40th Day
Jangan semata percaya pada waktu untuk menyembuhkan. Sesungguhnya, dia tidak melakukan apa pun kecuali menimbun yang sudah terjadi tanpa benar-benar terselesaikan.
📷📷📷
Pasca UTS, tugas kuliah semakin menumpuk saja. Satu belum habis, datang lagi berkali-kali lipat banyakny. Namun, bagi Adis, bukan mengerjakannya yang sulit. Akan tetapi membiasakan diri untuk tidak merengek, baik pada Bas, Imel, Juna, atau yang lainnya. Dia terlalu terbiasa dengan mereka. Terbiasa minta ditemani hingga larut, terbiasa menyalurkan mood buruknya, pokoknya ... terbiasa untuk melakukan segala hal yang kini Adis tahu sangatlah mengganggu.
Adis mengedikkan bahu, kembali mengambil fokus pada buku kuarto besar yang menampilkan angka dan grafik hasil tangannya. Kalau terus memanjakan diri untuk terbiasa akan hal-hal yang tak benar, maka kapan suatu hal yang pas bisa menjadi keseharian? Begitu pikir Adis.
Tangannya menggapai ke space di sebelah, di mana buku dan alat tulis Fau tergeletak tak beraturan, sama seperti miliknya. Diraihnya correction pen yang tadi dipinjam oleh Fau. Saat ini, temannya itu sedang membeli jus dan meninggalkannya di gazebo kampus tempat mereka belajar. Adis tidak tahu Fau membeli jus di mana hingga tak kunjung kembali. Mungkin antreannya panjang? Entahlah. Kenapa juga jadi memikirkan Fau? Adis terkekeh sendiri.
Tak berselang lama, kekehan Adis terhenti, tepat ketika dia kembali pada buku miliknya. Tepat pula dengan gerakan tipis di sebelah, menandakan seseorang baru saja mendudukkan diri di kursi kayu yang sama dengannya.
Awalnya, Adis hendak tak mengacuhkannya saja, sebab gazebo memang tempat umum yang bisa ditempati siapa saja. Namun, bau harum nan lembut yang menyentuh indera penghidu sukses membuat Adis mengurungkan hal itu. Kayu manis. Bahkan dengan menyadari bau ini saja, tubuh Adis berubah kaku.
Tentu, dia mengenal betul aroma menenangkan ini. Ingin sekali dia meraup pemiliknya ke dalam tatapan, tetapi yang bisa Adis lakukan hanya membatu. Tangannya memegang erat bolpoin, sedang kepalanya terus menunduk. Seolah jika bergerak sedikit saja, engsel di leher akan cacat kondisinya.
"Periode depan, saya mau mencalon sebagai presiden BEM Universitas."
Suara tenang itu terdengar, membuat Adis mengernyit bingung. Apakah Jati datang bersama temannya? Akan tetapi, Adis terlalu takut untuk menoleh dan memastikan. Dia justru menggerakkan bolpoin di atas kertas, menggoreskan beberapa aksara meski barang tentu pikirannya sama sekali tidak fokus.
"Politik di kampus cukup keras. Yah, itu sebabnya dari sekarang saya harus pandai menganalisis dan menyiapkan mental."
Dengan siapa sebenarnya pria itu berbicara? Dengan temannya? Namun, tidak ada sahutan yang terdengar.
Adis masih mempertimbangkan untuk menoleh atau tidak, walaupun tubuhnya lebih ingin berlari dan menjauh saja dari sana, ketika suara serupa kembali terdengar. "Saya perlu berkepala dingin nantinya. Karena, bukan tidak mungkin akan ada serangan politik secara personal. Orang yang tidak bertanggung jawab kan bisa ada di mana saja." Jeda, untuk kemudian frekuensi-frekuensi lain kembali mengudara. "What do you think dan ... bagaimana dengan kamu? Ada agenda apa dekat-dekat ini?"
Diam, lama. Hanya desau angin yang menyapa. Dan kini, Adis mulai merasakan panas di lehernya, seolah seseorang sedang menghujaninya dengan tatapan. Benar saja. Ketika gadis itu menggerakkan leher perlahan hingga menghadap ke arah pria di sebelahnya, firasat itu benar. Sepasang mata elang itu tengah menatapnya dengan saksama, dengan senyum tipis yang penuh kepercayaan diri, khas pria itu, Jati.
Adis mengerjap. Tidak sadar kalau sudah hampir lima detik bertatapan dengan Jati dan kini kegugupan sudah mulai menyusup. Mata itu ... masih teringat jelas betapa kemarahan terpancar jelas di sana. Adis langsung melengos, meski kini dia tahu bahwa dia-lah yang diajak berbicara oleh Jati. Sungguh, rasa sakit yang harus diterima pria itu karena kepergian Radit, terus membayang dan membuat jantungnya terasa seperti diremas kencang.
"Apa kabar, Adisa?"
Tak ada suara. Gadis itu masih bungkam sambil menimbang untuk menjawab atau tetap diam. Akhirnya, sambil meremas tangan di samping badan, mulutnya terbuka. "Baik, Kak," jawabnya tanpa menatap lawan bicara.
"Can you please look at me?"
Sungguh, jantung Adis sedang bertalu riuh, menyusun irama yang sayangnya sama sekali tidak teratur. Namun, seberkas bayangan di depan sana langsung tertangkap mata kala Adis mendongak sedikit. Dia merasa tertolong, karena Fau berdiri beberapa meter di depan sana dengan dua cup jus bertengger di tangan.
Dipasangnya wajah memelas, agar Fau yang sedang memelankan langkah, mau bergegas. Akan tetapi, kelegaan itu sirna saat melihat Fau membelokkan langkah. Padahal gadis itu jelas sudah menatap ke arahnya dan menangkap wajah memelas Adis. Lalu, kini siapa yang akan menolongnya?
Adis tidak kehabisan akal. Dia meraih buku-buku di meja dan menutupnya. Dirapikannya benda-benda itu, lalu ditumpuk jadi satu. "Saya permisi, ya, Kak," katanya sambil mencangklong dua tote bag —miliknya dan Fau—sedang tangannya yang bebas memeluk beberapa buku.
Dia hendak keluar dari kungkungan kursi dan meja yang mengapit, tetapi tangannya dicekal, membuat gerakan untuk menghindari Jati itu terhenti.
"Bisa kita bicara, Adisa?"
Suara itu terdengar tenang, dan Adis pun mencoba untuk merespons dengan tenamg, meski tubuhnya berkata lain. "Em ... saya ada kerja kelompok, Kak." Adis tidak menyerah. Digerakkannya tangan yang dicekal Jati, hingga cekalan itu terlepas. "Permisi, ya, Kak," lanjutnya sambil melanjutkan gerakan yang terjeda, tanpa sekali pun menoleh ke lawan bicaranya.
Adis hendak menghela napas lega ketika berhasil keluar dari impitan meja dan kursi. Namun, lagi-lagi harus membuang kauh kelegaan itu.
"Saya rasa waktunya sudah cukup, Adisa. Saya menghargai kamu yang menjauh, tetapi saya nggak pernah setuju kalau fase ini berlangsung selamanya. Please, just sit and talk to me. Saya nggak suka harus sejauh ini dengan kamu." Suara itu masih tenang, tetapi Adis merasa ada permohonan tersirat yang menyembul di sana. Hingga membuat kakinya terpaku di tanah, juga menciptakan bungkam di mulut yang perlahan bergetar. "Saya tahu, mungkin berat buat kamu. Tapi, kita bisa saling menyembuhkan, Adisa. Bukan justru menjauhi seperti ini." Diam masih menjadi satu-satunya hal yang bisa Adis lakukan. Dia seolah kehilangan kata sopan saat memilih membelakangi orang yang sedang berbicara kepadanya.
"Kalau kamu berharap waktu memperbaiki apa yang ada di antara kita, kamu salah besar. Waktu nggak melakukan apa pun kecuali menimbun yang sudah terjadi. Dan itu nggak pernah benar-benar selesai."
Waktu nggak melakukan apa pun kecuali menimbun yang sudah terjadi. Adis mematung mendengar kalimat itu. Seperti genderang ditabuh, ada suara imajiner yang sangat keras, membangunkan alarmnya. Remasan di tali tote bag mengencang, sebelum dia memutuskan untuk menoleh ke belakang. Di sana, Jati juga sedang berdiri dan menatap lurus ke arahnya. Pandangan keduanya saling bertumbukan, meski jelas sirat yang dipancarkan jauh berbeda. Jati dengan kemantapan, sedang Adis yang sepenuhnya mengadopsi ragu di sana.
"Please?"
Masih dengan ragu, Adis membalas permohonan itu dengan anggukan kepala dan gerakan kakinya yang kembali mendekat ke arah Jati. Dia mengambil tempat untuk duduk, dengan pandangan Jati yang tak sekali pun lepas darinya.
"Apa kabar, Adisa?"
Perlahan, Adis menoleh. Namun, bukan pernyataan tentang kabar yang dia lontarkan untuk menjawab pertanyaan itu. "Saya malu, Kak." Tampak gerakan tipis di bibir Jati, tetapi pria itu memilih mengurungkan niatnya untuk membuka mulut. Adis menarik napas, bersyukur karena Jati tahu betul Adis tidak ingin dicecar. "Malu, udah marah sama semua orang, padahal justru saya yang lebih pantas menerima segala amarah itu. Saya malu udah bertingkah seolah-olah saya-lah yang paling dilukai di sini. Padahal Kak Jati, Abang, Kak Radit, bahkan Mbak Ajeng ngerasain hal yang lebih besar."
Semakin banyak suara yang diloloskan, cekikan di tenggorokan meringan. Seolah batu yang mengganjal di sana terangkat, hingga membuat perasaan yang ditahannya muncul ke permukaan. Batu itu memang menggugurkan sedikit sesaknya, tetapi ada hal lain yang hendak turut berguguran. Yakni air mata yang membuat organ penglihatannya memanas. Akan tetapi, Adis tak membiarkan hal itu terjadi. Dia menunduk dan mengerjapkan netranya.
Hanya berselang detik, dua tangan kokoh bertengger di bahunya. Dan dengan gerakan hangat, tangan itu meremas pundak Adis, meminta Adis mendongak dan menatap sang pemilik. Kedua mata itu bertemu sebentar, dan setelahnya Jati memilih meneliti seluruh wajah Adis, hingga kembali ke satu titik: netra gadis itu.
"Kamu pasti nggak akan percaya kalau saya bilang tidak apa-apa. Tapi, Adisa. Percayalah, menyalahkan dirimu tidak akan membuat segalanya membaik," kata pria itu mantap, penuh penekanan. Membuat Adis menggigit bagian dalam bibir bawahnya. "Kalau kamu menyalahkan dirimu untuk ini, maka kamu setuju kalau saya juga menghukum diri sendiri karena sudah terlalu egois mengharapkan adik perempuan. Hingga membuat ibu saya pergi dari dunia untuk memenuhi keinginan itu. Bukankah itu awal kehidupan tidak mengenakkan yang dimiliki Kak Radit? Jadi, kamu setuju dengan itu?"
Adis mematung, tetapi gigitan di bibirnya mengendur. "Ng-nggak, Kak. Aku yakin, kalau Kakak tahu segalanya, Kakak nggak akan begitu."
"Maka kamu juga begitu, Adisa. Kamu tidak tahu apa pun, dan segalanya bukan salah kamu." Jati langsung menyambar ketika kalimat Adis usai. Suaranya melirih, tetapi tekanan di setiap katanya tetap terasa jelas. "Ayo, kita perbaiki semuanya. Bukan apa yang sudah terjadi, tetapi apa yang sedang dan akan kita lalui. Tidak apa-apa hidup bersama masa lalu, tetapi jangan sepenuhnya hidup di sana. Ayo saling terbuka, agar tidak ada amarah yang timbul dari ketidaktahuan, seperti hari-hari lalu."
Mata tajam itu kini sepenuhnya berubah teduh, menawarkan kepada Adis sebuah pertemanan. Perlahan, Adis pun mengangguk, membuat senyum tipis terukir di wajah Jati. Pria itu pun menurunkan tangannya, lalu tersenyum lebar. Benar-benar lebar, bukan versi lebar pria itu yang jarang terasa lepas.
Tangan besar itu kemudian terangkat, hendak mengacak rambut Adis. Akan tetapi, kepala Adis lebih dulu menghindar, sehingga tangan Jati hanya menggantung di sana. Untuk sejenak kemudian dia turunkan, menyisakan raut yang diartikan Adis sebagai sebuah kebingungan.
Jati diam, seolah menunggu Adis berbicara. Adis tahu dia tidak benar-benar mau mengatakan ini, tetapi mungkin inilah yang terbaik. Jadi, dia memilih membuka suara. "Kak, maaf. Tapi, tolong ngasih perhatian yang lebih ke saya. Saya mau jadi Adis yang baru, yang bisa berdiri dengan kaki sendiri. Dan kalau ada seseorang yang selalu nawarin bantuan, saya yakin nggak akan bisa jadi Adis yang kayak gitu."
"O ... ke," Jati menjawab, meski terdengar ragu. "Tapi ... saya nggak harus menjauh dari kamu, kan?"
Adis tersenyum tipis. "Tentu enggak, Kak. Cukup jangan terlalu peduliin saja."
Embusan napas terdengar dari Jati. "Saya nggak yakin, ini mudah buat nggak peduli sama orang yang saya sayang. But, I'll try."
Pipi Adis bersemu. Senyuman tidak dapat dia tahan. Sungguh, dia memang merindukan pria di depannya ini.
"Em ... Adisa."
Adis mendongak, padahal jantungnya yang menggola belum siap untuk itu. "Ya?"
Jati terlihat ragu. "Kalau saya mau kamu nggak menaruh perasaan untuk laki-laki selain saya ... bisa?"
Deg. Sebuah tabuhan kencang kembali terdengar, yang dinetralkan Adis dengan senyum yang entah seperti apa bentuknya. Dia gugup, sangat. "Em ... yang pasti Kakak boleh menyukai siapa pun selain saya."
"Itu tidak menjawab pertanyaan saya, dan justru membuat saya merasa tidak diinginkan, Adisa."
Ada nada jengkel di sana, membuat Adis geli sendiri.
"Bukan gitu, Kak. Aku cuma nggak mau saling janji tentang hal yang belum tentu bisa ditepati." Adis serius mengatakan hal ini. Entahlah. Rasanya, kini dia setuju dengan Radit yang enggan berjanji untuk tak pernah pergi. Karena nyatanya, memang masa depan tidak pernah mau tahu tentang janji manusia.
Mereka terdiam. Entah sedang memikirkan apa. Lalu, sebuah tanya memecah keheningan di antara keduanya. Itu suara milik Jati. "Tapi, boleh saya minta kamu pakai aku saja?"
Sontak, Adis terkekeh. Ingatannya melayang pada tingkah aneh pria ini di mobil watku itu, juga ketika di Pantai Ngrawah.
"Jawab saja, jangan menertawakan saya."
Diminta seperti itu, Adis justru tertawa lebih lebar. Perasaannya lega, bahkan ada bahagia yang membuncah di sana. Gadis itu pun mengangguk. Bukan hanya pada Jati, tetapi juga pada dirinya sendiri. Bahwa hari ini, dia setuju untuk melepaskan semuanya. Amarah, rasa bersalah, dan ribuan kecewa yang belakangan menyerang tanpa ampun.
______________________
The End
______________________
Ahahaha. Enggak, koook.
Yang ini beneran. Eheheh. Satu part lagi dan kita sampai di epilog mueheheh.
Btw, ini part panjang banget sampe 1900-an words 😭 semoga gak bosen, yaaa!
See, yaaaa!
First Publish: March 31st, 2021.
Revision: March 10th, 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro