.

Zeline mendudukkan mamanya Lucy di bangku. Setahunya, mamanya Lucy sedang hamil. Zeline jadi agak menyesal mengajak teman-temannya dan malah membuat sedikit keributan.

"Lucy nggak ada!" Clarissa berteriak panik. Dia bersama Dewa muncul dari dalam kamar Lucy karena membuka pintunya dari dalam. "Jendelanya nggak dikunci. Sepertinya...." Clarissa agak ragu mengatakan apa yang selanjutnya ingin dia katakan.

"Keluar lewat jendela?" kata Zeline ragu. Dia dan mamanya Lucy segera memasuki kamar Lucy dan memang tidak ada apa-apa di dalam sana.

Kecuali sebuah jaket tak asing yang Dewa pegang di tangannya.

"Ini bukannya jaket Dean?" tanya Dewa.

Zeline dan Clarissa saling pandang dan berbagai spekulasi bermunculan di kepala mereka masing-masing.

***

"Dean...."

Mata Lucy berkaca-kaca memandang Dean yang terus menarik tangannya menuju sebuah tempat yang sangat asing, sepi, tak ada siapa-siapa selain mereka. Mobil Dean sudah parkir jauh dan saat ini mereka melewati tempat seperti hutan.

"Dean jangan kayak gini." Lucy berusaha menarik Dean, menggenggam tangannya erat agar dia bisa berhenti setelah mendengarnya.

Dean berhenti menghadap Lucy yang berusaha untuk tidak menangis. "Lo bilang bakalan nurutin semua kemauan gue, kan?"

"Tapi nggak kayak gini juga." Lucy memejamkan matanya sebentar. "Lo nggak mikir mama papa gue? Gue nggak mau mereka khawatir, Dean. Gue pergi tanpa kabar dan apalagi ... lo bawa gue keluar lewat jendela. Gue udah kunci pintu. Itu... itu...."

"Gue udah ninggalin jaket gue di kamar lo. Biar mereka tahu kalau gue pergi bareng lo. Temen-temen lo itu nggak bakalan tinggal diam, kan?" Dean kembali menarik Lucy sehingga mereka mulai melihat sebuah pemandangan pantai dan bulan di atasnya.

"Dean lo mau apa? Ini udah malam. Mama papa gue khawatir." Lucy terus memohon-mohon, tetapi Dean tidak menggubrisnya sama sekali. "Dean jangan kayak gini, gue mohon. Dean...."

Lucy tak bisa melakukan apa-apa sekarang. Dia frustrasi. Putus asa. Hanya bisa memohon-mohon sampai mulutnya berbusa. Dean tidak juga mendengarkan perkataannya. Lucy pikir Dean hanya akan membawanya jalan-jalan layaknya pacaran biasa. Akan tetapi, menyadari mereka sudah pergi sangat jauh Lucy mulai khawatir.

Dean memang tak tertebak.

"Gue pengin kabur." Dean berhenti dan memandang Lucy. Suaranya parau. "Lucy, nggak apa kan gue bawa lo pergi sejauh-jauhnya?"

"Nggak." Lucy menggeleng, kembali takut dengan sosok monster di depannya. "Selama ini gue diem karena takut, tapi kalau udah menyangkut orangtua gue gue nggak mau. Nggak akan mau!"

Dean memandang Lucy dengan tatapan mata sedih. "Gue cuma pengin pergi bareng lo. Cuma bareng lo. Nggak ada siapa-siapa selain gue dan lo."

Lucy terus menggeleng tanpa bisa melawan dengan kata-kata lagi.

Pada akhirnya, dia juga akan kalah, kan? Bagaimana pun dia melawan.

"Lo nggak mau kan ada korban baru?" tanya Dean yang membuat tubuh Lucy kembali gemetaran.

"Dean jangan kayak gini. Lo udah janji untuk nggak berbuat kesalahan lagi, kan."

Dean mendekat dan memegang pipi Lucy lembut. "Makanya, ajarin gue untuk berlaku layaknya orang normal. Di sini, di tempat ini." Dean menunjuk sebuah vila yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Di vila itu. Cuma ada kita."

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro