Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

De 1 of Yerie - Link Ink Finger.

Mataku masih belum terbuka lebar ketika aku menyeret langkah menuju kamar mandi. Dering alarm yang berisik, membuatku menggosok wajah kasar, dengan sedikit mendengkus. Hari lain dengan kegiatan yang tidak lain lagi.

"Bagaimana rasanya 10 hari di dunia bayangan? Apa kamu lebih bahagia mengambil tempatku?"

Tersentak, kakiku mundur ke belakang menabrak dinding sementara mataku membulat sambil menatap bayangan di cermin. Wajah yang sama, hanya saja senyumnya berbeda, tampak ... menyeramkan.

Kantuk yang kurasa hilang entah ke mana, tanganku gemetar berusaha meraih cermin. Apa maksud perkataannya?

"Ayolah, Daniella. Apa kamu lupa perjanjian kita? Hanya 10 hari bertukar, lalu kamu kembali ke sini, dunia yang membosankan," ucap bayangan di cermin, ia tampak memainkan jari kemudian menggigit kuku dengan tatapan bosan. "Aku ingin kembali ke duniaku."

Ingatanku berputar, terasa pusing. Enggan berpikir banyak, aku berlari keluar kamar mandi dan membanting pintu. Kududukkan diri di sisi tempat tidur, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.

Tubuhku gemetar, aku membuka laci nomor dua meja belajar kemudian mengambil sebuah buku kecil di sana. Baru saja aku akan membuka lembar pertama buku itu, terdengar suara ketukan di pintu. Terkesiap, aku menarik napas panjang, lalu berjalan untuk membukakan pintu.

"El, ini sudah jam delapan, kamu belum siap? Kita ada kelas jam sembilan loh," kata si tamu yang menyelonong masuk ke dalam kamar. Ia memandang kamarku yang berantakan, lalu berdecak. "Mandi sana, nanti kita terlambat."

Tidak bisa menolak dan bingung bagaimana menjelaskan hal aneh yang baru saja terjadi membuatku bergerak kaku ke kamar mandi. Aku bergegas menutup cermin wastafel dengan handuk baru, lalu mandi bebek dengan rasa ngeri. Sesekali kumasukkan sugesti bahwa semua yang terjadi hanya halusinasi.

Aku selesai mandi dengan cepat, berpakaian dan memoles pewarna bibir sedikit tanpa menggunakan cermin. Sungguh, aku masih takut. Harleen menatapku dengan bingung, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kami turun ke bawah, dan aku menyerahkan kunci mobil pada Harleen membiarkannya mengemudi.

Jalanan pagi ini tampak cukup lancar, dengan kecepatan sedang kami berkendara menuju kampus yang terletak di sisi kota Jakarta bagian Timur. Sepanjang perjalanan hanya suara Harleen yang mendominasi percakapan, aku lebih banyak terdiam dan mengangguk.

"El, kamu kenapa sih? Sakit? Pendiam banget hari ini," tanyanya sambil melirikku dengan ekor mata, "Harusnya kalau sakit, tadi titip absen aja ke aku."

Senyum tipis kulempar padanya, lalu menggeleng. "Enggak, kok. Aku enggak sakit, cuma agak pusing kayaknya semalam kebanyakan belajar."

Bohong. Aku tidak bisa melupakan apa yang baru saja terjadi tadi pagi. Semuanya tampak begitu nyata. Bagaimana jika ternyata aku hanya bayangan? Aku tidak nyata?

"Kan," ucap Harleen lagi membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya, tertawa simpul.

"Len, kamu percaya kalau dunia itu ada dua? Maksudku, ada dunia nyata, dan semu--bayangan?" tanyaku ragu.

Harleen terdiam sebentar, kemudian tertawa. "Kamu habis nonton film apa semalam? Dunia ya cuma satu, kalaupun ada dua, yang satunya tuh dunia setelah kita meninggal nanti."

"Bukan itu, Len," sanggahku, "tapi seperti dunia ini ada dua, kamu ada dua, aku ada dua. Kamu di dunia ini dan kamu di dunia bayangan? Dan kalian bisa komunikasi melalui cermin."

Harleen menggelengkan kepala. "Habis nonton Doraemon yang Dunia Cermin, ya?"

Aku hendak menyanggah perkataannya, tapi tidak jadi kukeluarkan. Benar yang Harleen bilang, tidak mungkin ada dua dunia. Mungkin saja memang aku terlalu banyak menonton film.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Senja ini terlihat berbeda, tampak lebih hangat dengan warna oranye di ujung langit yang menyatu dengan merah keunguan. Unik, dan menenangkan. Aku memilih menghabiskan waktu setelah kuliah di sebuah kafe yang terletak di atap.

Hari ini melelahkan lagi. Rapat organisasi, mengurus sebuah acara untuk ulang tahun kampus, mengikuti kelas tambahan. Entah sudah ke berapa kalinya aku merasa lelah dan seolah energiku terkuras habis. Mungkin sudah satu minggu lebih?

Kusandarkan tubuh pada kursi dan mengambil ponsel hendak mengabadikan senja hari ini. Aku menyipitkan mata, menghindari silau dari kilat cahaya senja, kemudian mengarahkan ponselku pada langit.

"Daniella! Ayo bertukar tempat!"

Ponsel di tanganku terjatuh. Bayanganku di sana, masih menatapku dengan kesal. Alisnya terangkat, dan bibirnya mengerucut. Aku menahan napas, kuambil ponsel itu dan langsung menutup letak kamera dengan jari telunjukku.

"Aku bosan di sini! Kembalikan kehidupanku! Aku mau kembali!" teriak suara itu masih terdengar dengan nyaring, aku menatap sekeliling. Saat ini 'kami' sudah menjadi bahan tontonan.

"El, kenapa?"

Sebuah suara mengagetkanku, sontak wajahku terangkat melihat sumber suara itu. Harleen ternyata, aku hampir lupa kalau ia mengatakan akan menemuiku di sini sebelum akhirnya nanti kami pulang bersama, apartemen kami memang bersebelahan.

Aku menggeleng. Menutup ponsel dan menyesap cokelatku cepat, mengusap pinggir bibir dengan tangan dan menghela napas. Kurasakan tatapan Harleen yang khawatir padaku.

"Serius deh, El. Hari ini kamu aneh banget, loh. Kamu kayak ketakutan dan tertutup banget," ucap Harleen dengan wajah bingung. "Ya, aku tahu belakangan ini memang kamu tampak lebih kalem dan tertutup, tapi hari ini lebih ... aneh?" lanjutnya setengah berbisik.

Aku terdiam sejenak, kemudian bertanya, "Sudah berapa lama kamu merasa aku lebih tertutup, Len?"

Lawan bicaraku itu tampak terdiam sebentar, menghitung. "Mungkin sudah sepuluh hari?" jawabnya tidak yakin.

Sepuluh hari? Semua ini berkaitan? Aku mengeluarkan buku kecil dari dalam tas, buku yang kuambil tadi pagi di laci meja belajar, tempat aku menulis semua yang kualami. Mataku bergerak cepat, membaca kata demi kata yang tertulis di sana.

Aneh.

Aku menutup mulut dengan tangan, tidak percaya. Dengan langkah gontai, aku berjalan meninggalkan Harleen yang memandangku bingung. Tidak kuhiraukan panggilannya sama sekali, aku bahkan menghempas tangannya yang memegang lengan atasku.

Sesampainya aku di kamar mandi, aku berdiri di hadapan cermin dan memandang bayangan di sana. Ia tampak tersenyum sinis. "Bagaimana, sudah mengingat semua?" tanya diriku di cermin.

"Apa maksudnya semua ini?" tanyaku balik, menolak menjawab pertanyaannya.

Dia mengangkat bahu, lalu berkata, "Bukankah kamu yang menginginkan? Menjadi populer, memiliki banyak teman? Aku hanya mendengar keinginanmu, lalu membantu mencicipi bagaimana semua itu. Namun, sepertinya kamu terlalu nyaman di sana."

Kepalaku terasa pusing, seolah dipaksa mengingat. Bayangan samar muncul di ingatanku, bagaimana aku terbiasa menghabiskan waktu di kamar hanya berteman dengan beberapa gawai dan buku tulisanku. Bagaimana aku terlihat hampa di antara keramaian kelas, bahkan ternyata aku tidak mengenal Harleen dengan dekat.

Jadi ... semua ini nyata?

"Betul, semua nyata. Aku hanya meminjamimu sepuluh hari kehidupan di dunia bayangan. Sekarang saatnya kamu pulang," jawab bayangan di cermin.

Pantas saja aku merasa begitu kelelahan menjalani hari. Terasa memaksa diri untuk masuk dalam lingkunganku saat ini. Ternyata aku yang nyata hanya seorang penyendiri yang menikmati dunia di balik sepi. Bukan si aktif dan ceria seperti yang saat ini kualami.

"Bagaimana cara pulang?" tanyaku memandangnya.

Ia mengulurkan tangannya, menempatkan jari telunjuk pada sisi cermin. "Taruh ujung telunjukmu pada telunjukku, kemudian pejamkan mata dan katakan kamu ingin pulang."

Aku memandang matanya tajam, haruskah aku pulang? Bagaimana jika aku sendirian lagi? Apa yang terjadi di dunia nyata sana? Apakah aku benar-benar ingin pulang?

"Ayolah, jangan ingkari janjimu," ucap dia sambil menghentak salah satu kakinya. "Kamu sudah berjanji, jika melewati batas waktu, kita tidak akan bisa kembali lagi. Apa kamu yakin bisa menjalani kehidupanku di sana? Menjadi ratu acara, mengurusi segala kegiatan, berpesta?"

Perkataannya menyadarkanku. Mana mungkin aku sanggup hidup seperti itu? Baru sepuluh hari saja, energi yang kumiliki sudah habis terkuras begini. Namun, sebentar ... hidup di sini terasa menyenangkan, bukan?

Ragu-ragu, aku mengulurkan jariku ke arah cermin. Ujung telunjukku menyatu dengan ujung telunjuk miliknya, terlihat wajah bahagia dan antusias dari bayanganku.

"Ayo ucapkan kamu ingin pulang, ayo!" katanya antusias, ia bahkan melompat ringan menahan euforia. Aku memejamkan mata, mengucapkan keinginanku.

Tiba-tiba saja ruangan menjadi gelap, dan cermin di hadapanku retak. Aku terpental ke belakang, menabrak salah satu pintu bilik kamar mandi. Terdengar teriakan dari dalam cermin.

"Daniella! Apa yang kamu lakukan?" pekiknya ketakutan, ia menatapku marah, tapi juga ngeri. Cermin pemisah kami retak, dan ia perlahan terlihat samar.

"Daniella? Apa keinginanmu yang kamu katakan? Aku ingin kembali!" teriaknya kencang, ia tampak menangis ketakutan, hingga kegelapan menelan suara juga rupanya.

Aku berusaha bangun dan merapikan bajuku. Lampu kembali menyala, dan cermin di hadapanku utuh seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Aku menyalakan kran air di wastafel, mencuci tangan sambil memandangi bayanganku di cermin. Bayangan itu tersenyum mengerikan seperti tadi, tapi kali ini akulah yang menciptakan senyum itu.

"Duniamu terlalu menyenangkan untuk kutinggalkan, Daniella," bisikku sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar mandi.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Prompt by: Chaphine
Words: 1.350 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro