Part 19
Nyonya Nam memotong baguette menjadi beberapa bagian, melapisinya dengan salted butter dan potongan parsley sebelum memasukkannya ke dalam oven berukuran sedang. Serangan yang terjadi pada keluarganya sudah membuatnya dan suami sulit tidur beberapa belakangan, tapi ia merasa tidak ada waktu untuk menjadi lemah. Sebagai seorang ibu, Nyonya Nam justru ingin selalu berada di tengah-tengah keluarganya untuk menghangatkan suasana, termasuk dengan menyiapkan sarapan kesukaan putrinya.
"Kau sudah lebih baik?" tanya Nyonya Nam dengan seulas senyum tipis ketika wanita itu menanggalkan apronnya.
"Sedikit," jawab Jihyun hampir tak bersuara. Gadis itu menarik satu kursi yang menempel pada kitchen island dan duduk di atasnya.
Sang Ibu mengambil posisi di samping putrinya. Kedua tangan Nyonya Nam refleks mengusap ubun-ubun Jihyun. "Syukurlah. Meskipun sedikit, eomma berharap akan selalu ada perubahan baik setiap harinya. Tentang masalah itu—penyerangan Jihyun— Eomma dan Appa sudah berdiskusi beberapa hari ini."
Jihyun menoleh. Gadis itu menatap ibunya penuh harap. Ia sendiri tak punya solusi untuk mengembalikan nama baiknya selain klarifikasi yang dibuat di media sosial. Itu saja dengan kendali Sooyoung. Gadis itu tidak siap dengan banyaknya inbox yang masuk semenjak insiden tersebut mencuat di media.
"Ehm."
Kali ini, Tuna Nam yang berdeham. Pria yang berusia jauh lebih tua dari Jihyun itu berdiri di ambang pintu dan melangkah masuk mendekati istri serta anaknya. Lantas, tanpa basa-basi, ia berujar, "Kita resmikan pertunanganmu dengan Choi Minho."
"..."
Kening JIhyun mengernyit, membentuk kerutan yang tampak jelas. "Appa tidak serius 'kan?"
"Appa tidak sedang bercanda, Nak. Nyonya Do tak bisa ditemui sampai saat ini."
Jihyun mengusap wajahnya frustasi. Tiga hari lalu, ia baru saja mengalami mental breakdown setelah seorang wanita tidak dikenal yang belakangan diketahuinya sebagai seorang petinggi perusahaan besar di Korea Selatan sekaligus ibu dari Do Kyungsoo menyiramnya dengan wine beserta rentetan tuduhan tak masuk akal. Lalu, sekarang ayahnya memintanya melakukan hal yang tak pernah disangka-sangka.
Pria itu berdeham lebih keras sebelum melanjutkan pendapatnya. "Kau pasti tahu, pemberitaan di media massa menjadi begitu masif dalam semalam. Orang-orang terus menuduhmu merusak rumah tangga petinggi Do Group sementara pihak Keluarga Do pun tidak memberikan klarifikasi apapun."
"..."
"Lagi pula, Minho sendiri sudah mengatakannya di depan umum untuk menyelamatkan nama baikmu."
"Aku tahu," jawab Jihyun dengan nada lemas. Ia ingat, dalam kondisi pelik itu, seorang Choi Minho berusaha melindunginya. Namun, tetap saja pikirannya melayang. Mengumumkan pertunangan dengan Choi Minho sama saja menjauhkannya dengan pria manapun, termasuk Do Kyungsoo.
Sayangnya, apa yang bisa diharapkan dari pria itu sekarang? Bahkan, pria itu sudah tak pernah lagi menghubunginya, untuk sekedar menanyakan kabar atau bahkan mencari kejelasan dari insiden tersebut dari pandangan Jihyun.
"Kita hanya perlu membuat pernyataan Minho menjadi kenyataan. Tak perlu ada selebrasi besar. Hanya memastikan bahwa kita tidak berbohong sehingga apapun yang kita sampaikan selanjutnya, publik tidak akan ragu," tukas Tuan Nam, seraya mengambil peralatan makan dari laci.
"Tapi, Appa..."
"Kalau kau ragu pada keluarga Choi, mereka justru menawarkan diri untuk membantu kita. Sudah rahasia umum di antara para petinggi Samsong siapa wanita yang menjadi selingkuhan Tuan Do."
***
Choi Minho menatap gadis di balik pintu rumah keluarga Nam dengan iba. Sejak semalam, hubungan mereka sudah resmi berubah dari sekedar 'acquaintance' menjadi tunangan. Tak ada yang berkesan dalam memorinya selain perubahan status tersebut.
"Kenapa kau ada di sini?"
Pertanyaan singkat tersebut tak dibersamai dengan kecupan ataupun sapaan hangat dari sosok gadis yang disebut tunangannya. Hanya lima kata yang jauh dari kata bersahabat.
"Boleh aku masuk?"
"Aku akan pergi kuliah, Oppa."
Minho tampak terkejut meski ia sempat menduga selama di perjalanan. Tunangannya bukan tipikal quitters. "Jihyun, kau... yakin?"
Gadis itu mengangguk mantap. Sekeras apapun teriakan yang didapatkannya, ia merasa tidak punya salah apapun pada Nyonya Do ataupun keluarga chaebol itu. Justru keluarga tersebut yang membuat masalah besar dengannya. Jadi, ia merasa sudah cukup untuk bersembunyi dari hal yang sama sekali tak pantas ditakutinya.
"Ya, aku sudah rindu dengan kuliahku. Kalau aku membolos dalam waktu lama, berapa GPA-ku akhir semester nanti?"
"Kau tak membolos selama itu. Ayahmu akan cemas kalau kau membahayakan dirimu. Bagaimana kalau kau tetap di rumah dulu?" bujuk Minho dengan sorot khawatir. Ia yakin dunia tak memandang permasalahan Jihyun sesederhana yang mungkin gadis itu abaikan.
"Tidak bahaya. Tenanglah. Sekalipun dunia mengecamku, aku tidak boleh terpuruk. Kau jangan ikut-ikutan khawatir dan membuatku muak," ucap Jihyun tak peduli dengan peringatan tunangannya.
Pria itu membuang napas kasar. Ia tak habis pikir bagaimana bisa Jihyun tampak setegar ini. Sekalipun Tuan Nam berusaha keras untuk memastikan pemberitaan tentang Jihyun tak merebak, informasi yang tersebar di media sosial sulit dikendalikan. Bahkan Minho sempat melihat rekaman Nyonya Do yang membentak Jihyun di acara charity malam itu melalui tautan yang dikirimkan oleh rekan kerjanya.
Tidak berhenti di situ, Minho mendapatkan beberapa foto seorang gadis yang mirip Jihyun berpelukan dengan pria yang disebut sebagai Tuan Do. Ia tak bisa memastikan kebenaran gambar tersebut selain dari mulut Jihyun. Sekalipun, Jihyun tampak siap menerima semuanya.
"Kalau kau mau ke kampus, aku antar saja."
"Tidak perlu."
"Hubungan kita perlu lebih ter-exposed untuk mengembalikan nama baikmu, Jihyun-ah."
***
Jihyun menggigit ujung kukunya sembari menunggu sosok yang mengajaknya bertemu di kantin fakultas. Di atas meja, terdapat sebotol susu pisang dan odeng yang belum tersentuh. Biasanya, kudapan tersebut akan habis dalam waktu kurang dari 5 menit, tetapi untuk saat ini tidak mungkin. Gadis itu tampak begitu gelisah hingga mengabaikan sekitarnya.
"Sudah menunggu sejak tadi, Kimbab girl?"
Refleks, Jihyun melepaskan gigitannya dan menatap sosok pria berambut kecokelatan yang menyampirkan tasnya di lengan dan berdiri di hadapannya.
"Maaf, menunggu lama. Kuliahku seharusnya selesai 15 menit lalu, tapi dosenku memberikan kuis tiba-tiba."
"Tidak masalah, tidak terlalu lama kok. Duduklah."
"Kupikir kau tidak akan mau menemuiku."
Jihyun tertawa hambar. Gadis itu menancapkan sedotan pada susu pisangnya. Lantas, menyesap minuman itu untuk membuat dirinya tampak lebih santai. Bukan karena haus, ia hanya melakukan hal itu untuk pengalihan fokus.
"Kenapa tidak? Kita 'kan teman, kecuali kau sudah tidak menganggapku teman seperti yang lainnya."
"We're friends, Kimbab girl."
"Thanks. Apa yang kau ingin bicarakan sore ini?" tanya Jihyun to the point. Ia justru menghindari pertanyaan akan kabarnya karena gadis itu tak bisa terlalu sering berbohong kalau ia baik-baik saja.
Pria itu mengambil tempat di hadapan Jihyun. Terlihat jakunnya yang naik turun, mengindikasikan pria itu menelan air liurnya. Seolah apa yang akan disampaikannya membuat kerongkongan pria itu tercekat. Setelah mendaratkan pantatnya di kursi, ia tampak terdiam beberapa saat sebelum kembali bicara.
"Aku harap kau baik-baik saja. Melihat berita yang beredar, kurasa tidak adil kalau hanya menilaimu dari berita. Apa benar kau pernah punya hubungan dengan Kyungsoo Appa?"
"Aku berani bersumpah, aku tak punya hubungan dengan Tuan Do," jawab Jihyun defensif.
"Syukurlah. Berarti, gadis di foto ini bukan kau?" tanya pria itu seraya menunjukkan layar ponselnya. Tampak beberapa foto seorang gadis dengan dress berwarna ungu berpelukan dengan Tuan Do di depan apartemen mewah dekat Sungai Han.
Jihyun mengamati foto tersebut, lidahnya kelu. Matanya bergantian mengarah pada layar ponsel dan mata pria di hadapannya dengan sorot menyedihkan.
"... itu aku."
"Astaga! Bagaimana bisa?" ucap pria itu tak percaya. Berulang kali pria itu mengusap wajahnya.
"Aku sudah jelaskan semua di akun sosial mediaku. Tidak ada yang direkayasa. Aku ... hanya ingin membantu ahjussi itu," jelas Jihyun dengan suara parau.
"Membantu dengan menemani pria beristri?"
"Sudah kubilang aku hanya mengantarkannya pulang. Kalau kau tak bisa mempercayaiku, sebaiknya tak perlu bertanya apapun!"
"Tolong katakan satu kata yang membuatku percaya kalau kau memang tidak punya hubungan spesial dengan ayah sahabat kita."
Kedua tangan Jihyun mengepal. Buat apa ia bicara panjang lebar jika orang di hadapannya tak ingin mendengar. Meskipun pria itu bertanya, apa yang diucapkan pria itu menyuratkan seakan hanya ingin menghakiminya.
"..."
"..."
"Kenapa diam? Sulitkah membuatku mengerti? Kalau aku saja tak bisa memahami kondisimu, sebaiknya jangan pernah muncul di hadapan Kyungsoo. Kau akan semakin menyakitinya. Aku merasa bersalah sudah membiarkan hubungan kalian sedekat ini."
Kepalan tangan Jihyun semakin mengeras. Tampak garis kebiruan muncul di punggung tangannya. Mungkin kalau ini hanya sebatas orang tak dikenal, ia bisa abai. Namun, pendapat ini muncul dari salah satu orang yang dekat dengannya. Sesulit itu kah memahami ucapannya? Apakah penjelasannya hanya mengarahkan orang-orang untuk menyudutkannya?
"Sudah kubilang tetap di rumah."
Terdengar suara teguran dari bibir Minho yang tiba-tiba sudah berada di samping Jihyun. "Akal teman-temanmu belum waras."
Jihyun terhenyak untuk beberapa saat. Seharusnya, pria itu masih duduk di kursi kerjanya yang berada pada salah satu skyscraper di Seoul. Akan tetapi, pria itu sudah bisa berada di kampus Jihyun ketika jarum pendek masih berada pada angka lima.
"Sunbae ... aku hanya mencoba memahami dan memperantarai temanku."
"Memperantarai dari mana, Kim Jongdae? Sekalipun kau teman baik Kyungsoo tidak seharusnya kau menghakimi Jihyun. Temanmu ini sudah bicara sangat jujur sesuai porsinya di lini masanya. Berurusan dengan ayahnya temanmu yang terlalu kaya itu tidak mudah."
"..."
"Sudahlah. Kita pergi saja."
Jihyun berbalik seraya menarik ujung kemeja Minho. Hanya saja, pria itu masih tak beranjak, menyisakan ketegangan antara dirinya dan Jongdae. Tanpa diduga, Jihyun menyembunyikan wajahnya di lengan Minho dan pria itu tertegun. Pelukan itu mengerat seiring lengan kemeja Minho yang mulai basah dengan air mata.
"Kumohon bawa aku pergi dari sini."
***
2013, Seoul
Sabtu malam adalah waktu yang lumrah bagi para muda-mudi di penjuru dunia untuk melepaskan penat. Entah setelah bekerja ataupun belajar selama 5 hari berturut-turut. Di Kota Seoul, kelab malam menjadi salah satu tempat favorit tanpa pandang bulu. Tak hanya berjoget dan minum, mereka kerap menghabiskan waktu dengan bermain atau sekedar mengobrol selama hal tersebut mampu membantu melepaskan serotonin.
"Kau gila?" pekik seorang gadis berambut hitam legam setelah mendengar hukuman yang diberikan oleh temannya.
"Aku masih waras, Nona Nam. Karena kau tak mau menceritakan siapa pria yang kau sukai sekarang, cepat dekati Ahjussi itu," perintah gadis lain dengan tawa nyaringnya, menampilkan deretan gigi kelinci.
Tak mendapat persetujuan, gadis yang dihukum mencoba menawar di tengah dentuman musik yang menggema, "Nayeon-ah, ayo ganti hukumannya! Kenapa tidak menghabiskan segelas —bir— lagi sih?"
"No, no, no!"
Dalam truth or dare, bisa saja memilih truth sebagai hukuman paling tidak berisiko. Namun, sekarang kondisinya berbeda, mengaku siapa pria yang sedikit disukainya sekarang juga sama saja bunuh diri. Bagaimana tidak, jelas-jelas pria itu adalah incaran Im Nayeon. Walaupun ia sendiri tidak yakin, kalau pria itu memiliki perasaan yang sama seperti Nayeon yang banyak tingkah. Seingatnya, pria itu karismatik dan cenderung tak banyak bicara.
"Kau saja tak punya alasan untuk memberi hukuman itu."
"Eits, karena itu terlalu mainstream! Cepat bergerak atau kita akan tetap di sini sampai pagi, Jihyun."
Ancaman Nayeon tak menggerakkan Jihyun. Demi apapun, gadis itu takut mendekati ahjussi dengan setelan suit Brioni yang duduk seorang diri di pojok ruangan. Pria itu diperkirakan seusia dengan ayahnya sendiri. Ia yakin akan mendapat tatapan jengah dari pria tua itu. Wanita malam saja tak ada yang berani mendekatinya meskipun pria itu tampak berdompet tebal.
"Ayolah, Jihyun!"
"Jangan jadi pengecut!"
"Kenapa masih diam? Hanya bicara dengan ahjussi itu dan membawanya sampai pintu keluar."
Sorakan teman-temannya membuat Jihyun resah. Ini bukan pertama kalinya ia pergi ke kelab malam, tapi ia masih termasuk newbie sebagai gadis yang menghabiskan waktu di bawah gemerlap lampu sorot berwarna mencolok. Kalau ia tidak memiliki keinginan bergabung dalam circle pergaulan hits teman-teman satu jurusannya, mungkin ia tak perlu menghabiskan waktunya di sini mengenakan dress mini dengan aksen berkilau.
Gadis itu bangkit dengan langkah gontai. Baru dua langkah, ia berbalik dan menatap teman-temannya. "Kalau ada apa-apa, kalian harus menolongku."
Kelima temannya mengangkat jempol, tanda setuju. Mereka sudah dengar kalau Jihyun punya skill yang memukau dalam bela diri. Tak perlu sampai menolong gadis itu, ia pasti bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
***
Seharusnya Jihyun cukup membawa pria tak dikenal dengan suit mahal itu sampai ke pintu keluar. Namun, nuraninya terketuk melihat pria itu tak berdaya dan terjatuh di pelataran kelab. Ia tak bisa menjadi tidak peduli pada orang lain, hanya karena ia sedang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan temannya.
"Ke mana saya bisa mengantar Tuan ini?" tanya sopir taksi pada Jihyun yang baru saja mendorong tubuh besar pria yang ditemuinya tadi ke dalam kursi penumpang.
Kening Jihyun berkerut, gadis itu menatap pria itu sesaat dan bertanya, "Di mana Ahjussi tinggal?"
"..."
"Ahjussi ...."
"..."
Jihyun menggaruk kepalanya mendapati tak ada jawaban yang lolos dari pria itu. Sementara sopir taksi sudah meliriknya dengan wajah tak bersahabat. Ia tak punya pilihan selain memaksa pria itu bicara. Lagi pula, teman-temannya tak ada yang mau peduli dan ia tidak mengendarai mobil untuk sampai ke kelab.
"Asterium," lirih pria tersebut begitu pelan.
"Asterium, Pak. Antar ahjussi ini ke Asterium," ucap Jihyun cepat seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribu won pada si Sopir.
"Tapi banyak Asterium di Seoul, Nona."
Menyadari ada beberapa kemungkinan lokasi yang dimaksud, Jihyun memaksa pria tadi untuk bicara lebih banyak. Sayangnya, pria itu tetap diam karena hungover.
"Kalau tidak jelas, saya tidak bisa mengantarkan Tuan ini. Dari pada saya turunkan di jalan."
Jihyun menghentakkan kaki dan menggerutu saking kesalnya. Terus terang saja, ia teringat kepada ayahnya saat melihat pria itu. Bagaimana kalau ayahnya mengalami hal serupa ketika bertugas di luar negeri?
"Ok. Ok. Kita ke Yongsan saja. Aku pikir pria ini tinggal di Centreville Asterium, melihat penampilannya," pungkas Jihyun yang mau tidak mau duduk di kursi depan agar sopir taksi itu menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil, Jihyun tak banyak bicara, ia mengirimi teman-temannya pesan untuk menjamin ada orang yang mengetahui keberadaannya sekarang. Seberani apapun Jihyun, ia takut juga kalau ada orang yang membekap mulutnya hingga gadis itu tak sadarkan diri. Ilmu bela dirinya tak akan berguna.
Ketika mobil yang dinaikinya berhenti di depan lobby utama Centreville Asterium Yongsan yang berdiri megah dengan pencahayaan yang menyilaukan, sekali lagi Jihyun menoleh menatap pria di bangku penumpang. "Benar ini 'kan, Ahjussi? Siapa namamu? Atau, katakan di kamar berapa kau tinggal."
"..."
Tak ada jawaban yang lolos dari bibir pria itu, sopir taksi yang tak sabaran menyuruh Jihyun untuk menghampiri bellboy ataupun resepsionis. Bangunan apartemen ini bergabung dengan beberapa hotel mewah sehingga tak sulit menemukan orang untuk meminta bantuan di tengah malam.
"Di sini ada banyak kamar, Nona. Sulit bagi kami untuk menerima orang yang tidak jelas identitasnya," tegas salah seorang bellboy.
"Masalahnya ahjussi itu masih di mobil."
"Sebaiknya, bawa ahjussi Anda kemari."
Dengan bantuan sopir taksi, Jihyun menarik tubuh pria tua yang masih tak sadarkan diri di dalam mobil dan memapah pria itu ke arah lobby. Ia akan minta bantuan resepsionis untuk memeriksa di kamar mana pria itu tinggal karena bellboy yang tak responsif.
"Hana-ya."
Suara lirihan pria itu kembali terdengar walaupun belum menjawab pertanyaan yang Jihyun layangkan sebelumnya. Gadis itu mencoba mempercepat langkahnya, tapi pria itu menarik tangannya dan merengkuh tubuh kecilnya.
"Jangan pergi lagi, Hana-ya."
Sopir taksi yang membantunya kebingungan. "Anda mengenal Tuan ini, Nona?"
"Tentu tidak ... Ahjussi, tolong lepaskan tanganmu. Aku tidak bisa bernapas."
"Tidak, Hana. Aku tidak akan melepaskanmu lagi dan pergi bersama wanita lain."
Pelukan ahjussi itu semakin mengerat hingga Jihyun terus meronta minta dilepaskan. Bahkan, pria itu tak peduli ketika sopir taksi dan beberapa bellboy mencoba melepaskan rengkuhannya di tubuh Jihyun. Meskipun tak tega, Jihyun terpaksa mendorong tubuh pria itu hingga terjungkal.
"Wah. Anda benar-benar gila, Ahjussi," teriak Jihyun ketika pria itu berhasil terlepas dari tubuhnya, "mohon antarkan Tuan ini ke kamarnya."
Jihyun berbalik, gadis itu melangkah kembali ke arah taksi untuk kembali ke rumahnya. Bulu kuduknya berdiri setelah dipeluk pria tak dikenal itu.
"Tapi Nona sepertinya ...."
Belum sempat seorang bellboy selesai bicara, Jihyun kembali dikejutkan oleh pelukan dari orang yang diyakininya sebagai ahjussi tadi. Kali ini, pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Jihyun, membuat tubuh gadis itu semakin merinding.
"Hana-ya, jangan tinggalkan aku. Kau tahu kalau aku sangat mencintaimu. Aku sudah meninggalkan keluargaku dan wanita-wanita itu, kenapa kau tak mau menikah denganku? Kita bisa membangun keluarga kecil kita."
Ucapan pria itu membuat Jihyun semakin murka. Agaknya bukan nama istrinya yang sejak tadi dipanggil, melainkan nama selingkuhan pria itu. Sudah tak dapat mentolerir, Jihyun menyikut perut pria itu sekali lagi hingga menabrak deretan bellboy yang menonton. Gadis itu memejam sesaat, pandangan orang-orang di sekitar membuatnya tak nyaman. Kalau mata bisa bicara, cara mereka melihatnya seakan mengatakan kalau ia adalah perebut suami orang.
"Ya! Aku tak mengenal pria ini. Namaku Nam Jihyun bukan Hana!"
"Hana-ya."
"Terserah kalian apakan ahjussi ini, yang jelas aku tidak mengenalnya," amuk Jihyun tak peduli wajah sendu pria tua yang menatapnya nanar, "ayo antarkan aku pulang, Pak!"
Kali ini Jihyun benar-benar melenggang pergi. Ia tak mau tahu nasib pria itu. Sudah bagus ia mengantarkannya pulang. Persetan dengan apa yang akan mencuat dari bibir para penonton di sana.
***
Well, jelas ya apa yang bikin salah paham selama ini? Maaf, baru nyadar kalau kemarin banyak typo. Kalau masih nemu, kindly komen ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro