Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17

Sudah hampir 3 pekan, Jihyun tak kembali menginjakkan kaki di rumah kedua orang tuanya. Gadis itu selalu beralasan karena ia tak lagi memiliki kendaraan sebagai alat transportasinya. Tentu, alasan inilah yang pada akhirnya membuat Jihyun kedatangan tamu spesial petang ini.

"Paman Lee, ada apa Anda datang kemari?"

Pria separuh baya bermarga Lee yang sebelumnya menunduk, mendongak dan mulai bicara dengan Jihyun.

"Sudah lama Nona tidak pulang, bagaimana kabar Nona?"

"Aku sehat. Apa Eomma yang minta Paman untuk datang?" tanya Jihyun tak begitu penasaran. Semenjak mobilnya disita, gadis itu hampir tak pernah berkomunikasi dengan ibunya. Ia tidak marah karena kehilangan mobilnya, tapi ia kecewa sebab Eomma-nya tak percaya padanya.

"Tidak, Nona."

Saking tak percayanya, Jihyun melongok ke dalam mobil melalui kaca mobil berlapis film yang disinarinya dengan lampu ponsel. Mendapati tak ada bingkisan di kursi belakang, apalagi wajah Eomma-nya, gadis itu baru percaya.

"Kenapa Paman menyetir jauh-jauh? Bagaimana kondisi lutut Paman? Apa masih sakit?" tanya Jihyun perhatian. Paman Lee pernah menjadi supir keluarga Nam selama kurang lebih 10 tahun sebelum kecelakaan yang menimpanya. Setelah kecelakaan tersebut, pria itu tak lagi menyetir dan dipindahtugaskan sebagai kepala keamanan di galeri milik keluarga besarnya.

"Saya sangat sehat. Seharusnya Nona mencemaskan Tuan dan Nyonya yang khawatir karena Anda tak kunjung pulang."

Jihyun mendengus. Pada akhirnya, memang semua karena orang tuanya. "Seharusnya juga, mereka tidak mengirim paman ke sini. Mereka bisa menelponku baik-baik. Kalau seperti ini 'kan, aku yang tidak tega melihat paman."

Paman Lee menjadi jurus pamungkas kedua orang tuanya jika Jihyun menghilang tanpa kabar. Gadis itu bisa mengabaikan permintaan kedua orang tuanya, tapi tidak dengan Paman Lee. Beberapa kali pria itu mendatangi tempat tinggalnya untuk berkunjung, lebih tepatnya memberikan petuah.

"Aku harus jujur. Akhir-akhir ini mood-ku sering tidak baik, tapi aku tidak bisa menghibur diriku sendiri, mungkin karena ... ya ... Paman pasti sudah tahu kalau mobilku disita. Bertemu eomma justru membuatku semakin ... kecewa," racau Jihyun.

Menangkap wajah murung gadis yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, Paman Lee tersenyum hangat. Pria itu mengusap punggung Jihyun dan berujar, "Saya mengerti. Apa nona ingin mengunjungi suatu tempat? Mungkin akan membuat suasana hati Nona semakin baik."

"Hmmm... Paman tidak diminta buru-buru harus membawaku ke rumah?"

"Nona, awalnya memang tujuan saya kemari untuk mengantar Nona pulang. Tapi, saya tidak bisa membiarkan Nona murung seperti sekarang. Saya tidak bermaksud mengungkit kejadian dua tahun lalu. Tapi, setidaknya Nona bisa mulai berhenti menangis setelah melihat indahnya gemerlap lampu dari tepi Sungai Han."

Jihyun menatap dalam pria berusia menuju senja itu. Ia tahu, tidak ada niatan buruk dari pria dengan hati seluas samudera ini. Nasi sudah menjadi bubur, memang harus ada kejadian pahit yang dialami untuk membuatnya menjadi sosok seperti sekarang.

"Betapa kejamnya kedua orang tuaku saat itu. Mengingatnya membuatku malu pada paman. Mereka semua berpikiran pendek," ucap Jihyun masih dengan sorot kecewa.

Gadis itu masih ingat bagaimana murkanya sang Ayah akibat pernyataan salah seorang kolega di kantor akan putri semata wayangnya. Jika kebanyakan anak perempuan akan dikunci di dalam kamar jika membuat masalah, Jihyun justru diperlakukan bak anak laki-laki yang harus kuat menanggung konsekuensi terburuk dari tindakannya. Gadis itu diusir dari rumah tanpa satu apapun yang boleh dibawa. Bahkan, tidak ada yang boleh menolongnya. Hanya Paman Lee yang nekat mempertaruhkan pekerjaan dan nyawanya untuk menghampiri Jihyun.

"Saya bisa memahami itu. Semua bukti menyudutkan Anda ketika Tuan mendengar berita tersebut. Mungkin kalau hanya ucapan Tuan tidak akan mudah percaya, tapi foto dan rekaman CCTV seolah sudah menjelaskan semua."

Jihyun tersenyum miris. "Well, cukup tahu bagaimana pemikiran kedua orang tuaku, bukan? Tidak sekarang ataupun dulu, mereka mudah saja percaya kalau aku membuat onar, lalu menghukumku dengan mudahnya," cerocos Jihyun mengenang kejadian dulu. Rasa kecewanya seolah hanya terkubur dan tak pernah hilang, "mengingat hal itu membuatku semakin malas pulang."

Menurut Paman Lee, Tuan dan Nyonya Nam merasa terlampau kecewa setelah semua curahan kasih sayang yang diberikan pada anak gadisnya. Sejak kecil hingga remaja, hampir semua keinginan material seorang Nam Jihyun selalu terpenuhi, mulai dari mainan mahal hingga student exchange yang menghabiskan biaya ratusan ribu dolar. Tentu saja, ketika seseorang memberikan segalanya, sudah menjadi hal wajar bagi mereka untuk mengharapkan balasan yang lebih atau setidaknya setimpal. Termasuk orang tua.

"Percayalah, Nona. Tuan dan Nyonya selalu ada di belakang Anda sampai sekarang. Saya pikir mereka ingin Nona menjadi gadis yang lebih hebat dan tentu tidak ada nahkoda yang hebat di laut dangkal. Anda paham 'kan?"

"Tapi mereka selalu mencampakkanku," ucap Jihyun mendramatisir.

Paman Lee menggeleng samar. Ia juga orang tua untuk anak-anaknya dan ia adalah anak dari orang tuanya. Pria itu sangat bisa memahami kondisi nonanya dari sudut pandang Jihyun ataupun Tuan dan Nyonya Nam. Meskipun nonanya itu sudah berusia lebih dari dua puluh tahun, di mata Paman Lee, tetap saja ia tampak seperti gadis sekolah dasar yang merajuk pada orang tuanya.

"Saya tahu, kejadian lalu memang sangat berat. Tapi, Tuan dan Nyonya tampak berubah banyak setelah itu. Satu hal yang harus Nona ingat, mereka meminta maaf dan terus memohon agar Nona membuka pintu. Bahkan, mereka menunggu berhari-hari. Tuan dan Nyonya tidak mendobrak atau memaksa masuk. Mereka sangat menghargai keinginan Nona, sama halnya dengan sekarang. Mereka tidak memaksa meskipun Tuan dan Nyonya merindukan Nona."

"Hufth. Tapi ...."

"Bagaimana dengan berkeliling kota malam ini. Besok hari libur dan saya lihat langit malam ini tampak indah," bujuk Paman Lee dengan mata berbinar. Ya, pria itulah yang mengenalkan Jihyun untuk terjaga di malam hari. Menikmati indahnya Kota Seoul dengan semilir angin yang menerpa wajah.

"Kalau begitu, izinkan aku untuk mengemudikan mobil paman."

"Nona, tuan tidak akan suka."

Kedua mata Jihyun menyipit, gadis itu seperti mencari ide lain, "Laranganku hanya berlaku untuk mobilku sendiri, bukan mobil orang lain. Atau ... bolehkah aku menginap di rumah paman malam ini? Aku rindu pada Naeun. Sudah lama, aku tak bertemu dengannya."

Kening Paman Lee mengernyit, pria itu tampak berpikir. "Lebih baik Anda menginap di rumah saya dari pada menyetir malam-malam."

Jihyun mengangguk setuju. Gadis itu segera masuk ke dalam kamarnya dan mengemasi beberapa barang yang tidak dimilikinya di rumah, termasuk untuk menginap malam ini. Baru saja mengunci pintu, terbesitlah sebuah ide di kepala Nam Jihyun.

"Nona, apa yang Anda lakukan?" teriak Paman Lee yang tampak terkejut dengan ulah nonanya.

"Ayolah, Paman. Kaki kananku pegal karena sudah lama tak menginjak —pedal—gas," ucap Jihyun dengan keyless contact di tangannya dan segera duduk di atas kursi kemudi.

***

"Akhir-akhir ini sepertinya kau tampak lebih ceria."

Kyungsoo menoleh menatap ibunya yang baru saja berujar. Pria itu sama sekali tak merasa lebih bahagia, ia justru sedikit terbebani akan pandangan barunya. Perspektif yang membuatnya merasa mengkhianati sang Ibu.

"Begitukah? Aku rasa, aku sama seperti biasanya."

"Tidak. Kau mirip orang jatuh cinta. Eomma pernah muda," tutur Nyonya Do lembut. Wanita itu terlihat tenang. Mungkin pengaruh obat yang baru dikonsumsinya satu jam lalu serta musik dari gramofon yang mengalun indah.

"Eomma..."

Seakan tak peduli dengan raut tak setuju putra tunggalnya, Nyonya Do melanjutkan ucapannya, "Jadi, kapan kau akan mengenalkan gadis itu pada Eomma?"

"Tidak ada cerita seperti itu, Eomma. Percayalah, aku terlalu sibuk dengan kuliahku di kampus."

Nyonya Do mengangguk, pura-pura setuju, tapi apa yang wanita itu lontarkan selanjutnya sungguh bertolak belakang.

"Meskipun Eomma sakit, Eomma bisa mengenali perubahan di wajahmu, Nak. Kalau kau belum mau mengenalkannya sekarang tidak apa-apa. Tapi, kau berhutang pada Eomma."

Tubuh Kyungsoo membeku. Pertama, ia sama sekali sedang tidak jatuh cinta. Kedua, ia tak mungkin mengenalkan gadis yang mengganggu pikirannya itu pada ibunya. Tidak hari ini dan tidak selamanya.

***

"Permisi, Tuan."

Pria yang disapa dengan panggilan 'Tuan' berhenti menatap tablet di tangannya. Pria tersebut menoleh pada salah seorang ajudan yang membungkuk memberi hormat. Lantas, ia menyunggingkan senyum kharismatik dan mempersilakan pria yang sudah berdiri tegap di sampingnya untuk bicara.

"Nona sudah tiba."

Senyum terkembang di bibir pria yang tahun ini akan menginjak setengah abad. Meskipun tinggal satu kota dengan putrinya, buka berarti ia bisa menemuinya setiap hari. Tak hanya ia yang sibuk dengan perjalanan bisnis ke berbagai belahan dunia, putri kesayangannya pun juga punya dunianya sendiri.

"Manajer Lee memang bisa diandalkan. Katakan padanya kalau aku menunggu di taman belakang."

Sebelum sang Ajudan beranjak pergi, sosok yang dibicarakan sudah terlihat berjalan ke arah tempat mereka berada.Gadis itu menyunggingkan senyum yang sangat mirip dengan ayahnya.

"Wow. Bagaimana Capetown? Menyenangkan?" sapa gadis itu seraya memeluk tubuh ayahnya.

"Kau tak bertanya kabar ayah, tapi justru membahas kota itu. Sayangnya, biasa saja."

"Benarkah? Appa 'kan terlihat bugar, aku yakin Appa sehat."

Gadis itu menarik kursi besi berukir di samping tempat ayahnya duduk. "Di mana Eomma? Kenapa Appa sendirian?"

Ayahnya menyesap secangkir teh hangat yang sejak tadi menemaninya. Pria itu terdiam beberapa saat, lantas mulai bicara lagi, "Di kamar. Eomma-mu merajuk karena ayah terlambat —pulang—3 hari."

"Oh, God! As always," ucap Jihyun enteng seolah lupa dengan semua kekesalannya.

"Karena itu juga, aku ingin bicara denganmu. Could you do me a favor, Jihyun?"

Kening Jihyun mengernyit selama beberapa detik. Kalau menuruti perintah ibunya ia harus berpikir hingga lima kali, tidak dengan ayahnya. Gadis itu perlu waktu kurang dari 10 detik untuk terlihat tertarik.

"Nanti malam akan ada gala dinner di charitable gathering yang mengundang Appa. Eomma-mu sudah menolak, tapi tak mungkin aku pergi sendiri. Jadi, bisakah kau menemani Appa?"

Bola mata Jihyun berputar. Gadis itu tampak berpikir. Bukan untuk menolak tentunya. Ia sedang mencari keuntungan yang bisa diperolehnya dari keikutsertaannya. Ya, itu adalah alasannya untuk mudah tertarik dengan apa yang akan ayahya sampaikan.

"What if we make a trade off?"

"Of course."

Bagi Tuan Nam, hal ini sudah sangat biasa. Jihyun mulai menjelaskan keinginannya, "Aku ingin ikut perjalanan Appa ke Afrika lagi. Terserah ke negara manapun, aku ingin melihat kondisi di sana seperti apa."

"Untuk?"

"Mungkin kita bisa mengadakan charity di masa depan. Bagaimana?"

Tuan Nam tahu kalau putrinya senang terlibat dengan berbagai kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, tetapi ia tidak tahu kalau Jihyun berminat dalam kegiatan sosial. "Kalau kau berminat pada volunteering activities, kau bisa memperluas network-mu malam nanti."

"Beda, Appa. Aku lebih tertarik bertemu dengan objeknya. Bukan berkumpul dengan para filantropis yang motivasi sebenarnya hanya untuk bisnis dan politik."

Appa-nya tertawa dengan keras. Bukannya merasa tersindir, ia merasa putrinya semakin pandai bicara. Lagi pula, ia sendiri yang menceritakan fenomena tersebut. Tidak semua pengusaha dan pejabat tulus memberikan bantuan pada masyarakat miskin. Sering kali tendensi politik maupun bisnis menjadi alasan utama.

"Deal."

"Thank you!" jawab Jihyun yang lantas mengecup pipi Appa-nya, "aku akan memilih pakaian untuk nanti malam."

Sebelum Jihyun berlalu, sang Appa menahan tangan purnya. "Satu lagi. Ini pesta formal, jangan pakai polo belel-mu atau kemeja!"

"Yes, Sir! I'll be the most gorgeous tonight."

***

Jihyun dan ayahnya memasuki ballroom mewah dengan dinding berwarna cream dan aksen keemasan di sudut-sudutnya. Setiap tahunnya, perusahaan tempat ayahnya bekerja mengadakan charity night dan gala dinner yang dihadiri oleh para petinggi dan investor. Acara yang digelar setiap awal tahun tersebut, dimeriahkan oleh berbagai selebritis ternama dan hiburan lain yang sangat berkelas.

"Senang sekali bertemu kembali dengan Anda, Tuan Nam," sapa salah seorang kolega ayah Jihyun. Lantas, Jihyun ikut membungkuk sebagai bentuk sopan-santunnya.

"Lama tak bertemu, Tuan Choi. Tapi tentu, kita akan bertemu di rapat direksi besok."

Pria yang disapa sebagai Tuan Choi tertawa nyaring, memamerkan deretan gigi putihnya.

"Kau pasti Jihyun."

"Benar, Tuan. Senang bertemu dengan Anda."

"Astaga, kenapa kau jadi seformal ini? Aku ayah temanmu. Jadi, kau harus memanggilku Paman."

Jihyun menatap lurus ke arah Tuan Choi, seakan meminta penjelasan. Ya, gadis itu bingung. "Teman?"

Hingga seorang pria bertubuh tegap dengan tuxedo berwarna hitam menghampiri mereka. Pria itu menyunggingkan senyum bak pangeran berkuda putih pada Jihyun, sebelum berujar, "Jadi, sampai saat ini kau tidak menganggapku teman?"

"Kau ...."

"Selamat malam Tuan Nam dan Jihyun-ssi. Senang bertemu dengan kalian di sini. Kuharap kita bisa bersenang-senang bersama," sapa pria yang Jihyun kenal sebagai senior sekaligus pahlawan-nya, Choi Minho.

Tuan Nam membalas sapaan tersebut dan lantas mengajukan keluhannya, "Astaga! Kenapa aku juga tidak tahu kalau putramu mengenal putriku? Apa-apaan ini?"

"Tenanglah, Tuan Nam. Minho baru menunjukkannya tadi. Ia mengatakan kalau Jihyun adalah adik kelasnya ketika melihat Anda berdua turun dari mobil. Aku sudah ingin menyapa, sayangnya Asisten Shin menarikku untuk bersiap memberi sambutan," jelas Tuan Choi berusaha menenangkan.

Jihyun menatap Minho dengan sorot kecewa, gadis itu refleks bergumam, "Jadi penampilanku tidak ada bedanya dengan hari biasa? Buat apa aku berdandan."

"Tentu berbeda, tapi kau tetap cantik," puji Minho, setelah mendengar gumaman Jihyun yang sama sekali tidak keras. Sedari tadi, ia tak bisa menyembunyikan rasa terpesonanya pada aura yang Jihyun pancarkan malam ini. Gadis itu memang tak menggunakan perhiasan bertahtakan berlian ataupun gaun yang menjiplak seluruh lekuk tubuhnya, hanya halter dress selutut dengan warna rose dan anting dangle yang sangat sederhana, tapi pesonanya sungguh memukau.

"Terima kasih," ucap Jihyun sopan. Namun, gadis itu lantas berbisik di telinga Minho, "kalau berbeda kenapa Sunbae masih bisa mengenaliku? Aneh."

Jihyun tidak terima dengan kenyataan bahwa Minho masih bisa mengenalinya setelah make-up yang melapisi wajahnya. Padahal, ia tak pernah menggunakan blush on apalagi eyeshadow ketika berada di kampus, apalagi di desa pengabdian. Dalam pikiran Jihyun, magic tools itu akan bekerja seperti ibu peri di cerita Cinderella.

"Aku pikir karena aku salah satu fans-mu."

Uhuk!

Ucapan Minho sontak membuat Jihyun tersedak. Ia ingin memukulkan clutch berhias mutiara di tangannya kalau saja ayahnya tak memberikan tatapan peringatan.

"Kupikir Anda harus berhati-hati, Tuan Nam. Sebentar lagi, akan lebih banyak yang mendekati Anda untuk menanyakan soal Jihyun," pungkas Tuan Choi dengan mimik serius.

"Untuk apa?"

"Menjadi besan tentunya," seloroh Tuan Choi, diikuti tawa kerasnya.

Jihyun tersipu malu. Ini adalah pertama kalinya ia menghadiri gala dinner yang diadakan oleh perusahaan sang Ayah dan ia sama sekali tidak berniat untuk menarik perhatian siapapun. Hanya berpenampilan pantas untuk ayahnya.

"Kalau begitu, sebaiknya aku titipkan Jihyun pada Minho agar tak ada yang berani mendekatiku lagi bukan?" celetuk Tuan Nam diikuti seringaian tawa yang lainnya.

"Appa...."

Meskipun masih ingin menempel pada ayahnya, ia tak bisa apa-apa ketika dewan direksi lain menghampiri. Ayahnya benar-benar menjadi pusat perhatian dan sulit mendapatkan atensi ayahnya sendiri. Ia menarik tubuhnya mundur. Merutuki keputusannya untuk ikut. Kalau tahu begini, sebaiknya ayahnya tak mengajak siapapun.

***

"Sebentar, aku ambil beberapa kudapan yang baru dihidangkan. Kau tahu, semua makanan di sini terlihat enak. Custard pudding, cherry pie, baklava, creme brulee. Semua itu adalah favoritku. Belum lagi catering-nya, Pinafore. Tidak ada satupun dessert Pinafore yang tidak enak," cerocos Jihyun antusias.

"Benarkah? Kalau begitu, kau harus bekerja di sini—Samsong— setelah lulus."

"Aku tidak berminat bekerja di perusahaan telekomunikasi meskipun ini perusahaan ternama. Too demanding."

"Kalau begitu, semoga kau bisa berkencan atau menikah dengan salah satu petinggi di sini."

"Sudah tua, dong? Tidak mau. Cukup dengan mengekor ayahku," jawab Jihyun ketus seraya meninggalkan Minho yang tertawa mendengarkan kalimat terakhirnya.

Gadis itu tak peduli kalau pramusaji masih menata dessert lain yang tak kalah menarik. Fokusnya adalah belasan dessert favorit yang tidak akan muat di piring kecil dalam sekali ambil. Ia tampak menimbang ketika hanya ada satu slot yang mungkin masih bisa terisi.

"Permisi," ucap Jihyun meminta ruang pada kerumunan kecil, ketika akan mengambil sebuah cherry pie.

"Silakan."

Jihyun tersenyum tipis pada wanita seusia ibunya yang telah memberikan jalan. Ia mengangguk dan kemudian mengambil dessert tersebut untuk diletakkan di piringnya.

Byuuur.

Untuk sepersekian detik, ia tercenung. Ia tak merasa melakukan kesalahan apapun sehingga pantas disiram, terlebih oleh wanita yang sebelumnya terlihat bersahabat.

"Dasar pelacur!"

"..."

"Sudah lama aku ingin menyiram wajahmu."

Tubuh Jihyun mematung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak mengenal wanita itu, bahkan menemuinya saja tidak pernah. Tubuhnya terasa kaku. Ia tak bisa bergerak, apalagi melawan.

***

Setelah aku baca-baca, part kemarin cringe, ya? Mianhae, biar nggak mabok kita agak serius gpp 'kan?

Btw, makasih antusiasmenya jadi bikin aku ingin update hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro