Part 10
Setelah insiden pemalakan yang terjadi, projek yang dipimpin oleh Kyungsoo berjalan lancar. Bukan berarti tanpa hambatan, tapi hambatan yang tidak terlalu berarti dan dapat diselesaikan dengan cepat. Saluran air tersebut mungkin masih akan melalui proses finishing setelah ia kembali ke Seoul, tapi Kyungsoo tak perlu memantau setiap hari.
Seharusnya ia merasa lega, tapi justru ia terusik. Entah karena masalah pribadi atau mungkin, hal lain.
"Kau terlihat tidak bahagia akhir-akhir ini," ujar Junmyeon perhatian. Ia merasa seminggu ke belakang wajah Kyungsoo jauh dari kata bersahabat.
"Oh, datar maksud Hyung? Wajahku memang begini."
"Ya, aku tahu kalau itu. Tapi setidak ekspresifnya wajahmu, juga bukan tak tenang. Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Seperti tertangkap basah mencuri, spontan Kyungsoo mendelik. "Tidak!"
Junmyeon jadi bingung sendiri. Sekalipun Junmyeon adalah senior, pria itu lebih sering takut dengan ekspresi ataupun emosi Kyungsoo. Menurutnya, Kyungsoo adalah sosok paling mengerikan dalam lingkaran pertemanan yang dimiliki. Tentu, ia tak ada apa-apanya.
Tak lama kemudian, Junmyeon menjentikkan jari seakan menemukan alasan yang tepat. "Jennie menerormu lagi, ya?"
Lantas, bibir Kyungsoo hanya membentuk huruf 'O' saking tak habis pikirnya. Mengapa tiba-tiba membahas Jennie dari segala kemungkinan yang ada. Sekalipun gadis itu adalah adik Junmyeon sendiri, tak serta merta menjadi alasannya untuk merasa terganggu.
"Benar 'kan? Aku tahu, dia memang gila. Sudah abaikan saja kalau dia marah-marah padamu. Tahu apa dia soal kesibukan kita di sini. Aku sudah mengirimkannya 10 liter es krim rasa vanila. Tidak ada alasan dia tak bahagia."
"Kau ..."
"Kemarin dia juga marah-marah di telepon, menanyakan kenapa aku membawamu pergi tanpa memberitahunya. Padahal, 'kan aku tidak menculikmu dan tidak mungkin juga ia datang ke sini. Bisa runyam karena dia sedikit-sedikit mengeluh," cerocos Junmyeon yang memiliki nilai humor tersendiri untuk Kyungsoo. Sekalipun mereka bersahabat, ia sering tidak mengerti dengan jalan pikiran Junmyeon dan keluarganya, termasuk Jennie.
Bicara soal Jennie, ia baru ingat kalau ada belasan missed call dari gadis itu. Sepertinya ucapan Junmyeon ada benarnya, pasti gadis itu merajuk lagi. Mungkin, lebih baik ia melayani panggilan Jennie dari pada terlarut dalam perasaan tak nyaman yang Kyungsoo sendiri benci alasannya.
***
Waktu tiga pekan terbilang singkat untuk pelaksanaan sebuah kegiatan pengabdian. Namun, sedikit banyak, waktu tersebut ideal untuk menginisiasi sebuah perubahan di desa tertinggal. Karena sebagian besar tujuan pengabdian sudah tercapai dan nantinya beberapa orang panitia akan melakukan survei secara berkala, para volunteer dapat kembali ke Seoul sesuai jadwal. Setidaknya, terdapat dua bus yang akan memberangkatkan volunteer dan panitia pagi ini.
"Kenapa bisa tidak cukup kursinya?" keluh Jihyun mendapati laporan salah seorang anggota timnya.
"Kupikir karena warga membekali kita beberapa sak bahan makanan sementara bagasi kita sudah tidak cukup, di lantai pun tidak bisa. Betul, 'kan?" ujar Rowoon mewakili si Pelapor.
Bola mata Jihyun berotasi, gadis itu tampak berpikir untuk beberapa saat. Ia masuk ke dalam bus untuk memeriksa penataannya yang timnya lakukan. Terus terang saja, ia curiga kalau penataan barang tidak efisien.
"Ew, benar 'kan? Aku sudah periksa tadi," tukas Rowoon yang menyusul Jihyun.
Gadis itu menggeleng samar. "Berapa mobil yang tersisa? Joohyun dan Chaeyoung sudah menyetir —pulang—semalam."
"Kupikir hanya ada 1 mobil dan sudah penuh dengan panitia. Atau ... bagaimana kalau kita menumpang pada Sunbae?"
"Sunbae?"
"Ya, Sunbae dari Samsong. Mereka membawa SUV dan barang mereka hanya sedikit karena bolak balik Gyeongju-Seoul. Kupikir mereka tidak akan keberatan."
Sejujurnya, Jihyun tak suka dengan opsi ini karena itu berarti ia akan merepotkan Minho untuk kesekian kali. Ia selalu punya cara untuk menghindari pria itu, tapi sekarang mau bagaimana?
***
"Kyungsoo-ya, kata Junmyeon kalian akan pulang bersama kami," tukas Minho ketika dilihatnya Kyungsoo berjalan ke arah parkiran mobil.
"Betul, Hyung. Kami kurang nyaman berada di bus."
Pria bertubuh gempal itu tersenyum simpul dan membuka bagasi mobilnya. "Syukurlah, aku tidak perlu berduaan saja dengan Haneul seperti maho."
"Tapi, kita akan tampak seperti sekumpulan maho," seloroh Kyungsoo diikuti tawanya.
"Tentu tidak, we got a girl on our trip. Ini tidak akan menjadi perjalanan pria-pria tampan saja," sela Haneul seraya mengambil alih tas seorang gadis berkuncir kuda yang sama sekali tak tersenyum pada Minho.
Minho menyeringai. Ia lebih dari sadar kalau gadis itu menghindarinya selama ini, tapi takdir tidak akan pernah berkhianat. Pada akhirnya, mereka selalu berjodoh bukan?
"Halo, Nona Nam! Lama tak berjumpa," sapa Minho dengan nada menggoda.
Jihyun hanya menunduk sopan, menghargai kebaikan senior-seniornya di kampus. Kalau saja Sooyoung dan Rowoon ataupun panitia lain kooperatif, ia tak akan tersisihkan dan berada di sini. Mau bagaimana lagi, ia adalah ketua acara ini yang dianggap mampu bersosialisasi dengan para senior dengan baik. Tidak ada yang berani menumpang di mobil senior. Sekalipun Rowoon.
Gadis itu berjalan mengekori Haneul untuk meletakkan barangnya di bagasi sebelum masuk dan duduk di kursi penumpang.
"Kau..." gumam Jihyun baru menyadari keberadaan sosok lain yang tak diharapkan. Rasanya pagi ini, ia seperti kejatuhan cicak. Tidak sakit, tapi menyebalkan.
"..."
Tak digubris dan memang tak berharap mendapat respon, Jihyun bergaya tak peduli masuk ke dalam mobil. Semenjak insiden yang melibatkan Kyungsoo dan pemuda desa, bertambah satu nama lagi yang sebisa mungkin ia hindari. Choi Minho dan Do Kyungsoo.
Gadis itu tak banyak bicara, bahkan ketika mobil sudah mulai melaju meninggalkan desa. Ia tahu kalau ia terlihat tidak sopan sebagai seorang penumpang gelap. Namun, bicara dengan Kyungsoo bukan pilihan yang baik karena mereka akan berakhir dengans saling menjatuhkan dan Minho, ia malu mengingat kejadian di dalam kereta.
"Jihyun, nanti kau mau turun di kampus atau dekat tempat tinggalmu?" tanya Haneul memecah keheningan.
Refleks Jihyun mengalihkan fokus dari ponselnya. "Kampus saja, Sunbae. Aku harus memastikan panitia dan volunteer selamat hingga mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing."
"Seharusnya kau tetap naik bus kalau begitu," celetuk Kyungsoo seperti biasa.
Jihyun melirik pria yang duduknya hanya dibatasi oleh Junmyeon, dengan sinis. Seingatnya, ia tak mengajak pria itu bicara tadi.
"Maaf, Tuan Do. Busnya sudah penuh."
"Atau, kau sedang kabur?"
Percakapan singkat keduanya mampu menguarkan hawa panas seisi mobil. Selain Junmyeon, mereka tak ada yang pernah melihat interaksi antara Kyungsoo dan Jihyun. Mengenal masing-masing memberikan kesan yang positif. Kyungsoo yang tenang dan dewasa sementara Jihyun yang optimis dan ceria.
"Kabur? Memang aku salah apa sampai perlu kabur?"
"Entah, kau 'kan sering lari dari tanggung jawab."
Sedari tadi hanya menguping, Minho gemas untuk ikut menimpali, "Sepertinya kalian cukup dekat. Kau sering memperhatikan Jihyun, Kyungsoo?"
"Tidak," jawab Jihyun dan Kyungsoo bersamaan, diikuti tawa menggelegar ketiga pria di dalam mobil.
Haneul tertawa samar mendengar celotehan dua dongsaeng-nya di bangku belakang. Walaupun suasana perjalanannya menjadi lebih berwarna dengan kehadiran keduanya, ia bersyukur tidak perlu duduk di tengah-tengah mereka karena itu pasti akan sangat bising.
"Kalian tahu, kalian seperti dua orang yang tertarik pada satu sama lain tapi bersikap denial," ujar Haneul tak kuasa untuk berkomentar lagi. Bukankah paling menyenangkan menggoda orang-orang yang bermusuhan atau sedang merajuk?
"Aku? Menyukai dia?" tanya Jihyun retoris.
"Bisa gila kalau itu terjadi," jawab Kyungsoo sinis.
Junmyeon mencebik mendengar penuturan Kyungsoo. Sekalipun, ia belum pernah melihat juniornya itu berkencan, tidak ada yang menjamin Kyungsoo tidak akan jatuh cinta pada gadis itu. "Akan kucatat."
Kyungsoo menggeleng kesal. Meskipun akhir-akhir ini ia sempat merasa bersalah sudah melukai harga diri Jihyun, terlalu sulit untuk membiarkan bibirnya terkatup jika menemukan kebodohan pada gadis itu. Tidak hanya ingin memperingatkan, bahkan ia ingin membenturkan kepala gadis itu akar pikirannya terbuka.
"Catat sejelas mungkin, aku tidak akan pernah menyukai perempuan yang sibuk membentuk image," ujar Kyungsoo tegas.
"Dari pada kau, manusia sok sempurna yang hobinya hanya mencela."
Bukan lagi hawa panas, Haneul dan Minho kembali tertawa. Bagi mereka, kedua juniornya bak anak kecil yang sedang mengejek satu sama lain. Tak lupa, Junmyeon sebagai baby sitter-nya.
"Kalau kalian mau bertengkar terus. Sebaiknya aku pindah ke belakang. Aku masih sayang kedua telingaku," keluh Junmyeon seraya menutup kedua telinganya.
***
Drt drt drt.
Kyungsoo baru saja mendaratkan tubuh di kasur ketika ponselnya bergetar. Malas-malas tangannya meraba ke atas nakas tanpa beranjak. Ia paling kesal, kalau ada yang mengganggu jam istirahatnya. Apalagi setelah berlelah-lelah selama beberapa minggu ini.
"Ada apa, Hyung?" sapa Kyungsoo pada suara di seberang yang dikenalinya sebagai Jongdae.
"Maaf, langsung menghubungimu. Tapi, aku baru mendapat laporan kalau Noona-noona di Cheondam-dong baru saja diserang oleh beberapa preman. Mereka mencuri dan bertindak kasar."
Sontak Kyungsoo terduduk dengan mata melotot. Hilang sudah intensinya untuk beristirahat. Ia khawatir kalau orang-orang yang akan dibinanya sudah mendapat masalah sejak sekarang, bagaimana dengan nanti?
"Ada yang terluka?"
"Kudengar tidak ada yang terluka serius, tapi Bora Noona dan Minyoung Noona lecet di beberapa bagian tubuhnya."
Kyungsoo tampak serius, ia paling benci dengan pria-pria yang main tangan. Apalagi pada wanita. Ia mengetukkan jari-jarinya di tepi nakas seperti sedang berpikir. "Hmmm... Kurasa kita perlu mengajarkan ilmu beladiri pada mereka."
"Kau serius? Tapi, aku tidak bisa."
Tidak Kyungsoo ataupun Jongdae mengerti ilmu beladiri yang sebenarnya selain bagaimana cara mempertahankan diri jika diserang.
"Ya, bukan kita juga. Tolong urus open recruitment pelatihnya, ya, Hyung. Aku terima beres," ujar Kyungsoo mengakhiri sebelum menutup panggilan tersebut.
***
"Eomma, Appa, sejak kapan kalian tiba di sini?" tanya Jihyun terkejut mendapati kedua orang tuanya yang sudah berdiri di depan pagar sementara mobil mereka diparkir tidak jauh dari tempat keduanya.
"Lima menit."
"Dua puluh menit," koreksi Nyonya Nam pada suaminya. Ia senang saja melihat wajah panik putri tunggalnya.
Jihyun membungkuk meminta maaf. Lantas, gadis itu mendorong pagar dan mempersilakan kedua orang tuanya untuk masuk ke kamar yang disewanya setiap bulan. Tidak biasanya orang tuanya datang berkunjung. Mengingat rumahnya yang masih berada di suburban area, orang tua gadis itu hanya pernah datang sekali saat kepindahannya. Selebihnya, orang tuanya selalu percaya pada anak gadis mereka yang sudah menginjak dewasa.
"Kau terlihat lusuh. Dari mana saja?" tanya Nyonya Nam ketika Jihyun menghidangkan teh jagung hangat untuk ayah-ibunya.
Gadis itu menggaruk rambutnya yang sudah berantakan. Kuncir rambutnya melonggar dan beberapa helai rambut sudah tak terikat. "Seingatku, aku sudah pamit pada eomma kalau aku ke Gyeongju. Ada acara kampus."
Nyonya Nam tampak mengangguk sekilas. Wanita itu berdiri tanpa meminum apa yang dihidangkan putrinya. Menilik satu per satu barang-barang yang tertata di ruang kecil tempat mereka berada. Ia memang sering lupa, saking seringnya putrinya itu izin mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kampus.
"Eomma lihat kau tidak lagi mengendarai mobilmu," ucap Nyonya Nam memulai topik lain.
"Oh, itu karena aku harus lama di luar kota, mobilku jadi disimpan di sini."
"Berarti, sekarang kau bisa menjalankan aktivitas tanpa mobil, ya?"
Jihyun mengernyit, ia menerka-nerka arah pembicaraan ibunya. Kedatangan kedua orang tuanya saja sudah membuatnya curiga, ditambah pertanyaan ini.
Tuan Nam yang sedari tadi diam pun mulai bicara, "Begini, Nak. Kami mendapatkan informasi kalau belakangan ini kau sering tidak fokus."
"Maksud Appa?"
"Ya, kau tidak hati-hati saat menyetir sampai menabrak mobil orang. Tapi, Eomma curiga kalau kau sebenarnya sering mabuk. Tidak mungkin kau tiba-tiba tidak fokus kalau bukan karena mabuk 'kan?" jelas Nyonya Nam tanpa menyaring kata-katanya.
Jihyun sontak melotot. Bisa dihitung jari berapa kali ia minum dalam setahun. Fitnah dari mana yang mengatakan kalau ia sering mabuk?
"No. Kalau itu kejadian beberapa minggu lalu, itu karena aku dijebak."
"Dijebak? Untuk apa? Kalau begitu, untung saja temanmu menyelamatkanmu?" tanya Nyonya Nam retoris.
Mendengar ucapan ibunya hanya mengingatkan Jihyun pada sederet sikap Kyungsoo yang menyebalkan dan tidak bisa dimaafkan. "Tidak beruntung juga."
Nyonya Nam menggeleng tak setuju. Menurutnya, jika tak ada Kyungsoo, hanya ada dua pilihan untuk anaknya, terkatung-katung di jalan dalam kondisi tidak sadar atau menyetir dalam kondisi mabuk dan menyebabkan kecelakaan. Sayangnya, Nyonya Nam tak menyukai dua opsi tersebut.
"Menurut Eomma, fasilitas yang kami berikan terlalu memanjakan sehingga kau kelewat santai pada aktivitasmu," ujar Eomma menanggapi.
Tuan Nam melihat wajah putrinya dengan raut tenang. "Jadi, kami berniat untuk membawa kendaraanmu sementara waktu."
Entah dosa apa yang Jihyun buat selama ini, ia merasa kesialannya naik berlipat ganda setelah intensitas bertemu Kyungsoo meningkat. Ini sama saja, kedua orang tuanya sedang mengambil kakinya. Mana bisa ia menghibur diri malam-malam tanpa mobil tersebut. Gadis itu menatap ayah ibunya, dengan sorot memohon belas kasihan.
"Tapi, tidak mudah untukku naik kendaraan umum," protes Jihyun mengingat pengalaman buruknya di kereta. Ia tak pernah menceritakan hal ini pada orang tuanya agar tak membuat mereka cemas. Namun, bukan berarti ia tidak takut kejadian itu akan terulang.
"Seharusnya, itu kau pikirkan sebelum kau minum sampai mabuk ataupun menabrakkan mobilmu dengan milik orang lain," jelas Tuan Nam berusaha bijaksana.
Memang hanya dua alasan itu yang menjadikan kedua orang tua Jihyun memutuskan untuk mengambil salah satu fasilitas yang diberikan. Lagi pula, di mata orang tuanya, menaiki kereta ataupun bus tidak ada ruginya. Tidak lantas menghambat perkuliahan anak gadisnya.
"Apa setelah jauh-jauh pulang ke Korea, Appa hanya ingin mengambil mobilku?" keluh Jihyun kecewa.
"Yes, you're grounded," putus ibunya tanpa ditanya.
Bibir Jihyun mengerucut mendengar penuturan ibunya. Berulang kali ia merutuki kebodohan Kyungsoo yang membawanya pulang saat mabuk hingga ibunya tahu kejadian tersebut. Kalau saja yang ditemuinya saat itu adalah orang lain, mungkin semua akan berbeda.
Tuan Nam menggeleng melihat interaksi anak dan istrinya. Ia tahu istrinya sangat menyayangi Jihyun sama sepertinya, tapi wanita itu lebih apa adanya dalam mendisiplinkan putri semata wayang mereka dan ia akan selalu menyetujuinya.
"Tidak begitu, Jihyun. Kau adalah putri kami satu-satunya. Garis keturunan Keluarga Nam akan bergantung padamu dan kau harus menjaga sikapmu dengan baik. Sebagai orang tua sudah sewajarnya kami mendidikmu. Tidak selamanya kami akan mendukung setiap tindak-tandukmu. Jika kami menemukan ketidaksesuaian seperti kejadian mabuk ataupun kecelakaan, sudah sewajarnya kami mengambil sikap. You have to learn from every mistake you made. Remember that we always love you," putus Tuan Nam final.
***
Kalau bikin FMV mereka berdua, ada rekomendasi lagu kah?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro