After The Days - Gaharu Sadjati
Tak ada yang lebih lepas selain memaafkan, tak ada yang benar-benar genap tanpa segenggam keikhlasan.
📷📷📷
Tepekur, yang dilakukan lelaki itu hanya menatap kosong layar bercahaya di depannya. Halaman demi halaman digulirkan, meski semua pesan di dalamnya sudah terbabat habis dan terpatri kuat di kepala. Akan tetapi, tidak sedikit pun ada keinginan untuk beranjak dari aplikasi Email, yang menyeduhkan segelas sendu, yang tanpa diteguk pun efeknya sudah menyebar ke seluruh organ.
Bohong jika hatinya tidak tiba-tiba pilu ketika hal-hal tentang Radit menyusup dalam hela napas, membuatnya memberat dalam sekejap. Fakta yang diterima tentang kematian sang kakak sejujurnya memberikan kepahitan yang sebelumnya tidak dia rasakan. Ikhlas yang sempat membubung, hampir mendekat ke genggaman, perlahan justru kembali menjauh. Jati marah, tetapi dia tahu persis tidak ada yang bertanggung jawab menerima kemarahannya. Kalaupun ada, dialah orangnya, yang hidup enak di negeri nan jauh di sana, sementara sang kakak mengenyam banyak luka di bumi Yogyakarta. Dipermainkan keputusan-keputusan takdir yang tak mengenakkan.
Pandangan Jati mengabur, tertutup selaput tipis yang segera dia tepis sebelum benar-benar lahir membasahi wajah sedihnya. Lelaki itu mencoba melepaskan sesak dengan senyum tipis, lanjut membuahkan satu lagi bunyi klik akibat mouse yang ditekannya.
Dia tiba pada pesan yang dikirimkan Radit bertahun-tahun lalu. Pesan dengan lampiran gambar seorang gadis manis berponi tipis, serta lengan seragam sekolahnya yang terlihat kotor. Dalam foto itu, sang gadis menekuk wajah, menatap kamera dengan ekspresi menahan tangis.
baraditya.sa <[email protected]>
to me
How was your day, Jati? It's 6 pm in Japan, right? Di sini baru jam empat. Lihat, deh, Adisa belum ganti baju dari pulang sekolah. Malah minta es krim, and I've to accept his anger waktu es krimnya kena seragam, padahal dia sendiri yang ceroboh. She's stubborn, kayak kamu. Haha. Kapan-kapan ketemu dia, ya. It would be great. Tapi jangan dimarahin mulu cuma karena dia nggak bisa diam.
Hope you have a great day, always!
Your brother,
Baraditya
Jati tersenyum. Siapa pun pasti tahu betapa riangnya Radit di pesan itu. Dan ketika mengenal gadis yang membuat Radit sebahagia itu, Jati tidak heran. Adisa dan segala tingkahnya memang mampu menumbuhkan kenyamanan dan efek riang. Senyumnya, kotak bekal yang dia buat, kamera, gugup, serta mata berbinar kala melihat hal yang menakjubkan. Ekspresi yang awalnya menurut Jati berlebihan, tetapi di dalam sana justru menghadirkan senyuman. Yang tak sempat dilihat angin, bertatap muka dengan lembut mentari, atau sekadar bersentuhan dengan kulit ari. Senyum yang terus ditahan.
Radit benar soal Jati yang tidak akan tahan dengan kecerobohan sang gadis, juga benar kalau ternyata, bertemu dengan Adis adalah keluarbiasaan yang membuatnya menyadari banyak hal. Tentang waktu yang sesekali harus dinikmati, percaya yang diberi, serta berbagai kata yang harus diungkapkan karena tidak semua orang akan mengerti, dan tidak semua orang senang dengan ketidaktahuan yang dimiliki.
Jari besar lelaki itu kembali bergerak, sekaligus membuat gambar remaja cantik yang sempat terpajang digantikan laman pesan. Lagi, dia membuka surel yang lebih baru, yang datangnya dari orang yang berbeda. Surel yang datang setelah kepergian Radit.
basaraga13 <[email protected]>
to me
Halo, Jati. I know, it's weird. Kita belum pernah bertemu, tetapi dari surel yang dikirimkan Radit ke kamu, saya tahu kamu pasti mengenal saya. Oh, I'm sorry. Saya sempat memeriksa ponsel Radit sesaat setelah benda itu ditemukan oleh tim pencarian. Ada notes di wallpaper-nya, dan semuanya tentang apa saja yang harus dia kirimkan via email ke sebuah alamat yang ternyata milik kamu. Dan, ya, hallo, Jati. Begitulah saya menemukan kamu.
You are his little bro, right? Saya nggak tahu, tapi sepatah terima kasih kayaknya layak untuk kamu terima. Terima kasih, sudah menjadi adik yang baik untuk kakak hebat seperti dia. Dia nggak pernah ke mana-mana, percayalah. He's a good man, saya yakin kamu juga sebaik dia.
Kapan-kapan, bisa kita ketemu? It would be nice to meet you I guess.
Dan ... Jati. Boleh saya meminta satu hal ke kamu? Tolong, rahasiakan ini dari Adisa. Kamu mengenalnya, kan? Dia pasti akan sangat terpukul jika tahu Radit sudah tiada. Di sini, saya sudah mengatur agar tidak ada pemberitaan yang sampai ke telinganya. Someday, dia pasti akan tahu, tapi tidak di usianya sekarang dan di kondisi kesehatan yang belakangan menurun. Can you promise me?
Pesan itu tidak pernah dibalas oleh Jati. Duka tengah menyelimuti kala itu, dan dia tidak memiliki satu pun hal yang dapat digunakan untuk membalas kebaikan Bas dan Adis. Lelaki itu berpegang pada kata kelak. Kelak, jika dia sudah pantas, dia akan hadir di kehidupan kakak-beradik itu. Kelak, kala Adis sudah siap menerima kenyataan tentang Radit, dia akan menemui gadis itu, mengucapkan banyak terima kasih sudah menjadi sosok adik untuk Radit. Akan tetapi, tidak ada kelak yang berhasil, karena semesta secara telak menghancurkan segala susunan rencananya.
Dia harus berlaku seolah tidak tahu apa pun di depan Adis demi janjinya kepada Bas. Keputusan yang mengantarkan mereka pada ungkapan fakta yang tak diduga-duga, yang secara nyata menyakiti Adis. Di atas sana, apakah Radit akan marah karena tingkah Jati ini?
Embusan napas kembali menjadi pengisi heningnya kamar yang dia diami. Tangannya hendak kembali membuka pesan-pesan lain, atau mengakhiri saja karena ada tugas kuliah yang lebih butuh disentuh. Akan tetapi, gerakannya pada mouse komputer segera terhenti kala ponsel di sebelah sikunya bordering. Adisa. Nama gadis itu tertera di sana. Tanpa pikir panjang, Jati langsung mengangkatnya.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Adisa?"
"Em, ini, Kak. Aduh! Diem dulu, Fau."
Suara berisik terdengar di seberang sana. Sekilas, Jati bisa menangkap bahwa sepertinya, sang lawan bicara sedang menjauhkan ponsel dan berdebat dengan seseorang yang tidak dia tahu pasti siapa. Jati menunggu dengan sabar, lalu seberkas suara yang lebih jelas kembali memenuhi telinga.
"Ini, Kak. Kak Jati mau nggak satu kelompok PKM sama aku? Ini, katanya harus ada satu kakak tingkat. Eh, tapi kalau nggak bisa, nggak apa-apa, kok, nggak usah aja. Nanti ribet, kan, ya."
Adis berbicara tanpa jeda. Panik, khas gadis itu. Padahal Jati belum menjawab satu kata pun. Menyandarkan bahu, lelaki itu pun tersenyum tipis.
"Ayo, sama saya. Memang pasti bakal ribet kalau sama kamu, nggak mungkin enggak. Tapi, memangnya kapan saya keberatan untuk melakukan hal-hal ribet kalau kamu yang meminta?"
"Hah?"
Jati tertawa, badannya bergetar.
"Ish, Kak. Kok malah ketawa?" sungut sang gadis di seberang sana.
"It's my love language, I guess?
To give you a service."
Seketika, bunyi sambungan terputus menyambut kalimat Jati. Adis secara sepihak mematikan panggilannya. Tanpa bisa ditahan, Jati terkekeh.
Jika boleh jujur, ini hal yang baru untuknya, yang ajaibnya terasa sangat menyenangkan. Terasa penuh dan membuncah.
Bersama senyum yang masih terpulas, Jati menjatuhkan tatap pada langit-langit di atas sana. Seberat apa pun hal yang belakangan mengimpit hari-harinya, tidak dapat dipungkiri bahwa kini bahagia dan perasaan lega mendominasi harinya. Bas dan Ajeng yang beberapa kali berkunjung membawa Ribi, menemui Eyang, serta hatinya yang perlahan semakin lapang untuk melepaskan. Meski sesekali, kerinduan masih saja menghantamnya dengan kesesakan. Akan tetapi, seperti dulu Radit yang kosongnya terisi, Jati juga sama. Kehilangannya disamarkan oleh keberadaan gadis yang dulu juga mengisi hari-hari Radit. Adisa Pramudhita.
Memang dalam kisah panjang mereka ini, tidak ada yang benar-benar harus dimaafkan, karena tidak ada yang benar-benar melahirkan kesalahan. Akan tetapi, meski maaf yang tak benar-benar perlu itu sudah ditaburkan, tidak ada yang terasa lengkap tanpa ikhlas yang turut dicurahkan. Ikhlas bahwa takdir harus berjalan seperti itu, bahwa bumi berputar tanpa peduli ada anak manusia yang dari hari ke hari kesakitan, bahwa segala ketidaktahuan dan kesalahpahaman menghancurkan hati banyak orang.
Perlahan, Jati memajamkan matanya. Membiarkan akal sehat dan hati yang lepas dari egoisme mendominasi dirinya. Banyak hal yang perlu diikhlaskan. Sebab kini, hari-hari di depan tak pernah berhenti meminta sambutan. Masa-masa yang lalu, luka-luka terdahulu, tidak seharusnya mengurung Jati di ruang lembab nan gelap dengan sergapan dingin. Ada insan-insan yang perlu dibahagiakan, hari yang perlu dihidupkan, serta seorang gadis yang berhak menerima bahagia setelah berbagai gamang dan kepahitan.
Meski sulit nan perlahan, Gaharu Sadjati, tak akan menjadikan masa lalu sebagai sebuah hal yang penting, kecuali untuk diambil pelajaran.
Day With Yesterday – Usai
Sekarang beneran selesainya hahaha.
Masih ada yang baca nggak? Sebenernya ini nggak ngaruh di alur, sih. Cuma aku merasa kurang aja, takut malah jadi hole kalau nggak aku tulisin. Hehehe
Btw, berapa lama, sih, nggak ketemu sama Temen-temen lewat update-an gini? Hahaha so sowrryyy.
Makasih juga, yaaa, udah nemenin dari awaaaal banget sampe sekaraaang. Love you.
With love,
Ann
First Publish: September 27, 2021.
Revision: March 17th, 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro