Part 20
Pada dasarnya, Jihyun tak suka menyerah pada keadaan. Ia akan mengusahakan apapun untuk mencapai tujuan meskipun harus mempertaruhkan keselamatannya sendiri. Akan tetapi, saat ini permasalahannya lain. Tujuannya adalah menyelamatkan dirinya dan ia tak tahu apalagi yang dapat dikorbankan. Pernyataan yang dibuatnya di media sosial adalah satu-satunya langkah untuk mengungkap kejadian malam itu. Walaupun Jihyun sendiri tak bisa berbohong kalau Tuan Do tidak menyentuhnya, orang-orang tak bisa menerima kenyataan bahwa Tuan Do hilang akal dan menganggap Jihyun sebagai wanita lain. Sekali lagi, mereka hanya percaya apa yang ingin mereka percayai.
Sebenarnya, Jihyun kecewa dengan kenyataan bahwa kekuasaan ayahnya sama sekali tak dapat menembus benteng yang didirikan oleh Keluarga Do. Tak sekalipun kedua orang tuanya dapat membawa kabar baik. Mau tak mau, Jihyun memutuskan untuk maju. Kalaupun deretan bodyguard Keluarga Do mengitari sang Nyonya, tentu tidak dengan Tuan muda.
Akan tetapi, semua hanya asumsi Jihyun. Hal ini dibuktikan oleh Minho ketika ia mencoba menginjakkan kaki di lantai 5 rumah sakit—tempat Nyonya Do dirawat. Selain itu, tak mudah menemukan batang hidung Do Kyungsoo. Bahkan, Jihyun dan Minho sudah menunggu selama lebih dari 3 jam di kawasan rumah sakit.
Tepat ketika gadis itu akan meminta Minho menyalakan mesin mobil yang terparkir di basement, gadis itu mendapati pria yang ditunggu-tunggu berjalan dari arah pintu elevator.
Wajah pria yang terhalang oleh jemari tangannya sendiri tampak gusar. Sesekali ia memejamkan mata seolah menahan perih atas luka hati yang sulit terobati. Tanpa sadar, ketenangan Jihyun terusik. Kalau saja, mudah baginya untuk berlari ke arah pria itu dan memberikan pelukan hangat. Sayangnya, semua sebatas asa sang Gadis.
"Itu Kyungsoo. Kau sudah siap?" tanya Minho, membuyarkan lamunan Jihyun.
"..."
"..."
"Siap tidak siap. Hanya Kyungsoo jalan kita untuk mendapat klarifikasi dari pihak Tuan Do."
Tidak ada waktu untuk merangkai kata. Jika Jihyun terlambat, entah kapan gadis itu bisa menemukan sosok Do Kyungsoo yang akhir-akhir ini juga tak terlihat di kampus. Gadis itu bergegas melangkah ke arah pria yang tak menyadari keberadaannya, diikuti oleh Minho yang berjalan di samping.
"Kyungsoo-ya. Lama tak jumpa."
"..."
Kyungsoo yang awalnya hanya menunduk, mendongak. Matanya berisirobrok dengan mata kecokelatan milik Jihyun. Dadanya terasa tersengat. Memorinya perlahan berjalan mundur ke insiden yang melibatkan gadis itu dan ibunya. Bahkan, hingga momen-momen yang keduanya habiskan bersama.
"Kenapa kau ke sini?" tanya pria itu dingin. Sekalipun hati terdalamnya mengelak, sulit baginya tak menunjukkan rasa kesal atas penyebab prahara di Keluarga Do.
"Aku perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kau yang paling berhak tahu dengan jelas akan kejadian itu. Begitu juga dengan Nyonya Do."
Satu alis Kyungsoo menukik. Dalam hati ia menyesali tingkah pengecutnya saat ini, tapi sebagai anak yang menghormati ibunya ia tak bisa bersikap ramah pada gadis yang tampak lebih kuyu dari biasa.
"Apa sama seperti yang kau muat di media sosialmu?"
Jihyun mengangguk tegas. Ya, tentu garis besarnya akan sama seperti apa yang disampaikan sebelumnya. Namun, ada hal lain yang selama ini segan untuk diekspos gadis itu.
"Kalau itu, kau buang-buang waktu. Pulanglah."
Meskipun Kyungsoo jelas-jelas mengusirnya, Jihyun pantang untuk diam. "Kyungsoo-ya. Aku benar-benar tidak mengenal ayahmu dan saat itu aku hanya ingin menolongnya. Ayahmu terkapar di depan kelab sementara banyak wanita yang mendekatinya."
Pandangan Kyungsoo masih datar dan pria itu tak menoleh sedikit pun ke arah Jihyun. "Lalu, kau menghampirinya?"
"Bagaimana bisa aku membiarkan orang tak berdaya."
Kyungsoo mendengus, "Tak berdaya? Tapi masih bisa berpelukan. Aneh ...."
"..."
"Tanyakan saja pada appa-mu itu. Bagaimana bisa ia bangkit setelah ditolong Jihyun? Sampai saat ini, hanya Keluarga Nam yang memberikan klarifikasi. Sementara, Tuan Do ataupun keluargamu tetap bungkam. Kami perlu pernyataan dari kedua belah pihak untuk menjernihkan permasalahan ini."
Kali ini, suara muncul dari bibir Minho. Ia merasa, ketegasannya diperlukan untuk menekan Do Kyungsoo. Jihyun sudah mencoba bicara, tapi Kyungsoo keras kepala.
"Maaf, untuk itu, kami tidak bisa."
"Tapi ...," tutur Jihyun hampir tak bersuara.
Di mata Minho, Jihyun tampak jauh putus asa dan kecewa ketika mendapat respon negatif dari Kyungsoo. Entah karena pria itu adalah anak Tuan Do atau ada alasan lain.
"Selalu ada konsekuensi dari setiap perbuatan, termasuk berhubungan dengan pria berkeluarga."
"Astaga! Harus berapa kali aku mengulang agar kau percaya," keluh Jihyun frustasi. Ia pikir Kyungsoo akan berada di pihaknya. Pria itu bukan orang yang hanya berbincang dengannya sekali atau dua kali, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Namun, apa bedanya Kyungsoo dengan orang-orang yang tak mengenalnya?
"Kalau begitu, izinkan aku bertemu Nyonya Do," pinta Jihyun penuh kesungguhan.
"Kau ingin membunuh eomma-ku?"
"Kalau kau tak mau tahu, biar Nyonya Do tahu yang sebenarnya. Beliau adalah istri Tuan Do."
"Apa yang sebenarnya? Kau berkencan dengan appa? Percuma saja. Kata-katamu justru semakin melukai eomma. Aku bisa tak peduli dengan siapa Do Minjun berkencan, tapi tidak dengan menunjukkan wajahnya di hadapan eomma."
Jihyun menatap Kyungsoo dengan mata nanar, "Kumohon, Kyungsoo-ya. Aku bukan wanita appa-mu."
Kyungsoo menarik napasnya dalam-dalam. Keadaan keluarganya memaksa pria itu untuk tak acuh pada apapun yang dikatakan Jihyun. Namun, ia kesal, hati kecilnya tak pernah berhenti menghasut untuk percaya pada gadis itu.
"Kau masih ingat pertandingan kita di tepi Sungai Han 'kan?"
"Heem."
"Aku gunakan tiket pertamaku saat ini. Jadi, kumohon tinggalkan kami dan jangan muncul di hadapan Eomma-ku," tegas Kyungsoo.
Jihyun terpaku di tempatnya. Mata gadis itu semakin berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin ia menahan tangisnya untuk pecah. Hari itu, mereka sepakat bahwa siapapun yang menang boleh meminta 3 hal pada lawan yang kalah. Namun, pertaruhan itu sama sekali tak dibuatnya untuk hal ini. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Kyungsoo akan menggunakannya untuk menendang dirinya dari kehidupan pria itu.
Menyimpan rasa sesak yang ada di dadanya, Jihyun tersenyum getir. "Kalau itu maumu, aku bisa apa. Semoga Nyonya Do segera pulih."
Lantas, gadis itu berbalik meninggalkan Kyungsoo tanpa peduli Minho yang masih tetap di tempatnya. Sementara itu, Minho tak lantas menyusul, pria itu menatap Kyungsoo intens dan bicara, "Terima kasih sudah memperjelas posisi Jihyun di hidupmu, Tuan Do. Dengan begini, aku tidak perlu cemas kau akan merebutnya dariku."
***
Selama tak ada berita baru, tak ada perubahan berarti pada sikap teman-teman sekelas Jihyun. Gadis itu masih sering mendapat tatapan sinis dari mahasiswa lain. Bahkan, tak jarang celetukan-celetukan yang menggelitik telinga sampai ke indera pendengarannya. Kini, atensinya tercuri pada tiga teman sekelasnya yang duduk di bangku terdepan dan memandangnya remeh.
"Kenapa dia sudah berani masuk sih?" ucap seorang gadis yang dikenalinya sebagai Bona.
"Kupikir kulit wajahnya lebih tebal sehingga tak punya urat malu. Jelas-jelas dia menggoda ayah teman sekampusnya sendiri. Untung, aku tak pernah dekat dengannya, ia bisa membawa pengaruh buruk," tukas gadis lainnya yang tak familiar.
Jihyun meneguk saliva. Bisa-bisanya dua orang yang sama sekali tak akrab dengannya membicarakan dirinya seolah mereka mengenal Jihyun dengan baik. Siapa mereka hingga bergaya menghakimi perbuatan Jihyun?
"Ya, keputusanku sudah tepat 'kan? I mean ... tidak menjadikannya anggota club kita. Asal kalian tahu, aku pergi bersama Jihyun ke kelab 2 tahun lalu dan gadis itu terlalu liar. Sudah kuperingati jangan menggoda pria tua. Eh, dia bilang kalau pria beristri lebih menantang."
Suara terakhir ini tidak mungkin tidak dikenali Jihyun. Ini adalah suara yang sama dengan miliki gadis yang menyuruhnya mendekati Tuan Do. Im Nayeon. Ingin rasanya Jihyun menarik pakaian gadis itu, tapi ia tak mau mengacaukan suasana kelas yang sebentar lagi akan dimulai.
"Benarkah? Di mana otaknya?"
"Kupikir dia tidak pernah memakai otak. Pantas saja dia pernah kena tegur saat perwalian karena indeks Proses Manufakturnya sangat buruk."
"Proses Manufaktur? Bukankah itu mata kuliah paket A? Sungguh memalukan. Orang semacam itu tidak pantas berada di kampus ini."
"Benar. Aku jadi ingin mengaku jadi mahasiswa Yonsei saja kalau begitu."
Ketiga gadis itu berbicara dengan antusias dan lantas tertawa terbahak-bahak. Tanpa peduli perasaan Jihyun di bangku tengah. Mereka sangat puas mendapati wajah pias Jihyun. Seolah tanpa drama ini, mereka tidak akan pernah merasakan sebuah kebahagiaan.
"Oh, God, Jihyun. I'm really sorry."
Sooyoung setengah berteriak mendapati Jihyun yang duduk seorang diri di tengah-tengah kelas Enterprises Resources Planning System. Tidak ada seorang pun yang duduk di dekatnya. Meskipun tak semua orang membicarakannya seperti Nayeon dan kedua temannya, tak bisa dipungkiri jika mahasiswa lain menjaga jarak.
Wajah Jihyun masih pucat, tapi ia memaksakan diri tersenyum untuk sekedar menghilangkan rasa khawatir sahabatnya.
"Bukankah sebentar lagi kalian ada kelas?" tanya Jihyun retoris.
Rowoon mengangguk mengiyakan. Ia punya jadwal kelas di ruang sebelah, tapi ia masih ingin menemani Gayoung di kelas. Bukan hanya karena mata kuliah yang membosankan, tapi kondisi Jihyun membuatnya tak tenang.
Sooyoung menatap Jihyun dengan sorot iba. "Aku tidak ada kelas. Sesekali boleh lah aku sit in kelas ERP*."
"Kau ini ... memang tidak ada asistensi?"
"Asistensi apa? Kalau aku asistensi, kau juga, tahu?" respon Sooyoung mengingat keduanya ada di program studi yang sama.
Rowoon yang masih duduk di atas meja melompat dan berpindah ke bangku kayu tempat Jihyun dan Sooyoung duduk.
"Aku juga. Penasaran dengan mata kuliah ERP," dalih Rowoon tak masuk akal, mengingat ia adalah mahasiswa prodi Teknik Fisika.
"Don't worry about me, guys. Back to your room, okay?"
Sooyoung melirik teman-teman sekelas Jihyun yang masih bersikap abai dan dingin. Lantas, ia menggenggam tangan Jihyun. "Aku tidak punya kelas. Biarkan aku di sini."
***
"Hi, tampan! Apa yang kau pikirkan?" tanya gadis yang berdiri di hadapan Kyungsoo. Gadis itu tampak anggun dengan dress floral berwarna kuning pucat.
"Hi, kau datang lagi."
Gadis itu mengangguk sebelum mengambil posisi duduk di bangku kosong samping Kyungsoo. Tanpa segan ia menatap wajah Kyungsoo lamat-lamat. Pria itu tampak semakin kuyu. Tulang pipinya sedikit menonjol dengan bulu halus yang mulai tumbuh di dagu.
"Ahjumma akan segera pulih. Jangan terlalu sedih, Oppa."
Kyungsoo memaksa untuk tersenyum. "Ya, tentu. Eomma akan segera pulih."
"Apa kau sudah makan?"
"..."
Diamnya Kyungsoo berarti banyak untuk gadis itu. Lebih dari 2 tahun ia mengenal sahabat kakaknya dengan sangat baik. Pria itu terlalu sering mengabaikan dirinya sendiri ketika menghadapi kondisi pelik. Seperti sekarang, tentunya.
"Ayo kita makan!"
"Tapi... aku tidak suka makanan kafetaria rumah sakit."
"Siapa bilang kita akan makan di bawah—kafetaria?" tanya gadis itu retoris, "Aku bawa yubu chobab* dan gaeran mari*. Kita bisa makan di sini atau di kamar ahjumma."
Kyungsoo menaikkan satu alisnya, isyarat bertanya.
"Tenang, tenang. Bukan aku yang masak. Aku akan memasakkanmu setelah selesai kursus. Ini buatan ibuku. Kau pasti suka."
Senyum tipis Kyungsoo tersungging. Ia sempat khawatir kalau Jennie akan kesal ketika ia tak bisa menerima cintanya. Namun, gadis itu tetap bersikap baik, mendampinginya dalam kondisi sulit seperti sekarang pun ia tak enggan.
"Ayo, jangan lama-lama berpikir! Nanti dingin."
"Memang sudah dingin 'kan?"
Jennie hanya meringis mendengarnya. Tanpa segan, segera ia menarik tangan Kyungsoo dan menggenggam jari-jari pria itu. Ia sudah bertekad menyunggingkan senyum di bibir Kyungsoo apapun yang terjadi hari ini. Terserah apa kata orang tentangnya. Ia juga tak peduli ketika matanya bersirobrok dengan sepasang mata yang menatap mereka penuh kecewa.
***
Kondisi Nyonya Do yang belum membaik, sangat mengganggu pikiran Kyungsoo. Sekalipun ibunya berdalih, ia tahu satu-satunya alasan dari kekacauan itu adalah ayahnya sendiri. Akan tetapi, tak mudah untuk meminta ibunya mengakhiri hubungan dengan pria tidak bertanggung jawab seperti ayahnya. Katakan saja cinta itu buta, termasuk dari perspektif ibunya sendiri. Karena itu, dengan berat hati Kyungsoo akan memaksa ayahnya bertindak. Bukankah ayahnya sudah tak menginginkan ibunya? Jadi, seharusnya akan lebih mudah meminta sang Ayah mengakhiri hubungan.
Semenjak insiden yang terjadi pada charity night, lebih banyak mata tertuju padanya. Seperti siang ini ketika Kyungsoo kembali menginjakkan kaki di Seoul Trade Tower. Tak hanya mencuri pandang, bisik-bisik pun terdengar setelahnya diikuti dengan ungkapan kasihan ataupun simpati, untuk Kyungsoo. Meskipun risih, Kyungsoo tetap tak acuh. Ia hanya merasa perlu fokus untuk tiba di ruangan ayahnya, menyampaikan pendapat, dan kembali pulang.
Sayangnya, ketika lift terbuka di lantai teratas yang hanya dihuni oleh ruang kerja sang CEO, Kyungsoo mendapati suasana yang terlampau sunyi. Bahkan, sekretaris Tuan Do pun tak ada di mejanya. Menyadari pintu yang sedikit terbuka, Kyungsoo melangkah ke arah ruangan tersebut untuk memastikan keberadaan ayahnya.
"Coffee?"
"You."
"Astaga. Ini masih pagi dan kau mau aku?"
Gerakan Kyungsoo untuk mengetuk pintu terhenti. Tangannya pun terarah untuk sedikit mendorong pegangan pintu dan mendekatkan daun telinganya ke celah pintu. Ia mengenali salah satu suara sebagai milik appa-nya, tapi tidak dengan suara satu lagi.
"Tentu. Akhir-akhir ini aku selalu merindukanmu."
Ucapan ayahnya terdengar memuakkan. Sayangnya wanita di dalam justru tertawa bahagia. Tawa yang membuat Kyungsoo semakin panas.
"Setiap hari kita bertemu. Hampir 24 jam dan kau masih merindukanku. Gila."
"Aku sudah gila semenjak mengenalmu. Siapa suruh kau datang di kehidupanku?"
"Kau!"
"Kau yang datang duluan ke kantor ini...."
"Uuuh," ucap si Wanita dengan suara dibuat-buat. Kyungsoo pernah membayangkan bagaimana ayahnya menduakan sang Ibu, tapi mendengar interaksi ini secara langsung, jauh lebih memuakkan.
"Atau, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih untuk menjaga nama baikmu."
"Kupikir-pikir, kasihan juga gadis itu. Ia tidak tahu apa-apa soal Oppa, tapi ia harus menerima perlakuan kasar dari ... nenek lampir. Maaf, tapi aku tidak suka menyebutnya sebagai istrimu. Benar-benar tidak tahu etika dan gegabah. Bagaimana kalau ia tahu bahwa gadis itu tak punya salah? Aku yakin ia akan sangat malu."
"Ssst. Sudah jangan bicarakan dia. Aku hanya perlu sentuhanmu sebelum BOD* meeting pagi ini. Kau tahu sendiri, betapa menguras tenaganya meeting itu."
Kemudian, terdengar suara-suara halus yang menggelitik telinga. Percakapan tadi benar-benar membuat Kyungsoo meradang. Kalau saja tidak jijik mendengar desahan yang lantas menggema, tentu ia akan mengintervensi kegiatan appa-nya. Sekarang, Kyungsoo hanya perlu menunggu hingga ia bisa menyiram kopi panas ke wajah ayahnya dan wanita itu.
***
Catatan kaki:
ERP: Enterprise Resource Planning
BOD: Board of Directors
***
Btw, thanks a lot sudah membaca sejauh ini. So sorry, kalau geuleuh di bagian akhir.
Stay safe stay healthy everyone!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro