Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13

"Biarkan kami masuk!"

Teriakan dari salah seorang pria bertubuh gempal di depan matanya sama sekali tak menyurutkan nyali Kyungsoo untuk mencegah salah satu dari mereka masuk ke areanya. Hanya dengan sekali lihat, ia tahu sekelompok pria di hadapannya adalah lawan bukan kawan. Ia memang salah, membuka pintu tanpa sempat menanyakan siapa yang datang. Namun, setelah ini, ia akan mengingatkan Jongdae untuk memasang lubang pintu atau kalau perlu kamera interkom untuk keamanan.

"Aku tidak ada urusan dengan kalian," tolak Kyungsoo dingin.

"Kami perlu bicara denganmu," ucap salah seorang dari kelompok pria itu dengan intonasi yang lebih rendah.

"..."

Namun, hal itu tak mengubah apapun. Kyungsoo masih diam di tempatnya dan mereka tahu kalau pria itu tak akan mengizinkan mereka masuk.

"Ayolah, ada hal yang penting yang perlu kita bicarakan sebagai sesama pria."

"Aku tidak mengenal kalian."

Cih!

Jawaban tak acuh Kyungsoo semakin menyulut emosi. Bahkan, seorang pria dengan kemeja hitam yang tak dikancing penuh meludah tepat di sepatu Kyungsoo. "Sombong sekali kau, bocah. Kau tidak tahu siapa kami?"

Tanpa banyak bicara, Kyungsoo mengambil kesempatan untuk menutup pintu. Namun, ia kalah cepat karena seorang lagi menahan daun pintu dengan mendorong kasar. Hanya dengan satu gerakan tubuh, Kyungsoo terlempar mundur dan kelima pria berperawakan besar masuk ke bangunan yang disewanya.

"Hanya begini yang kau tutupi dari kami?"

Kyungsoo masih tak bicara mendengar cemoohan untuknya, ia mencoba bangkit meskipun punggungnya terasa remuk. Walaupun ia sadar, kekuatannya tak sebanding, ia tak bisa diam saja ketika pria-pria tadi mulai bertindak anarki. Tanpa pandang bulu, mereka mengacaukan ruangan yang sudah ditatanya dan Jongdae sedemikian rupa. Beberapa hiasan dinding dijatuhkan. Dokumen-dokumen di atas meja pun berserakan di lantai.

"Untuk apa kalian kemari?"

"Kupikir kau sudah tahu. Kami harus memberikan peringatan, dengan siapa kau berurusan di tempat ini—Cheongdam-dong," tukas seorang lagi.

"Tadi kalian bilang ingin bicara. Berhenti membuat kerusuhan dan kita bisa bicara baik-baik," ujar Kyungsoo pada akhirnya.

Seorang pria yang paling dominan berdecih, "Sayang aku sudah kehilangan minat."

Kedua tangan Kyungsoo mengepal. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan dirinya dan tempat ini.

"Dengan Kantor Polisi Cheongdam-dong? Saya Do Kyungsoo, ada sekelompok orang yang membuat kekacauan di tempat saya," ujar Kyungsoo melalui ponselnya. Lantas, ia menyebutkan tepatnya lokasi ia berada.

Alis salah seorang pria yang mendengarnya meninggi. Pria itu menghampiri Kyungsoo dan dengan cepat merampas ponsel serta membantingnya. Sadar posisinya semakin sulit, Kyungsoo berusaha mencari cara untuk melindungi diri. Bukan pengecut, ia tak punya peluang untuk memenangkan perkelahian yang akan terjadi.

Seakan mengerti Kyungsoo akan kabur, pria itu menarik kerah baju Kyungsoo dan melayangkan satu pukulan tepat di pipi Kyungsoo.

Bug!

"Sebelum polisi tiba, kau akan hancur terlebih dulu."

Kyungsoo tak bisa menghindar, tetapi ia masih berusaha melindungi diri dengan memberikan pukulan balasan.

"Hanya seperti ini kemampuanmu, bocah?"

Tubuh Kyungsoo diangkat tinggi-tinggi oleh pria dengan tubuh yang paling menjulang dan menjatuhkannya ke lantai. Tulang Kyungsoo terasa semakin remuk dan ia hanya bisa meringis melihat fokus gerombolan pria itu kini tertuju padanya.

***

Hari ini Jihyun tidak punya jadwal latihan. Seharusnya, ia bisa pulang dan memberikan waktu untuk meluruskan tubuhnya setelah seharian duduk di kelas dan presentasi, tetapi niatnya batal ketika ia menyadari buku catatannya tertinggal di tempatnya kemarin melatih. Setahu gadis itu, setiap pelatihan akan diadakan setelah pukul 6 malam dan hari ini tidak jadwal apapun. Namun, di tempatnya berdiri, ia bisa mendengar keributan dari dalam gedung yang berjarak kurang dari 50 meter.

Langkah kakinya semakin cepat ketika didengarnya suara barang berjatuhan. Ia yakin, ada yang tidak beres di tempat itu.

Bug!

Hampir saja ponsel Jihyun lepas dari genggamannya saat matanya bersirobrok dengan mata Kyungsoo yang kini terbaring di atas lantai. Pria itu tampak tak berdaya dan Jihyun tak bisa tinggal diam. Setelah menghubungi pihak berwajib, gadis itu melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Bajingan macam apa yang beraninya main keroyok?" teriak Jihyun lantang.

Kyungsoo sampai melotot melihatnya. Ia pikir Jihyun sudah terlalu gila mencuri atensi gerombolan yang tengah menyerangnya.

Tanpa babibu, Jihyun melempar tasnya ke lantai dan berlari menerjang salah satu dari pria-pria itu. Sudah lama gadis itu tidak melompat tinggi untuk menendang kepala orang, tapi sekarang hasratnya sudah tersalurkan. Sesekali ia menangkis serangan, tapi gadis itu lebih banyak menyerang. Ia harus memastikan kelima pria itu meninggalkan tempat ini segera.

"Kau hebat juga, ya."

Jihyun memutar bola matanya malas mendengar pujian salah seorang yang baru ditendangnya tepat di hidung. Dalam sepuluh menit gadis itu berhasil melumpuhkan 4 pria bertubuh kekar, hingga mereka hanya bisa mengerang menahan sakit. Mau bagaimana lagi, mereka tak ada yang tahu kalau ia adalah pemilik Sandan*.

Bug!

Hampir saja Jihyun memekik ketika gadis itu merasakan sentuhan tangan besar di bahunya. Namun, semua sirna saat didapatinya tubuh pria di belakangnya terjatuh dan Kyungsoo tengah berdiri dengan napas terengah-engah sembari mengangkat sebongkah kayu.

"Thank you."

"Aku yang seharusnya berkata begitu. Kau berhasil melumpuhkan mereka semua," ucap Kyungsoo tulus.

***

"Ouh."

"Sakit?" tanya Jihyun seraya memelankan tekanan kasa pada siku Kyungsoo yang terluka. Pria itu tak mau dibawa ke rumah sakit. Bahkan, ketika polisi jelas-jelas menawarkan bantuan. Jihyun tak paham jalan pikiran Kyungsoo yang lebih memilih mengurus lukanya sendiri.

"..."

"Apa kau bisa diam sebentar?"

Kyungsoo melirik Jihyun sekilas. Ia paling benci dengan luka, apa lagi after taste-nya. Termasuk, ketika cairan antiseptik mengenai lapisan kulitnya yang terbuka. Rasanya seperti terbakar.

"Jangan terlalu banyak bergerak, please. Aku akan semakin lama membersihkan lukamu."

Meskipun masih menahan perih, Kyungsoo mencoba untuk kooperatif dengan menahan tangan kirinya dengan tangan yang lain yang tidak terlalu sakit.

"Seberapa keras kau terjatuh tadi?"

"Cukup keras, tapi tidak sampai mencuri atensimu."

Jihyun mendesah pelan. Jelas-jelas perhatiannya tercuri hingga ia berteriak keras. Kecuali, kalau mereka ada yang berani menyerang Kyungsoo ketika ia sedang asyik berkelahi. Mau bagaimana lagi. Tidak mungkin ia terus-terusan menyembunyikan Kyungsoo di belakangnya. Bukankah pria itu juga punya kewajiban untuk melindungi dirinya sendiri?

"Maaf, but I'm sure they won't go after you anymore. My fist hurt them a lot," pungkas Jihyun jumawa. Ya, kalau Kyungsoo bisa membungkam orang dengan ucapannya, Jihyun akan melakukannya dengan kedua tangannya.

"Sepertinya kau tidak memperhitungkan risiko seperti ini?" tanya Jihyun polos.

"Aku bukan kau yang tak perhitungan. Hanya saja perhitunganku meleset. Kupikir mereka tak akan seberani itu menyerangku di tempat ramai."

"Ini bukan tempat ramai. Kalau ramai, pasti sudah banyak yang menolongmu," cibir Jihyun. Walaupun Cheongdam-dong adalah pusat kota, bangunan yang disewa Kyungsoo bukan di jalan utama.

Kyungsoo tak lagi mengelak karena menurutnya ucapan Jihyun ada benarnya. Pria itu terdiam tanpa menyadari manik matanya terus mengekori setiap gerakan Jihyun yang merawat lukanya.

"Besok akan kubicarakan dengan Jongdae."

Seulas senyum Jihyun terukir. Setelah memperkirakan antiseptik mengering, gadis itu menutup luka tersebut dengan kasa dan menasihati temannya, "Kalau tiga hari lukamu tak membaik, sebaiknya kau pergi ke dokter. Aku takut ini dalam."

"Ini bukan luka serius."

"Tapi jelas-jelas kau mengeluh dari tadi. Atau, kita ke rumah sakit sekarang?" ancam Jihyun menyadari pria di hadapannya tak menyukai rumah sakit.

"Aku memang tidak sehebat kau, tapi aku tidak selemah itu."

Jihyun mengulum senyumnya. Baru hari ini, Kyungsoo mau mengakui kemampuannya. Mungkin, ini pertanda kalau hubungan mereka akan membaik setelah ini. Tak ingin memberi respon berlebihan, gadis itu menghela napas panjang. "Ya, ya, ya. Terserah Tuan Do saja."

***

Sesampainya di kamar, Jihyun baru merasa sakit di sekujur tubuh. Maklum, sudah lama ia tak terlibat perkelahian. Kumite* pun bisa dihitung jari dalam beberapa bulan terakhir. Saking sudah tak terbiasanya, ia mendapati beberapa memar kebiruan di beberapa bagian tubuh. Namun, ia yakin ini tak seberapa dibanding memar yang akan Kyungsoo dapatkan setelah ini.

Sebelum semakin pegal, gadis itu lekas membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah. Kalau menunda, bisa jadi ia tertidur dalam kondisi masih berpeluh dengan pakaian yang sangat kotor. Buktinya, baru beberapa menit setelah mandi, matanya sudah hampir terpejam sempurna.

Drt drt drt.

Sontak kelopak mata Jihyun kembali terbuka mendengar getaran ponsel di atas nakas. Belum lagi mendapati tulisan 'Appa' terpampang di layar.

"Anak Appa masih saja sibuk sepertinya?"

Jihyun meringis mendengar sapaan ayahnya. Sudah lebih dari seminggu ayahnya tiba di Seoul, tapi baru sekali gadis itu bertemu ayahnya. Itupun ketika kedua orang tuanya mengambil mobil yang sudah bertahun-tahun menjadi milik gadis itu.

"Begitulah, Appa. Aku sekarang bekerja freelance untuk menyambung hidup."

"Menyambung hidup? Kau berkata seakan orang tuamu tidak becus menghidupimu."

"Bukan tidak becus. Kata Appa dan Eomma 'kan, aku sedang dididik."

Gelak tawa lolos dari bibir ayahnya. Memiliki Jihyun sebagai anak satu-satunya memang sering kali membuatnya lupa untuk tidak memanjakan gadis itu. Akan tetapi, ia selalu punya alasan untuk memberikan tribute dari sikap ataupun keputusan yang anaknya ambil. Contohnya setelah mendengar gadis itu menjadi freelancer. Ada rasa bangga yang bergelora mengetahui putrinya belajar untuk mandiri.

"Kalau begitu, sekarang uangmu banyak. Bisalah traktir Appa sebelum ke Capetown."

"Cape Town? Appa akan pergi lagi?"

Deheman ayahnya terdengar di telinga Jihyun. Bibir gadis itu mengerucut, tanda ia tak suka mendengarnya.

"Karena itu, kau harus segera pulang. Kalau tidak Appa harus menunggu 3 bulan untuk bertemu lagi denganmu."

"Bukannya Cape Town itu Afrika Selatan? Apa mungkin Samsong akan mendirikan pabrik di negara itu? Samsong tidak melebarkan sayapnya di pertambangan 'kan, Appa?"

"Bisa jadi, Appa akan mengusulkannya nanti."

Selama menjadi Direktur Operasional, ayahnya hampir selalu menghabiskan waktu di luar negeri. Untuk perluasan site ataupun alasan pengembangan lainnya. Padahal, Jihyun pikir, posisi yang ditempati ayahnya lebih dibutuhkan di Seoul. Namun, karena budaya kerja yang digagas oleh dari ayahnya sendiri, pria itu berkomitmen untuk memantau operasional seluruh pabrik yang tersebar secara berkala.

"Tapi, jadwalku padat, Appa."

"Kau selalu lebih sibuk dari Appa-mu. Bagaimana kalau sebelumnya flight hari Minggu, kita bertemu di Incheon saja? Sudah lama Appa tidak makan di La Vista, apa kau masih akan menolak ajakan makan steak favoritmu."

Refleks Jihyun mengusap wajahnya. Appa selalu tahu kelemahannya pada daging, terutama daging pilihan yang diolah oleh chef dengan skill memukau. Tak ada satupun restoran di Seoul yang bisa mengalahkan cita rasa steak milik La Vista. Masalahnya, perjalanan ke Incheon akan sangat menyita waktu dan tenaganya, jika ia harus menggunakan kendaraan umum.

"Tapi ... aku sudah tidak ada mobil. Bisa-bisa aku kelelahan naik turun bus," keluh Jihyun hiperbola.

"Alasan saja! Paman Lee akan menjemputmu kalau begitu."

"Thank you, Appa! I love you. See you on Sunday," ucap Jihyun ceria, sebelum ayahnya membalas ucapannya dan mengakhiri panggilan.

Appa memang sosok terfavorit untuk Jihyun. Appa selalu tahu apa yang ia perlukan dan harapkan. Mungkin terdengar berlebihan, tapi ia hanya akan mau menikah dengan pria yang seperti ayahnya.

Drt drt drt.

Ponsel gadis itu kembali bergetar dan Jihyun menyipitkan matanya. "Oh, appa memang terlalu posesif."

Gadis itu berhenti mengomel ketika bukan nama ayahnya yang terlihat. Justru, nomor asing yang tak disimpan di memori ponselnya.

+82XX-XXX-XXXX

Apa benar ini Nam Jihyun?

Demi apapun, Jihyun membenci pesan yang tidak jelas siapa pengirimnya. Bukannya terlalu percaya diri, bisa jadi ini adalah stalker. Gadis itu punya beberapa pengalaman buruk akibat teror stalker hingga ia tidak bisa tidur semalaman. Cukup dengan pengalaman itu, ia akan mengabaikan pesan tadi.

Drt drt drt.

"Sial! Manusia macam apa yang berani mengganggu jam istirahatku," oceh Jihyun ketika ponselnya kembali bergetar. Ia sudah menyelipkan ponselnya ke dalam laci, tetapi rasa penasarannya benar-benar mengganggu. Jihyun sampai membuka kembali lacinya dan berniat membuka aplikasi untuk menelusur nomor tersebut.

Drt drt drt.

+82XX-XXX-XXXX

Aku Kyungsoo.

Apa kau punya waktu luang akhir pekan ini?

Hari Minggu maksudku.

Jihyun buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tak sempat membuka aplikasi, ia justru membiarkan ponselnya tergeletak di atas kasur. Ya, ia hampir memekik kegirangan membaca pesan tersebut. Apakah kini Kyungsoo benar-benar akan menjadi temannya?

***

Catatan kaki:

Sandan: Sabuk hitam tingkat 3

Kumite: Salah satu dari 3 pilar karate, di mana dua orang akan saling berhadapan sebagai kompetitor dengan teknik defensif maupun ofensif.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro