Part 16
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Jihyun ketika menemukan Kyungsoo sedang berjongkok di kulkas pantry di bawah penyinaran yang remang, "you're looked like a thief."
Kyungsoo segera berdiri dan lantas berbalik. Sementara mulutnya masih mengunyah. Entah apa kudapan tersebut, yang jelas remah-remahnya bersisa di sekitar bibir pria itu.
"Buat apa aku mencuri?"
Jihyun memutar bola matanya malas. "Ya, siapa tahu, 'kan. Lagi pula, aku tak bilang kau pencuri. Hanya mirip."
"Looked like," ulang Jihyun memberi penegasan pada setiap suku katanya.
Mendengar ucapan Jihyun, Kyungsoo jadi salah tingkah. Pria itu lantas duduk di kursi pantry, membuka sekaleng soda, dan bergaya seakan tak ada Jihyun di sana.
"Kau menemukan boks soda yang kumaksud?"
Suara Jongdae terdengar, memecah keheningan. Ya, kehadiran Jihyun di sini pun sebenarnya adalah untuk mengambil minuman untuk peserta pelatihannya malam ini. Hanya saja, keberadaan Kyungsoo membuatnya lupa.
Jihyun menepuk jidatnya. "Oh!"
Gadis itu, buru-buru membuka satu per satu lemari dapur saking paniknya. Ia malu sendiri sampai lupa tujuannya pergi.
"Ini. Kami tidak pernah menyimpan soda di lemari, Nona," ujar Kyungsoo yang sudah bangkit, mengambil sekotak soda dari dalam lemari pendingin dan meletakkannya di depan Jihyun. Saking malunya, pipi gadis itu sampai memancarkan semburat merah.
Jongdae menangkap perubahan itu dan senyum terkembang di bibirnya. Sesungguhnya, ia ingin tertawa, tapi ia tak ingin membuat kedua temannya menjadi awkward. Cukup dia dan Tuhan yang tahu keanehan ini. Lagi pula, mungkin sebentar lagi apa yang akan dikatakannya akan membuat kedua orang itu semakin tak nyaman jika ada kecanggungan.
"Kimbab girl, aku lupa bilang kalau hari ini adalah peringatan hari kematian kakekku. Kau bisa pulang sendiri 'kan?" ucap Jongdae memancing atensi.
"Hah! Kenapa baru bilang? Tahu begitu aku minta Rowoon menjemput dari tadi."
Jongdae meringis dan menggaruk belakang lehernya. Ia memang bukan seorang aktor, tapi kemampuan aktingnya tidaklah buruk. "Kalau ibuku tidak mengirimiku pesan barusan, aku pun juga tidak akan ingat. Maklum, aku memang cucu durhaka."
"Ya... ya... kalau begitu aku izin pulang lebih cepat, ya."
"Kau 'kan pemberani."
Jihyun menyipitkan mata dan menatap Jongdae serius. Ia sadar citranya sebagai gadis kuat dengan nyali besar, tapi bukan berarti ia tak perhitungan. Justru, Jihyun sangat memahami batas keberaniannya dan pergi sendirian tanpa amunisi di bawah temaram malam bukan pilihan yang tepat.
"Tapi aku tetap perempuan—"
"Sudah. Kau pulang denganku saja."
Tanpa diduga sosok yang sejak tadi hanya diam menonton ikut menanggapi. Pandangan Jihyun yang semula terarah pada Jongdae, refleks berbalik ke belakang, mendapati wajah hangat Kyungsoo. Gadis itu sampai mengedipkan kelopak mata berkali-kali. Hubungannya dengan pria itu memang jauh lebih baik, mereka kerap mendiskusikan komunitas tempat keduanya bernaung. Namun, hal itu tak serta merta membuatnya lebih percaya diri kalau pria itu akan lebih peduli padanya. Oh, bukan, lebih kepada tatapan teduh pria itu.
"Bukankah kau mau ke rumah Bora Noona?" tanya Jongdae berlagak polos. Kyungsoo memang sudah berencana sejak jauh hari untuk menemui ibu salah satu dari peserta pelatihan, untuk bekerja sama mengembangkan sektor bisnisnya.
"Itu bisa diatur. Aku bisa pergi sekarang atau nanti JIhyun bisa ikut bertamu."
"Nice."
Hanya Jongdae yang merespon karena entah bagaimana, Jihyun kembali terdiam. Ia bingung, bagaimana bisa ia kehilangan kata?
***
Ibu Bora terkejut ketika tidak hanya anak pertamanya yang masuk ke dalam rumah, melainkan dua orang asing dengan aura yang cukup berbeda. Dalam sekali tatap, ia yakin, bahwa kedua tamunya bukan orang sembarangan.
"Bora, siapa yang kau bawa pulang sekarang?" bisik ibunya meskipun bisa terdengar oleh Jihyun dan Kyungsoo.
Berusaha bersikap ramah, Kyungsoo maupun Jihyun mengenalkan diri mereka sebagai pengurus Berdaya Bersama—komunitas pemberdayaan pekerja seks komersil yang didirikan oleh Kyungsoo dan Jongdae.
"Untung saja, kupikir kalian keluarga pria hidung belang yang menganggap putriku mengganggu," sapa pemilik rumah lega. Wanita paruh baya itu lantas menarik kursi dan tersenyum dengan hangat. "Silakan duduk."
Sebelum menyampaikan itikad baiknya, Kyungsoo mengikuti Bora untuk duduk di ruang tamu yang tak lebih luas dari kamar mandi rumahnya. Jauh dari kata mewah, tetapi rumah Bora ditata sangat rapi dengan beberapa aksesoris sederhana yang Jihyun yakin merupakan handmade, entah ibunya ataupun Bora sendiri. Wanita itu pernah bercerita, jika ia sudah punya banyak uang, ia akan berhenti menjadi wanita malam. Bora ingin menjadi pengusaha sukses dengan handmade khas keluarganya.
Berbincang sesaat, Bora kembali menemui ibunya untuk membantu di dapur, meninggalkan Kyungsoo dan Jihyun di ruang kecil tersebut. Suasana mendadak hening. Tidak Kyungsoo ataupun Jihyun memulai pembicaraan, keduanya menyibukkan diri dengan ponsel.
"Kau ... sudah lama mengenal Bora Unnie?" tanya Jihyun ingin memecah keheningan. Lagi pula, bukankah saat ini mereka sudah berteman?
Kyungsoo memutar bola matanya sesaat. "Tidak juga, baru beberapa bulan. Kenapa?"
Jihyun mengangguk samar. Sikap Kyungsoo pada Bora dan wanita malam lain sungguh di luar prediksi Jihyun. Proyek yang dikerjakan pria itu sama sekali tak terpikir akan dilakukan seorang Do Kyungsoo yang dingin. Dulu, ia kira, pria itu hanya modal bicara untuk sekedar memaki. Namun, Kyungsoo punya concern yang sama dan ada di level pengabdian berbeda dengannya.
Lantas, pertanyaannya untuk kesekian kali, "Kenapa dulu sikap pria itu padaku seolah aku lebih rendah dari pekerja seks komersil?"
"Kyung—"
"Makan malam sudah siap, ayo kita makan dulu! Jarang-jarang Bora mengajak temannya berkunjung."
Suara Ibu Bora menghentikan ucapan Jihyun. Kyungsoo sempat mendengarnya hingga pria itu melirik Jihyun beberapa saat, tapi kini JIhyun justru kehilangan intensinya. Gadis itu beranjak, mengikuti Bora untuk menarik salah satu dari 4 kursi yang mengelilingi meja makan.
"Ini sangat enak," ucap Jihyun spontan ketika gadis itu menyesap sesendok dak gomtang yang baru saja matang.
"Hssh."
Tak hanya berdesis, Kyungsoo juga menginjak kaki Jihyun karena dianggap terlalu santai bersikap di rumah orang yang baru mereka kenal. Meskipun, tidak dengan Bora dan ibunya.
"Benarkah? Maaf, kami hanya bisa menyediakan ini. Semoga cocok dengan selera Tuan dan Nona," tukas Ibu Bora.
"Ahjumma terlalu merendah. Aku sependapat dengan Jihyun, ini adalah dak gomtang terenak yang pernah kumakan. Kurasa tak ada yang bisa memasak seenak ini di rumahku."
Wajah Ibu Bora bersemu mendengar penuturan Kyungsoo. Pada akhirnya, ia juga turut memuji betapa enaknya makanan yang sedang mereka makan.
Jihyun tersenyum simpul mendengarnya. Matanya beralih menatap Kyungsoo yang ternyata juga sedang terarah padanya. Walaupun Kyungsoo tak benar-benar mengajak Jihyun untuk turut hadir menemui Ibu Bora, perhatian pria itu seolah tak lepas dari Jihyun.
Menyadari Jihyun yang kini ikut melihat ke arahnya, Kyungsoo buru-buru membuang muka. Lantas, fokusnya kembali pada semangkuk makanan di hadapan dan menghabiskannya dengan hikmat.
***
Seharusnya Jihyun dan Kyungsoo sudah beristirahat di kediaman masing-masing ketika dua digit terdepan jam digital Jihyun menunjukkan angka 11. Namun, apa yang seharusnya, tidak pernah menjadi sejatinya. Selepas pertemuan mereka dengan Ibu Bora, tiba-tiba Jihyun ingin mampir ke Mangwon-dong Sports Park dan dengan impulsif Kyungsoo menerima tanpa perlu berpikir panjang.
Swoosh!
Jihyun melengos pergi ketika bola kesekian yang dilemparkan oleh Kyungsoo ke dalam ring berhasil lolos dengan sempurna. Pada awalnya, ia memang bersorak karena ia pikir Kyungsoo bukan lawan yang sebanding untuknya. Dalam artian, pria itu tidak tahu bagaimana cara bermain basket. Namun, Jihyun harus kecewa karena ternyata yang disebut 'tidak begitu bisa' jauh lebih baik darinya.
"Mau ke mana?" teriak Kyungsoo masih di tengah lapangan.
"Lelah. Kau lanjutkan saja sendiri," tukas Jihyun yang terdengar merajuk.
Tingkah Jihyun sukses membuat senyum di bibir Kyungsoo terkembang. Pria itu mengambil bola yang sudah menggelinding ke arahnya, lalu menghampiri gadis yang kini meneguk hampir setengah air mineralnya.
"Katanya one on one?"
Jihyun mengerucutkan bibir sambil memutar bola matanya. "Kau 'kan mau main sendiri."
Satu alis Kyungsoo menukik seakan mempertanyakan ucapan Jihyun. Gadis itu tak langsung menjawab, ia menaikkan kedua bahunya. Merasa clueless, Kyungsoo berbalik, mulai mendribel bola memasuki lapangan. Akan tetapi, seorang Nam Jihyun tidak bisa berpura-pura ketika memang ada yang ingin disampaikan.
"Bisa tidak kau memberikanku kesempatan untuk shooting. Kau terlalu mendominasi Do Kyungsoo," teriak Jihyun kesal.
Pria itu masih melanjutkan aktivitasnya meskipun ia tetap berusaha menanggapi Jihyun, "Bukankah kau yang tadi mengatakan 'do your best'? It's still merely good but you end up getting cranky."
"Cranky? Are you kidding me?"
Bola yang sejak tadi memantul ditangkap pria itu dan dilemparkan ke arah Jihyun yang sedang mendelik ke arahnya. "Ayo main lagi! Kupikir kau suka bersaing dengan sehat, tapi kalau kau ingin aku pura-pura mengalah, akan kuusahakan."
Untung Jihyun punya refleks yang bagus untuk menangkap passing atas itu. Salah-salah, bola tersebut mendarat di kepalanya.
"Tidak perlu. Aku akan buktikan kemampuanku," ucap Jihyun dengan harga diri yang melangit. Terkadang, ia menyesal memiliki image sebagai gadis kuat sehingga jarang sekali ada orang yang ingin melindungi ataupun bersikap lebih lunak. Namun, itu lebih baik baginya dari pada dipandang rendah.
"Siap, mulai!" seru Kyungsoo sebelum pria itu melempar bolanya ke atas.
Fokus Jihyun terpantik oleh ucapan Kyungsoo sebelumnya. Dengan sigap, ia melompat dan mengambil alih bola berwarna hitam, menggiring ke arah ring. Ketika Jihyun sudah semakin mendekat, Kyungsoo merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi dan merebut bola. Gadis itu tak bisa mendekat lagi ke arah ring, ia melirik ring basket yang jaraknya kurang dari 5 meter. Jihyun tak punya pilihan selain berhenti di area perimeter.
Dug!
Bola sudah melesat masuk ke dalam ring sebelum Kyungsoo kembali merebut bola tersebut. "Nice shot!"
Jihyun hanya mengangguk sekilas seakan sudah biasa. Jika ia mau jujur, ini adalah lemparan terjauhnya. Gadis itu lebih sering membuat free-throw saat bermain dengan teman-temannya.
Kali ini permainan berlangsung lebih sengit. Bukan Kyungsoo yang tampak mengalah, tapi Jihyun yang jauh terlihat bersemangat. Beberapa kali gadis itu memasukkan bola ke dalam ring hingga melakukan mid-range shot. Kyungsoo selalu memuji setiap shoot yang dihasilkan gadis itu, walaupun ia lebih banyak meloloskan lemparannya ke arah ring.
"Bagaimana? Sudah empat kuarter, apa masih ingin mengalahkanku?" goda Kyungsoo yang membaca betapa kompetitif gadis berkuncir kuda di hadapannya. Pria itu menyugar rambutnya yang basah oleh keringat dengan satu tangan dan membiarkan tangannya satu lagi untuk menahan bola.
Jihyun yang masih terengah membuang muka. Wajahnya kembali memerah. Salahkan pembuluh darahnya yang mudah berdilatasi hanya karena melihat seorang Do Kyungsoo menyisir rambut berkeringatnya. Padahal, gadis itu juga sama-sama basah oleh keringat.
"Tidak. Aku mengaku kalah."
"Jadi ..." ucap Kyungsoo menggantung kalimatnya. Pria itu seperti menanti respon Jihyun sejak tadi.
Satu kata dari Kyungsoo sudah berarti satu paragraf di otak Jihyun sekarang. Pertandingan ini bukan sekedar pertandingan. Ada hal yang mereka pertaruhkan sebelumnya.
"Tenang. Aku akan menepati janjiku."
***
Keduanya tak lagi mengunjungi tempat lain dan bergegas untuk kembali mengingat malam yang semakin larut dan keduanya memiliki jadwal kuliah besok.
"Udara malam ini cukup dingin, aku akan menyetir lebih cepat. Kalau kau takut, kau bisa berpegangan pada besi atau bajuku," ujar Kyungsoo memperingati.
Bukannya memegang besi atau jaket yang Kyungsoo kenakan, Jihyun justru memiliki ide nakal dengan melingkarkan tangan di perut pria itu.
"Kau ... kenapa memelukku?" tanya Kyungsoo canggung. Tindakan gadis itu memberikan desiran aneh yang membuatnya merasa perutnya dipenuhi oleh kupu-kupu. Hembusan napas gadis itu yang terasa di tengkuk, turut membuat konsentrasi Kyungsoo semakin terganggu.
"Bukan itu yang kau maksud? Ah, maaf."
Gadis itu menahan tawa sebelum menarik tubuhnya mundur. Rasanya tidak adil kalau hanya membiarkan wajahnya yang memerah karena sikap pria itu. Jihyun ingin sedikit berulah agar setidaknya membuat pria itu kesal.
Kyungsoo buru-buru meralat kata-katanya dan menarik satu tangan Jihyun dengan tangan kirinya.
"Bukan begitu. Aku ... hanya terkejut. Kau boleh melingkarkan tanganmu di pinggangku. Aku—aku— akan menyetir dengan cepat."
Kini Jihyun tak bisa tertawa, ia justru bingung bagaimana mengendalikan jantungnya yang bertalu lebih cepat dari biasanya. Dinginnya udara malam seharusnya membuat pipinya tampak pucat. Namun, tidak seperti itu yang terlihat, pipi gembil Jihyun kembali bersemu merah bak tomat masak. Begitu juga dengan Kyungsoo.
"Kalau kau merasa terlalu cepat, bilang saja."
"Tidak masalah," jawab Jihyun cepat seraya mengeratkan pegangannya.
Lantas, Kyungsoo memacu kendaraannya dengan kencang. Tak ada lagi celotehan yang lolos dari bibirnya maupun gadis di belakangnya. Pun, tak ada suara selain deru knalpot yang terdengar. Kedua insan tersebut terdiam seakan sibuk menenangkan degupan jantungnya masing-masing. Berdamai dengan pikiran yang mulai liar mendamba. Bukankah, dalam suasana seperti ini, biarlah langit malam dan rembulan yang menjadi saksi?
"Apa kau masih kedinginan?" tanya Kyungsoo ketika ia melambatkan lajunya seiring dengan tanda batas kecepatan yang baru saja dilihatnya di sisi kanan.
Jihyun menggeleng pelan yang dapat Kyungsoo lihat dari pantulan kaca spionnya. "Tidak."
"Kalau kau masih kedinginan, sebaiknya kau pakai jaketku."
"Jangan, kau yang akan kedinginan nanti," tolak Jihyun jujur.
Kyungsoo tak memaksa, pria itu tersenyum tipis dan melipat bibirnya ke dalam. Ada rasa yang sulit dijelaskannya dalam kata.
Entah angin apa yang baru menerpanya, Jihyun mulai bicara, "Meskipun awalnya kau terlalu menyebalkan, tapi sekarang aku justru merasa nyaman denganmu."
"..."
"That's funny, right? Kau tak sedingin yang terlihat—dulu," imbuh Jihyun, berbisik tepat di telinga Kyungsoo.
"..."
"Terima kasih."
Kyungsoo memejam sesaat lampu lalu lintas berubah merah. Ia tak tahu apa yang ia rasakan. Logikanya berkata bahwa ia salah telah membiarkan gadis itu terus memeluknya, tapi hatinya sulit berkata tidak.
***
Ketika Kyungsoo memasuki kamar orang tuanya, kamar itu sudah gelap dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Mengizinkan semburat cahaya bulan menelisik ke dalam sudut-sudut kamar. Kamar itu pernah menjadi tempat yang hangat untuknya. Namun, kehangatan itu kini sulit dirasakannya. Kyungsoo berjalan lebih dalam menuju tempat tidur di tengah ruangan.
"Eomma..."
Semakin pria itu mendekat, wajah lelah ibunya semakin jelas. Ia hanya bisa menunduk dan terduduk di lantai, memperhatikan setiap kerutan di wajah ibunya yang semakin bertambah dari hari ke hari.
"Minjun-ah," lirih sang Eomma, memanggil nama ayahnya.
Kyungsoo tahu Eomma-nya sangat membenci suaminya sendiri. Perselingkuhan yang berulang kali dilakukan ayahnya sungguh tak bisa dimaafkan. Belasan wanita menjadi idaman ayahnya, tapi hanya ibunya—wanita— yang selalu menjadi korban. Melihat bagaimana nama ayahnya disebut, ia yakin, dalam hati kecil ibunya, wanita itu sangat menginginkan ayahnya kembali.
"Maaf, Eomma," ucap Kyungsoo hampir tak bersuara. Ia tak berani menyentuh apalagi membangunkan wanita itu.
Pria itu lantas bangkit. Matanya bersirobrok dengan frame foto kecil di salah satu nakas. Entah berapa kali, bingkainya hancur dan diganti kembali. Foto keluarga terakhir yang diambil ketika mereka menghabiskan musim panas bersama di Norwich karena setelah itu, tak ada lagi satupun foto keluarga yang diambil kembali.
"Aku tidak tahu apa yang kurasakan, tapi aku sudah tak bisa membenci gadis itu. Aku tak punya alasan lain. Apakah aku masih pantas menjadi putra kalian? Sekali lagi, maafkan aku, Eomma."
Kyungsoo hanya mampu bicara dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca.
***
Maaf, aku baru bisa kembali setelah akhir tahun yang sangat padat. Meskipun, awal tahun juga masih hectic, semoga bisa mulai lanjutin ceritaku yang udah mau 4 tahun ini hehe.
Btw, sampai tahap ini, menurut kalian, kenapa Kyungsoo di awal-awal 'gemes' sama Jihyun?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro