Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15

"Maaf."

Satu kata itu sama sekali tak asing di telinga Jihyun. Akan tetapi, semua terasa tak biasa ketika kata itu terdengar dalam warna suara yang sama sekali tak pernah menunjukkan rasa bersalah ataupun penyesalan. Mata Jihyun mengerjap beberapa saat, meyakinkan diri kalau ia tak salah mendengar. Hingga ia memutuskan kembali mengemasi dogi* dan barang-barangnya yang lain.

"Aku tak bermaksud membentakmu kemarin. Aku ... hanya sedang dalam mood yang buruk."

Kali ini, Jihyun yakin ia tidak sedang berhalusinasi. Mana mungkin halusinasi sepanjang itu. Suara yang didengarnya adalah milik Kyungsoo.

"Soal ..."

"Kemarin saat aku mengingau."

"Oh, itu. Tenang saja, aku mengerti. Mungkin kau terkejut melihat wajahku setelah bermimpi buruk."

Tak ada elakan yang muncul dari bibir Kyungsoo, pria itu mengangguk dan menyunggingkan senyum. Senyum lebar yang baru kali ini Jihyun lihat. Sorot mata pria itu terlihat teduh dan wajahnya memancarkan ketulusan. Jihyun sampai tercengang melihat keanehan itu. Ia yakin ada malaikat yang sedang melapisi wajah pria dingin itu.

Kyungsoo melirik ke sembarang arah. Pria itu tampak mencari celah untuk bicara. Hingga ia memantapkan diri untuk membuka mulut, "Apa kau sibuk malam ini? Kalau kita makan ramen sebentar, ada waktu?"

"Ya, aku tidak punya janji dengan siapapun," jawab Jihyun cepat. Namun, gadis itu lantas memejam. Mengapa ia tidak bisa sedikit jual mahal pada Kyungsoo?

***

"Dua botol Soju."

"Stop!" teriak Jihyun buru-buru seraya mengibaskan tangannya pada ibu berusia senja yang melayani dirinya dan Kyungsoo.

"Why?"

Gadis itu mengetukkan jemarinya di meja besi yang memisahkannya dan Kyungsoo. Bola matanya bergerak lambat seakan berusaha merangkai kata. "Sejujurnya, aku sedikit trauma dengan minuman semacam itu dan aku bersumpah tak akan meminumnya lagi sampai aku lulus kuliah dan mandiri."

"Kau serius?"

Jihyun terkekeh. Ia tahu, untuk seorang mahasiswa di Seoul, minum Soju adalah hal yang biasa. Kalau sampai ia memutuskan tidak minum, ia selangkah lebih dekat untuk menjadi nerdy. Namun, apa boleh buat, komitmennya jauh lebih berarti ketimbang dianggap sebagai hal wajar.

"Ya, sebelum orang tuaku mendisiplinkanku dengan kebijakan lain yang tidak terduga."

"..."

"Well, kurasa kita berteman jadi akan kuceritakan sedikit tentangku," ujar Jihyun mendapati Kyungsoo yang sepertinya tak paham dengan ucapan gadis itu sebelumnya, "aku adalah anak tunggal. Menurut orang, menjadi anak tunggal adalah privilege karena seluruh perhatian dan dukungan orang tuamu akan tercurahkan padamu. Materiil maupun moril."

Kyungsoo menggeleng.

"Kau tidak setuju denganku?"

"Bukan. Aku tidak sependapat dengan pandangan orang."


"Ternyata, ada juga pemikiran kita yang sama," tukas Jihyun lega. Gadis itu menjentikkan jarinya sebelum kembali bertanya, "kau anak keberapa memang?"

Kyungsoo terdiam. Ia tidak tahu, apakah ia perlu menceritakan siapa dirinya pada gadis itu atau tidak. Meskipun Jihyun menganggapnya teman, Kyungsoo belum bisa secepat itu mengakuinya. Pikirannya terlalu kompleks.

"Pertama ... dan terakhir," jawab Kyungsoo pada akhirnya.

"Wah, pantas saja kita sering berdebat. Aku pikir karena ego kita sebagai anak tunggal," ujar Jihyun menimpali.

Seperti tidak pernah bermusuhan dengan Kyungsoo, gadis itu bersikap sangat santai. Ia benar-benar menganggap Kyungsoo akan menjadikannya teman setelah ini. "Lanjut ke ceritaku tadi, aku tidak tahu, kau mengalami hal yang sama atau tidak. Ekspektasi orang tuaku sangat tinggi sampai aku silau untuk membayangkan. Sebagai anak muda dengan kemewahan yang tidak semua orang punya ...ehm ... tidak sekaya pacarmu juga, sih, mungkin aku sering bersikap seenaknya."

"Benar."

"Benar untuk yang mana? Kau menganggapku seenaknya?"

Kyungsoo mendengus. Ia bukan people pleaser, jadi ia tak akan menenangkan Jihyun dan berkata bahwa gadis itu tidak bersikap sesuka hati. Harus Kyungsoo akui, gadis itu punya niat yang mulia, meskipun ia juga meragukan kadar ketulusannya. Sering kali kebijakan yang Jihyun ambil sifatnya jangka pendek. Contohnya, ketika mengatasi bocah-bocah brutal di desa.

"Baiklah. Aku sedang tidak mau berdebat. Hari ini adalah hari jadi kita sebagai teman."

Tatapan Kyungsoo terpaku beberapa saat. Kalau saja ia lupa akan kebaikan gadis itu, mungkin ia sudah meninggalkan Jihyun sekarang.

"Belajar di kampus ternama tidak menjamin kita menjadi sosok yang cerdas dan berhati mulia. Banyak hal yang harus kita lalui dari sekedar memahami textbook, presentasi, ataupun diskusi. Untuk membentuk karakter yang kuat, aku perlu bertemu dan berinteraksi dengan beragam karakter, itu alasanku terlibat di berbagai kegiatan kemahasiswaan. Terkadang mentalku jatuh, harus terjebak dalam kondisi yang buruk, tapi aku senang, aku belajar. Sayangnya, tidak begitu yang dilihat orang tuaku. Pembelajaran itu ... It's looked like flaws."

"Termasuk mabuk?"

"Ya. Bahkan kau pernah mengantarku pulang waktu itu. Karena kejadian itu, orang tuaku marah. Tidak. Sangat Murka," ucap Jihyun dengan mengkoreksi kata terakhirnya.

"Apa kau pernah melakukan hal yang jauh mengecewakan dari mabuk?"

Jihyun mengerucutkan bibirnya, gadis itu tak suka dengan pertanyaan Kyungsoo. "Kau pikir, aku senakal apa memang? Itu sudah yang terburuk seumur hidupku."

"..."

Seharusnya, Jihyun yang tersinggung, tapi ia menangkap sorot kesedihan yang coba Kyungsoo sembunyikan. Gadis itu merasa iba dan khawatir salah mengucap sesuatu.

"Sepertinya otakku akan miring jika kita terlalu lama bicara di sini. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan dulu?" pinta Jihyun untuk mengalihkan suasana. Gadis itu tak tahu apa yang sudah terjadi pada Kyungsoo, apakah pria itu punya hubungan yang buruk dengan kedua orang tuanya? Dan, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mencari tahu. Ia cukup menghibur pria itu.

***

Pantulan cahaya malam terbiaskan oleh permukaan batang air. Tempat bermuara aliran dari Sungai Namhan dari Gunung Daedeok dan Sungai Bukhan dari lembah Gunung Geumgang. Hampir menghabiskan seluruh usianya di Seoul tak lantas membuat Kyungsoo familier dengan keindahan tersebut.

"Bagus, 'kan? Sepertinya kau terpukau," tukas Jihyun antusias. Sebenarnya, tadi ia sedikit takut ketika Kyungsoo tak menanggapi ucapannya. Namun, wajah damai Kyungsoo sekarang, membuat gadis itu bisa sedikit bernapas lega.

"Tidak juga. Tapi, aku suka udaranya," jawab Kyungsoo yang lantas berbelok dan membaringkan tubuhnya di atas rerumputan hijau.

"Tranquil?"

"Indeed."

Jihyun senang mendengar jawaban singkat pria itu. Lantas, ia mendudukkan pantatnya tak jauh dari tempat di mana Kyungsoo berbaring.

Pria itu tak lagi bicara dalam beberapa menit, membiarkan wajahnya disapu angin malam. Matanya terpejam dengan bulu mata lentik yang menatap langit dan senyum berbentuk hati yang mampu menentramkan hati siapapun yang melihatnya. Jihyun tentu berpikir pria itu tertidur hingga ia berani sedikit mendekatkan tubuhnya. Pria itu memiliki alis tebal, mata bulat dan kulit wajah yang mulus. Rasanya, Jihyun tak tega kalau harus membangunkan pria itu, nanti.

"Jangan dekat-dekat!"

Hampir saja Jihyun terperanjat ketika suara Kyungsoo kembali terdengar. Pria itu ternyata tidak semudah itu tidur di tempat asing. Ya, ini Do Kyungsoo, bukan dirinya yang bisa tidur di mana saja.

"Aku hanya tidak mau terlihat sendirian. Kalau ada yang mendekat bagaimana?"

"Tinggal kau tonjok."

"Sial!" gerutu Jihyun diikuti tawanya. Bisa saja Kyungsoo berkata seperti itu padanya. Entah bentuk sarkasme atau serius. Namun, bertolak belakang dengan komentarnya, Jihyun senang mendengar ucapan itu.

"Menurutku, suasana Sungai Han di malam hari sangat menyenangkan. Lain kali, kau bisa mengajak kekasihmu ke sini. Meskipun penampilannya sedikit mencolok. Apalagi dilihat dari usianya, kurasa ia akan senang diajak berkencan di alam terbuka."

Refleks, Kyungsoo mendudukkan tubuhnya. Pria itu menatap Jihyun penuh tanda tanya. Terhitung dua kali, Jihyun sudah mengatakan bahwa pria itu punya kekasih. Memang ... siapa orangnya?

"Siapa pacarku?"

"Eits, sudah cukup kau sedingin Hades, tapi jangan segila Zeus dengan tidak mengakuinya."

Kyungsoo mendengus, ia tak tahu banyak soal dewa-dewa Yunani, tapi ia cukup mengerti kalau Zeus adalah salah satu dewa genit yang membuat pasangannya cemburu, dan ia sama sekali tidak seperti itu.

"Jaga bicaramu. Kalau aku Zeus memang kau apa? Athena? Enak saja. Kau tidak ada bijaksana-bijaksananya. Kau lebih mirip Medusa."

Bukannya marah, Jihyun justru terkikik. Padahal, ia sendiri juga tidak terlalu percaya diri dengan mengklaim dirinya seperti Athena. Gadis itu hanya terbesit analogi tadi untuk menuntut pengakuan Kyungsoo. Ia hanya senang Kyungsoo mau menanggapi candaannya. Tak lagi menimpali ucapan Kyungsoo, ia justru menjawab pertanyaan pria itu sebelumnya, " Maksudku Jennie."

"Ooh. Ia tidak akan suka tempat seperti ini. Lagi pula, ini terlalu bahaya untuknya. Too much exposure."

Jihyun merasa ucapan Kyungsoo masuk akal. Kekasih pria itu bak seorang putri yang tak boleh tersentuh apapun yang bisa membahayakan gadis itu. Mungkin, salah satunya adalah orang biasa yang berkeliaran di sekeliling Sungai Han. Ya, Jihyun cukup mengerti perbedaan di antara dirinya dengan gadis itu.

"Aku tidak bermaksud memaksamu, melihat dari sudut pandangku. Tapi, tepi Sungai Han adalah tempat yang sangat nyaman untuk sekedar berolahraga atau berjalan. Apalagi kalau kau bisa berkencan di tempat ini. Jiwamu seolah menyatu dengan alam lewat gemericik air dan tiupan angin sepoi-sepoi," ucap Jihyun menggebu-gebu. Mungkin Jennie tak menyukai ini menurut Kyungsoo, tapi Sungai Han terlalu indah untuk dilewatkan.

"Maybe, next time. Tempat ini sama sekali tak terlihat seperti seleramu."

"Memang, aku seperti apa?"

"Entahlah. Kupikir kau lebih banyak menghabiskan waktu di ... kelab malam."

Jihyun tidak tersinggung. Ia justru tertawa terbahak-bahak hingga perutnya sakit. Untung saja, ia tahu diri untuk tidak berguling di atas rumput hijau.

"Aku? Nam Jihyun? Kelab malam? Ngawur! Mungkin bisa kuhitung dengan satu tanganku berapa kali aku pergi ke kelab dan itu bukan pengalaman yang bagus. Jadi, tanpa ancaman dari orang tuaku, aku akan hengkang dari tempat itu. Tenang saja."

Kyungsoo terdiam. Ia punya alasannya sendiri untuk pendapatnya tadi. Menemukan Jihyun yang waktu itu mabuk di jalan seolah menguatkan argumennya. Namun, dari setiap kata yang disampaikan Jihyun malam ini, ia merasa gadis itu tak seperti yang dibayangkannya.

"Kau perlu lebih banyak bergaul denganku sepertinya," ucap Jihyun diselingi tawa renyahnya, "aku harus jujur kalau aku suka berkeliaran tengah malam. Tapi, tidak dengan jalan kaki karena itu sangat berbahaya. That's why I'm dependent on my car. Berkeliling kota di bawah cahaya yang temaram adalah sebuah kenikmatan yang sangat mewah. Terlebih, jika kau bisa mendengar suara alam. Mau percaya atau tidak, aku tidak bisa tak tersenyum dengan keindahan itu. Serotoninku seperti dilepaskan dalam jumlah besar di malam hari."

"Aku baru tahu ada orang sepertimu. Jangan-jangan itu alasanmu ada di Cheondam-dong ketika aku dikejar preman?"

"Seratus untuk Kyungsoo! Aku stres setelah berdebat dengan anggota timku. Jadi, menyetir semalaman membuatku lebih rileks. Meskipun tidak sampai tertidur, sih."

Kyungsoo ingat hari itu. Hari di mana ia hampir kehabisan tenaga setelah mencari perkara dengan para preman di dekat area lokalisasi, tapi sama sekali tidak punya bekal untuk melawan. Jika tak ada Jihyun, mungkin ia tinggal nama setelah dihabisi oleh pemuda-pemuda bertubuh gempal.

"Terima kasih untuk itu."

"Sama-sama," jawab Jihyun tulus dengan senyum lebar yang bisa meruntuhkan pertahanan setiap pria, terkecuali Do Kyungsoo.

"Sejak kapan kau senang berkeliling malam hari?"

"Sebenarnya aku punya kenangan yang sedikit buruk. Ayahku pernah salah paham ketika aku menolong seseorang tak dikenal. Ekhm ... Aku sadar tindakanku saat itu cukup berisiko, tapi kalau aku tidak melakukannya, bisa-bisa pria itu mati."

"Memang, kau berbuat apa?" tanya Kyungsoo penasaran. Baru kali ini, ia ingin tahu apa yang terjadi pada gadis itu. Apakah ini lebih buruk dari mabuk yang disebut sebagai kenakalan terburuknya?

Jihyun mendengus. Ia melirik wajah Kyungsoo sekilas. Ada sedikit keraguan melanjutkan ceritanya. Namun, bibirnya memang tak sejalan dengan otak. Bibir itu seolah punya kendalinya sendiri.

"Suatu saat aku akan bercerita ... tapi tidak sekarang. Intinya, orang tuaku murka dan mengusirku dari rumah. That's the worst part of my life. Beruntungnya, sopir keluargaku sangat baik. Ia mengantarkanku berkeliling dan mendengarkan semua uneg-uneg-ku hingga aku bisa tertidur pulas. Bahkan, aku menumpang tinggal di rumahnya berhari-hari, sampai orang tuaku tahu apa yang sebenarnya terjadi dan minta maaf. Sejak itu, aku selalu berkeliaran di malam hari, terutama untuk melepas penat."

Kyungsoo menatap lekat gadis di sampingnya tanpa berkomentar. Gadis itu jauh lebih terbuka dari sebelumnya. Sayangnya, semua tampak mengerikan ketika air mata mengalir dari pelupuk mata gadis itu. Selama ini, ia selalu tampak ceria, bahkan garang, tapi detik ini semua berbeda. Hanya dengan menceritakan pengalaman yang jauh lebih buruk dari mabuk, gadis itu terlihat jauh lebih rapuh dan lemah.

"Ah... maaf. Aku memang cengeng kalau mengingat kejadian itu. It was like ... I couldn't say anything."

Rasa iba membuat Kyungsoo menahan berbagai pertanyaan yang ingin dilontarkan. Mau bagaimana, untuk mengatakan kalimat lain yang mampu menenangkan gadis itu saja, ia tak bisa. Hanya tangannya yang bergerak naik turun, mengusap punggung Jihyun. Beberapa saat Jihyun membiarkan dirinya larut dalam kesedihan sebelum ia menggosok kelopak mata dan hidungnya dengan ujung pakaiannya.

"Sepertinya sudah hampir tengah malam. Orang tuamu akan menunggu. Ayo pulang!" ajak Jihyun dengan senyum terpaksa. Gadis itu harus mengakhiri percakapannya dengan Kyungsoo malam ini. Pria itu membuatnya nyaman tanpa terpaksa. Bisa-bisa, ia menceritakan segala keluh kesahnya dengan sukarela.

Tak mendapat respon, Jihyun segera bangkit dan menepuk pelan pantatnya yang ditempeli beberapa helai rumput. Mengabaikan Kyungsoo yang menatapnya dengan sorot penuh tanda tanya.

***

Catatan kaki:

Dogi: Pakaian Karate

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro