9th Day
Aku tidak mudah jatuh cinta. Yah, masih berlaku sampai akhirnya bersua denganmu.
📷📷📷
Orang-orang sering menilai sesuai selera dan prinsip yang mendominasi dirinya. Sesuatu menjadi benar bagi satu orang, karena prinsipnya yang membenarkan. Selera dinilai bagus oleh seseorang, karena senilai dengan kegemarannya. Range penilaian yang diberikan kepada orang lain berpatokan pada standar yang dimiliki masing-masing pribadi. Seperti sudah hukum alam, ketika kacamata yang dipakai menentukan rupa orang lain yang dilihat.
Tak apa. Tidak masalah, tentang bagaimana cara kita memandang orang lain, sebab perspektif tidak bisa asal dibatasi. Dengan syarat hal itu tidak membangkitkan jiwa diskriminasi. Cukup simpan, tanpa mencuatkan ketidaksukaan secara berlebihan.
Begitu pun dengan Jati. Ketidaktaatan Adis terhadap peraturan membuat pria itu menurunkan angka untuk menilai sang gadis. Terdengar jahat memang. Namun, sistem tersebut seperti berjalan secara otomatis, tentu saja bagi sebagian besar orang, tidak hanya bekerja pada Jati.
Perasaan Jati berangsur sebal saat menyadari bahwa dia harus berurusan dengan gadis tersebut. Pasalnya, ketidakteraturan dapat membuat sebuah rencana berantakan dan Jati tidak mau hal itu terjadi kepadanya, hanya karena harus berurusan dengan Adis.
Namun, meski kepalanya penuh dengan hal tersebut, kaki Jati kini berdiri sepuluh langkah di depan stan yang dikerumuni Adis dan kelompoknya. Pria itu bahkan bergerak mendekat, saat menyadari bahwa suara penjaga stan tidak terdengar dari tempatnya berdiri. Tentu saja setelah mengembuskan napas tanpa terpaksa. Kalau tidak dalam misi mengawasi Adis, Jati tentu akan memilih berkumpul bersama teman-temannya disbanding berdiri di sini.
"Tahap recruitment-nya ada apa saja, ya, Kak?" Itu suara Adis yang ditujukan kepada penjaga stan UKM PRISMA. Jati dapat mendengar dengan jelas, karena kini dia hanya berjarak tiga langkah di belakang gadis itu.
Telinga Jati yang terbuka lebar pun mampu menangkap perkataan pria anggota PRISMA yang menjaga stan. "Standar, Dek. Kamu mengisi daftar di sini dengan nama dan nomor telepon, nanti kami akan memberikan formulir yang harus kamu isi dan bawa ketika wawancara."
Anggukan kepala penanya tertangkap mata Jati. Untuk kemudian telinganya kembali bekerja kala Adis membuka suara. "Ada persyaratan mengumpulkan portofolio tidak, Kak?"
Bukannya menjawab, si mahasiswa penjaga stan justru tersenyum, lalu mengulurkan tangan kepada Adis. "Prasaji. Prasaji Ganeshwara, Sastra Indonesia semester lima."
Jati tidak bisa melihat bagaimana ekspresi gadis itu. Apakah melarikan bola mata dan enggan fokus kepada lawan bicara seperti saat berhadapan dengannya, atau mengernyit bingung tanpa sekali pun mengalihkan pandangan. Atau justru Adis sedang tersipu? Ah, bukan urusan Jati.
Seulas smirk tertarik, ketika tangan manusia yang berdiri di depannya-dengan dipisahkan meja stan-saling menggenggam. Yah, kenyataannya mereka lebih terlihat menggenggam dibanding sekadar saling menjabat tanda perkenalan. Mengingat kaitan itu tidak langsung lepas begitu saja.
Karena Jati ingin segera mengetahui informasi yang sedari tadi diburunya, dia bergerak mendekat ke arah Adis. Lalu berbisik di samping gadis itu. "Tanya penugasan kalau sudah resmi menjadi anggota magang."
Gadis di sebelahnya terkaget, terlihat dari tubuhnya yang berjingkat.
Adis langsung menatap ke samping dan menarik tangannya untuk melepaskan genggaman, ketika pahatan sosok Jati memenuhi mata. Pria itu tidak suka ada orang yang melakukan hal lain di tengah kewajiban yang ditugaskan, begitu yang Adis tahu. Mengingat tatapan tajam yang diperoleh Adis kala obrolan mengiringi langkahnya, padahal perintah yang diberikan adalah berkumpul dengan kelompok OGM masing-masing. Iya, Adis membicarakan kejadian setelah sosialisasi Ormawa dan UKM waktu itu.
Huh, lagi-lagi daftar kesalahan Adis di mata Jati kembali terisi.
Adis buru-buru menyelesaikan sesi perkenalan yang beberapa saat lalu membuatnya terpaku.
"Eh, gimana, Kak?"
"Makanya fokus. Bukan malah sibuk kenalan," bisik Jati lirih, tetapi dengan penekanan di setiap katanya.
Benar, kan, pendapat Adis? Melakukan hal di luar list kewajiban merupakan sebuah dosa besar di mata kakak pendamping super galak itu.
Menuruti titah sang senior adalah pilihan satu-satunya, jika tidak mau menerima perkataan tajam yang mampu menghunus dengan amat sangat dalam. "Em ... kalau sudah jadi anggota magang, ada penugasannya nggak, Kak?"
"Ada, tentu saja."
Adis hampir mau menyudahi pertanyaan, sebab senyum Prasaji terlalu dahsyat melumpuhkan kinerja tubuhnya. Namun, Jati berdeham di sebelahnya. Membuat Adis melirik dan menyadari bahwa perintah pria itu belum mendapat jawaban. "Kalau boleh tahu, penugasannya apa, Kak?"
Adis harus meremas tangan, menggilas udara kosong di genggaman kala senyum indah terukir di wajah Prasaji. Dengan suara setenang telaga, pria dengan senyum yang melenakan itu menjawab sambil menyempurnakan pandangan ke mata Adis. "Semesta memiliki rencana untuk menyembunyikan satu dua hal, tidak memberi tahu kita tentang hal-hal tertentu agar kita tetap tidak tahu. Hanya untuk melihat kita terpaku ketika sebuah rahasia terungkap. Agar kita merespons dengan alami, tanpa memegang prediksi. Agar semua rasa membuncah tanpa campur tangan diri. Percaya sama saya, ada perasaan luar biasa ketika kita tidak bisa mengintip apa yang akan terjadi sedetik ke depan. Sama seperti luar biasanya perasaan saya saat ini. Saat bertemu kamu, tanpa prediksi sama sekali."
Panjang, indah, dan mampu membungkam otak agar tidak perlu berputar. Seperti itulah kalimat Prasaji bekerja pada Adis. Otaknya tidak memproses apa pun, sebab telinga sibuk memedarkan setiap kata ke seluruh tubuh, menghantarkan kesejukan, meski bukan itu jawaban yang semula dia inginkan.
"Biar jadi rahasia semesta dulu, ya?"
Tanpa bantahan, Adis mengangguk. Suasana di sekitarnya mendadak hening. Tidak ada lagi bising teman-temannya yang sedang mengulik informasi dari penjaga stan PRISMA yang lain, atau mereka yang memepet Adis untuk mendengarkan penuturan Prasaji. Di bumi tempatnya berpijak, seolah hanya ada mata cokelat gelap dan netranya sendiri yang sedang saling beradu pandang.
Telinga gadis itu seperti diproses hanya untuk mendengar suara berat nan tenang milik Prasaji, hingga helaan kasar di sebelahnya sama sekali tidak memiliki tempat.
"Tahun lalu katanya peserta magang diminta memotret alam? Naik gunung untuk mengumpulkan foto dan kemudian membukukannya?"
Kali ini, pertanyaan itu berasal dari Jati. Prasaji memutus kontak mata, beralih menatap tubuh tegap di samping Adis. Sedang si gadis masih mengamati gerak-gerik pemuda di depannya, menulikan telinga dari volume bicara Jati yang cukup keras.
"Ah, iya. Membuat album foto dengan tema pendakian. Jadi kami bergabung dengan UKM Mapala untuk pendakiannya."
Sebentar. Telinga Adis mulai berfungsi kembali ketika satu kata kunci berhasil menusuk-nusuk pendengaran. "Pendakian?" beo Adis mendahului Jati yang hendak mengonfirmasi, membuat Prasaji menatapnya dengan dahi mengernyit.
"Iya. Kenapa, Aphrodite?"
"Pramudhita, Kak. Nggak ada kata Aphrodite di nama saya. Dan panggilnya Adis saja," ralat Adis, mengira kalau-kalau namanya tadi tidak bisa ditangkap dengan jelas.
Namun, koreksian Adis hanya ditanggapi dengan kekehan oleh Prasaji. Sedang ekspresi Jati sudah tidak sedap dipandang. Bukan apa-apa. Hanya saja, waktunya tersita untuk mendengarkan pembicaraan tidak penting itu, tentu saja menyebalkan bagi seorang yang amat disiplin.
Adis mengerjap, ketika senyum simpul terbit di pipi berlesung pipit sang pria. Sadar bahwa dari tadi matanya tak pernah beralih fokus. "Oke. Maafkan saya. Jadi, ada masalah dengan pendakian, Pramudhita?"
"Eh?" Cara Prasaji menyapa dengan nama belakang menciptakan sedikit efek kejut. "Em ... aku nggak pernah mendaki tanpa abang, Kak."
"Itu kan project tahun lalu."
"Jadi tahun ini enggak?"
"Kan masih rahasia."
Adis menghela napas. Berarti akan ada kemungkinan project serupa perlu dia lakukan saat sudah resmi magang. Bas pasti tidak akan mengizinkan jika dia mendengar hal ini. Refleks, gadis itu menunduk dan mencebikkan bibir.
"Tenang, Pramudhita." Adis mendongak, tidak ingin dicap tidak sopan karena memperhatikan hal lain saat diajak berbicara. "Daftar saja dulu. Belum tentu project-nya sama dan kalaupun sama ...," kalimat Prasaji menggantung, lalu kembali terlanjutkan kala Adis memperlihatkan tatapan bingung, "kan ada saya."
Kan ada saya. Kalimat itu terputar di kepala Adis, menciptakan rekah senyum yang ditahannya. Ah, juga terputar di kepala Jati. Membuat pria itu menghela, memprediksi bahwa ke depannya dia akan melakukan tugas yang rumit.
Harus mengawasi gadis ini dalam hal asmara juga? batin Jati keberatan.
"Segera selesaikan dan pindah ke stan berikutnya. Waktu kalian hanya sampai jam sepuluh. Setelah ini kita berkumpul kembali di lapangan dekanat seperti yang sudah diinformasikan.". Jati berkata ketika apa yang ingin dia tahu-project magang di PRISMA-sudah dia kantongi. Iya, Jati mendekat hanya untuk itu. Untuk mengawasi apa saja yang harus dihadapi Adis.
Perkataan itu membuat tautan mata Adis pada Prasaji terputus, untuk kemudian gadis itu kembali beralih pada Prasaji, sedang si objek justru terseret pada eksistensi Jati.
"Baik, Kak."
Suara serentak dari anak-anak Manajemen menyahuti titah Jati. Sementara si empunya suara menjabat tangan Prasaji sebelum pergi. "Makasih, Prasaji. Saya duluan."
"Siap," sambut pemilik senyum yang masih menyita atensi. Siapa lagi kalau bukan Prasaji?
Gelagapan, tetapi tidak sedikit pun mengalihkan pandangan ketika sosok yang diperhatikan tersenyum membalas sorot mata, menangkap basah aksi curi-curi pandang. Ah, sebetulnya Adis tidak mecuri-curi, tetapi terang-terangan meraup sosok itu dalam pandangan.
Ketika sekali lagi tatapan mereka saling tumpang tindih, bersahutan, berkelindan dalam fantasi masing-masing, tak satu pun dari mereka mencoba memisahkan diri. Tidak tahu bahwa bersama dengan itu, seseorang yang berjalan menjauh sedang memikirkan satu hal untuk dicari tahu.
See yaa!
First Publish: November 30, 2020.
Revised: December 15, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro